Ideologi yang berakar dari paham ultra-nasionalisme adalah

tirto.id - Ketika muncul sosok muda yang punya segudang ‘prestasi’ hingga (konon) go international, khalayak Indonesia umumnya langsung latah. Belum lagi jika ia dipercaya mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia. “Indonesia kaya dengan keindahan alam dan budaya,” kira-kira demikian omongan yang sering terdengar dari orang Indonesia di luar negeri. Apakah ini yang namanya nasionalisme yang sudah mendarah daging? Atau cuma basa-basi diplomatis?

Di Australia, tempat saya bersekolah kini, banyak warga setempat merespons: “Oh, Indonesia. What a beautiful country. I have been to Bali." Tak jarang juga muncul pertanyaan seputar situasi sosial-politik Indonesia saat ini.



Kadang saya bingung apakah saya harus menjawab jujur tentang keadaan sosial dan politik Indonesia yang semakin lama semakin tidak stabil. Tentu bila saya mau Indonesia tetap dipandang sebagai 'harta karun duni'a, saya akan sampaikan narasi “semua baik-baik saja”, sebagaimana lazim dilakukan warga Indonesia di luar negeri.

Livi Zheng adalah bukti nyata betapa promosi tentang ‘prestasi’ orang Indonesia di dunia internasional begitu mudah disambut publik dalam negeri—saking hebatnya inferiority complex orang Indonesia sebagai bangsa.

Ia menonjolkan diri sebagai sineas muda yang lama bermukim di Amerika Serikat, kemudian pulang untuk berbakti (baca: mencari pasar) kepada tanah air. Tak main-main, tak sedikit tokoh publik yang memberikan dukungan dan promosi kepada film-film garapannya. Bila ada bantahan atau kritik, akan muncul sanggahan bahwa dia “sudah membantu Indonesia di kancah Internasional”.

Nasib Veronica Koman sangat kontras jika dibandingkan dengan Livi. Ia, yang sama-sama go international (dengan alasan dan pijakan yang lebih kuat, tentunya) justru menuai kecaman sebagai “kriminal” dan “provokator” pembakar emosi masyarakat ketika Papua membara.

Kualitas kedua orang ini jelas berbeda. Livi Zheng membuat film-film yang buruk dan mengaku telah mempromosikan budaya Indonesia ke seluruh dunia. Sedangkan Veronica Koman, selaku penggiat hak asasi manusia dan pengacara publik, menyampaikan ke seisi dunia bahwa kondisi Indonesia hari ini laksana “The Sick Man of Southeast Asia”, khususnya dengan setumpuk sepak terjang pelanggaran HAM di Papua.

Livi dipromosikan para politikus dan pejabat, sementara Veronica diburu aparat. Publik bisa melihat jelas perbedaan sensasi dan dedikasi. Dalam kasus Livi Zheng contohnya. Banyak sekali yang mempertanyakan karirnya yang mencurigakan. Semua informasi yang kita dapatkan saat ini berasal dari apa yang Livi katakan kepada media—yang sialnya menggembar-gemborkan sosoknya tanpa konfirmasi sana-sini. Media-media yang sama melabeli Veronica Koman sebagai penyebar berita bohong. Diskusi pun terarah ke isu mana yang nasionalis dan yang tidak. Veronica Koman—dan banyak pejuang hak asasi manusia lainnya di Papua—mendapat label yang terakhir. Problemnya, cap “tidak nasionalis” atau kini “anti-NKRI” selalu dipakai untuk menggebuk siapapun yang tak disukai penguasa.

Cuma Alat Gebuk

Kebebalan ultranasionalis memang sudah lama tersohor di Indonesia. Kaum ultranasionalis kerap mengaku sebagai kaum religius, tak jarang pula sebagai pendukung toleransi. Akhir-akhir ini mereka kembali muncul ke permukaan. Atas nama Pancasila mereka membantah semua kritikan untuk pemerintah dan mengecam segala kritik itu sebagai bentuk perlawanan, fitnah, makar, dan subversi. Resminya, Indonesia memang berlandaskan Pancasila. Demikian pula—setidaknya sejak zaman Soeharto—demokrasinya. Tetapi bukan berarti semua kritik dapat diteriaki “anti-Pancasilais”. Tuduhan “anti-Pancasilais” hanya menunjukkan bahwa si penuduh menjadikan Pancasila tameng kekuasaan belaka.

Baca juga: Inejiro Asanuma Mati di Tangan Ultranasionalis Sayap Kanan

Orang-orang ultranasionalis mempertanyakan komitmen kebangsaan masyarakat Papua. Jika kadar nasionalismenya dinilai rendah, peluru dan indoktrinasi jadi jawaban bagi mereka yang puluhan tahun—mengutip Filep Karma—diperlakukan bak setengah binatang. Tidakkah pembungkaman terhadap gerakan rakyat selama Orde Baru menggunakan cara-cara yang sama? Tidakkah kita akrab dengan fakta bahwa Pancasila juga pernah dimanipulasi sebagai alat untuk menuding aktivis anti-Soeharto sebagai komunis dan teroris? Saya sempat bertemu seorang ultranasionalis. Dia mahasiswa yang selalu mengaku berjuang mati-matian demi negara. Rasionalitasnya sudah lenyap, tak bisa lagi membedakan yang mana yang benar dan salah. Baginya, pihak mana pun yang menentang pemerintah tidak nasionalis.

Saya bilang ke dia bahwa pernyataan-pernyataannya itu serupa dengan kaum fasis. Reaksinya, tentu saja, adalah bantahan. Bukan sesuatu yang mengejutkan memang. Bukankah banyak dari orang sayap kanan anti-imigran di Amerika Serikat juga tersinggung ketika dibilang fasis, sekalipun pikiran, ucapan, dan tindakan mereka adalah fasis par excellence?

