Tidak kaku sehingga dapat melihat berbagai celah yang tidak terduga merupakan wujud dari

きみがてをさしのべてくれた時

(Kimi gate o sashinobete kureta toki)

Prolog

“Hoseok katanya mau pindah ke apartemen baru. Benar, tidak?”

“Ha?” Hoseok menyesap latte-nya, pura-pura tidak mendengar.

“Serius? Yah…”

Hoseok tertawa. Berita kepindahannya ternyata benar-benar membuat resah, padahal ini biasa saja menurutnya.

 “Ayolah, kalian.” Hoseok mengangkat kepalanya dari minuman, kemudian menatap kedua temannya bergantian. “Lagipula kita masih sama-sama di Seoul, kalau ada kesempatan kita masih bisa bertemu.”

“Tapi suasana apartemen akan berbeda kalau kau tidak ada, Seok,” kata salah satu temannya. “Aku akan merindukanmu.”

“Jangan berlebihan!” Hoseok merengut. “Bilang saja kalau tidak ada yang akan memasakkan kalian makanan kalau aku pindah.”

Sekarang berbalik arah, malah kedua teman Hoseok yang tertawa. “Habis, masakanmu enak-enak soalnya.”

“Huft…” Hoseok mendesah lelah. Terlampau baik, memang biasanya dialah yang membantu memasakkan makanan untuk kedua temannya. Wujud utang budi karena sudah disambut dengan baik waktu kali pertama menginjakkan kaki di apartemen sekaligus sebagai sesama perantau dari Gwangju.

“Belajarlah mandiri, ya,” pinta Hoseok.

Kedua temannya dengan segera lesu.

“Hahaha… Senang sekali melihat ekspresi kalian. Oh ya, sebaiknya apa yang akan aku masak untuk para penghuni apartemen baru sebagai perkenalan pertama, ya?  Apa kalian punya ide?”

Hoseok memanfaatkan waktu liburnya untuk membereskan berbagai hal. Dokumen, mobil pindahan, dan lain sebagainya, tidak terlewat satu pun hingga siap meluncur ke apartemen barunya yang lebih dekat ke area kantor daripada apartemennya yang lama. Teman-teman Hoseok awalnya ingin membantu, tapi Hoseok akhirnya turun tangan sendiri setelah berpikir panjang. Lagi pula, dirinya tidak mau merepotkan.

Setelah melewati jalanan, lampu lalu lintas, dan hiruk pikuk keramaian, Hoseok akhirnya sampai. Mobil pindahan berhenti di parkiran, sang sopir beserta Hoseok dengan sigap membawa barang-barang menuju ke ruangan. Tidak banyak sebetulnya, karena sebagian barang telah Hoseok bawa pindah dan atur sebelum hari-H.

Apartemen Hoseok tidak besar, tapi cukup untuk tempat tinggalnya sebagai “seseorang” bukan banyak orang. Asal ada tempat untuk tidur, bersantai, juga memasak bagi Hoseok sudah sangat cukup.  Untunglah ada lift, apartemen ini jadi punya daya tambah di mata Hoseok. Perjalanan dalam membawa barang-barang jadi lebih mudah dan tidak memakan banyak waktu.

Bolak-balik dari parkiran dan ruangan beberapa kali, menata letak barang berulang-ulang hingga puas, bahkan memastikan sang sopir memberikan pendapat untuk ruangan apartemennya. Hoseok sungguh ingin semua terlihat baik sebelum nantinya tidak ada orang lagi di sampingnya. Hoseok tidak mau kerja dua kali, sang sopir juga pasti tidak mau waktunya terbuang sia-sia.

Hingga akhirnya keluar kata “oke” dari sang sopir. Hoseok bisa bernapas lega, artinya kini ia bisa sedikit lebih santai dan sang sopir bisa segera beranjak ke klien selanjutnya. Setelah mengucapkan terima kasih dan memberikan beberapa lembar won karena sudah bersedia membantunya, Hoseok mempersilakan sang sopir pergi. Saat ia sudah tak melihat lagi punggung pria dewasa itu dari jauh, barulah Hoseok masuk ke dalam ruangannya. Namun, sebelum Hoseok benar-benar masuk, ia dikejutkan dengan siluet yang mampir pada indera penglihatannya, sekilas tapi cukup membuat bulu kuduk merinding. Ia siap mengelak, dikiranya makhluk tak kasat mata, rupanya cuma pria tinggi besar yang mau buang sampah ke bawah.

Hoseok menyapa, “Hai!” Sialnya, dia kalah cepat atau suaranya tidak benar-benar keras. Pria itu sudah turun lebih dulu tanpa menghadap ke arah sumber suara, tidak pula mencarinya juga.

“Siapa, ya?” Hoseok menggaruk kepala bingung, tapi tak menampik rasa penasaran yang mulai bersarang di otaknya. “Benar juga, aku belum berkenalan dengan penghuni-penghuni di apartemen ini, tapi….” Hoseok melihat ke sekeliling, tidak ditemukannya siapa pun di sana kecuali deru mesin dari pendingin ruangan. “Sepertinya semua sedang sibuk. Iya, kan?”

xxx

Sudah beberapa minggu sejak Hoseok bertempat tinggal di apartemen barunya. Selama beberapa minggu juga yang dirinya lakukan hanyalah pulang dan pergi. Dari kasur ke kubikel, kemudian dari komputer ke laptop. Hoseok sampai lupa rasanya bersosialisasi yang baik, lupa juga belum berkenalan dengan seluruh penghuni apartemen seperti janji yang semula ia ucapkan. Jangankan untuk sekadar berinteraksi, makanan pun lebih sering dibeli daripada dimasak. Kalau dipikir-pikir sekarang ia lebih malas daripada rajin. Tubuhnya sudah fokus membaur dengan rutinitas sampai tak terpikirkan untuk bersantai sejenak.

