Salah satu tokoh yang Lolos dari penculikan PKI pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 adalah

Salah satu tokoh yang Lolos dari penculikan PKI pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 adalah
Tembok monumental tempat AH Nasution melarikan diri ke halaman Kedutaan Irak pada Selasa (1/10/2019).

TRIBUNJAKARTA.COM  -  Tanggal 30 September, tepat 55 tahun silam terjadi peristiwa berdarah yang menjadi catatan kelam bangsa ini.

Kita menyebutnya sebagai  Gerakan 30 September (G30S).

Sejumlah perwira TNI Angkatan Darat dibunuh secara brutal dalam insiden berdarah itu.

Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution adalah satu di antara pahlawan nasional Indonesia yang lolos dari penculikan oleh pasukan Gerakan 30 September (G30S) pada 1 Oktober 1965.

Dikutip TribunWow.com dari Wikipedia, Minggu (29/9/2019), Nasution adalah satu di antara tujuh perwira Angkatan Darat anti-komunis yang menjadi sasaran penculikan.

Namun saat penculikan itu berlangsung, putri bungsunya, Ade Irma Suryani yang berusia 5 tahun malah tertembak ketika hendak dibawa ke tempat aman oleh adik Nasution, Mardiah.

Tak hanya kehilangan Ade Irma Suryani, Nasution juga kehilangan ajudannya, Lettu Pierre Tendean yang diculik lantaran dikira dirinya adalah Nasution.

Nasution dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya dalam perang melawan penjajah Belanda.

Nasution juga memimpin pasukan Siliwangi saat ada pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 hingga dirinya menjadi incaran PKI.

Diketahui, Nasution lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918.

Halaman selanjutnya arrow_forward

Salah satu tokoh yang Lolos dari penculikan PKI pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 adalah
Bung Karno diapit dua jenderal Angkatan Darat, AH Nasution (kiri) dan Soeharto. Ketiganya tertawa lebar saat bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, tahun 1966.

TRIBUNJAKARTA.COM  - Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution adalah satu di antara pahlawan nasional Indonesia yang lolos dari penculikan oleh pasukan Gerakan 30 September (G30S) pada 1 Oktober 1965.

Dikutip TribunWow.com dari Wikipedia, Minggu (29/9/2019), Nasution adalah satu di antara tujuh perwira Angkatan Darat anti-komunis yang menjadi sasaran penculikan.

Namun saat penculikan itu berlangsung, putri bungsunya, Ade Irma Suryani yang berusia 5 tahun malah tertembak ketika hendak dibawa ke tempat aman oleh adik Nasution, Mardiah.

Tak hanya kehilangan Ade Irma Suryani, Nasution juga kehilangan ajudannya, Lettu Pierre Tendean yang diculik lantaran dikira dirinya adalah Nasution.

Nasution dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya dalam perang melawan penjajah Belanda.

Nasution juga memimpin pasukan Siliwangi saat ada pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 hingga dirinya menjadi incaran PKI.

Diketahui, Nasution lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918.

Nasution merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada 1958 lalu diadopsi selama pemerintahan Soeharto.

Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar pada 5 Oktober 1997 ketika ulang tahun ABRI.

Nasution dilahirkan di keluarga Batak Muslim di Desa Hutapungkut, Kotanopan.

Halaman selanjutnya arrow_forward

Sumber: TribunWow.com

Tags:

Liputan6.com, Jakarta - Mentari belum sempat menunjukkan sinarnya. Dini hari itu, 1 Oktober 1965, rentetan tembakan terdengar dari sebuah rumah di jalan yang kini bernama Jalan Teuku Umar, Gondangdia, Menteng, Kota Jakarta Pusat.

Rumah itu merupakan kediaman seorang perwira tinggi Angkatan Darat yang dijadikan salah satu target utama operasi G 30S. Dia adalah Jenderal Besar Nasution. 

Agus Salim dalam bukunya, Tragedi Fajar: Perseteruan Tentara-PKI dan Peristiwa G 30S menyebut, Nasution merupakan target utama dalam operasi tersebut.

Ini terkait dengan sikap dan pandangannya terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Pengaruhnya dalam tubuh TNI juga disinyalir masih besar sebagai jenderal senior di sana.

Oleh karena itu, jumlah pasukan yang dikerahkan untuk menjemputnya pun lebih banyak, hampir dua pleton yang menumpang 3 truk dan 2 mobil web.

30 September malam itu, Nasution tengah berada di kamar, usai menjadi penceramah dalam sebuah acara di Universitas Muhammadiyah Jakarta bersama ajudannya, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.

Pada buku Monumen Pancasila Cakti, dr Soedjono menyebut, Nasution tak bisa tidur. Udara yang sangat panas, membuat nyamuk berseliweran di kamarnya.

Sekitar pukul 04.00 WIB, satu formasi pasukan Cakrabirawa tiba di rumah Nasution. Tak banyak bicara, mereka menuju pintu rumah. Setiap gerakan kecil penjaga dibalas dengan tembakan. Suara tembakan membuat seisi rumah terbangun.