Orang-orang ini umumnya mengaku sangat peduli simbol-simbol negara dan berani menindak siapapun yang dinilainya tak mengormati simbol-simbol itu. Bila kita bertanya ideologi apa yang mereka anut, dengan jelas mereka bakal menjawab, “nasionalis” atau “Pancasilais”. Pernyataan demikian tentu hanya menunjukkan betapa miskinnya imajinasi politik kita saat ini.

Baca juga: Upaya Soeharto Mengklaim Pancasila dari Sukarno

Ultranasionalis Indonesia hari ini barangkali tak perlu lagi memakai baju seragam loreng dan menggengam bendera di tangan. Orang terdekat Anda bisa saja ultranasionalis yang Anda kira nasionalis. Bisa juga Anda mengira diri Anda nasionalis, padahal ultranasionalis. Ultranasionalisme adalah jalan emas menuju fasisme di mana kebenaran dianggap fitnah, keadilan dituding sebagai separatis, dan aparat bersenjata jadi teladan sikap cinta bangsa.

Hari ini kita dihadapkan pada dua pilihan: nasionalisme ala Livi Zheng yang penuh ilusi kerukunan dan keindahan; dan komitmen kemanusiaan Veronica Koman yang mengekspos betapa korup, rusak, dan menindasnya klaim-klaim nasionalisme Indonesia. Kita tahu persis nasionalisme semu yang pertama itu tak ada gunanya buat kemajuan dan keadaban Indonesia.

Setiap negara, pasti mempunyai yang namanya Ideologi atau sebuah paham. Didalam Ideologi tersebut, terdapat nilai-nilai luhur masyarakatnya, cita-cita dan harapan, dan juga gaya politik suatu bangsa atau negara. 

Idologi berasal dari kata idea, yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, ide-idea dasar, atau cita-cita dan logos yang berarti ilmu. Secara harfiah, ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang idea-idea (the science of ideas), atau ajaran tentang pengertian dasar. 

Secara leksikal ideologi diartikn sebagai suatu tubuh gagasan yang mencerminkan aspirasi dan kebutuhan sosial dari seorang individu, kelompok, kelas atau budaya. Atau sebagai suatu set doktrinisasi atau keperayaan yang membentuk kekuatan dari sebuah pandangan politik, ekonomi, atau sistem lainnya. 

Dalam pengertian lain, ideologi bisa diartikan sebuah doktrin, filosofi, tubuh kepercayaan atau prinsip yang dimiliki oleh seorang individu atau kelompok.

Fasisme dan Pancasila, merupakan dua ideologi yang sama-sama muncul di pertengahan abad-20 Masehi. Pancasila dan Fasisme, keduanya merupakan sebuah ideologi yang lahir dari sebuah kondisi tertentu. Dimana keduanya sama-sama lahir dari ketidak adilan dimasyarakatnya. Walaupun begitu, keduanya memiliki berbagai macam perbedaan, dan bahkan perbedaan itu sangat bertolak belakang satu dengan yang lainnya.

A. Fasisme

1. Sejarah Fasisme

a. Awal Pembentukan

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Fasisme adalah sebuah prinsip atau paham golongan nasionalis radikal yang bergaya pemerintah otoriter dan absolut. Menurut Ramlan Subkti, Fasisme bukan sebuah paham atau ideologi, melainkan sebuah gaya politik, dengan tipe nasionalisme yang romantis dengan segala kemegahan upacara dan simbol-simbol yang mendukungnya untuk mencapai kejayaan sebuah negara. 

Hal ini akan tercapai apabila ada seorang pemimpin kharismatik dan ditakuti sebagai simbol kebesaran negara yang didukung oleh masa rakyat yang radikal dan fanatik. 

Kata ‘Fasis’, pertama kali diperkenalkan oleh Benito Mussolini tahun 1919 Masehi. Kata Fasisme sendiri berasal dari bahasa Italia “Fascio” yang bersumber dari bahasa latin “Fasces”, yang berarti seikat kayu. Menurut tradisi dan budaya Romawi kuno, simbol seikat kayu melambangkan kekuatan, kekuatan disini memiliki arti suatu kekuatan berasal dari sebuah ikatan yang diikat oleh berbagai macam unsur yang menyatu. 

Bennito Mussolini lahir pada tahun 1883 Masehi, di Dovia di Predappio, Forli, Italia. Ayahnya bernama Alessandro, seorang pandai besi dan juga aktivis sosialis yang menghabiskan seluruh waktunya untuk politik. Ibunya, bernama Rosa ada yang mengatakan nama ibunya adalah Maltoni. Ibunya seorang guru sekolah Katolik yang religius. 

Benito muda, banyak belajar politik dari ayahnya yang berhaluan sosialis dan revolusioner. Pendidikan ayahnya, membentuk sosok Benito sebagai seorang yang tidak suka patuh pada aturan. Tak heran dirinya sering dikeluarkan dari sekolahnya, karena sering melawan peraturan sekolah.

Benito Mussolini, mengawali karir politiknya pada tahun 1902 Masehi di Swiss. Ketika Benitto, pergi ke Swiss untuk mempromosikan sosialisme dan dirinya dengan cepat mendapatkan reputasi berkat skill retorikanya yang luar biasa dan meledak-ledak. Kemampuannya dalam berpidato, mampu menggerakan para demonstran politik pada tahun 1904 Masehi. 

Pemerintah Swiss memandang jika kalau Benitto merupakan orang berbahaya, sehingga pemerintah Swiss memutuskan untuk mengusir Benitto dari Swiss. Benitto kemudian kembali ke Italia, dan melanjutkan agenda sosialisnya. Dirinya sempat dipenjara dan akhirnya dibebaskan. Setelah dibebaskan, dirinya menjadi editor koran organisasi Avanti. Disinilah, kararir politik Benitto mulai naik dan dirinya mendapatkan kembali pamornya.

