Apa dampak dari perladangan berpindah terhadap keseimbangan alam

Artikel ini pernah terbit di The Jakarta Post, pada 12 November 2019

Pembakaran lahan dalam sistem pertanian ladang berpindah merupakan isu yang kompleks. Praktik ini sebenarnya memperlihatkan hubungan antara pengetahuan ekologis dan nilai sosial budaya masyarakat. Namun, kelompok masyarakat petani yang mempraktikkan ladang berpindah sering kali dicap sebagai salah satu kontributor terbesar karhutla di Indonesia. Bahkan, mereka kerap kali menjadi korban dari kebijakan reaktif terkait karhutla (seperti pelarangan pembakaran).

Sekitar 14 hingga 34 juta masyarakat pedesaan di kawasan Asia Tenggara melakukan praktik ladang berpindah sebagai sumber mata pencarian mereka (utama atau sampingan). Pembukaan lahan dengan pembakaran telah lama dilakukan dalam praktik ladang berpindah di Indonesia. Umumnya, sistem ladang berpindah digunakan dalam pertanian subsisten (misalnya, penanaman padi) guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat. Dalam sistem ini, area hutan sekunder umumnya diubah menjadi lahan untuk berladang dengan menggunakan teknik tebang bakar untuk membersihkan lahan dari pepohonan atau vegetasi lain. Praktik ini sangat umum digunakan di wilayah Kalimantan, termasuk oleh masyarakat adat Dayak. Bagi mereka, penerapan praktik ladang berpindah didorong oleh aspek ekologis dan nilai sosial budaya.

Aspek ekologis dalam praktik ladang berpindah oleh masyarakat Dayak menunjukkan pandangan mereka akan kondisi hutan dan tanah sekitar. Berdasarkan pengetahuan ekologis yang mereka miliki, mereka merotasi konversi hutan sekunder menjadi lahan sawah dalam jangka waktu tertentu (misalnya, tahunan atau lima tahunan) sehingga vegetasi tanaman dan pepohonan di lahan yang ditinggalkan dapat tumbuh kembali. Dengan adanya jangka waktu ini, sistem ladang berpindah memberi waktu bagi ekosistem untuk pulih kembali secara alami, misalnya setelah penggunaan pupuk kimia.

Dalam pembakaran lahan untuk mengubah hutan menjadi ladang, sisa-sisa pembakaran yang tertinggal digunakan kembali sebagai pupuk organik guna meningkatkan hasil panen. Pembakaran juga dapat mengurangi serangan gulma dan hama selama periode pertumbuhan padi, sehingga kebutuhan pupuk kimia, pestisida dan herbisida dapat dikurangi. Hasilnya, biaya produksi dapat ditekan. Pengetahuan tentang penggunaan api dalam sistem ladang berpindah ini telah diturunkan dari generasi ke generasi, beserta berbagai nilai sosial budaya yang mendorong penerapan praktik tersebut secara berkelanjutan bagi lingkungan hidup dan masyarakat.

Nilai sosial budaya ini juga dapat dilihat dari cara mereka melakukan pembakaran saat membuka lahan. Masyarakat yang memiliki ladang yang berbatasan biasanya bekerja sama membuat sekat bakar dengan cara membersihkan vegetasi yang mudah terbakar di sekeliling ladang. Sekat bakar ini dibuat untuk mengurangi risiko merambatnya api ke lahan lain. Praktik ini dilakukan sesuai hukum adat yang memberi hukuman bila api merambat ke lahan, hutan, atau perkebunan karet. Singkatnya, nilai-nilai ini, termasuk aturan, sanksi dan ritual adat yang ada di dalamnya, menunjukkan adanya kesadaran sosial dan budaya di masyarakat dalam melakukan dan mengelola kegiatan pembakaran.

Belajar dari nilai-nilai yang terkandung dalam penggunaan dan pengelolaan kegiatan pembakaran dari sudut pandang masyarakat Dayak ini, kita perlu memikirkan kembali solusi penanganan karhutla yang ada, khususnya dalam sistem ladang berpindah. Solusi reaktif terbukti tidak efektif dalam menangani kasus-kasus karhutla yang berulang setiap tahun.

Beberapa solusi berbasis ekonomi yang sering diajukan, misalnya pemberian ekskavator kepada masyarakat agar membuka lahan tanpa membakar, penunjukan warga setempat sebagai petugas pemadam kebakaran untuk mencegah pembukaan lahan dengan pembakaran atau pembuatan ekosistem sawah tadah hujan dataran rendah, belum sepenuhnya mempertimbangkan pandangan masyarakat akan praktik ladang berpindah. Solusi berbasis ekonomi mungkin sesuai bagi masyarakat yang membuat keputusan berdasarkan kebutuhan ekonomi.

Akan tetapi, solusi tersebut tidak cocok bagi masyarakat yang berfokus pada nilai-nilai sosial budaya. Pengakuan sah atas kearifan lokal dan hukum adat dalam hal pengelolaan praktik pembakaran yang bersifat berkelanjutan bagi lingkungan hidup dan sosial budaya dapat menjadi solusi tepat bagi bagian masyarakat ini. Pengakuan tersebut kemudian harus diikuti oleh aturan yang jelas, seperti maksimal luas lahan dan tipe ekosistem yang dapat dibakar untuk kebutuhan ladang berpindah.

Beberapa regulasi (termasuk di antaranya, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10/2010 dan Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014) mengatur maksimal luas lahan yang boleh dibakar, izin yang harus diperoleh dan pengakuan atas kearifan lokal dalam praktik pembakaran untuk pembukaan lahan. Guna melengkapi regulasi yang ada, penelitian mendalam terkait dampak lingkungan dan pandangan masyarakat lokal terkait penggunaan api juga menjadi hal yang amat penting sebab masyarakat mungkin memiliki pandangan dan kondisi lingkungan hidup yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, kita membutuhkan kebijakan pembakaran yang sudah disesuaikan dengan pandangan masing-masing kelompok, sebab mengubah perilaku yang sudah ada sejak ratusan tahun tidaklah mudah.