Saat ini hari Sabtu, kantor mengadakan acara. Sayang, tubuh Hoseok sepertinya tak mampu beradaptasi, jadi ia memilih pulang lebih dulu. Sebelum sampai ke apartemen, Hoseok mampir sebentar ke pasar. Pikirnya, membeli buah-buahan atau sayuran lebih baik, selain itu staminanya harus ditingkatkan juga. Membuat sup jamur atau babi rebus sepertinya pilihan yang tepat. Lagi pula, akhir-akhir ini Hoseok rasa ia tidak pernah makan daging, mungkin sampai lupa rasanya. Aduh, mulai berlebihan.

Hoseok baru membeli banyak apel ketika ia menghirup napas dalam-dalam dan memandang ke sekeliling. Tiba-tiba rasa lelahnya tergantikan, segar sekali, membuatnya kembali bersemangat. Pikirannya jadi terbang ke kantor lagi, dengan tubuhnya yang sudah kembali seperti semula apakah ia perlu kembali untuk menikmati pesta? Namun, mungkin saja tidak perlu. Dirinya sudah meminta izin juga, pestanya bisa saja telah selesai begitu dirinya sampai mengingat dilaksanakan dari pagi hari.

Lebih baik Hoseok pulang saja.

xxx

Apel-apel yang Hoseok beli dari pasar tadinya ingin ia potong-potong dan makan sendirian, tapi mendadak ide terlintas dalam pikirannya untuk menjadikan buah surga itu kudapan lezat sekaligus pembuka pintu bagi perkenalannya dengan para penghuni apartemen. Ya, Hoseok berniat membagikan makanan dari pintu ke pintu dan mengajak berkenalan. Takut kalau semakin lama diundur, semakin dirinya kesulitan mencari waktu.

Pai apel adalah pilihannya setelah sekian lama berpikir. Sudah lama Hoseok tidak memanggang sesuatu, kenapa tidak direalisasikan saja saat ini. Dirinya punya oven, semua bahan-bahan juga ada. Beruntung, Hoseok membawa perlengkapan masaknya dari apartemen lama termasuk bumbu-bumbu dan lainnya, jadi ia tak perlu keluar untuk membeli lagi.

Hari sudah mulai malam sebenarnya, tapi Hoseok kira ia bisa membuat seloyang besar Pai apel untuk dibagikan esok hari. Hoseok berharap jalannya mudah dan semoga seluruh penghuni apartemen adalah orang-orang yang baik,

xxx

Pagi hari datang dan yang dipikirkan Hoseok begitu membuka mata adalah rencana perkenalannya. Hari libur yang tadinya ia pikir menjadi salah satu momen terbaik, malah jadi sumber beban berlebih.  Hoseok takut kalau nantinya akan mengganggu karena liburan berarti sekaligus istirahat. Ah, dia sendiri juga belum tahu tabiat para penghuni apartemen baru ini, akan sangat memalukan kalau ia diusir.

Hoseok lantas bangkit dari kasur, kemudian menggeleng, mengusir banyak hal yang jadi gundahnya. Kalau takut terus kapan bisa maju, kalau belum dicoba tidak akan tahu hasilnya. Toh, kuenya sudah jadi, sayang sekali kalau tidak ada yang menghabiskan.

“Ayo, Hoseok!” Hoseok menghela napas kemudian mendekati kue Pai yang telah berhasil dibuatnya dengan sempurna tadi malam. “Panaskan sedikit lagi saja apa, ya? Biar hangat.”

xxx

Sekarang sudah pukul 8 pagi. Hoseok bukannya mulai menjalankan aksi malah terduduk lesu di depan oven. Niat memanaskan kuenya berbuah petaka. “Aduh, pinggirannya gosong.”

Hoseok yang selalu ceria mendadak berubah menjadi murung. “Bagaimana ini? Apa mereka mau menerimanya, ya?”

Sambil memandang kuenya yang kini sedikit berubah warna, Hoseok jadi bingung sekali. Ya sudah, kalau begini mau bagaimana lagi, yang terjadi maka terjadilah. Maju saja dan hadapi, niat Hoseok baik bukannya yang tidak-tidak.

Jadi pada akhirnya, setelah memantapkan hati, Hoseok mulai memotong Pai dan membaginya menjadi beberapa bagian.

xxx

Hoseok melangkah dengan pelan setelah menutup pintu. Di tangannya ada loyang besar dengan tutupnya sekalian, sekilas terlihat berat. Namun, tentu saja tidak seberat perasaan gugup Hoseok. Rasanya seperti saat mulai bekerja setelah sekian lama atau lebih parahnya lagi ketika interview pertama kali.

Ia melihat kiri dan kanan, nuansanya sama seperti saat terakhir kali pandangannya awas. Kosong melompong seperti tidak ada kehidupan. Ia sudah ciut duluan, tapi kata kalah tidak pernah ada dalam kamus Hoseok.

“Aduh, aku tidak tahu lagi mana yang ada orangnya mana yang tidak.” Hoseok menghela napas. “Apa aku tanya ke bagian informasi, ya?”

Hoseok terpaku agak lama di lorong, mencari cara agar dipandang lebih sopan untuk bertamu. Namun, lamunannya tidak berlangsung lama karena dikejutkan mendadak oleh suara pintu yang terbuka. Nyaring, pas pula berada di dekatnya.

Hoseok sedikit terlonjak sebelum ia sadar ada seseorang yang keluar dari pintu itu. Pria tinggi besar berkacamata bingkai tebal berwarna hitam melongok dan langsung memandang ke arahnya.