Pada tahun 1915, Italia terjun kedalam Perang Dunia I. Benitto Mussolini merupakan salah satu politikus Italia yang mendukung terjadinya perang. Sikap Benitto Mussolini yang pro akan perang, membuat partai Avanti mengeluarkan dirinya dari partai. 

Pengeluaran Benitto dari partai, merubah dirinya yang asalnya pro akan Sosialis, menjadi yang kontra dengan Sosialis. Setelah perang, Mussolini banyak mengkritik Pemerintah Italia yang dianggap terlalu lemah terhadap musuh. 

Benitto kemudian mengkonsolidasikan kelompok sayap kanan yang menentang pemerintah Italia menjadi satu kesatuan, dan pada bulan Maret 1919, terbentuklah Partai Fasis dengan ideologi-nya Fasisme. Fasisme yang diproklamirkan oleh Benitto, menentang terhadap kelas sosial diskriminasi dan mendukung sentimen Nasionalis.

Ideologi yang berakar dari paham ultra-nasionalisme adalah

Benito Mussolini, Pencetus Pertama Konsep Fasisme /Sumber: www.britannica.com

b. Kebangkitan Fasisme 

Kepopuleran Fasisme meningkat tajam, ketika Adolf Hitler naik ke posisi Kanselir Jerman, pada tahun 1933 Masehi. Adolf Hitler pada saat itu merupakan, ketua partai yang berhaluan Fasisme, partai yang dipimpin oleh Adolf Hitler bernama Partai National Sozialische atau dikenal dengan Partai Nazi. 

Sama dengan partai Fasis yang dipimpin oleh Benito Mussolini, Partai Nazi memiliki tujuan menentang segala macam kelas sosial diskriminasi seperti kaum Borjuis dan Marxisme, dan sangat mendukung akan gerakan sentimen kebencian kepada etnis lainnya seperti orang Yahudi, Slav, dan Gipsy.

Ideologi Fasisme berada dipuncak kejayaannya, ketika Perang Dunia II berlangsung. Ideologi ini dengan cepat menyebar ke berbagai negara, seperti Jepang dan Spanyol. Bahkan kabarnya Fasisme tumbuh dan berkembang di Indonesia, walaupun keberadannya tidak sekuat tiga ideologi lainnya seperti Nasionalisme, Komunisme, dan Islamisme.

2. Nilai-Nilai Fasisme

a. Ultra-Nasionalisme

Ciri khusus dari Fasisme adalah Ultra-Nasionalis. Kata Ultra-Nasionalis berasal dari dua kata; Nasionalis dan Ultra. Nasionalis memiliki akar kata dari Nation (Bangsa). Bangsa adalah kumpulan manusia atau kelompok manusia yang memiliki sebuah budaya yang melekat dan dibangun di sebuah wilayah tempat manusia tinggal. Ben Anderson, seorang ilmuwan politik dari Universitas Cornell mengartikan Bangsa dengan pengertian yang cukup unik. 

Menurut Ben Anderson, bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan (imagined poltical community) dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat. 

Dari kedua pengertian tersebut. Bisa disimpulkan bahwa Nasionalis memiliki arti, berupa sikap seseorang atau sekelompok orang yang memperjuangkan dan membangkan bangsanya sendiri, mau itu berupa budaya, sistem sosial, dan paling ekstrimnya politik dan ideologi bangsanya. 

Jika digabungkan dengan kata Ultra (Teramat Sangat), maka pengertian dari Ultra Nasionalisme adalah sikap mencintai dan membanggakan bangsanya sendiri dengan berlebihan.

Para pemimpin Fasis pada umumnya memiliki rasa Nasionalisme yang tinggi. Di dunia ini negara yang pernah menganut faham Fasisme dan juga menerapkan konsep Ultra-Nasionalisme adalah Jerman dengan faham Libensraum, Italia dengan Irredenta, dan Jepang dengan Hakko I Chiu.

Kata Libensraum, jika diartikan secara harfiah berarti “Ruang Hidup”. Arti kata Libensraum jika ditafsirkan memiliki arti sebuah gerakan untuk memperluas wilayah kekuasaan atau menyatukan wilayah kekuasaan, untuk memenuhi kepentingan Nasional orang-orang Jerman, secara; fisik, politik, dan ekonomi. 

Perluasan atau penggabungan wilayah, biasanya memiliki alasan yang berbeda-beda; mau itu karena persamaan sejarah, ekonomi, dan kondisi geografis yang mendukung. Hitler menyebut Libensraum dengan Jermanisme. Alasan yang paling kuat yang dilontarkan oleh Hitler untuk melaksanakan misi Libensraum, adalah karena masalah tanah air. 

Misalnya masalah kekuasaan keluarga Habsburg yang memerintah di Austria. Menurut Hitler, bahwa sentimen nasional (Nasionalisme) tidak sama dengan patriotisme dinastik. Dengan kata lain, Adolf Hitler menginginkan adanya persatuan tanah air bangsa Jerman (Arya), bergabungnya Jerman-Austria. 

 Konsep Irredenta atau Iredentisme Italia adalah sebuah gerakan untuk menyatukan seluruh wilayah Italia, yang dianggap memiliki kesamaan budaya, bahasa, dan juga sejarah. Wilayah yang dimaksud adalah wilayah dari Kerajaan Italia tahun 1870, dan beberapa wilayah bagian Kekaisaran Austria-Hungaria yang mencangkup; Tyrol, Welschtirol dan Trento, Istria, Gorizia, Trieste, dan Dalmatia. Kemudian pemerintah Italia dibawah pimpinan Benito Mussolini juga mengklaim wilayah Nice, Savoy, Corsica, Malta, dan kanton Swiss Ticino. 

Secara dasar Hakko I Chiu hampir sama dengan kedua ideologi Ultra Nasionalisme yang telah dibahas sebelumnya; Jerman dan Italia. Hakko I Chiu adalah ideologi yang digunakan oleh Jepang untuk memperluas wilayah kekuasannya. Alasan Jepang memperluas wilayahnya adalah karena persaudaraan bangsa Asia. 