Para peneliti dan pemerintah harus bekerja bersama agar dapat merumuskan solusi kebakaran yang lebih baik. Untuk itu, kita perlu memahami betul nilai-nilai sosial, budaya dan ekologis yang saling terkait yang membentuk hubungan antara manusia dan lingkungan hidupnya. Selain itu, kita juga harus membantu masyarakat setempat melaksanakan berbagai program yang dapat diterima dalam budaya mereka agar target penanganan karhutla dapat tercapai.

Apa dampak dari perladangan berpindah terhadap keseimbangan alam

Penulis : Dr. Herkulana Mekarryani S., M.Si (Kepala Balitbang Provinsi Kalimantan Barat)

A. Latar Belakang Masalah

Apa dampak dari perladangan berpindah terhadap keseimbangan alam

         Ladang berpindah atau dikenal juga dengan perladangan bergilir (Shifting Cultivation) merupakan suatu bentuk sistem pertanian tradisional yang telah dipraktekan sejak zaman purba Sebelum Masehi dan telah lama dipraktekkan di beberapa Daerah di Indonesia antara lain Kalimantan, Sulawesi, Papua, Sumatera, Banten dan Jawa Barat.

        Ladang bergilir ini dilakukan secara turun temurun berdasarkan pengalamam masyarakat tradisional dalam membuka lahan, mengolah lahan dan bercocok tanam hingga panen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sangat  erat kaitannya dengan tradisi budaya masyarakat tersebut dan kegiatan ladang berpindah ini masih dilakukan di beberapa Daerah pedalaman di Indonesia.

        Penelitian Roslinda, E (2012) menyatakan bahwa perladangan berpindah di Kalimantan Barat terdapat di beberapa Kabupaten yakni diantaranya Kapuas Hulu, Sanggau, ketapang, Landak. Namun berdasarkan hasil Survey Awal Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Kalimantan Barat Pebruari Tahun 2021, bahwa praktek Ladang berpindah juga dilakukan oleh masyarakat di kabupaten Bengkayang, Sambas, Sintang dan Melawi. Pada tahun 2018 dan 2019,  bahwa salah satu yang diasumsikan sebagai penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan adalah Sistem Perladangan Bergilir serta penyebab penggundulan hutan dan menyebabkan erosi serta  juga dianggap produktivitas rendah. 

        Namun, para aktivis lingkungan sebagian menyatakan bahwa kebakaran Hutan dan lahan itu bukan dilakukan oleh masyarakat ladang bergilir dan diduga sementara bahwa ada pihak dari perusahaan yang melakukan land clearing dengan cara membakar karena tidak mengeluarkan biaya yang besar dan paling murah. Berdasarkan penelitian Rifqi (2017) bahwa konsep ladang berpindah dalam sistem pertanian modern dapat menjadi solusi atas permasalahan pangan di Indonesia.

       Menurut Moulyutami dkk (2010) dalam Laporan World Agroforestry Centre menyatakan bahwa temuan dari serangkaian kegiatan penelitian di bawah program ‘Alternatives to Slash and Burn’ atau ASB yang dilakukan lima belas tahun lampau, menunjukkan ‘tebas dan bakar’ sebagai metoda pembersihan lahan tidak hanya dilakukan masyarakat peladang namun juga oleh para transmigran, perkebunan skala besar serta dalam industri kayu. Aktivitas tebas dan bakar tidaklah selalu dikonotasikan sebagai perladangan berpindah tradisional. Lebih lanjut bahwa Kebijakan kehutanan di Indonesia telah mendorong terjadinya intensifikasi lahan serta menimbulkan konflik penggunaan lahan. Dalam kebijakan, terjadi penolakan terhadap perladangan tradisional. Pandangan tentang “perladangan bergilir” sebagai penyebab utama hilangnya hutan masih menjadi perdebatan publik, meski belum ada bukti yang memadai. Berbagai program pemerintah yang awalnya berupaya menghidupkan pola tanam menetap yang intensif semakin bergeser mendukung tanaman monokultur. Persoalan ladang bergilir di Indonesia dipandang dari berbagai persepsi yang berbeda dan seringkali justru dianggap sebagai kegiatan yang melanggar hukum. Isu pengurangan emisi, deforestasi, dan degradasi menekan kegiatan ladang bergilir  yang sebenarnya sudah diterapkan oleh masyarakat tradisional secara turun-temurun.

        Dalam kaitannya dengan emisi global, penggunaan api atau aktivitas lain di areal hutan yang dianggap mengemisikan gas rumah kaca menjadi isu krusial  yang dihubungkan dengan insentif ekonomi dalam mengurangi emisi. Namun demikian, di dalam setiap pembahasan, aspirasi rakyat seringkali terabaikan. Namun selalu dikaitkan dengan subsistensi dan keterbelakangan, bukan dianggap sebagai suatu model pembangunan yang berkelanjutan. Pandangan seperti ini sejatinya dapat mengabaikan dinamika perladangan yang sesungguhnya.

Apa dampak dari perladangan berpindah terhadap keseimbangan alam

       Pada tahun 2019, di Kabupaten Sintang terdapat kasus 6 (enam) orang peladang tradisional yang ditangkap sedang melakukan pembakaran lahan di ladangnya sendiri, dan penangkapan itu direspon dengan mobilisasi ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Anak Peladang (ASAP). Aliansi ini  terdiri  dari  masyarakat adat, mahasiswa, dan sempat menggelar unjuk rasa di Kantor DPRD Sintang, pada Selasa, 19 November 2019. Selanjutnya, Aksi susulan dilakukan Kamis, 21 November 2019 dan sebanyak 19 Organisasi Kepemudaan Dayak yang tergabung dalam gerakan peladang Kalimantan Barat ikut tergabung dalam aksi susulan ini serta  menuntut enam peladang yang ditangkap harus dibebaskan tanpa syarat. Gubernur Kalimantan Barat sangat perhatian dan peduli dengan kondisi masyarakat petani ladang bergilir  di Kalimantan Barat, dalam rangka adanya kepastian hukum bagi para petani ladang bergilir, maka Gubernur Kalimantan Barat telah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2020 tentang Pembukaan Areal Lahan Pertanian Berbasis Kearifan lokal. 