Tubuh keduanya tidak bergerak sama sekali, hanya bola mata yang jadi saksi. Pandangan pria itu membola diikuti Hoseok. Sama-sama menikmati waktu yang seolah berhenti di antara keduanya.

“Ehem…” Pria itu menjadi yang pertama kali memutus kekakuan. “Baru?” tanyanya.

Hoseok lantas dengan sigap mendekat. “Iya halo, salam kenal.”

“Ya,” jawab pria itu singkat. “Ada keperluan apa? Tolong cepat saja.”

Hoseok memajukan bibirnya, agak kesal. Namun, sepersekian detik tersenyum lagi. “Hehe… Salam kenal, aku Hoseok, penghuni baru apartemen ini. Sebenarnya aku ingin berkenalan dengan penghuni apartemen, tapi tidak mungkin aku menemui semuanya dengan tangan kosong, jadi aku membuat ini.” Hoseok menunjukkan kue Pai yang telah dibuatnya pada pria itu. “Silakan, diambil. Ini dariku, buatan sendiri.”

Pria itu memandang loyang besar berisi potongan Pai apel, kemudian memandang Hoseok yang masih seperti sebelumnya, tersenyum dengan lebar.

“Salam kenal, aku Namjoon. Kau terlalu berusaha keras, padahal tidak perlu.”

“Perlu!” balas Hoseok. “Sebagai tetangga yang baik, hehe...”

Pria yang bernama Namjoon itu mendesah lelah. Menyerah, ia akhirnya mengambil satu potongan Pai apel. “Terima kasih, aku akan makan dalam perjalanan ke kantor, ya. Sekarang aku sudah terlambat sepertinya, aku pergi dulu.”

“Tunggu!” seru Hoseok.

“Apa lagi?”

“Anu, kalau bisa.” Hoseok menggaruk kepalanya yang tak gatal karena gugup. “Kalau boleh, bisa tidak ya, Pai-nya langsung dicoba sekarang?”

Pria itu membalas dengan mengangkat sebelah alisnya, membuat Hoseok salah tingkah. Takut kalau permintaannya dinilai berlebihan. “Maksudku, agar aku tahu enak atau tidaknya, begitu. Maaf, terlalu banyak permintaan, ya?”

Pria itu menatap Hoseok lekat, kemudian mengangguk cepat. “Ya, sudah.”

Hoseok sudah kepalang senang. Sebentar lagi dirinya akan mendengar komentar pertama soal masakannya. Pandangan matanya berbinar begitu melihat Namjoon mulai memasukkan Pai ke dalam mulutnya.

Namun, binar mata Hoseok mendadak surut saat mendapati air muka Namjoon berubah tatkala tak ada kunyahan yang terlihat lagi. Hoseok langsung berpikir yang aneh-aneh

“Maaf, kenapa? Tidak enak, ya?” Hoseok bertanya takut-takut.

Namun, tidak ada jawaban. Namjoon masih bergeming di tempat. Hoseok jadi serba salah.

“Anu…” Hoseok ingin memutus kekakuan sesegera mungkin, ditambah Namjoon akan ke kantor, nanti kalau tidak pergi-pergi bagaimana, Hoseok yang akan disalahkan, begitu?

Namjoon masih berdiri, diam. Hoseok mengamati lekat-lekat Namjoon yang beku di tempat.

“Kalau tidak enak, jujur saja, Namjoon.”

“Bukan,” jawab Namjoon. “Ini…” Namjoon bengong lagi, setelahnya menatap telapak tangannya dengan cermat.

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa, ini enak. Terima kasih.” Namjoon menjawab lagi dengan segera, kemudian tanpa aba-aba atau salam selamat tinggal langsung saja meninggalkan Hoseok yang bingung.

“Hei!” Hoseok mencoba memanggil Namjoon kembali, tapi tidak ada jawaban. Hanya punggung pria itu saja yang tampak di matanya. “Setidaknya beri tahu aku setelah ini harus ke kamar yang mana,” lanjutnya.

“Ya sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Mungkin dia memang supersibuk. Asalkan enak, berarti itu enak, hehehe….” Perubahan yang drastis, Hoseok sudah riang seperti semula.

xxx

Beberapa minggu telah berlalu setelah peristiwa tersebut. Hoseok kini sudah punya beberapa teman di apartemen. Nenek dengan cucunya, Tuan Jiho yang punya kebun mini di balkon kamarnya, juga Gaeun seorang mahasiswa yang punya dua anjing. Sekali lagi, terima kasih kepada ide Pai apelnya.

Namun, tetap saja selain itu tidak ada yang berubah dari hidup Hoseok. Cuma pulang pergi dari apartemen ke kantor lalu ke apartemen lagi. Monoton bisa dibilang, padahal Hoseok senang sesuatu yang baru, nyatanya malah itu-itu saja, tumpukan kertas juga deretan huruf dan angka yang tersusun rapi yang menjadi sahabat paling dekat. Seperti hari ini, Hoseok pulang pukul 6 dan setelah makan juga mandi dirinya kembali menghadap ke arah komputer, melanjutkan pekerjaan yang sayang sekali ia bawa pulang.

Hoseok dalam keadaan tidak bisa diganggu gugat begitu mode bekerjanya aktif. Selain musik dan irama ketikan pada keyboard, tidak ada lagi yang menjadi distraksi, dalam pikiran Hoseok pekerjaannya harus selesai.

Hanya saja, ketika Hoseok baru setengah jam bekerja, terdengar suara ketukan pintu. Dirinya sedang dicari seseorang, tapi siapa? Kening Hoseok langsung berkerut banyak. “Apartemen ini tidak mungkin berhantu, kan?” Hoseok tiba-tiba merinding. “Tidak..Tidak… Pasti layanan laundry atau sebagainya atau….”