Orang-orang Asia merupakan saudara dekat orang Jepang, yang harus disatukan dibawah panji Kekaisaran Jepang. Ketika Jepang datang menjajah Indonesia, untuk meyakinkan rakyat Indonesia kalau Jepang bukanlah musuh yang harus diperangi. Pemerintah Jepang, menggunakan dalih bahwa Bangsa Jepang dan Indonesia adalah saudara, yang sama-sama membenci orang Eropa/Barat.

b. Rasisme dan Pengabaian HAM

Nilai Fasisme yang paling menonjol selain Ultra-Nasionalisme adalah rasisme dan pengabaian HAM. Rasisme dan pengabaian HAM terbesar yang pernah dilakukan oleh negara-negara Fasis, adalah Jerman ketika berada dibawah kekuasaan Nazi Jerman dengan pemimpinnya, Adolf Hitler.

Ideologi yang berakar dari paham ultra-nasionalisme adalah

Adolf Hitler, Pemimpin Partai Fasist Jerman (Nazi) /Sumber: www.historyextra.com

Sebagai seorang yang Ultra-Nasionalis, Adolf Hitler mendambangkan kejayaan Bangsa Jerman. Dilain sisi, dirinya melihat realitas ke terbalik, dengan harapannya. Bangsa Jerman banyak di percundangkan diberbagai tempat, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia I. Adolf Hitler, menuduh orang-orang Yahudilah dalang dari semua kekacauan, ketidak adilan, dan kekerasan terhadap orang Jerman dan seluruh dunia. Adolf Hitler juga, menuduh orang Yahudilah dalang dari kekalahan Jerman atas Perang Dunia I, dan berakhir pada perjanjian Versailes yang menurutnya sangat memalukan, untuk bangsa Jerman.

Kebencian Adolf Hitler terhadap Yahudi, sudah ada semenjak dirinya berusia sekitar 14 tahun atau 15 tahunan. Rasa benci ini terus semakin besar, setibanya Adolf Hitler di Kota Wina, Austria. Pada saat itu kota Viena, sekitar 2.000 orang penduduknya adalah Yahudi. Selama di kota Wina, Adolf banyak berkenalan dengan orang-orang yang memiliki pemikiran anti semit, seperti Dr. Karl Lueger dan Partai Sosialis Kristen. Selain itu juga, Adolf Hitler sering membaca koran anti-Semitik yang bernama Deutches Volksblatt. 

Setelah dirinya naik menjadi kanselir Jerman. Adolf Hitler menumpahkan semua kebenciannya selama di kota Wina, kepada orang-orang Yahudi, mau itu kaya ataupun miskin. Adolf Hitler dan Nazi, memulai praktik ideologi rasial-nya pada tahun 1933 Masehi. Selain karena kebencian Hitler terhadap orang Yahudi yang dia dapatkan selama di Wina, dirinya juga berpendapat bahwa orang Jerman asli lebih unggul secara ras (Ultra Nasionalis). Hitler dan Nazi, memandang rendah orang Yahudi, Gipsi, orang kulit hitam, dan orang-orang cacat sebagai ancaman biologis serius bagi orang Arya (Jerman).

Berbagai macam pelanggaran HAM, dilakukan selama Partai Nazi berkuasa. Praktek kekerasan dan pelanggaran HAM yang sering digunakan oleh Partai Nazi berupa; penyiksaan, penangkapan dan penahanan tahanan kedalam kamp tahanan (Diantara tahun 1933-1945, jumlah kamp tahanan Nazi sebanyak 20.000 buah), eksekusi tanpa pengadilan, pembantian, pemerkosaan, dan pembunuhan.  

Adolf Hitler tidak merasa dirinya berdosa karena telah melakukan semua genosida terhadap ras-ras yang dia benci, terutama orang Yahudi. Adolf Hitler menganggap dirinya telah melakukan kehendak suci yang diperintahkan Tuhan kepada dirinya, dan dirinya mengklaim bahwa telah memperjuangkan hasil karyanya (Bangsa Arya) dari orang Yahudi. 

Pelanggaran HAM, terhadap ras saja. Fasisme, sangat menentang adanya persamaan gender. Pemerintah Fasis lebih cenderung condong kepada ekslusifikasi laki-laki ketimbang perempuan. Pemahaman gender tradisional, seperti kaum laki-laki lebih tinggi dan kaum perempuan, diterapkan oleh orang-orang Fasis.

Sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Nazi Jerman terhadap Eropa. IR. Soekarno berkomentara mengenai Fasisme. IR. Seokarno mengatakan bahwa pandangan hidup Fasisme ialah bahwa manusia itu tidak diperbolehkan diberi Hak sama rata. Manusia selalu bertingkat-tingkat, yang satu meng atasi yang lain, yang satu menguasai kepada yang lain. Fasisme selalu mengedepankan bahwa bangsa harus “Mulia”, bangsa harus “Harum namanya”, bangsa harus “Besar dan Luhur”, meskipun manusia didalamnya sengsara.

c. Pemerintahan Diktator

Pemerintahan gaya Fasisme biasanya bersifat diktator. Dikator adalah satu cara pemerintahan yang semua keputusan dan tindakan pemerintahan, berpusat pada satu orang saja. Biasanya dalam pemerintahan yang diktator, rakyat ataupun seluruh pejabat (bawahan), tidak diberi kesempatan ikut serta dalam pengambilan keputusan atau tidak ikut serta dalam sebuah musyawarah mufakat. Rakyat dan Pejabat (Bawahan), hanya bisa mematuhi dan melaksanakan apa yang diperintah atasannya. Pemimpin benar-benar mengendalian negara secara penuh, mau itu dibidang militer, ekonomi, sosial, dan politik negara. 