       Peraturan Gubernur tersebut hanya mengatur mengenai pembakaran lahan berbasis kearifan lokal dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para petani tradisonal dalam rangka membuka lahan dengan cara  membakar lahan berbasis tradisional dan mencegah terjadinya kebakaran lahan di luar areal lahan yang diperuntukan untuk pertanian berbasis kearifan lokal. Memperhatikan substansi dari Peraturan Gubernur pada hakikatnya untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan namun secara  spesifik belum memuat apa yang dinamakan pertanian tradisonal , mengingat pertanian tradisional ada yang hanya berladang saja tanpa melakukan praktek ladang bergilir.

        Oleh sebab itu, dipandang perlu adanya  suatu kebijakan melalui Kajian persoalan  ladang bergilir  berbasiskan  tiga pengetahuan dasar yang harus berjalan bersama dengan harmonis, yaitu pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal, perspektif ilmiah, serta kebijakan publik untuk mendukung pembangunan. Berkenaan dengan itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Kalimantan Barat melakukan  Kajian Analisis Ladang Bergilir Dalam Pertanian Keberlanjutan (Sustainable Development) Di Kalimantan Barat. 

B. Rumusan Masalah

         Berdasarkan Studi Pustaka dan Survey Awal Kajian, maka identifikasi masalah Analisis Ladang Bergilir Dalam Pembangunan Keberlanjutan (Sustainable Development), yaitu :

  1. Bahwa pembakaran hutan dan lahan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat tradisional namun juga dilakukan oleh perkebunan sawit, pertanian modern serta masyarakat non tradisional atau masyarakat pendatang;
  2. Adanya perbedaan praktek perladangan   pada masyarakat pendatang bahwa mereka melakukan perladangan dengan membakar hutan tanpa melalui tata cara pembakaran menurut tradisi pada masyarakat adat di lingkungannya berada;
  3. Terdapat perbedaan pandangan baik akademis maupun praktis ada yang menyatakan bahwa ladang berpindah  merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan hutan, dan ada yang menyatakan bahwa  perladangan bergilir, dengan berbagai kearifan yang dimiliki pelakunya, merupakan sistem penggunaan lahan yang efisien, berkelanjutan dan mampu mempertahankan kelestarian hutan ;
  4. Bahwa praktek ladang bergilir merusak hutan dan lingkungan yang menyebabkan hilangnya tutupan hutan dan degradasi sisa hutan yang menimbulkan erosi tanah yang menyebabkan terjadinya longsor;

         Merujuk identifikasi masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam Kajian ini yaitu : “ Bagaimana Ladang Bergilir Dalam Pertanian Berkelanjutan?

C. Tujuan Kajian 

         Tujuan Kajian ini, yaitu untuk mendeskripsikan ladang bergilir dalam pertanian keberlanjutan pada era globalisasi di Kalimantan Barat.

D. Kegunaan Kajian

        Kegunaan Kajian ini, yaitu :

  1. Dari aspek akademik, kajian ini diharapkan dapat meningkatkan dan menambah pengetahuan dalam memahami permasalahan pertanian berkelanjutan khususnya mengenai ladang bergilir  di dunia empirik, serta mengembangkan pemahaman dan penalaran bagi para peneliti maupun ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten di Kalimantan Barat;
  2. Dari aspek praktis, kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam memecahkan persoalan ladang bergilir bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten di Kalimantan Barat serta dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi penelitian maupun kajian lebih lanjut.

E. Hasil yang Diharapkan

        Hasil yang diharapkan dalam Kajian ini, yaitu :

  1. Dokumen  laporan Kajian Analisa Ladang Bergilir Dalam Pertanian Keberlanjutan Pada Era Globalisasi Di Kalimantan Barat;
  2. Rekomendasi dalam rangka mendukung Kebijakan Gubernur  dalam Implementasi Kebijakan Pengelolaan Ladang Bergilir di Kalimantan Barat.

F. Metode Kajian

Apa dampak dari perladangan berpindah terhadap keseimbangan alam

      Kajian  ini menggunakan metode Kajian  kualitatif yang menjelaskan suatu masalah dengan cara menganalisa dan menggambarkan gejala-gejala yang timbul kemudian memberikan keterangan mengenai gejala-gejala tersebut dengan membandingkan, menghubungkan, dan memilah-milah, serta mengkombinasikan data yang ada maupun informasi yang ada dilapangan. Dalam hal ini para  pengkaji  adalah instrumen kunci, dengan teknik pengumpulan data bersifat induktif, dan hasil Kajian Kualitatif lebih menekankan makna yang sesuai dengan fakta lapangan.

      Lokasi dalam kajian ini yaitu Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas. Selanjutnya, Waktu Pengkajian dilakukan dari Bulan April 2021 hingga September 2021. Selanjutnya, teknik pengumpulan data melalui teknik pengamatan langsung, teknik wawancara mendalam dan studi dokumentasi dan kepustakaan. Mengingat Kajian ini menggunakan kualitatif, maka pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan menggunakan Teknik Triangulasi yaitu teknik pengujian keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang diperoleh untuk keperluan check, recheck dan cross check atau pembanding data yang diperoleh.

G. Pembahasan

Apa dampak dari perladangan berpindah terhadap keseimbangan alam

    Pembangunan pertanian berperan strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis tersebut ditunjukkan oleh perannya dalam pembentukan kapital,  penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi, penyerap  tenaga kerja, sumber devisa negara, dan sumber pendapatan, serta pelestarian  lingkungan melalui praktek usaha tani yang ramah lingkungan. 

      Pembangunan pertanian di Indonesia diarahkan menuju pembangunan pertanian yang  berkelanjutan (sustainable agriculture), sebagai bagian dari implementasi  pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan pertanian yang berkelanjutan merupakan isu penting  dan strategis di dunia. Salah satu  tantangan pembangunan pertanian ke depan adalah mempertahankan keberlanjutan  untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Perspektif  pertanian berkelanjutan perlu menjadi perhatian mengingat dinamika perkembangan penduduk  sementara sumberdaya alam sangat terbatas. Selain itu, pencapaian  pertanian berkelanjutan sudah menjadi komitmen negara dalam rangka menerapkan Sustainable Development Goals (SDGs). 

          Selanjutnya yang juga menjadi perhatian dalam pelaksanaan pertanian keberlanjutan yaitu terjaminnya kelestarian fungsi sumberdaya lahan dan lingkungan. Menurut para pakar pertanian berkelanjutan bahwa Pertanian berkelanjutan bukan pilihan tetapi adalah keharusan tidak saja karena bagian dari kewajiban mematuhi komitmen SDGs, tetapi, yang lebih  penting lagi karena memang urgen bagi masyarakat Indonesia secara umum dan masyarakat Kalimantan Barat secara khusus.