Terdengar suara ketukan pintu lagi. Hoseok makin deg-degan. “Sepertinya aku harus segera merespons.” Hoseok kemudian bangkit dan berjalan ke arah sumber suara, tidak lupa mengambil panci penggorengan, jaga-jaga kalau yang mengetuk adalah makhluk jadi-jadian atau pencuri abal-abal.

Hoseok makin dekat ke arah pintu. Ia bersiap-siap, menghitung 1…2...3… dalam hati dan ketika sudah, cepat-cepat ia buka pintu. Lalu….

“Habis, kau!”

“Tunggu!”

Buk!

“Sakit!”

“Eh, sebentar…” Suaranya familier di telinga Hoseok. “Siapa?” Dan begitu dirinya menurunkan panci penggorengan dan wajah orang yang mengetuk pintu kamarnya mulai terlihat, Hoseok lantas membelalak dengan segera. Wajahnya berubah menjadi pucat pasi.

“Namjoon!”

xxx

Hoseok suka mencetak rekor, terlebih rekor kejuaraan menari karena hobi Hoseok dari kecil sampai saat ini adalah menari, atau memasak karena Hoseok di hari libur suka mencoba resep-resep baru. Namun, sepertinya Hoseok telah menambah rekor baru dalam hidupnya. Rekor yang hebat, selain menari dan memasak tentunya.

“Aduh, bagaimana ini? Aku minta maaf, Namjoon.”

Ya, rekor baru Hoseok adalah membuat masalah pada bulan-bulan pertama di apartemen barunya. Masalahnya lumayan besar lagi dan kekanak-kanakan, mungkin?

Hoseok yang melihat Namjoon masih memegangi kepalanya merasa sangat bersalah. “Oh, ayolah, kapan kau bisa berani, Seok,” gumamnya.

“Maaf, maaf… Kau tak lihat bengkak di kepalaku ini?”

Setelah ditanya, Hoseok baru sadar. Ia tatap bagian atas kepala Namjoon dan melihat sebuah benjolan di sana. Pasti sakit sekali.

“Aku mau kembali ke kamar kalau begitu.” Yah, Namjoon ngambek jadinya.

Hoseok salah tingkah. Dirinya segera berlari kencang ke arah pintu, menahan Namjoon agar tidak melangkah sedikit pun dari ruangannya. “Tidak bisa! Aku harus tanggung jawab,” kata Hoseok. “Aku mau merawatmu dulu.”

Namjoon mengerutkan kening. “Maksudnya?”

“Maksudku.” Hoseok mendesah lelah. “Me-ra-wat-mu dulu. Aku ada kompres dingin dan parasetamol. Lagipula, kau juga belum menceritakan maksudmu datang ke kamarku?”

Pandangan Namjoon membola begitu mendengar perkataan Hoseok. “Oh iya, maksud, ya?”

“Makanya, kau di sini dulu saja, ya. Sebentar.” Hoseok mulai bergerak menjauh dari pintu menuju tempat penyimpanan obatnya. “Jangan sekali pun kau melangkahkan kaki dari tempatmu atau kepalamu mau kubuat tambah sakit.”

xxx

“Bagaimana?” tanya Hoseok. Dia baru saja selesai memberikan kompres dingin pada Namjoon. “Tidurlah setelah makan parasetamol ini. Kau sudah makan?”

Namjoon mengangguk.

“Baguslah kalau begitu, karena kalau belum, aku bisa memasakkan kau makanan,” balas Hoseok.

“Lalu, kau akan tidur di mana?”

“Eh?” Hoseok yang sedang duduk di samping Namjoon terkejut. “Aku tidur di bawah saja hehehe…”

Sebenarnya, selain hantu Hoseok juga tidak suka serangga dan tidur di lantai adalah sebuah pantangan baginya meskipun tetap menggunakan karpet. Namun, karena mengaku telah berbuat kesalahan dan merasa ingin sekali memperbaiki hal itu secepatnya, Hoseok membuang gengsi dan malu, setidaknya dirinya bertanggung jawab.

“Serius?”

Ditanya balik seperti itu membuat Hoseok gelagapan, tapi dengan segera ia dapat menguasai diri. “Iya, aku sudah janji akan merawatmu satu hari ini. Jadi, anggap saja ruangan sendiri, istilahnya kau adalah raja untuk saat ini.”

“Aku memang raja,” jawab Namjoon seraya mengambil air minum. Dia hendak makan parasetamolnya.

Hoseok tergelak. Di tengah gempuran pekerjaan masih ada yang bisa menghangatkan hatinya, sesuatu yang jarang terjadi karena biasanya ia sendirilah yang membuat orang tertawa, tapi saat ini malah orang lain, orang yang baru pertama kali dikenalnya di aparteman ini.

‘Bisa saja...” Hoseok hanya membalas sekenanya. “Setelah ini, ayo kita istirahat.”

Namjoon mengangguk, kemudian dengan pelan naik ke atas kasur. “Tolong matikan lampunya.”

“Aku tidak bisa tidur dengan lampu mati,” balas Hoseok. Ia berjalan dari pantry menuju tempat tidur.

“Aku tidak percaya,” kata Namjoon.

“Serius,” jawab Hoseok, tapi pria itu tetap beranjak menuju saklar. “Tapi karena aku telah berjanji untuk merawatmu, maka segala keinginanmu akan kukabulkan.”