Penyebutan pemimpin Fasis diberbagai negara, memiliki penyebutannya yang berbeda di setiap negaranya. Penyebutan itu diantara-lain adalah; Führer penyebutan pemimpin Fasis di Jerman, II-Duce penyebutan pemimpin Fasis di Italia, dan Tohokai penyebutan pemimpin Fasis di Jepang. Apapun penyebutan untuk para pemimpin Fasis, pada umumnya untuk naik ketampuk kepemimpinan, dirinya harus memainkan propaganda kepada masyarakat dan para pejabat pemerintahan. Propaganda itu bisa berupa sebuah indoktrinisasi, simbol-simbol, lagu dan slogan-slogan.

Para propaganda Fasis, memiliki misi untuk membujuk dan mengdokrin orang-orang agar menerima ajaranya. Propaganda dilakukan, biasanya melalui badan anggota pejuang yang telah dibenuk dari para pengikut yang telah menunjukan bukti kemampuan yang diperlukan dan kekuatan kehendak untuk membawa perjuangan menuju kemenangan (Ein Kampf, ein Wille, ein Ziel: Sieg um jeden Preis). Doktrin yang dipakai oleh para pemimpin Fasis seperti Benito Mussolini dan Adolf Hitler, adalah doktrin yang bersifat radikal dan mengadopsi sebuah kritikan tajam sebagai senjata. Doktrin ini sering dipakai, walaupun nantinya akan mendatangkan kebencian dan ketidak setujuan dari masyarakat bawahannya. 

Contoh doktrin yang dilakukan oleh para pemimpin Fasis dan masih melekat dalam benak masyarakat dunia adalah; Der Stürmer (Surat Kabar Propaganda Jerman) dan Hukum Nuremberg (Aturan Anti Semit pertama yang dikeluarkan tahun 1935), II Popolo d’Italia (Surat Kabar Propaganda Italia), dan Slogan 3A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia) yang dikeluarkan oleh Kekaisaran Jepang.

 

Ideologi yang berakar dari paham ultra-nasionalisme adalah

Koran Der Stürmer, Koran Propaganda Nazi Jerman  /Sumber: collections.ushmm.org

Tak hanya propaganda digunakan untuk mendokrtin masyarakat. Propaganda digunakan oleh para pemimpin Fasis, sebagai alat untuk memerangi musuh-musuh negara, seperti; kaum Sosialis dan Komunis (Sieg oder Bolschewismus), dan Liberal (Das Geschäft im Tod).

d. Fasisme dan Agama

Sama seperti ideologi yang lahir di abad 19 dan abad 20. Fasisme merupakan salah satu dari sekian banyak ideologi modern yang berlandaskan pada kebebasan berfikir Sekuler. Ajaran Sekuler, pertama kali dicetuskan oleh Marthin Luther, pada tanggal 31 Oktober 1517 Masehi. Menurut Marthin Luther, agama dan negara harus dipisahkan. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya semangat fanatik yang intoleran, dan juga untuk mengobati trauma yang ditimbulkan Perang-Perang Agama menginpirasi-nya apa yang disebut sebagai “Mitos Kekerasan Agama”. Adanya pemahaman Sekuler, membuat Bangsa Barat lebih mengedepankan akal logika ketimbang pemikiran teologi yang sering kali tidak masuk diakal. 

Walaupun Fasisme merupakan sebuah faham yang berakar pada Sekuler. Pada kenyataannya Fasisme tidak membatasi dirinya untuk memuliakan dan menjalankan ibadah Tuhan, atau sederhananya Fasisme telah ikut campur langsung dalam hal urusan Agama. Walaupun begitu, keikut campuran Fasis terhadap Agama secara ekslusif, bersifat politis dan bukan bersifat teologis. Akibatnya Fasisme, membangun sebuah kepercayaan, mitos, dan ritual sendiri, yang berpusat pada sakralisasi negara. 

Seperti yang diamati oleh Herman Finer. Menurutnya Fasisme memiliki moralitas sendiri, dimana Fasisme memiliki keilahian atau keyakinan ketuhanan sendiri, yang merupakan inspirasi moralitas Fasis, dan secara efektif membawa Fasis menjadi agama baru. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Herman Finner. Yuval Noah Harari, dalam bukunya berjudul Sapiens, mengatakan bahwa Fasisme, Komunisme, Kapitalisme, Liberalisme, dan ideologi lainnya yang lahir diera Modern merupakan sebuah agama baru. Namun mereka lebih suka dibilang ideologi, ketimbang Agama.

B. Pancasila

1. Sejarah Pancasila

Secara Etimologis, kata Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta, yang memiliki 2 kalimat perangkainya; Panca (Lima) dan Sila (Dasar). Lebih jauh lagi, istilah Sila, juga bisa memiliki arti sebagai aturan yang mengilhami sebuah perilaku seseorang atau bangsa, mau itu kelakukan atau perbuatan yang menurut adab (Sopan Santun). Dari kedua kata ini bisa disimpulkan bahwa secara etimologis, Pancasila memiliki arti Lima Dasar, atau bisa diartikan sebagai Lima Dasar Negara Republik Indonesia. 

Kata Pancasila sendiri sudah ada, jauh sebelum Negara Republik Indonesia lahir, lebih tepatnya ketika masa Kerajaan Majapahit berdiri. Kata Pancasila dapat ditemui didalam Kitab Negarakertagama (Pupuh 43 Bait II), karya Mpu Prapanca. Selain didalam Negarakertagama, kata Pancasila terdapat di dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Dalam buku Sutasoma, karangan Mpu Tantular, istilah Pancasila memiliki arti “Batu Sendi yang Lima”, pelaksanaan kesusilaan yang lima; tidak boleh mencuri, tidak boleh berjiwa dengki, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mabuk atau meminum minuman keras. 

