Brilio.net - Chairil Anwar merupakan satu di antara penyair ternama di Indonesia. Di kalangan para pencinta karya sastra, nama Chairil Anwar tentunya cukup populer. Chairil Anwar dianggap sebagai penyair angkatan 45. BACA JUGA : Puisi karya Chairil Anwar memiliki banyak tema, mulai dari percintaan, individualisme, eksistensialisme, hingga kematian. Karya-karya Chairil tersebut kemudian dikompilasikan dalam tiga buku, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir yang merupakan kumpulan puisi bersama Asrul Sani dan Rivai Apin (1950). Puisi-puisi karya Chairil Anwar pun memiliki banyak makna yang disusun dari kata-kata puitis. Kamu, bisa menggunakan puisi karya Chairil Anwar ini untuk merayu seorang wanita, ataupun sekadar untuk tugas sekolah atau kuliah. Berikut 35 teks puisi Chairil Anwar, dirangkum brilio.net dari berbagai sumber pada Sabtu (3/12). BACA JUGA : foto: Instagram/@solusibuku.com 1. Aku. Kalau sampai waktuku‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan ituAku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Luka dan bisa kubawa berlariBerlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak peduli 2. Sia-Sia. Penghabisan kali itu kau datangMembawaku karangan kembangMawar merah dan melati putih:Darah dan suciKau tebarkan depanku Serta pandang yang memastikan: Untukmu. Sudah itu kita sama termanguSaling bertanya: Apakah ini? Cinta? Keduanya tak mengerti. Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri. Ah! Hatiku yang tak mau memberi 3. Sendiri. Hidupnya tambah sepi, tambah hampaMalam apa lagiIa memekik ngeri Dicekik kesunyian kamarnya Ia membenci. Dirinya dari segalaYang minta perempuan untuk kawannyaBahaya dari tiap sudut. Mendekat juga Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu? 4. Tak sepadan. Aku kira,Beginilah nanti jadinyaKau kawin, beranak dan berbahagia Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros. Dikutuk sumpahi ErosAku merangkaki dinding buta Tak satu juga pintu terbuka. Jadi baik juga kita padamiUnggunan api iniKarena kau tidak ‘kan apa apa Aku terpanggang tinggal rangka. 5. Krawang-Bekasi. Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, Kami bicara padamu dalam hening di malam sepiJika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa Kami cuma tulang-tulang berserakan Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa, Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Kenang, kenanglah kamiTeruskan, teruskan jiwa kamiMenjaga Bung KarnoMenjaga Bung Hatta Menjaga Bung Sjahrir Kami sekarang mayatBerikan kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang, kenanglah kamiYang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi. 5. Penghidupan. Lautan maha dalamMukul dentur selama Nguji tenaga pematang kita Mukul dentur selamaHingga hancur remuk redam Kurnia BahagiaKecil setumpuk Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk. 6. Nisan. Untuk nenekanda, Bukan kematian benar menusuk kalbuKeridlaanmu menerima segala tibaTak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertakhta. 7. Ajakan. IdaMenembus sudah cayaUdara tebal kabutKaca hitam lumutPecah pencar sekarangDi ruang legah lapangMari ria lagiTujuh belas tahun kembaliBersepeda sama gandengan Kita jalani ini jalan Ria bahgiaTak acuh apa-apaGembira girangBiar hujan datangKita mandi-basahkan diri Tahu pasti sebentar kering lagi. 8. Pelarian. I Tak tertahan lagi Dalam lari Hancur-luluh sepi seketika II Dari kelam ke malamTertawa-meringis malam menerimanyaIni batu baru tercampung dalam gelita“Mau apa? Rayu dan pelupa,Aku ada! Pilih saja!Bujuk dibeli?Atau sungai sunyi?Mari! Mari! Turut saja!” Tak kuasa …terengkam 9. Suara Malam. Dunia badai dan topanManusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”*Jadi ke manaUntuk damai dan reda?Mati.Barang kali ini diam kaku sajaDengan ketenangan selama bersatuMengatasi suka dan dukaKekebalan terhadap debu dan nafsu.Berbaring tak sedarSeperti kapal pecah di dasar lautanJemu dipukul ombak besar.Atau ini.Peleburan dalam Tiada dan sekali akan menghadap cahaya. Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.Aku sudah melewati batas. Kembali? Pintu tertutup dengan keras. 10. Hukum. Saban sore ia lalu depan rumahku Seorang jerih memikul. Bungkuk jalannya – Lesu Orang menyebut satu nama jaya Melecut supaya terus ini padanya Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga Pekik di angkasa: Perwira muda Nanti, kau dinanti-dimengerti! 