          Pertanian berkelanjutan secara umum berarti bahwa pemanfaatan  sumberdaya lahan, air dan bahan tanaman untuk usaha produksi bersifat lestari  menghasilkan produk pertanian secara ekonomis dan menguntungkan. Ahli Agronomi memaknai pertanian berkelanjutan berarti usaha pertanian dapat  dilaksanakan pada sumberdaya lahan yang bersangkutan secara terus-menerus dan menguntungkan. Ahli lingkungan menghendaki pertanian berkelanjutan dengan menekankan pada kelestarian mutu lingkungan, keseimbangan agroekosistem dan kelestarian keanekaragaman hayati.

        Selanjutnya Pelaku Pasar memaknai pertanian berkelanjutan sebagai usaha pertanian yang mampu memasok produk bermutu tinggi, aman konsumsi, stabil dan kontinyu sepanjang masa. Bagi petani, memaknai usaha pertanian berkelanjutan sebagai usaha produksi yang mampu menghasilkan produk secara stabil dan optimal, dengan masukan sarana produksi yang relatif  rendah serta hasil jual produk memberikan keuntungan ekonomis yang layak bagi kehidupan keluarga. Memperhatikan dimensi cakupan kepentingan pertanian berkelanjutan tersebut, pada hakikatnya pertanian berkelanjutan menekankan terjaminnya kelestarian fungsi sumberdaya lahan dan lingkungan.

         Sistem pertanian berkelanjutan merupakan sistem Pertanian yang layak secara ekonomi dan ramah lingkungan. Pada tingkat bentang lahan pengelolaannya difokuskan pada pemanfaatan biodiversitas tanaman pertanian dalam mempertahankan pollinator, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit, hidrologi (kuantitas dan kualitas air) dan mengurangi emisi karbon. Banyak macam penggunaan lahan yang tersebar di seluruh bentang lahan, yang mana komposisi dan sebarannya beragam tergantung pada beberapa faktor antara lain iklim, topografi, jenis tanah, vegetasi dan kebiasaan serta adat istiadat masyarakat yang ada disekelilingnya.

        Salah satu Kebijakan Pertanian Berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Barat adalah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang tertuang dalam  Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan. Tujuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yaitu: 

  1. Mempertahankan dan meningkatkan luasan lahan pertanian beririgasi dan tidak beririgasi; 
  2. Mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian untuk mencapai ketahanan pangan di daerah; 
  3. Melindungi dan memberdayakan petani dan masyarakat sekitar lahan pertanian beririgasi dan tidak beririgasi;
  4. Meningkatkan kesejahteraan petani; 
  5. Mempertahankan keseimbangan ekosistem.

        Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dilaksanakan dalam pemenuhan   kebutuhan masyarakat serta memperkuat ketahanan pangan. Pelaksanaan Kebijakan LP2B  ini didukung dengan adanya pemutakhiran data tentang luas lahan pertanian, kelompok tani, luas produksi dan sebagainya.

        Berdasarkan hasil temuan survey di lapangan, yaitu :

  1. Bahwa lahan pertanian pangan khususnya sawah mengalami alih fungsi lahan yang cukup luas jumlahnya, tersebar di seluruh Kabupaten dan Kota di Kalimantan Barat;
  2. Bahwa penilaian atas aspek pengembangan yang menitikberatkan pada program intensifikasi dan ekstensifikasi pada kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan  dan LP2B di wilayah-wilayah studi secara spesifik masih belum optimal dilakukan. Namun, program intensifikasi saat ini merupakan kegiatan reguler dari Pemerintah di Kabupaten, baik kabupaten yang telah menetapkan LP2B di dalam Peraturan Daerah maupun yang belum menetapkannya. Dengan kata lain, program intensifikasi menjadi bagian rutinitas dari program Kabupaten/Kota. Sedangkan program ekstensifikasi yang terkait dengan program kawasan P2B dan LP2B belum dilakukan;
  3. Memanfaatkan lahan sesuai peruntukannya, baik untuk lahan padi ataupun tanaman pangan lainnya. Namun, pada kondisi tertentu di mana pemilik lahan tidak memiliki modal untuk usaha ataupun hal lainnya, ataupun hak bagi waris bagi keluarganya, maka kondisi pemanfaatan lahan tidak dapat dipertahankan karena setelah beralih kepemilikan akan sangat ditentukan oleh pemilik lahan baru;
  4. LP2B masih merupakan ranah pemerintah,  Pemerintah berharap lahan pertanian tetap terjaga dan berkelanjutan, namun  tingginya kompetisi penggunaan tanah dan belum adanya instrumen pengendalian yang efektif menyebabkan semakin besarnya tingkat alih fungsi lahan pertanian di Kalimantan Barat;
  5. Selanjutnya, pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2018 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan, belum dilaksanakan secara optimal karena kurangnya Sosialisasi dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat ke Kabupaten/Kota dan masyarakat serta petani.

      Ladang secara umum merupakan area lahan tertutup atau  sebaliknya dan digunakan untuk tujuan pertanian seperti budidaya tanaman, penggunaan sebagai  padang rumput atau, umumnya, sebuah kandang ternak, lahan buatan yang tersisa sebagai tanah kosong atau tanah subur.  

Apa dampak dari perladangan berpindah terhadap keseimbangan alam

        Pertanian ladang merupakan  jenis usaha pertanian yang memanfaatkan lahan kering, artinya dalam pengolahan tidak memerlukan banyak air. Tanaman yang biasa diusahakan adalah padi dan beberapa jenis tanaman palawija. Pertanian ladang ada dua jenis berikut ini: pertanian ladang berpindah atau bergilir dan pertanian ladang tetap. Ladang berpindah dalam kajian ini disebut ladang bergilir (Shifting cultivation) merupakan suatu bentuk  sistem pertanian tradisional yang telah  lama dipraktekkan di hampir seluruh wilayah Indonesia khususnya Kalimantan Barat dan telah dilakukan secara turun temurun, selanjutnya  dalam memanfaatkan hutan sebagai  areal ladang masyarakat  tetap  melakukan tata  cara adat istiadat yang harus dipatuhi, dalam rangka menjaga kelestarian hutan. Teknik ladang bergilir dilakukan dengan proses pembukaan lahan dalam luas tertentu, menebang dan membakar hutan, kemudian ditanami dengan berbagai tanaman pangan seperti padi, jagung, ataupun singkong. Teknik ladang berpindah sangat bergantung pada iklim, karena iklim sangat mempengaruhi waktu bakar dan tanam ladang. Ketika musim kemarau, masyarakat menebang pohon kemudian membakar lahan, namun saat akan tiba musim hujan, masyarakat menanam bibit tanaman di ladang. 