 

Ideologi yang berakar dari paham ultra-nasionalisme adalah

Lontar Negarakertagama /Sumber: www.goodnewsfromindonesia.id

Keberadaan Pancasila, perlahan mulai memudar, seiring dengan hancurnya Kerajaan Majapahit hingga masa Penjajahan Belanda dan Fasis Jepang. Pancasila kembali didengungkan ke permukaan, pada tanggal 1 Juni 1945, di depan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaaan Indonesia) oleh Soekarno. Bedanya disini Pancasila bukanlah 5 sila yang berdasarkan pada kepercayaan Hindu-Budha seperti yang diterangkan di dalam Kitab Negarakertagama dan Kitab Sutasoma, melainkan Pancasila sebagai dasar negara (ideologi).

Sehari setelah Indonesia merdeka, atau pada tanggal 18 Agustus 1945. Diadakan sebuah pertemuan untuk merumuskan dasar ideologi bangsa dan negara, Pancasila serta konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Dihari yang sama Pancasila kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaaan Indonesia (PPKI), yang juga bersamaan dengan disahkannya UUD 1945. Mulai dari sanalah secara resmi, Pancasila digunakan sebagai dasar negara di Indonesia. 

2. Nilai-Nilai Pancasila

a. Ketuhanan 

Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, mengisyaratkan bahwa Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateish apalagi sekuler. Dengan kata lain,  dalam negara yang berdasarkan Pancasila dengan salah satu nilainya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan agama tidak dapat dipisahkan sama sekali. Melainkan justru agama mendapatkan legitimasi filosofi, yuridis, dan politis dalam negara, hal ini sebagaimana terkandung juga di dalam Pembukaan UUD 1945[25]. Selain itu juga, dalam ideologi Pancasila mengandung budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita kemanusiaan sebagai mahluk Tuhan, dengan segala hak dan kewajibannya.

b. Kemanusiaan

Didalam ideologi Pancasila, terdapat nilai kemanusiaan, yang tercermin didalam point sila Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, telah tersimpul cita-cita kemanusiaan yang lengkap, yang adil dan beradab memenuhi seluruh hakikat manusia. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab adalah salah satu bagian dari keluhuran budi manusia Indonesia. Dengan adanya kemanusiaan yang adil dan beradab, maka secara otomatis, setiap warga negara mempunyai kewajiban dan hak-hak yang sama, tanpa memandang darimana dia berada, dari SARA apa dia datang. Semuanya dilindungi dan dijamin haknya oleh negara.  

Pernyataan perlindungan dan penjaminan HAM, secara tersirat dan tersurat terdapat di dalam bunyi untuk menentukan nilai dasar Pancasila yang juga diterjemahkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea empat. Tujuan dan jenis pelindungan HAM oleh negara, dijbarkan didalam UUD, pasal 27 sampai pasal 34.

Menurut Rosevelt. HAM terbagi menjadi empat jenis kebebasan:

  • Kebebasan Untuk Berpendapat dan Berbicara (Freedom of Speech)
  •  
  • Kebebasan Beragama (Freedom of Religie)
  •  
  • Kebebasan Dari Rasa Takut (Freedom of  from Fear)
  •  
  • Kebebasan dari Kemiskinan (Freedom from Want).

c. Persatuan

 Nilai Persatuan Indonesia, memiliki arti bahwa persatuan merupakan kompenen utama dan terpenting untuk Indonesia, karena tanpa adanya persatuan, Indonesia tidak akan terjalin dengan baik. Maka dari itu, Indonesia harus tetap bersatu meski berbeda-beda dalam hal SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Walaupun Indonesia dihuni oleh banyak sekali perbedaan diantara masyarakatnya, pada intinya semuanya adalah bangsa Indonesia. 

d. Kerakyatan

Bangsa Indonesia berkomitmen untuk menjunjung tinggi demokrasi kerakyatan, yang sebagaimana tercermin dalam sila ke empat yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawarahaan Perwakilan. Demokrasi Kerakyatan yang diterapkan di Indonesia, berupa sistem demokrasi yang secara praktiknya dipegang oleh rakyat. Menurut Soekarno, rakyatlah yang memegang pemerintahan, rakyatlah yang membuat undang-undang dan keputusan, rakyatlah yang menentukan segala tindakan-tindakan yang diperlukan.  Seluruh kekayaan dan hasil produksi semata-sama dinikmati untuk rakyat sendiri. 

e. Keadilan Sosial

Point sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, memiliki arti bahwa bangsa Indonesia melalui ideologi Pancasila, berkomitmen untuk mengatasi berbagai macam kemiskinan dan diskriminasi terhadap SARA minoritas. Hal ini secara tersurat, terdapat didalam UUD 1945, pasal 28 H, pasal 33, dan pasal 34. Ketiga UUD tersebut, mengharuskan pemerintah dan segenap bangsa Indonesia untuk mencegah dan menanggulangi kemiskinan.

C. Perbedaan Fasisme dan Pancasila

1. Jenis Ideologi

Frans Magnis Suseno, mengartikan sebuah ideologi sebagai suatu sistem pemikiran yang terbagi menjadi dua klasifikasi; ideologi terbuka dan ideologi tertutup.

a. Ideologi Tertutup

Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan normanorma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai suatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai atau prinsip moral yang lainnya. Isi dari ideologi ini adalah dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentorelir pandangan dunia atau nilai lainnya. 

Ideologinya tidak bersumber dari masyarakat melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Dengan kata lain sebuah ideologi tertutup, harus dipaksakan berlaku dan dipatahui masyarakat oleh elit tertentu, yang bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara otoriter dan keras. 