Cahaya dari lampu mulai meredup lalu mati dengan perlahan. Seiring dengan ruangan yang mulai menggelap, entah mengapa rasa sesak berkumpul di dada Hoseok. Ia tidak kuat sejujurnya, tapi harus. Bukan hanya demi Namjoon, tapi untuk dirinya sendiri. Latihan!

“Kau masih berdiri?” Ada suara, Hoseok terkesiap di tempatnya.

“Anu, kau juga belum tidur?”

“Belum, aku menunggumu.” Namjoon jelas-jelas kini sedang menatapnya, Hoseok tahu dari cahaya bulan yang masuk dari sela-sela jendela yang menerpa wajah pria itu. “Maksudku ke sini, ke ruanganmu, kau kan belum tahu.”

“Oh, iya!” Hoseok menepuk keningnya. Buru-buru Hoseok mengambil bantal dan guling lalu menatanya dengan baik, setelahnya ikut berbaring nyaman sama seperti Namjoon. “Jadi, kenapa kau datang ke ruanganku? Aku kaget sekali.”

“Karena aku tidak punya nomormu,” jawab Namjoon.

Mulut Hoseok langsung berbentuk O bulat, besar. “Oh iya, salah sendiri kau langsung pergi-pergi saja.”

“Iya, waktu itu aku sudah terlambat ke kantor,” jawab Namjoon santai. Padahal buntutnya malah jadi seperti ini. Sebenarnya, ya, salah Hoseok juga terlalu takut.

“Oh…” Hoseok tidak mau minta maaf berulang. Namun, Hoseok paham salah dirinya di bagian mana. “Jadi?”

“Katamu, kau akan mengabulkan permintaanku, kan? Jadi, tolong kabulkan juga permintaanku yang ini, ya?”

Pandangan mata Hoseok menerawang ke langit-langit kamar, berpikir. Namun, sedetik kemudian terlintas ide aneh di kepala Hoseok, dan sambil tersenyum licik ia kemudian berkata, “Kalau aku tidak mau, bagaimana?”

“Tanggung jawabmu, nol besar!”

“Hei, aku kan sudah merawatmu dengan baik!” Hoseok tidak terima. Ia langsung duduk menghadap ke arah kasur, bersiap menantang Namjoon.

“Kan, kau sudah janji.”

“Oh, ya.” Hoseok menunduk menelan mentah-mentah perkataan yang telah ia lontarkan tadi. “Baiklah.” Ia kemudian kembali tidur. “Jadi, permintaan apa?”

“Pai apelmu yang kemarin itu enak.”

Mata Hoseok berbinar dengan segera, ada rasa membuncah yang tiba-tiba dirasakan, membuatnya ingin melompat tinggi. Bangga karena dipuji.

“Terima kasih, aku memang pandai memasak.” Sekali-sekali Hoseok sombong tidak apa-apa kan, ya?

“Jadi, aku ingin belajar juga.”

“Oh…” Hoseok sekarang paham, Namjoon ingin diajari membuat kue Pai juga rupanya. “Boleh sekali kalau begitu.”

“Terima kasih, Hoseok,” jawab Namjoon. “Selamat tidur.”

Hoseok mengerutkan kening. “Jadi, cuma itu saja?”

Tidak ada jawaban lagi. Hoseok menduga Namjoon sudah tidur.

“Ah, kalau masalahnya seperti ini, harusnya kita bertukar nomor saja,” kata Hoseok lirih. “Dirimu jadi sakit begini, Namjoon. Padahal cuma mau memintaku mengajarimu membuat kue Pai.”

Hoseok menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya. Kejadian hari ini benar-benar merupakan kejadian tidak terduga. “Selamat malam, Namjoon.” Hoseok memeluk gulingnya. “Aku minta maaf.” Pada akhirnya, Hoseok tetap merasa bersalah.

xxx

Keesokan harinya, Namjoon pagi-pagi sekali telah membangunkan Hoseok, ingin bersiap-siap berangkat bekerja katanya, padahal benjolan di kepala pria itu masih besar.

“Tidak apa-apa,” balasnya. “Terima kasih, aku sudah lebih baik karenamu.” Bohong. Jelas-jelas Hoseok masih menangkap ringisan pelan Namjoon, menahan perih akibat sakit pada puncak kepalanya itu.

“Benar?” Sekali lagi Hoseok bertanya pada Namjoon. “Libur sehari seharusnya tidak masalah.”

Namjoon tertawa. “Sejak kapan kau peduli padaku?”

Hoseok kesal. Ia memukul pelan kepala pria itu sambil mendorongnya keluar dari ruangan. “Sejak kepalamu sakit karena diriku! Bisakah kau peduli, sedikit!”

“Tidak apa-apa, tidak usah cemas. Lebih baik kau khawatirkan rasa takutmu yang berlebihan itu, ouch!” Kepalanya dipukul Hoseok lagi. “Iya, serius tidak apa-apa.’

Hoseok menyerah, “Terserahmu sajalah.”

“Oh ya, masalah Pai itu. Nanti sore kita pergi membeli bahannya sama-sama, bagaimana?” tanya Namjoon.

“Oh, iya.” Hoseok hampir melupakan masih ada keinginan Namjoon yang harus dirinya penuhi. “Boleh.”

“Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu. Terima kasih, Hoseok.” Namjoon setengah berlari menuju ke ruangannya. Terburu-buru. Hoseok takut pria itu akan tersandung saking kacaunya. Namun, sampai beberapa detik berlalu tidak terjadi sesuatu. Hoseok lega, itu berarti Namjoon telah selamat sampai ke ruangannya.