       Lahan yang digunakan untuk ladang bergilir terus digunakan hingga waktu yang sangat lama. Lahan yang digunakan menjadi ladang, dalam waktu 2 hingga 3 tahun akan ditinggalkan, karena lahan sudah tidak produktif. Ketika lahan pertama yang telah ditinggalkan kembali subur, lahan kembali dibuka menjadi ladang, dan lahan kedua akan ditinggalkan. Proses tersebut terjadi terus menerus, sehingga secara tidak langsung, lahan yang dipakai untuk berladang telah dipetakan. Pemetaan area perladangan bagi masyarakat tradisional mampu mengurangi resiko pembukaan lahan baru dari hutan yang masih primer.

         Berdasarkan hasil survey pada 6 (enam) Kabupaten sampel di Kalimantan Barat, bahwa secara umum masyarakat yang melakukan ladang berpindah merupakan sekelompok orang bertani di atas tanah yang kurang subur secara teratur dan alami dengan cara tidak merusak alam dan lingkungannya, hal ini sebagaimana yang telah digariskan oleh kepercayaan nilai-nilai luhir secara turun temurun  dan dengan sistem nilai budaya masyarakat setempat. Kondisi lahan yang kurang subur ini menyebabkan masyarakat melakukan perladangan berpindah-pindah dari lahan yang satu ke lahan yang lain dengan periode waktu antara 5 sampai dengan tujuh tahun untuk kembali pada lahan yang pertama. Selanjutnya lahan bekas ladang yang tersebut ditanami dengan jenis tanaman sayur-sayuran atau tanaman perkebunan yang bermanfaat dan pohon-pohon yang dibiarkan tumbuh secara alami hingga beberapa tahun membentuk hutan kembali atau kebun campuran. Pengelolaan yang dilakukan secara umum masih sederhana dan dilakukan dengan bergotong royong.

       Ladang bergilir merupakan sistem pertanian ladang  yang memiliki karakter khusus, yaitu menggarap lahan pertanian secara   di lahan hutan. Para peladang, menebang hutan untuk ditanami tanaman padi dan tanaman lainnya secara singkat 1-3 tahun, lalu lahan itu diistirahatkan atau diberakan dengan waktu cukup panjang, mulai 3 tahun sampai puluhan tahun. Pada saat lahan diberakan diistirahatkan atau , berlangsung proses suksesi alami menuju terbentuknya hutan sekunder.  Selanjutnya   Hutan sekunder tersebut dapat dibuka kembali sebagai ladang, dan daur pemanfaatan lahan untuk pertanian dimulai kembali.

         Dari hasil survey di 6 (enam) Kabupaten tersebut, Secara umum tahap kegiatan ladang bergilir dimulai dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Pertama Masyarakat menentukan lokasi untuk bertanam dengan melalui survey  kesuburan tanah untuk menentukan lahan hutan yang tepat untuk dilakukan perladangan. Biasanya indikator kesuburan tanah yang umum dipakai adalah jenis tumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah.
  2. Penebasan tumbuhan bawah untuk mempercepat proses pengeringan serasah.
  3. Penebangan pohon.
  4. Proses pengeringan lahan kurang lebih 3 – 4 minggu.
  5. Pembakaran dan pembersihan.
  6. Penanaman dan pemeliharaan, dan
  7. Panen hasil.   

        Setiap kegiatan atau langkah yang dilakukan menurut tata cara adat yang sudah digariskan secara turun temurun. Selanjutnya, masyarakat adat petani ladang bergilir sangat bergantung pada alam dan akan selalu  menjaga keseimbangan alam. Dalam pola pertanian berladang, mereka memiliki sistem pertanian gilir balik, suatu proses pemanfaatan alam mengikuti siklus alamiah dan  membagi wilayah mereka antara lain  wilayah  permukiman, areal  semak belukar, areal bekas ladang, areal ladang, areal  perkebunan, wilayah  keramat dan wilayah hutan  lindung. Wilayah-wilayah tersebut dijaga secara adat istiadat, sehingga kecil kemungkinan masyarakat petani ladang bergilir merusak lingkungan.

        Selanjutnya, pembukaan  lahan baru ketika lahan tempat bercocok tanam dianggap  produksinya sudah mulai menurun. Lahan dibiarkan dalam masa bera (istirahat), agar secara alami lahan tersebut dapat memulihkan dirinya sendiri. Beberapa tahun kemudian mereka akan kembali bercocok tanam lagi pada lahan semula. 

Berdasarkan temuan hasil survey Kajian di lapangan , yaitu :

