Asshiddiqie, Jimly. 2008. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK RI, Eddyono, Luthfi Widagdo Eddyono. 2013. Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: Insignia Strat. Fulthoni, Luthfi Widagdo Eddyono, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku X, Perubahan UUD, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta (2008). Jimly Asshiddiqie, “The Role of Constitutional Courts In The Promotion of Universal Peace and Civilization Dialogues Among Nations”, paper was presented in the International Symposium on “the Role of Constitutional Courts on Universal Peace and Meeting of Civilizations”, Ankara, April 25, 2007. Janedjri M. Gaffar, “Pancasila dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara”, makalah disampaikan pada kegiatan “Sosialisasi Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan wilayah Sulawesi Selatan”, Makassar, Senin, 19 September 2016. Luthfi Widagdo Eddyono, “The Unamendable Articles of the 1945 Constitution”, Constitutional Review, Vol 2, No 2 (2016). Luthfi Widagdo Eddyono, "Norma Konstitusi yang Tidak Dapat Diubah", Majalah Konstitusi, Maret 2016. Page 2
Jurnal Konstitusi Indexed By:
Jakarta - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) pada 18 Agustus 2021, yang merupakan Hari Konstitusi, kembali menyinggung ihwal amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bamsoet menyebut UUD 1945 bukan kitab suci sehingga tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk dilakukan penyempurnaan melalui proses amandemen. Amandemen yang akan dilakukan untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). PPHN diperlukan untuk mengarahkan bangsa ke depan agar tidak terus berubah haluan setiap terjadi pergantian kepemimpinan, begitu alasan pokok yang disampaikan oleh Bamsoet. Perihal amandemen, Bamsoet tidak hanya menyampaikan pada saat Hari Konstitusi. Dalam Sidang Tahunan MPR 16 Agutus 2021, yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Bamsoet juga membicarakan hal yang sama terkait dengan kehadiran PPHN.
Jika memang terjadi amandemen UUD 1945 dalam waktu dekat oleh MPR hasil Pemilu 2019, maka mungkin inilah proses amandemen yang dimaksud Andi Matalatta, salah satu pelaku amandemen pada 1999 -2002, sebagai perubahan yang direncanakan secara konstitusional. Perubahan yang didesain karena didesain dalam suasana kehidupan demokrasi yang tenang-tenang saja. Tentu menjadi sangat berbeda jika dibandingkan dengan amandemen sebelumnya karena adanya arus reformasi yang menuntut perubahan UUD 1945 untuk perbaikan sistem ketatanegaraan dan perwujudan kehidupan negara yang lebih demokratis. Karena disadari adanya penyimpangan dalam praktik ketatanegaraan sebelum reformasi.
Sesuai dengan Pasal 37 ayat (2) UUD 1945, usul perubahan diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Jadi untuk mengubah UUD 1945 selain ada persyaratan yang bersifat kuantitatif, terdapat juga persyaratan yang sifatnya kualitatif. Andi Mattalatta menyebut kejelasan bagian yang akan diubah sebagai syarat yang bersifat kualitatif tadi. Jika saat ini banyak praduga dan spekulasi berkembang terkait dengan amandemen UUD 1945, hal tersebut beralasan karena usul perubahan yang sifatnya tertulis belum ada/belum tersosialisasikan, pasal yang diubah/ditambahkan belum ada, dan begitu juga alasan-alasannya yang masih bersifat satu arah dari MPR.
Mengenai terpenuhinya syarat kuantitatif tadi, dengan asumsi DPD solid dan fraksi masing-masing partai solid (termasuk partai koalisi Jokowi), maka ada beberapa simulasi dan skenario besar yang mungkin terjadi dan akan membuat proses amandemen berjalan "mulus", sebagai berikut; pertama, anggota MPR dari DPR dapat melakukan amandemen UUD 1945 tanpa kehadiran DPD. Jumlah anggota MPR dari DPR memenuhi syarat kuorum untuk pengusulan, pengubahan dan persetujuan. Kedua, anggota MPR dari fraksi pendukung pemerintahan Jokowi yang jumlahnya 427 anggota memenuhi syarat pengusulan dan memberi persetujuan. Namun jumlahnya belum memenuhi syarat untuk kuorum sebanyak 474 anggota MPR. Artinya, kekurangan tersebut harus ditutupi anggota MPR dari DPD atau dari fraksi di luar pendukung pemerintahan, seperti dari fraksi Demokrat, PAN atau PKS.
Jokowi menjadi kunci karena inheren di dalam dirinya kekuatan untuk memadukan dan mensolidkan dukungan partai pendukungnya di MPR untuk dilakukan amandemen. Namun tentu kembali pada pertanyaan apa yang menjadi kepentingan politik Jokowi sehingga harus ikut mengegolkan amandemen. Sehingga di situlah mungkin titik persinggungan amandemen dengan praduga perubahan masa jabatan Presidan dan Wakil Presiden. Jadi kesimpulan saya, jika hanya sebatas memasukkan PPHN dalam UUD 1945, amandemen pasti tidak akan terjadi.
(mmu/mmu) |