Ketegangan semakin mencekat ketika pasukan-pasukan ini masuk rumah melalui pintu utama. Istri Nasution, Sunarti mencegah pria yang akrab disapa Pak Nas itu untuk keluar kamar. Dia kemudian meminta belahan jiwanya melarikan diri.

Sunarti pun membuka pintu kamar namun, muntahan peluru menyambutnya. 

Sementara, cerita yang agak berbeda diutarakan bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi. Dia dan rekannya disambut oleh satu pleton penjaga kediaman Nasution yang berasal dari Kostrad. Mereka diantar ke dalam rumah.

Di pintu utama, pintu tak terkunci. Namun, ketika masuk, 10 anggota penjemput tak menemukan Nasution. Mereka pun lantas mencarinya di beberapa kamar. Dari salah satu kamar, Nasution tiba-tiba membuka pintu.

Namun, melihat ada tiga prajurit Cakrabirawa di depan pintu, Nasution kembali mengunci pintu. Sulemi lantas meminta agar pintunya dibuka. Namun, tak ada jawaban.

Sebagai prajurit, Sulemi diperintah menjemput Nasution hidup atau mati. Dua anggota pasukan, Kopral Sumarjo dan Hargiono, membuka paksa kunci besi dengan rentetan senjata sten atau senapan serbu.

Senjata menyalak. Pintu pun terbuka, tetapi Nasution sudah tak ada di kamarnya. Saat inilah, anak bungsu Nasution tertembak di dekapan sang ibu.

Sementara, Sulemi mendengar ada suara rentetan tembakan senjata serbu dari luar rumah. Nasution kabur melompat pagar. Ia tak bisa memastikan siapa yang menembak di luar rumah kala itu.

Namun, ia bisa memastikan bahwa pemegang senjata bren adalah Kopral Sarjo. Meski demikian, mereka tak mengejarnya. Sebab, perintah mereka adalah menjemput tanpa menganggu tetangga sekitarnya.

Agus Salim dalam bukunya menyebut, Nasution melompat ke rumah Duta Besar Irak. Sementara, Victor M Fic dalam bukunya, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi menyebut, bangunan tempatnya bersembunyi adalah rumah Dr Leimena di Jalan Teuku Umar 36. 

Kegaduhan itu membuat Lettu Pierre Tendean terbangun. Dia kemudian menuju sumber suara dengan membawa senjata. Pasukan penjemput kemudian bertanya siapa dia. Tendean kemudian menjawab dia adalah ajudan Nasution. Namun, sebagian besar pasukan salah mendengar dan mengiranya sebagai Nasution.

Tendean diikat dan dibawa ke truk. Tak lama, bunyi peluit terdengar. Isyarat misi penculikan jenderal berhasil dilakukan. 

Tepat pukul 04.08 WIB, rumah itu kembali sepi....

Keluar Persembunyian

Nasution mengalami patah kaki saat melarikan diri. Victor M Fic menyebut, Nasution bersembunyi di rumah tetangganya itu hingga pukul 06.00 WIB, 1 Oktober 1965.

Setelah merasa aman, dia kembali ke rumahnya melalui pagar. Dia kemudian meminta ajudan dan iparnya untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dia lalu diantar dengan mobil oleh Komandan Staf Markas Besar AD (Kostrad), Letkol Hidajat Wirasondjaja; ajudannya Mayor Sumargono, dan iparnya, Bob Sunarjo.

Nasution kemudian mengirim pesan kepada Soeharto di markas Kostrad, mengatakan kepadanya bahwa ia masih hidup dan aman.

Soedjono dalam Monumen Pancasila Cakti menyebut, istri Nasution lah yang melapor ke Mabes KKo/ALRI. Saat membawa Ade Irma ke RSPAD, dia mampir ke mabes untuk meminta bantuan ke penjaga.

Pukul 04.09 WIB, ajudan Nasution, AKP Hamdan Mansyur menelepon Pangdam V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan melaporkan peristiwa tersebut. Sekitar pukul 04.30 WIB, Umar tiba di rumah Nasution dan menyaksikan bekas kekejaman G30S.

Pukul 06.30 WIB, barulah diadakan usaha untuk mengambil Nasution dari persembunyiannya. Pukul 19.00 WIB, Nasution kemudian dibawa ke Makostrad untuk mengatur siasat penumpasan pemberontak G30S.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

tirto.id - Pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta terdapat 7 nama perwira militer TNI-AD yang menjadi korban kejadian ini. Mereka kemudian dianugerahi gelar pahlawan revolusi dan pahlawan nasional RI. Partai Komunis Indonesia (PKI) disebut-sebut sebagai dalang tragedi berdarah ini.

Menurut Harold Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia (1978), G30S alias Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober), adalah peristiwa yang terjadi lewat malam 30 September sampai awal 1 Oktober 1965 ketika sejumlah perwira militer Indonesia dibunuh dalam suatu usaha kudeta.

Penyebab, latar belakang, serta kebenaran yang valid terkait terjadinya peristiwa G30S cukup rumit lagi kompleks lantaran cukup banyaknya kepentingan yang bermain dalam situasi perpolitikan di tanah air dan pemerintahan yang dipimpin Presiden Sukarno kala itu.

Perlukah Rekonstruksi Sejarah G30S/PKI?

John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) menganalogikan Gerakan 30 September telah menjadi semacam kubus rubik yang tak terpecahkan, dengan enam warna yang tidak dapat bersesuaian dengan keenam sisinya.

Roosa, sejarawan dari University of British Columbia, Kanada, menambahkan, kendala dalam memecahkan teka-teki ini ialah pemaksaan cara penyelesaian palsu yang teramat kuat segera sesudah peristiwa ini terjadi, termasuk dengan menciptakan “fakta-fakta" semisal kisah penyiksaan di Lubang Buaya, pengakuan para pemimpin PKI, dan lainnya.

Dengan banjir propagandanya, lanjut Roosa, rezim Soeharto telah memasang ranjau di sepanjang jalan kaum sejarawan dengan petunjuk palsu, jalan belokan yang buntu, dan penggalan-penggalan bukti yang direkayasa.

Baca juga:

  • Film Pengkhianatan G30S-PKI: Fakta atau Propaganda Orba?
  • Sepak Terjang Ahmad Yani Menjelang 1 Oktober 1965
  • Upaya Anak-Anak Brigjen Sutoyo Menghapus Dendam

Maka, sebut Samsudin lewat buku Mengapa G30S/PKI Gagal? (2004), harus ada keberanian dari bangsa Indonesia untuk melakukan rekonstruksi sejarah secara objektif dan kritis sehingga dapat diwujudkan sejarah G30S/PKI yang sesungguhnya.

Masih ditulis oleh Samsudin dalam bukunya, menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa untuk membuka dan memberikan peluang bagi terjadinya perkembangan penafsiran terhadap fakta pembunuhan 6 jenderal Angkatan Darat (serta 1 perwira lainnya) dan peristiwa-peristiwa terkait setelah itu.

Seiring dengan hal tersebut, menjadi kebutuhan bersama sebagai bangsa, terutama para sejarawan untuk terus mencari dan menemukan fakta-fakta baru seputar G30S/PKI demi melengkapi data-data yang telah ada.

Melalui penemuan fakta-fakta baru tersebut akan dapat dirumuskan penafsiran-penafsiran yang baru pula mengenai G30S/PKI secara lebih komprehensif.

Terlepas dari kontroversi yang masih terus didiskusikan hingga saat ini, upaya pengambil-alihan kekuasaan dan kematian 7 perwira militer dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan fakta-fakta sejarah yang memang telah terjadi.

Salah satu tokoh yang Lolos dari penculikan PKI pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 adalah

Infografik Pahlawan Revolusi dan Tragedi G30S 1965. tirto.id/Fuadi

Daftar Pahlawan Revolusi dalam G30S 1965

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta telah menyebabkan kematian 7 perwira TNI-AD, yang 6 di antaranya merupakan perwira tinggi alias jenderal yang kala itu cukup berpengaruh dalam pemerintahan RI di bawah pimpinan Presiden Sukarno.

Adapun 1 orang perwira lainnya adalah Kapten Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Jenderal A.H. Nasution disebut-sebut menjadi target seperti ke-6 jenderal lainnya. Tak hanya itu, ada korban meninggal dunia lainnya yaitu Ade Irma Suryani, putri Jenderal Nasution.

Baca juga:

  • Brigjen Katamso, Korban Tragedi 1965 di Yogyakarta
  • Mayjen Soeprapto, Akhir Tragis Perjalanan Sang Survivor
  • Ade Irma Terbunuh Karena Jadi Perisai A.H. Nasution

Selain itu, Bripka Karel Sadsuit Tubun yang merupakan pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena turut pula menjadi korban dalam peristiwa berdarah ini.

Berikut ini para pahlawan revolusi dalam peristiwa G30S 1965 di Jakarta:

  1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi)
  3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD Bidang Intelijen)
  5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD Bidang Logistik)
  6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal AD)
  7. Lettu CZI Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution)
  8. Bripka Karel Sadsuit Tubun (Pengawal Kediaman Resmi dr.J. Leimena)

Jenazah para korban penculikan dalam peristiwa G30S di ibu kota ditemukan di wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur, tanggal 3 Oktober 1965, kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Baca juga:

  • Ajal M.T. Haryono Dijemput Boengkoes dari Cakrabirawa
  • Sejarah Lahirnya Pierre Tendean Pahlawan Revolusi
  • Kolonel Sugijono, Pahlawan Revolusi dari Yogyakarta

Pembunuhan terhadap perwira militer TNI-AD juga terjadi di Yogyakarta yang menewaskan Kolonel Katamso dan Letkol Sugijono pada 1 Oktober 1965. Jasad keduanya ditemukan pada 12 Oktober 1965 di wilayah Kentungan dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Yogyakarta.

Pemerintah RI kemudian menetapkan ke-10 tokoh tersebut dengan gelar Pahlawan Revolusi dan memberikan kenaikan pangkat anumerta. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar Pahlawan Revolusi juga diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Baca juga artikel terkait G30S PKI atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/agu)


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH

Subscribe for updates Unsubscribe from updates