  1. Ladang bergilir secara umum  merupakan lahan kering yang dimanfaatkan masyarakat. Kondisi lahan yang kurang subur membuat masyarakat melakukan perladangan bergilir balik  dari lahan yang satu ke lahan berikutnya dengan kegiatan berladang;
  2. Perladangan bergilir  salah satu sistem pertanian yang  menerapkan teknologi konservasi yang terintegrasi  dengan sistem alami;
  3. Dari aspek  sosial budaya, sistem perladangan bergilir secara umum merupakan sistem pertanian yang sesuai dengan ekosistem hutan tropis.;
  4. Dari aspek lingkungan, keanekaragaman hayati di dalam sistem perladangan bergilir lebih tinggi dari sistem pertanian permanen seperti sawah. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut  berasal dari masa bera dan tanaman beraneka;
  5. Pada masa  bera  persentase proses penggunaan lahan adalah tinggi, karena  lahan  digunakan dalam waktu periode yang pendek, sehingga erosi dan sedimentasi di sungai rendah dan masa pemberaan tidak menyebabkan peningkatan CO2 mengingat terjadinya penghutanan kembali;
  6. Tidak dipungkiri, saat  pembakaran dapat  menyebabkan kehilangan nutrient, tetapi hasil pembakaran lahan dapat  meningkatkan pH yang baik untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan kandungan bahan organik disimpan selama masa bera tersebu;
  7. Dalam sistem dengan periode pemberaan stabil tidak menyebabkan peningkatan CO2 pada atmosfir karena penghutanan kembali;
  8. Praktek Ladang bergilir yang dilakukan oleh masyarakat adat tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, mengingat pada saaat masa pembakaran dilakukan dengan tata cara ritual adat serta dibuat sekat agar tidak terjadi kebakaran pada hutan yang berbatasan dengan lahan  yang dilakukan pembakaran;
  9. Praktek pembakaran lahan ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat adat, namun juga dilakukan oleh para petani lading permanen;
  10. Pembakaran  lahan dan hutan juga dipraktek oleh para pekebun khususnya pekebung sawit dalam rangkan pembersihan lahan atau land clearing, mengingat pembiayan dalam praktek pembakaran tersebut jauh lebih murah;
  11. Lahan yang dibutuhkan paling maksimal 1,5 hektar dan saat ini tidak sampai 1 Ha, setelah panen ladang ditanami pepohonan seperti karet, tengkawang, durian atau jenis pepohonan buah seperti rambutan, langsat dan lain-lain;
  12. Dari keseluruhan luas hutan yang dipetakan untuk ladang, maka hanya sekitar 1,5% dan atau maksimal 3% lahan hutan yang digunakan untuk ladang dan setiap sepersepuluh Hektar dapat untuk mebiayai 25-30 orang;
  13. Terdapat tipe masyarakat yang tidak memahami tata cara adat atau kearifan lokal yang terdapat di Daerahnya, sehingga dalam pengelolaan  ladang bergilir tidak efektif . Mereka kurang memanfaatkan areal bekas ladangnya dengan baik padahal apabila dimanfaatkan dengan baik areal tersebut dapat memberi manfaat lebih banyak bagi mereka;
  14. Bahwa perladangan bergilir yang dikelola  oleh masyarakat lokal tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Secara umum kebakaran hutan dan lahan disebabkan adanya aktivitas perkebunan sawit yang dikelola secara individual maupun oleh Perusahaan.
  15. Secara umum ladang bergilir sudah mulai berkurang, dan bergeser menjadi lahan Sawit.

        Temuan  di lapangan juga, menunjukkan bahwa perladangan bergilir hanya dilakukan di beberapa wilayah hutan yang telah dipetakan sebagai ladang, sehingga tidak membuka areal hutan yang baru , dan  ladang tersebut  hanya dapat digunakan selama 3 hingga 5 kali,  setelah dirasakan tidak subur untuk berladang maka ladang  ditinggalkan dan ditanami dengan tanama kebun seperti karet, tengkawang, tanaman buah-buahan dan  selanjutnya dibiarkan selama 5-7 tahun. Setelah lahan kembali menghutan, lahan siap dibuka kembali sebagai ladang. Teknik ladang bergilir secara tidak langsung adalah upaya konservasi tradisional masyarakat yang diwariskan nenek moyang mereka, melalui  teknik ini, masyarakat tidak perlu membuka lahan baru selain yang telah dipetakan untuk perladangan, sehingga lahan primer dan hutan perawan tetap terjaga kelestariannya. Dengan demikian, Sistem perladangan bergilir sangat efisien dan produktif serta ramah lingkungan.

        Pengertian dari pertanian adalah suatu kegiatan manusia yang termasuk didalamnya yaitu bercocok tanam, peternakan, perikanan dan juga kehutanan. Sebagian besar kurang lebih dari 50 persen mata pencaharian masyarakat di Kalimantan Barat  adalah sebagai petani, sehingga sektor pertanian sangat penting untuk dikembangkan di Kalimantan Barat. Peran nyata sektor pertanian sebagai tumpuan pembangunan ekonomi Kalimantan Barat  pada masa krisis dan selama pemulihan ekonomi, menunjukkan bahwa sektor pertanian perlu diposisikan sebagai sektor andalan dan didukung secara konsisten dengan mengembangkan ekonomi yang bersifat resource based. Seiring hal tersebut, potensi perekonomian pedesaan diharapakan akan menjadi determinan dari perekonomian Kalimantan Barat secara keseluruhan dan dengan demikian perubahan yang terjadi pada struktur perekonomian pedesaan perlu dicermati terutama dampaknya terhadap struktur kesempatan kerja dan pendapatan di wilayah pedesaan.

       Secara umum sistem pertanian yang ada di Kalimantan Barat terdiri dari Sistem Pertanian Tradisional (Pertanian Tradisional dengan lahan tetap (permanen) dan Sistem Perladangan Bergilir), serta Sistem Pertanian Modern dan Sistem Pertanian Keberlanjutan. Pertanian modern dicirikan dengan teknik pertanian yang didasarkan atas sebesar-besarnya hasil panen yang didapatkan. Sistem ini biasanya bersifat konvensional, karena sebagian besar masih menggunakan pupuk kimia dan pestisida untuk mengendalikan hama.

      Pertanian modern (revolusi hijau) diakui telah membawa kemajuan pesat bagi pembangunan pertanian. Sistem ini telah berhasil merubah wajah pertanian dunia, tak terkecuali Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi peningkatan produksi pertanian yang cukup signifikan sebagai hasil dari revolusi hijau. Di balik kesuksesannya, tidak dapat dipungkiri ternyata revolusi hijau juga membawa dampak negatif bagi lingkungan. Maraknya penggunaan pupuk anorganik, pestisida, herbisida dan intensifnya eksploitasi lahan dalam jangka panjang membawa konsekuensi berupa kerusakan lingkungan, mulai dari tanah, air,  udara maupun makhluk hidup (Wulansari, 2020).

      Berdasarkan hasil temuan di 6 (enam) Kabupaten tersebut, bahwa menunjukkan bahwa tanah sawah di Kalimantan Barat  mengalami gejala penurunan mutu tanah, seperti terlihat pada kebutuhan pupuk yang lebih tinggi untuk memperoleh hasil padi yang sama, dibandingkan dengan musim-musim sebelumnya, lapisan lumpur atau top soil yang menjadi lebih dangkal, kebutuhan pengairan yang lebih sering, tanah sawah mudah kering dan kandungan bahan organik tanah yang rendah.