Jika melihat ciri-ciri dari Ideologi Tertutup diatas, bisa disimpulkan bahwa Fasisme termasuk kedalam Ideologi Tertutup. Ideologi Fasisme sebenarnya bukan berasal dari pemikiran masyarakatnya. Kehadirannya, karena pemikiran para elit-elitnya, seperti; Adolf Hitler, Benito Mussolini, Hideki Tojo, dam Franco. Mereka memaksakan pemahaman mereka secara radikal kepada masyarakatnya, dengan cara propaganda dan tindakan cuci otak lainnya. Selain itu juga, Ideologi Fasisme merupakan ideologi yang kaku. Dimana tidak ada siapapun yang bisa menentang kekuasaan Fasisme, dimana pemimpinnya begitu disakralkan dan bahkan Soekarno memandang para pemimpin Fasis didewakan oleh rakyatnya. Walaupun banyak dari rakyatnya sendiri yang tidak setuju dengan pandangan pemimpin mereka.

 b. Ideologi Terbuka

Beda halnya dengan ideologi tertutup yang isinya berupa dogmatis dan apriori. Ideologi terbuka berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Oprasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan kata lain, ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melagitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis. Sitem Demokratis didalamnya mengandung kebebasan, kerjasama politik, dan pluralisme.

Pancasila merupakan bagian dari Ideologi terbuka. Ada beberapa ciri yang menunjukan Pancasila termasuk kedalam Ideologi Terbuka. Ciri dari Pancasila sebagai Ideologi Terbuka adalah:

  • Cita-cita, nilai yang ada dalam Pancasila bukan dipaksa dari luar, tetapi digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral, dan budaya Masyarakat Indonesia sendiri.
  • Tidak diciptakan oleh negara, tetapi digali ditemukan oleh masyarakat sendiri. Oleh sebab itu Pancasila merupakan milik seluruh rakyat.
  • Bukan diambil dari keyakinan ideologi sekelompok orang orang, tetapi merupakan hasil musyawarah, konsesus dari masyarakat itu sendiri.
  • Ideologi terbuka bukan dibenarkan tetapi dia di butuhkan.
  • Tidak operasional, tetapi diopresionalkan melalui seperangkat konstitusi, dan perundang-undangan lainnya. Oleh sebab itu ideologi terbuka, seperti yang dikembangkan di Indonesia, senantiasa terbuka untuk peroses reformasi dalam bidang kenegaraan. Ideologi terbuka cenderung berasal dari rakyat.
  • Pancasila sebagai ideologi terbuka, senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan aspirasi, pemikiran akselerasi dari masyarakat, dalam mewujudkan cita-citanya untuk hidup berbangsa dan bernegara, dalam mencapai harkat martabat manusia.
  • Dari sini bisa terlihat perbedaan antara Pancasila dan Fasisme. Dimana Pancasila merupakan ideologi terbuka yang ideologinya berasal dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Sedangkan Fasisme termasuk kedalam ideologi tertutup, yang merupakan hasil dari pemikiran para elit, bukan merupakan hasil dari pemikiran rakyatnya sendiri.

2. Nilai-Nilai Ideologi

Dari penjelasan mengenai nilai-nilai dari masing-masing ideologi, mau itu ideologi Fasisme ataupun Pancasila. Dari nilai-nilai keduanya, bisa dilihat perbedaan diantara kedua ideologi ini. Berikut perbedaan keduanya, berdasarkan ideologi-nya:

a. Ketuhanan

Pada dasarnya Fasisme adalah sebuah ideologi baru jika merujuk dengan apa yang dikatakan oleh Yuval Noah Harrari. Alasannya, dalam faham Fasisme  memiliki moralitas sendiri, dimana Fasisme memiliki keilahian atau keyakinan ketuhanan sendiri, yang merupakan inspirasi moralitas Fasis, dan secara efektif membawa Fasis menjadi agama baru.

Tak hanya itu. Fasisme menggunakan agama bukan sebagai sebuah keyakinan yang bersifat rohani, melainkan Fasisme menggunakan agama sebagai alat politik mereka. Seperti yang dilakukan oleh Adolf Hitler kepada orang-orang Yahudi. Dalam Mein Kampf, dirinya menggunakan alasan tugas suci dari Tuhan sebagai dalih pembantaian masal orang-orang Yahudi. Contoh lain adalah Jepang di Indonesia. Jepang mendirikan partai Masyumi yang berhaluan Islam, pada tanggal 24 Oktober 1943. Alasan pembentukan Masyumi, karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia, yang nantinya akan membantu Jepang dalam upaya Perang Asia Timur Raya. 

Sementara Pancasila, tidak menjadikan agama sebagai alat politik, malah sangat menghormati dan melindungi Agama didalamnya (UUD 194, Pasal 28E), walaupun di Indonesia sendiri terdapat banyak Agama (Islam, Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu). Pancasila juga bukan sebuah agama baru seperti Fasisme.

b. Kemanusiaan

Di dalam Undang-Udang Dasar 1945, yang merupakan penjabaran dari nilai Pancasila. Disana dengan jelas, bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) setiap warga negaranya, dan bahkan negara menjamin perlindungan terhadapnya.

HAM (Hak Asasi Manusia), menurut Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998[35], meliputi:

  • Hak untuk Hidup (Pasal 28A)
  • Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan (Pasal 28 B)
  • Hak Mengembangkan Diri (Pasal 28C)
  • Hak Keadilan (Pasal 28 D)
  • Hak Kemerdekaan
  • Hak atas Kebebasan Informasi (Pasal 28 F)
  • Hak Keamanan (Pasal 28 G)
  • Hak Kesejahteraan
  • Hak Perlindungan dan Kemajuan

Hal ini berbanding terbalik dengan yang ada pada Fasisme. Fasisme melegalkan adanya kebijakan politik rasisme, intimidasi Agama, dan bhakan melegalkan adanya kekerasan (Eksekusi, pembantaian, pemerkosaan, dan pembunuhan) untuk memecahkan masalah dan menyama ratakan perbedaan di dalamnya.