11. Taman. Taman punya kita berduaTak lebar luas, kecil saja Satu tak kehilangan lain dalamnya. Bagi kau dan aku cukuplahTaman kembangnya tak berpuluh warnaPadang rumputnya tak berbanding permadaniHalus lembut dipijak kaki. Bagi kita bukan halangan. KarenaDalam taman punya berduaKau kembang, aku kumbangAku kumbang, kau kembang.Kecil, penuh surya taman kita Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia. 12. Lagu Biasa. Di teras rumah makan kami kini berhadapanBaru berkenalan. Cuma berpandangan Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam Masih saja berpandanganDalam lakon pertama Orkes meningkah dengan “Carmen” pula. Ia mengerling. Ia ketawa Dan rumput kering terus menyalaIa berkata. Suaranya nyaring tinggi Darahku terhenti berlari Ketika orkes memulai “Ave Maria” 13. Kesabaran. Aku tak bisa tidurOrang ngomong, anjing nggonggongDunia jauh mengaburKelam mendinding batuDihantam suara bertalu-talu Di sebelahnya api dan abu Aku hendak berbicaraSuaraku hilang, tenaga terbangSudah! tidak jadi apa-apa! Ini dunia enggan disapa, ambil perduli Keras membeku air kali Kuulangi yang dulu kembaliSambil bertutup telinga, berpicing mata Menunggu reda yang mesti tiba 14. Kenangan. Untuk Karinah Moordjono, KadangDi antara jeriji itu itu sajaMereksmi memberi warnaBenda usang dilupaAh! tercebar rasanya diriMembubung tinggi atas kiniSejenakSaja. Halus rapuh ini jalinan kenangHancur hilang belum dipegangTerhentakKembali di itu itu sajaJiwa bertanya; Dari buahHidup kan banyakan jatuh ke tanah? Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia. 15. Rumahku. Rumahku dari unggun-timbun sajak Kulari dari gedong lebar halaman Kemah kudirikan ketika senjakala Rumahku dari unggun-timbun sajak Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang Biar berleleran kata manis madu Jika menagih yang satu. Contoh teks puisi Chairil Anwar penuh makna.foto: bukuisme 16. Kesabaran. Aku tak bisa tidurOrang ngomong, anjing nggonggongDunia jauh mengaburKelam mendinding batuDihantam suara bertalu-talu Di sebelahnya api dan abu Aku hendak berbicaraSuaraku hilang, tenaga terbangSudah! tidak jadi apa-apa! Ini dunia enggan disapa, ambil perduli Keras membeku air kali Kuulangi yang dulu kembaliSambil bertutup telinga, berpicing mata Menunggu reda yang mesti tiba 17. Kawanku dan Aku. Kepada L.K. Bohang, Kami jalan sama. Sudah larutMenembus kabut. Hujan mengucur badan. Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan. Siapa berkata? Kawanku hanya rangka saja Dia bertanya jam berapa! Sudah larut sekaliHingga hilang segala makna Dan gerak tak punya arti. 18. Bercerai. Kita musti bercerai Terlalu kita minta pada malam ini. Benar belum puas serah-menyerah Terlalu kita minta pada malam ini. Kita musti bercerai Dua benua bakal bentur-membentur. Bagaimana?Kalau IDA, mau turut mengabur Tidak samudra caya tempatmu menghambur. 19. Cerita. Kepada Darmawidjaya, Di pasar baru mereka Mengikat sudah kesal Jiwa satu teman lucu Gundul diselimuti tebal Tapi kadang pula dapat 20. Selamat Tinggal. Perempuan... Aku berkacaIni muka penuh luka Siapa punya? Kudengar seru menderu– dalam hatiku? – Apa hanya angin lalu? Lagu lain pula Ah…!! Segala menebal, segala mengental Selamat tinggal…!!! 21. Dendam. Berdiri tersentak Aku tegak Tangan meraba ke bawah bantalku Bulan bersinar sedikit tak nampak Aku mencari Aku mencari Bulan bersinar sedikit tak tampak. 22. Merdeka. Aku mau bebas dari segalaMerdeka Juga dari Ida PernahAku percaya pada sumpah dan cintaMenjadi sumsum dan darah Seharian kukunyah kumamah Sedang meradangSegala kurenggut Ikut bayang Tapi kiniHidupku terlalu tenangSelama tidak antara badai Kalah menang Ah! Jiwa yang menggapai-gapaiMengapa kalau beranjak dari sini Kucoba dalam mati. 23. Doa. Kepada pemeluk teguh, TuhankuDalam termangu Aku masih menyebut nama-Mu Biar susah sungguh mengingat Cahaya-Mu panas suci Tuhanku Aku hilang bentuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing TuhankuDi pintu-Mu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling. 24. Sajak Putih. Bersandar pada tari warna pelangiKau depanku bertudung sutra senjaDi hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tibaMeriak muka air kolam jiwaDan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbukaSelama matamu bagiku menengadahSelama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah. 25. Dalan Kereta. Dalam kereta. Semarang, Solo…, makin dekat saja Menguak purnama.Caya menyayat mulut dan mata. Menjengking kereta. Menjengking jiwa, Sayatan terus ke dada. 26. Malam. Mulai kelambelum buntu malam, kami masih saja berjaga Thermopylae?Jagal tidak dikenal?Tapi nantiSebelum siang membentang Kami sudah tenggelam hilang 27. Sebuah Kamar. Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia.Bulan yang menyinar ke dalamMau lebih banyak tahu.“Sudah lima anak bernyawa di sini, Aku salah satu!” Ibuku tertidur dalam tersedu,Keramaian penjara sepi selalu,Bapakku sendiri terbaring jemu Matanya menatap orang tersalib di batu! Sekeliling dunia bunuh diri!Aku minta adik lagi padaIbu dan bapakku, karena mereka beradadi luar hitungan: Kamar begini, 3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa! 28. Kabar Dari Laut. Aku memang benar tolol ketika itu,Mau pula membikin hubungan dengan kau;Lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu, Berujuk kembali dengan tujuan biru. Di tubuhku ada luka sekarang,Bertambah lebar juga, mengeluar darah,Di bekas dulu kau cium napsu dan garang; Lagi aku pun sangat lemah serta menyerah. Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang. Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang. Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,Atau di antara mereka juga terdampar, Burung mati pagi hari di sisi sangkar? 29. Cintaku Jauh Di Pulau. Cintaku jauh di pulau, Perahu melancar, bulan memancar,Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.Angin membantu, laut terang, tapi terasa Aku tidak ‘kan sampai padanya. Di air yang tenang, di angin mendayu,Di perasaan penghabisan segala melajuAjal bertakhta, sambil berkata: “Tujukan perahu ke pangkuanku saja.” Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!Perahu yang bersama ‘kan merapuh!Mengapa ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau, 30. Situasi. Tidak perempuan! yang hidup dalam diriMasih lincah mengelak dari pelukanmu gemas gelap,Bersikeras mencari kehijauan laut lain,Dan berada lagi di kapal dulu bertemu,Berlepas kemudi pada angin,Mata terpikat pada bintang yang menanti.Sesuatu yang mengepak kembali menandungkanTai Po dan rahasia laut AmbonBegitulah perempuan! Hanya suatu garis kaburBisa dituliskan Dengan pelarian kebuntuan senyuman. 31. Kepada Kawan. Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat,mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat, selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa, belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,layar merah terkibar hilang dalam kelam,kawan, mari kita putuskan kini di sini: Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri! JadiIsi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,Tembus jelajah dunia ini dan balikkanPeluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,Jangan tambatkan pada siang dan malamDanHancurkan lagi apa yang kau perbuat,Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.Tidak minta ampun atas segala dosa,Tidak memberi pamit pada siapa saja!Jadimari kita putuskan sekali lagi:Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,Sekali lagi kawan, sebaris lagi:Tikamkan pedangmu hingga ke hulu Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!! 32. Sudah Dulu Lagi. Sudah dulu lagi terjadi beginiJari tidak bakal teranjak dari petikan bedilJangan tanya mengapa jari cari tempat di siniAku tidak tahu tanggal serta alasan lagiDan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang penghabisanYang akan terima pusaka: kedamaian antara runtuhan menaraSudah dulu lagi, sudah dulu lagi Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil. 33. Selama Bulan Menyinari Dadanya. Selama bulan menyinari dadanya jadi pualamRanjang padang putih tiada batasSepilah panggil panggilanAntara aku dan mereka yang bertolakAku bukan lagi si cilik tidak tahu jalanDi hadapan berpuluh lorong dan gang menimbang:Ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”Selama bulan menyinari dadanya jadi pualamRanjang padang putih tiada batasSepilah panggil panggilanAntara aku dan mereka yang bertolakJuga ibuku yang berjanji Tidak meninggalkan sekoci. Lihatlah cinta jingga luntur:Dan aku yang pilihTinjauan mengabur, daun daun sekitar gugurRumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggiPada jendela kaca tiada bayang datang mengambangGundu, gasing, kuda kudaan, kapal kapalan di zaman kanak,Lihatlah cinta jingga luntur:Kalau datang nanti topan ajaibMenggulingkan gundu, memutarkan gasingMemacu kuda kudaan, menghembus kapal kapalan Aku sudah lebih dulu kaku. 34. Aku Berkisar Antara Mereka. Aku berkisar antara mereka sejak terpaksaBertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata merekaPergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:Kenyataan-kenyataan yang didapatnya.(bioskop Capitol putar film Amerika, lagu-lagu baru irama mereka berdansa) Kami pulang tidak kena apa-apaSungguhpun Ajal macam rupa jadi tetanggaTerkumpul di halte, kami tunggu trem dari kotaYang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji jugaSandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,Sedang tahun gempita terus berkata. Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota. Ah hati mati dalam malam ada doaBagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta merekaSemoga segala sypilis dan segala kusta(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersamaTerimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku pula. 35. Derai-Derai Cemara. Cemara menderai sampai jauhTerasa hari akan jadi malamAda beberapa dahan di tingkap merapuh Dipukul angin yang terpendam Aku sekarang orangnya bisa tahanSudah berapa waktu bukan kanak lagiTapi dulu memang ada suatu bahan Yang bukan dasar perhitungan kini Hidup hanya menunda kekalahanTambah terasing dari cinta sekolah rendahDan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan Sebelum pada akhirnya kita menyerah. |