       Dalam rangka pemenuhan  kebutuhan pangan Kalimantan Barat  yang terus meningkat dan usaha  mencapai swasembada beras, Pemerintah Provinsi  Kalimantan Barat memprogramkan produksi beras yang terus meningkat pada luasan lahan sawah yang terbatas. Pembangunan  pertanian tanaman pangan selama ini dimaknai sebagai program peningkatan produksi pangan pada lahan sawah yang tersedia, melalui perbaikan mutu intensifikasi dan peningkatan intensitas tanam padi. Hal ini dilakukan  pada dasarnya adalah upaya memaksimalkan produktivitas lahan yang akan berdampak negatif pada lahan. Namun,  mengingat, lahan pertanian juga memiliki kemampuan produksi tertentu, pada batas mana peningkatan produktivitas menjadi  kurang ekonomis dan justru akan merusak mutu sumber daya lahan.

      Berdasarkan hasil temuan di lapangan, bahwa Intensitas bertanam padi yang sangat tinggi, dapat menimbulkan efek samping yang bersifat negatif antara lain : (1) tanah tidak sempat istirahat, selalu tergenang air dalam kondisi reduktif, (2) petani melakukan pembakaran jerami, (3) lapisan olah tanah dangkal, (4) drainase tanah menjadi buruk dan tidak terjadi oksidasi tanah,  (5) tanaman padi menjadi rentan terhadap serangan hama-penyakit, (6) terjadi gejala kelelahan tanah atau soil fatigue karena lahan sawah terus menerus ditanami padi tanpa istirahat, (7) efisiensi pupuk menjadi menurun, (8) keuntungan ekonomis menurundeminishing return, (9) terdapat risiko kerusakan tanaman atau kegagalan panen dan ketidak-berlanjutan produksi.

        Ada beberapa faktor yang mendorong dampak negatif terjadi yaitu  (1) kesadaran akan pentingnya menjaga mutu lahan untuk penggunaan jangka panjang masih lemah atau belum ada, (2) tidak terdapat program penyuluhan dari pemerintah tentang perlunya pelestarian mutu sumber daya lahan, (3) program pembangunan pertanian ditekankan pada peningkatan produksi pangan untuk mencapai target produksi yang terus meningkat, (4) harga pupuk disubsidi pemerintah menjadikan sangat murah sehingga petani menggunakan pupuk secara liberal melebihi dosis optimum, (5) karena pemilikan lahan sempit, petani berupaya memperoleh hasil panen yang lebih banyak dari lahan yang dimiliki, (6) petani berupaya memperoleh hasil setinggi-tingginya dari musim tanam, dan (7) petani memang belum tahu akibat negatif dari praktik penggunaan input sangat tinggi untuk memaksimalisasi produktivitas lahannya.

        Berdasarkan hasil temuan di lapangan bahwa sistem pertanian modern terindikasi  menyebabkan kerusakan lingkungan akibat penggunaan teknologi yang berlebihan tanpa mempedomani ketentuan yang telah ditetapkan, dan ditenggarai  juga menciptakan ketidakadilan ekonomi dan ketimpangan sosial. Ketidakadilan ekonomi muncul karena adanya praktek monopoli dalam penyediaan sarana produksi pertanian, sementara ketimpangan sosial terjadi diantara petani dan komunitas di luar petani.

     Memperhatikan hal tersebut, Pembangunan pertanian di Indonesia diarahkan menuju pembangunan pertanian berkelanjutan sebagai implementasi tindak lanjut pembangunan berkelanjutan. Pembangunan pertanian yang berkelanjutan merupakan isu penting strategis dalam ketahanan pangan dunia maupun Indonesia secara khusus di Kalimantan Barat. Pembangunan pertanian berkelanjutan sudah menjadi tujuan, dan sudah menjadi paradigma pola pembangunan pertanian. 

        Kearifan lokal memiliki peran yang sangat penting dalam melestarikan lingkungan hidup. Pada hakikatnya, secara umum  masyarakat lokal masih berpedoman ketat  adat istiadat nilai-nilai luhur nenek moyang, dan  setiap  daerah di Kalimantan Barat akan memiliki ciri khas yang berbeda-beda antar daerah yang satu dengan daerah lainnya yang disesuaikan dengan lingkungan dan topografi daerah masing-masing, dan diwariskan turun temurun secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga terintgrasi kedalam sistem kehidupan individual dan lingkungan hidup yang mereka pahami dan melaksanakan kearifan dimaksud. Kearifan lokal pada dasarnya adalah praktik dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat yang mendasarkan pada pengetahuan atau teknologi asli (indigenous knowledge and indigenous technology) yang telah terbukti baik dan bermanfaat (Pretty and Chambers, 1994).

       Perladangan bergilir (shifting cultivation) merupakan salah satu sistem perladangan dengan teknologi sederhana  berbasis kearifan lokal  yang telah dilaksanakan secara turun temurun sesuai dengan adat istiadat daerah masing-masing. Pada Keenam Kabupaten dalam Kajian ini ,  perladangan bergilir mampu mengembalikan kesuburan tanah. Selain itu, rentang waktu suksesi yaitu pemberaan bekas ladang yang menjadi hutan  juga sangat menentukan produktifitas lahan yang akan dijadikan ladang.

     Secara Umum, hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa Teknik Ladang bergilir juga dilakukan didalam hutan, oleh karena itu, teknik ladang bergilir juga memanfaatkan hutan sebagai suatu keseimbangan. Selanjutnya dengan,  keberagaman dalam landscape tersebut menjaga keanekaragaman serangga sehingga populasi binatang dapat terkontrol, dan tidak menjadi hama bagi sawah atau ladang. Teknik perladangan bergilir  dilakukan atas dasar pembagian jumlah keluarga dalam komunitas masyarakat. Setiap keluarga biasanya terdiri atas 5 hingga 7 orang. Setiap keluarga dalam masyarakat adat memiliki hak atas lahan seluas  0,5  hingga 2 ha lahan hutan untuk digunakan sebagai ladang.