 

Ideologi yang berakar dari paham ultra-nasionalisme adalah

Peristiwa Hollocaust  merupakan salah satu dari sekian banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Penggiat Fasism/Sumber: https://nationalgeographic.

c. Persatuan

Di dalam Fasisme, hanya ada 1 ras atau etnis yang berkuasa dan superior diantara ras-ras lainnya di dunia. Seperti gagasan rasisme yang dikeluarkan oleh Nazi, dimana Ras Arya merupakan ras yang paling superior. Atau rasisme yang dicetuskan oleh Jepang, dengan gagasan penyatuan seluruh negara dari bangsa Asia. Fasisme mengenal adanya semangat Ultra-Nasionalisme, dimana memandang bangsa sendiri sebagai bangsa yang unggul, dan memandang rendah bangsa diluarnya.

Berbeda dengan Pancasila, yang menganggap bahwa semua ras dan suku bangsa adalah sama. Tidak ada yang dianggap superior atau lemah. Semuanya sama dihadapan negara dan sama-sama berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-Beda Tetapi Tetap Satu Jua).

d. Kerakyatan

Pemerintahan yang berlandaskan pada Ideologi Fasisme, menerapkan pola pemerintahan yang otoriter dan diktator. Didalam pemerintahan yang diktator, posisi pemimpin merupakan suatu hal yang absolut dan sakral, dimana setiap keputusan nya harus dipatuhi oleh segenap rakyat. Didalam Fasisme tidak mengenal adanya mufakat, musyawarat, dan juga perundingan dengan utusan rakyat; semuanya terpaku pada satu orang saja. Jika melawan, maka akan segera dibersihkan dan dipersekusi oleh pemerintah.

Kebalikan dari Fasisme. Pancasila sangat mengedepankan adanya mufakat, musyawarat, dan juga perundingan dengan utusan rakyat. Pemerintahan dijalankan sepenuhnya oleh rakyat itu sendiri, mulai dari memilih pemimpin hingga menentukan Undang-Undang.

e. Keadilan Sosial

Di dalam Fasisme, keadilan sosial tidak diminati oleh seluruh rakyatnya. Keadilan sosial hanya diminati oleh segelintir orang, ras, dan suku bangsa. Seperti Bangsa Arya yang dengan mudah mendapat pendidikan, perlindungan keamanan, kelancaran berbisnis dan lainnya. Beda halnya dengan orang-orang Gypsi dan Yahudi, yang harus menghadapi pencekalan dari pemerintah Fasis yang Ultra-Nasionalis. Beda halnya dengan Pancasila. Seluruh rakyat, mendapat keadilan yang sama tanpa memandang SARA mereka. Semuanya mendapat jaminan keamanan, pendidikan, sosial dan ekonomi, dan lainnya; dari negara.

DAFTAR PUSTAKA

  • Abrahamsson, C. (2013). On the genealogy of lebensraum. Geographica Helvetica, 68(1), 37–44. https://doi.org/10.5194/gh-68-37-2013
  • Armstrong, K., Esposito, J. L., Mujahid, I. A. M., & dkk. (2018). Islamofobia (Melacak Akar Ketakutan terhadap Islam di Dunia Barat) (I. DS, Ed.; I). PT. Mizan Pustaka.
  • Bremberg, N. (2010). Wither Europa Irredenta? Norms in International Politics. International Studies Review, 12, 476–478. http://about.jstor.org/terms
  • Budiyono. (2014). Hubungan Negara dan Agama dalam Negara Pancasila. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 8(3).
  • Gentila, E. (1990). Fascism and Political Religion. Jurnal of Cotemporary History, 25(2).
  • Gentile, G., & Mussolini, B. (1933). The Doctrine of Fasicm. Vallechi.
  • Harrari, Y. N. (2019). Sapiens (A. Primanda, Ed.). KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
  • Hitler, A. (2008a). Mein Kampf (F. Aning & A. Yogaswara, Eds.; Vol. 2). Penerbit Narasi.
  • Hitler, A. (2008b). Mein Kampf. PT. Buku Kita.
  • Huwaydi, F. (1996). Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani (T. Anis & M. A. Ghoffar, Eds.). Penerbit Mizan.
  • Inter Parliamentery Union. (2016). Human rights.
  • Kaderi, A. (2015). Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi (Novian Iqbal & A. Istiadi, Eds.). Antasari Press.
  • Maimun. (n.d.). MEREDAM IDEOLOGI RADIKAL DI INDONESIA MELALUI PRAKTIK KETELADANAN NILAI PANCASILA. Jurnal Administrasi Negara, 3(2), 26–33.
  • Malaka, T. (2019). Aksi Masa. PT. Buku Seru.
  • Montreal Holocaus Museum. (2018). HOLOCAUST (A Reference Tool) (Will Fabian & Kina, Eds.). Montreal Holocaus Museum.
  • Setialaksana, N., Saputra, K. A., & Gustaman, R. F. (2019). Pendidikan Pancasila. Media Priangan Abadi Publishing House.
  • Soekarno. (2019). Dibawah Bendera Revolusi. Yayasan Bung Karno dan PT. Media Pressindo.
  • Stewart, H. L. (1937). THE AUTOBIOGRAPHY OF MUSSOLINI. Dalhouse Journal, 17(3).
  • Stout, M. J. (2011). The effectiveness of Nazi propaganda during World War II. http://commons.emich.edu/theses/314
  • Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
  • Suryanegara, A. M. (2018). Api Sejarah : Vol. II (N. Kurniawati, Ed.). CV. Tria Pratama.
  • Teshima, T. (2006). MYTHS OF HAKKŌ ICHIU: NATIONALISM, LIMINALITY, AND GENDER.
  • Tim Pusdiklat Pengembangan Sumberdaya Manusia. (2018). Pancasila.
  • Veal, R. J. (2017). Environment to Economy of Ancient Campania 500 BC to AD 500 View project Reflectance testing of archaeological charcoals View project. Entretiens, 63(8). https://doi.org/10.17863/CAM.13218


Ideologi yang berakar dari paham ultra-nasionalisme adalah

Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya