Kenapa hari rabu disebut buda

tirto.id - Rabo Wekasan, Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan merupakan hari Rabu terakhir pada bulan Safar yang terdapat pada kalender lunar versi Jawa.

Dalam kitab Al-Jawahir al-Khoms, Syech Kamil Fariduddin as-Syukarjanji pada halaman 5 disebutkan, pada tiap tahun hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah akan menurukan 320.000 bala bencana ke muka bumi.

Hari tersebut akan menjadi hari-hari yang paling sulit di antara hari-hari dalam satu tahun. Untuk amalan Rabu Wekasan, kita disunahkan untuk mendirikan salat sebanyak 4 rakaat.

Sebagian orang di beberapa daerah di Indonesia mempercayai bahwa rabu terakhir di bulan Safar itu adalah hari sial. Sehingga mereka harus melakukan ritual-ritual tertentu untuk menolak bala’ atau kesialan yang jatuh pada hari itu.

Dilansir dari NU Online, tradisi Rabu Wekasan sudah berlangsung secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dan lain-lain.

Bentuk ritual Rebo Wekasan umumnya dilakukan dengan shalat, berdoa dengan doa-doa khusus, selamatan, sedekah, silaturrahim, dan berbuat baik kepada sesama.

Sementara awal mula tradisi ini dilakukan karena ada anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (W.1151 H) dalam kitab Fathul Malik al-Majid al-Mu-Allaf li Naf'il 'Abid wa Qam'i Kulli Jabbar 'Anid (biasa disebut Mujarrabat ad-Dairabi).

Namun, Keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang menegaskan bahwa shalat khusus Rabu Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat hajat.

Amalan Rabu Wekasan

Kemudian Muktamar ke-25 NU di Surabaya (20-25 Desember 1971 M) juga melarang shalat yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat mutlak.

"Shalatnya bisa di pagi (dluha) atau habis shalat Maghrib," kata Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, KH Muhammad Djamaluddin.

Menurut Kiai Jamal, shalat yang dilakukan tersebut diniati dengan shalat mutlak sebanyak 4 rakaat di mana pada setiap rakaat dalam shalat tersebut membaca Al-Fatihah sekali, surat Al-Kautsar sebanyak 17 kali, surat Al-Ikhlas lima kali, Al-Falaq sekali dan An-Nas masing-masing satu kali.

"Kemudian setelah salam membaca doa dan shalatnya tidak berjamaah. Tapi dilakukan bersama-sama di lokasi yang sama pula," tambahnya.

Baca juga:

  • Rebo Wekasan dan Tradisi Penolak Bala di Indonesia
  • Daftar Tradisi Jawa saat Malam Satu Suro 20 Agustus 2020

Baca juga artikel terkait RABU WEKASAN atau tulisan menarik lainnya Dhita Koesno
(tirto.id - tha/agu)


Penulis: Dhita Koesno
Editor: Agung DH

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Ilustrasi Rebo Wekasan. Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/hp.

Rebo Wekasan masuk dalam pencarian Google Trends pada Rabu, 14 Oktober 2020. Khalayak mungkin masih merasa asing dengan Rebo Wekasan yang ternyata menjadi salah satu kosa kata yang paling banyak di mesin pencari Google.

Faktanya, pada hari ini (14/10/2020) bertepatan dengan hari Rabu terakhir dalam bulan Safar atau dikenal dengan Rebo Wekasan.

Sebenarnya apa sih itu Rebo Wekasan?

Rebo Wekasan adalah suatu tradisi dan budaya di Indonesia sebagai ritual pada hari Rabu terakhir dari bulan Safar atau bulan kedua dari 12 penanggalan kalender Islam/Hijriah sebelum memasuki bulan Rabbiul Awal. Konon katanya, Rebo Wekasan atau dikenal juga dengan Rebo Pungkasan merupakan "hari keramat". Sebab, sejumlah masyarakat percaya akan datang bala atau bencana dan sumber penyakit sehingga harus melakukan ritual tolak bala.

Ritual Rebo Wekasan. Foto: Sukabumi Update

Dalam tradisi Jawa, Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah Rabu terakhir di bulan Safar. Sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Arba Mustamir.

Tradisi Tolak Bala di Nusantara

Sebagian umat Islam di Nusantara memercayai bakal adanya hari sial pada Rabu terakhir bulan Safar. Makanya, ada banyak tradisi tolak bala yang dilakukan di berbagai daerah pada hari tersebut. Namun, sebenarnya kepercayaan seperti ini adalah tradisi masyarakat jahiliyah kuno.

Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda,

"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah SWT), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan Muslim)

Dilansir dari laman NU Online, ungkapan hadis tersebut digunakan untuk meluruskan keyakinan golongan jahiliyah. Di mana pada jaman tersebut, mereka memiliki keyakinan bahwa penyakit dapat menular dengan sendirinya dan tidak bersandar pada ketentuan dari takdir Allah SWT.

Ritual Rebo Wekasan. Foto: Sukabumi Update

Di Jawa, tradisi seperti lebih banyak dilakukan terutama bagi masyarakat yang tinggal di tepi pantai. Di sisi lain, masyarakat Muslim di Aceh Selatan, mengenal tradisi "Makmegang" sebagai ritual tolak bala pada Rabu terakhir di bulan Safar.

Di Bantul, Yogyakarta, tradisi tolak bala diterapkan dengan pembuatan lemper raksasa yang akan dibagi-bagikan kepada orang yang hadir dalam acara tersebut.

Lalu, sebagian umat Muslim di Kalimantan Selatan, menyikapi tradisi Rebo Wekasan dengan berbagai cara, contohnya dengan salat sunah disertai doa tolak bala.

Toleransi Tradisi Rebo Wekasan

Keyakinan seperti memercayai tradisi Rebo Wekasan juga sempat menimbulkan pro dan kontra. Tapi, hal penting yang harus digarisbawahi adalah sikap toleransi satu sama lain.

Ritual Rebo Wekasan. Foto: Sukabumi Update

Mungkin ada banyak yang memercayai tradisi Rebo Wekasan, tapi tak sedikit pula yang berpandangan sebaliknya. Namun, dengan adanya toleransi satu sama lain jelas bisa mewujudkan sikap saling memghormati.

Tapi, sebenarnya tradisi Rebo Wekasan merupakan hal yang baik. Doa yang dipanjatkan bersama sampai sedekah pun tidak macam-macam, lantaran maksud dari tradisi ini adalah doa meminta dihindarikan dari bencana kepada Tuhan.