        Dari hasil temuan di lapangan, perladangan bergilir menekankan pada pelestarian dan konservasi sumber daya alam guna terciptanya keseimbangan ekosistem dan memberikan kontribusi keseimbangan sumberdaya alam serta menghindari pemupukan secara  kimia yang berlebihan dan lebih mengandalkan metode agroekosistem yang optimal dan lestari berkelanjutan baik secara sosial, ekologi, ekonomi dan etika.

       Pertanian ladang bergilir, melakukan pengendalian hama dengan menggunakan unsur-unsur alami yang mampu mengendalikan hama agar tetap  berada pada jumlah di bawah ambang batas yang merugikan dengan cara-cara yang aman bagi lingkungan dan sumberdaya alam.  Tidak dipungkiri bahwa ada beberapa penelitian menghasilkan pandangan negatif dan positif tentang perladangan bergilir. Pandangan negatif menyebutkan perladangan bergilir menyebabkan terjadinya kerusakan hutan,  sedimentasi sungai dan erosi tanah serta kebakaran hutan yang meyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, produksi rendah. Selanjutnya, pandangan positif menyebutkan bahwa perladangan bergilir menjaga ekosistemn hutan dan tidak merusak lingkungan dan merupakan salah satu bentuk perwujudan dari pertanian berkelanjutan.

        Memperhatikan praktek perladangan bergilir yang dilakukan masyarakat petani ladang bergilir di enam Kabupaten tersebut , bahwa praktek ladang bergilir selalu berpedoman pada kearifan lokal dan tata nilai adat istiadat masyarakat setempat yaitu  dengan cara mengelola sumber daya alam dan memanfaatkan alam selaras serta harmonis dengan ritme alamiah, sehingga manfaat yang diperoleh merupakan bagian dari kinerja alam itu sendiri.

       Mengingat praktek perladangan bergilir  yang sejalan dengan ritme alam, maka ladang bergilir  dapat menjadi penyeimbang atau kontrol  terhadap teknologi pertanian modern  yang bersifat eksploitatif-ekstratif. Hal ini sejalan dengan tujuan pertanian berkelanjutan, yaitu  menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan peningkatan produksi;

       Ladang bergilir sebagai salah satu perwujudan Kearifan lokal memiliki  komponen teknologi dan komponen manajemen budidaya tanaman pangan dan hortikultural yang juga unggul, dan  masih sangat relevan untuk diintegrasikan dengan teknologi budidaya padi modern. Adanya berbagai kearifan lokal yang berbeda menunjukkan bahwa teknologi yang ditetapkan tidak semestinya berlaku secara nasional, karena setiap wilayah memiliki ciri-ciri spesifik yang memerlukan penanganan spesifik.

        Namun perlu diingat bahwa ladang bergilir sebagai kearifan lokal tidak harus menghindari komponen teknologi maju atau modern. Ladang bergilir  lebih sesuai dengan usahatani subsisten, tetapi dapat diaplikasikan sebagai penyeimbang, koreksi atau pendamping teknologi pertanian maju, seperti pentingnya rotasi tanaman, pengembalian limbah panen dan pupuk organik, tanam serempak sesuai musim tanam dan yang lainnya. 

       Selanjutnya, seiring dengan pertumbuhan jumlah populasi penduduk yang semakin laju, ketersediaan sumberdaya alam pun menjadi terbatas jumlahnya. Air, tanah, pangan  dan bahan bakar merupakan empat komponen penting yang menentukan kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, karenanya adalah suatu keharusan untuk memanfaatkannya seefisien mungkin. Perbandingan antara pertanian konvensional dan pertanian berkelanjutan menunjukkan bahwa pertanian berkelanjutan terbukti memiliki keunggulan baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Pertanian berkelanjutan mengkonsumsi lebih sedikit air dan energi, meningkatkan komposisi unsur hara tanah, menekan biaya produksi, meningkatkan partisipasi masyarakat, serta ramah terhadap lingkungan. Sementara pertanian konvensional tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dunia tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan dari sistem pertanian berkelanjutan tersebut adalah alasan mengapa pertanian berkelanjutan adalah cara terbaik untuk mengakomodasi kebutuhan pangan dan mempertahankan kelestarian lingkungan, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Pertanian berkelanjutan tidak saja berbicara masalah peningkatan hasil panen atau produksi komoditi, diversivikasi pangan, penyiapan infrastruktur. Namun secara jelas bahwa pertanian berkelanjutan ini juga harus bisa menjamin ketahanan pangan bagi rakyat dan bangsanya. Dengan demikian, konsep sistem  perladangan bergilir dapat dijadikan salah satu solusi dalam rangka ketahanan pangan dengan memadukan konsep pertanian berkelanjutan.

H. Kesimpulan

Dari hasil uraian yang telah dikemukalan, maka kesimpulan dalam Kajian ini , yaitu :

  1. Bahwa Sistem pertanian bergilir di Kalimantan Barat adalah Model Sistem Pertanian Bergilir Balik;
  2. Bahwa Sistem Perladang Bergilir tidak bertentangan dengan model Pertanian Berkelanjutan;
  3. Model  Sistem Perladang Bergilir dipadukan dengan konsep  Model Pertanian Berkelanjutan dapat menjadi salah solusi dalam rangka pemenuhan Ketahanan Pangan di Kalimantan Barat.

I. Rekomendasi

  1. Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten berkolabirasi melakukan pemetaan terhadap aktivitas Sistem Perladangan Bergilir dalam rangka pembinaan terhadap para petani dan bantuan bimbingan teknis terkait dengan peprtanian berkelanjutan;
  2. Selanjutnya,, perlu adanya suatu regulasi yang menjamin keberlanjutan Model Sistem Perladangan Bergilir dan melindungi para petani ladang bergilir untuk melakukan aktivitas mereka sebagaimana yang telah dilindungi Hukum Adat masyarakat setempat;
  3. Perlu adanya Sosialisasi Kearifan Lokal terkait dengan Sistem Perladangan bergilir kepada masyarakat pendatang serta generasi muda yang menerapkan Sistem perladangan Bergilir dimaksud, agar tidak  melakukan aktivitas yang bertentangan dengan Model Pertanian Berkelanjutan.

Apa dampak dari perladangan berpindah terhadap keseimbangan alam