“Oh ya.” Hoseok teringat sesuatu. “Namjoon, kita belum bertukar nomor!”

xxx

Sebenarnya, bukan hanya Namjoon saja yang ingin bekerja pada pagi itu, tapi Hoseok juga. Karena itu, ia agak kesal sewaktu Namjoon memaksa membangunkannya pagi-pagi sekali. Memang, bersiap-siap lebih awal itu bagus, tapi dirinya ingin tidur sedikit lagi sebelum habis-habisan di kantor. Bagi Hoseok, Namjoon agak mengganggunya, tapi tidak apa-apa, ini bentuk tanggung jawab Hoseok karena menyakiti pria itu. Ya, tapi semestinya jangan sampai mengorbankan kenyamanan juga.

Kalau dipikir-pikir setelah pagi yang kacau itu, tidak ada yang berubah dari hidup Hoseok. Ia masih sarapan dengan roti, berangkat ke kantor sambil berjalan kaki, tetap dihujani tumpukan kertas juga sumpah serapah dari atasan.

“Huft…” Hoseok mengeluh. Kalau bukan karena janjinya dengan Namjoon, Hoseok tidak akan sesemangat ini untuk melalui hari. Terlalu berulang dan kaku.

“Oi, Hoseok! Ayo, pulang!” Salah satu karyawan menegur Hoseok yang masih asyik mengetik.

“Sebentar,” jawab Hoseok tanpa menoleh ke arah lawan bicara. “Sebentar lagi, ya.”

“Ayolah pulang, lihat! Cuma tinggal kau sendiri!”

Hoseok terkejut lantas melihat ke sekelilingnya. Kosong. Karyawan itu benar.

“Baiklah, sebentar… Aku ingin merapikan beberapa dokumen ini dulu,” jawab Hoseok dengan segera. “Kau pulang saja tidak apa-apa.”

“Aku tinggal ya, Hoseok.”

Terdengar suara orang berlalu. Hoseok langsung acungkan ibu jari tangan ke atas tanda jawaban, tapi lengang. Setelahnya tidak ada suara apa pun kecuali deru dari mesin pendingin. Hoseok benar-benar sendirian sekarang.

“Yah…” Hoseok menatap layar komputernya. “Nanti saja ya, dilanjutkan lagi.”

xxx

Hoseok buru-buru berlari dari halte bus menuju apartemennya. Diburu waktu juga ketakutan apabila Namjoon menunggu terlalu lama dan merasa kesal padanya sekaligus harap-harap cemas kalau Namjoon malah melupakan janji dan tidak menunggu Hoseok untuk pergi berbelanja bersama. Kali lain, Hoseok akan ingat untuk meminta nomor pria itu agar tidak ada pikiran berlebihan yang akan terjadi.

Entah mungkin saking kalutnya, Hoseok melupakan jika apartemennya itu mempunyai lift, hingga pada akhirnya tiga tangga ia lampaui dengan sesak napas. Sampai tangga ke-4 dan Hoseok tidak tahan lagi, ia terduduk di salah satu anak tangga sambil memegangi dadanya. “Aduh, tubuhku tahu saja kalau aku jarang olahraga.”

“Hei!” Ada seruan. Hoseok tidak menggubris, masih meracau tidak jelas karena kelelahan.

“Hei!”

Suara itu lagi, dan Hoseok akhirnya memberi jawaban, “Iya, silakan saja. Maaf aku menghalangi jalanmu.”

“Hoseok, ini aku!”

“Aku?” Hoseok bingung. “Aku siapa?” Hoseok menoleh dan mendapati seseorang tengah menatapnya dengan raut wajah yang khawatir.

“Astaga!” Hoseok langsung berdiri dengan sikap sempurna begitu mengetahui siapa yang sedang memandangnya itu. Segala lelah yang dirasakannya dengan segera menghilang begitu saja.

“Maafkan aku,” sambung Hoseok. “Sebentar, aku ganti baju dulu, ya.”

“Kau sedang tidak enak badan?” tanya orang itu.

Hoseok menggeleng. “Bukan begitu, panjang ceritanya.”  Hoseok segera berdiri sambil menenteng tas punggungnya. “Serius, aku tidak apa-apa. Sebentar, ya.”

“Kalau sedang sakit tidak usah du…” Hoseok segera membungkam mulut pria itu dengan tangannya, padahal belum selesai bicara.

“Kalau aku bilang tidak apa-apa ya, tidak apa-apa, Namjoon. Lihat! Siapa sekarang yang lebih khawatir?”

xxx

“Naik tangga katamu?”

Hoseok hanya mengangguk. Setidaknya membicarakan kebodohan di harapan orang lain tidak dosa, kan? Apalagi orang itu sudah melihatnya juga. Tidak ada yang perlu ditutupi, dibongkar saja.

“Huahaha…” Namjoon tertawa keras. “Perutku sakit.”

“Terserahlah!” Hoseok jengah mendengar tawa Namjoon, ia alihkan pandangan menuju ke luar jendela. Langit mulai berubah kemerahan, tanda pergantian sore ke malam hari, tapi sekarang mereka berdua pergi bersama, berbelanja, bukannya istirahat atau melakukan hal-hal yang penting seperti melanjutkan pekerjaan, misalnya.

“Oh iya, ngomong-ngomong kenapa kau bersikeras ingin belajar membuat Pai, Namjoon? Kalau ingin, bisa beli saja, kan?”

“Tidak.” Mendadak air muka Namjoon berubah. Hoseok lantas segera mengatupkan mulutnya, merasa salah bicara.

“Maaf, aku tidak akan mempertanyakan alasanmu lagi, Namjoon. Aku akan membantumu.”

“Nanti kau juga akan tahu,” balas Namjoon. “Hoseok, apakah tokonya ini? Kita sudah hampir sampai.”

xxx

“Kalian seperti pasangan saja,” kata salah seorang kasir.

Membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk keduanya memilih bahan dan alat untuk membuat Pai. Salahkan Namjoon yang mencari perkara, ia berusaha mendebat Hoseok ketika memilih bahan dari tadi. Mengatakan tahu seluk beluk segala hal berdasarkan pengetahuan umum, membuat Hoseok pasang badan dan melawan. “Kamu tahu teori, tapi kan praktek belum,” ujar Hoseok dan di saat-saat akhir Namjoon pun kalah telak. Menyerahkan segalanya pada Hoseok dan menerima diri menjadi murid.

“Kata siapa?” Hoseok tertawa. Apa-apaan!

“Dari perawakannya cocok,” balas sang kasir. Hoseok mengangguk mengiakan agar cepat selesai. Sementara Namjoon di belakang Hoseok hanya diam saja, melihat. Entah apa yang dipikirkan pria itu soal percakapan antara Hoseok dan sang kasir ini. Bisa jadi cuma godaan basa-basi, tidak perlu dihiraukan, ataukah memang betul-betul cocok dari pandangan orang lain. Apa pun itu, Namjoon cuma diam saja, tidak ada yang bisa menerka isi pikirannya.

xxx

Hoseok dan Namjoon akhirnya keluar dari toko alat dan bahan kue sembari menenteng banyak kantong plastik. “Sekarang kita kembali ke apartemen,” seru Hoseok riang.

“Iya,” kata Namjoon. “Haltenya ada di seberang jalan, ayo kita me… Yah, sudah duluan.”

Hoseok meninggalkan Namjoon lebih dulu menuju penyeberangan. Sesungguhnya ia sudah agak lelah, jadi yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana agar cepat sampai daripada menikmati perjalanan. Sayangnya, saking ingin pulang, Hoseok mengabaikan banyak hal termasuk teriakan orang-orang yang menyuruhnya mundur, bahkan klakson yang dari tadi terus bersahut-sahutan di sekitarnya.

“Ada apa?” tanya Hoseok pada dirinya sendiri, sebelum ia merasakan badannya ditarik kuat oleh seseorang.

xxx

“Kau tidak apa-apa?”

Hoseok masih belum sadar. Ia diam saja, bingung ingin bereaksi apa.

“Jawab!”

“Tidak apa-apa,” balas Hoseok.

“Syukurlah.”

Hoseok kini sedang berada dalam pelukan seseorang. Seseorang yang gemetaran dan begitu takut akan kehilangan. Saking takutnya, Hoseok dipeluk sangat kencang hingga Hoseok merasakan sesak. Namun, Hoseok menahannya, bukan karena sakit, tapi entah mengapa ia ingin terus-terusan berada di pelukan orang ini, begitu hangat, memberikan kenyamanan sekaligus menenangkan.

“Untung saja. Kalau aku tidak sadar, kau pasti sudah tertabrak,” balas orang itu lagi. Saat ini, Hoseok dan orang itu sedang berada di pinggir jalan dekat dengan lampu lalu lintas, kerumunan sudah mulai menghilang.

Semua panik, saat Hoseok yang tampak sibuk dengan dunianya bergerak ke tengah jalan, tanpa kesadaran pula. Tidak ada yang berani mendekati, takut tertabrak, tapi pria itu--yang melihat dari kejauhan dengan sigap datang—menarik tangan Hoseok kuat hingga terbebas dari lalu lalang kendaraan yang kapan saja siap meremukkan tulang-tulang Hoseok.

"Ya." Hoseok masih terkejut dengan keadaan yang cepat itu. "Maaf."

"Iya.." Pria itu melepaskan pelukannya pada Hoseok, kemudian berdiri. "Ayo kita pulang, Hoseok."

"Iya…" Hoseok juga berdiri mengikuti pria itu. "Lagi pula, masih ada hal yang harus kita lakukan, bukan?" Hoseok tertawa. "Maaf, gara-gara aku jadi terlambat pulang. Padahal tadi aku berpikir tentang pulang cepat, malah jadi seperti ini."

"Tidak apa-apa, bukan salahmu." Pria itu lantas mencari tangan Hoseok dan menggandengnya. "Jangan seperti itu lagi. Aku tidak akan memaafkan diriku kalau terjadi sesuatu pada dirimu."

xxx

"Nah, sekarang kita sudah sampai." Hoseok bergegas mencuci tangan sementara pria yang bersamanya tadi mengikuti di belakang.

"Cepat sekali perasaanmu berubah ya, Hoseok," kata pria itu. Ya, kalau dipikir-pikir kejadian tadi memang sangat menakutkan. Terlambat sedikit, Hoseok akan jadi korban.

Sedih mungkin adalah perasaan lumrah yang terpikirkan saat menghadapi sesuatu yang tidak terduga seperti tadi, tapi tidak ada yang melarang perasaan bahagia juga, kan? Bahagia karena masih diberi ampun oleh Tuhan dan selamat melewati maut..

Namun, bagi Hoseok, ia terlihat bahagia bukan karena bersyukur juga, melainkan menutupi rasa aneh yang melingkupi hatinya. Rasa sedih juga kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri yang tidak bisa menjadi manusia dalam pikiran orang-orang. Manusia tanpa celah, tanpa cela, tanpa lara. Buktinya, ia cuma jadi sumber masalah, bahkan dalam beberapa bulan saja.

“Namjoon pasti menyesal pernah mengenalku,” gumam Hoseok dalam perjalanan kembali ke apartemen. Bus jadi lebih sepi walau nyatanya yang menjadi penumpang bukan hanya dirinya dan Namjoon saja. Tidak ada yang berbicara setelah kejadian itu. Keheningan memenuhi ruang di antara Hoseok dan Namjoon. Keadaan menjadi lebih canggung juga dari sebelumnya.

“Namjoon itu orang yang seperti apa, ya?” Namjoon, pria itu, berbeda. Pertemuan yang tanpa sengaja juga kedekatan yang terjalin seperti sudah diatur. Takdir. Hoseok percaya tidak percaya, dan lagi-lagi Pai, ada apa dengan Pai-nya? Kenapa Namjoon jadi aneh begitu bercerita tentang Pai buatannya? Ditambah aksi heroik bak pahlawan tadi yang semakin membuat Hoseok heran. “Namjoon itu sebenarnya kenapa?”

“Iya, ya… Hahaha.” Kembali kepada adegan cuci tangan dan bersih-bersih. Hoseok kembali menutupi dengan gelak tawa. “Aquarius itu kan perasaannya suka berubah-ubah seperti angin, hahaha...”

Hoseok sudah selesai mencuci tangan, sekarang giliran Namjoon. “Oh, ya? Bukannya Aquarius itu air?”

Hosek lantas menyilangkan tangannya di depan dada. “Aqua memang air, tapi elemennya udara, mereka bebas, sama seperti Gemini dan Libra.”

Namjoon mengangguk. “Kau tahu banyak soal zodiak rupanya.”

“Tidak juga, hanya zodiakku saja,” balas Hoseok. “Baik, sekarang langsung ke inti saja. Namjoon ayo, pakai apronnya!”

“Yes, chef!”

Lalu keduanya tertawa bersama.

xxx

"Wow, Hoseok, lihat! Kuenya mengembang sempurna." Namjoon melihat oven dengan perasaan yang tidak keruan. "Ah, pasti enak."

"Wah, ini bagus, Namjoon." Hoseok mengikuti arah pandang Namjoon dan sama takjubnya dengan pria itu. Siapa sangka, acara belajar memasak dan memanggang yang bisa dibilang kacau dan rusuh karena Hoseok yang harus sabar menghadapi keteledoran juga kecerobohan Namjoon akhirnya menghasilkan kue yang baik.

Iya, kuenya bisa dikatakan baik, tapi rasanya belum tentu.

"Rasanya juga pasti enak," kata Namjoon. "Ah, senangnya, ada juga yang berhasil kubuat."

"Memangnya selama ini kau tidak berhasil memasak apa pun?" tanya Hoseok ingin tahu.

"Anu…" Namjoon malu. "Aku biasanya hanya masak ramyun saja. Aku selalu tidak bisa memasak yang lain. Kalau tidak berakhir dengan panci yang gosong, bisa jadi berakhir dengan makanannya yang gosong. Tinggal pilih di antara keduanya."

"Harusnya kau bilang dari awal, biar aku bantu," jawab Hoseok merasa prihatin. "Ramyun terus, itu tidak sehat."

"Iya, kan kita belum saling mengenal," balas Namjoon dan menyengir.

Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara dari oven. Kue Pai-nya sudah jadi. Hoseok membantu mengeluarkan mahakarya Namjoon itu dari dalam oven.

"Tada! Apple Pai ala chef Namjoon sudah jadi. Mari kita hias." Hoseok sangat bersemangat, terlebih lagi Namjoon yang begitu bahagia melihat kue buatannya yang benar-benar bagus dari segi tampilan, harumnya pun juga wangi. Tidak sabar untuk segera dicicipi.

"Nah, Namjoon. Aku saja yang potong, ya," kata Hoseok. Namjoon mengangguk, ia juga tidak mau menghancurkan kue Pai itu dengan sikap sembrononya.

"Sudah, sekarang Namjoon dulu yang makan." Hoseok mengambil satu bagian Pai dan memberikannya pada Namjoon. "Silakan, chef," kelakar Hoseok pada sang chef yang hari ini telah bekerja keras.

Namjoon mengangguk, mengambil Pai dari tangan Hoseok dan mulai menggigitnya sedikit demi sedikit. Hoseok melihat pria itu dengan pandangan berbinar, rasanya pasti bahagia memakan hasil masakan sendiri, seperti semua jerih payah terbayarkan. Teringat waktu kali pertama Hoseok memasak dan hasil masakannya ia makan sebagai makan siang waktu itu, rasanya tidak dapat tergambarkan oleh kata-kata. Puas juga mengenyangkan.

"Bagaimana, Namjoon?" tanya Hoseok. Namun, Hoseok tak mendapatkan jawaban pasti, melainkan air mata Namjoon yang turun melintasi pipi yang dilihatnya.

"Namjoon, kau kenapa?" Hoseok iba. Ia segera mendekati Namjoon dan memeluknya erat. "Enak, ya? Sangat enak?"

Namjoon mengangguk. "Enak."

Hoseok tertawa, di matanya Namjoon saat ini lebih seperti siswa sekolah dasar yang menangis lalu mengelap air mata dengan ujung seragam sekolah. Ah, pikiran Hoseok suka sekali kembali ke masa lalu ketika bersama Namjoon.

"Selamat, Namjoon!" seru Hoseok. "Kau berhasil membuat Pai-nya."

"Iya, apalagi ada kau yang membantuku." Namjoon melepaskan pelukan Hoseok. "Terima kasih, Hoseok."

"Hehehe…" Hoseok hanya balas tertawa. "Kenapa kau menangis, Namjoon? Jangan bilang karena kau terharu, walaupun itu sah-sah saja."

"Aku…" Namjoon diam. Ia menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. "Maaf…"

"Kalau kau tidak ingin cerita, tidak apa-apa."

"Aku ingin," jawab Namjoon. "Sebentar, aku perlu waktu… Baiklah, sudah."

"Kau mau duduk dulu, dari tadi kau berdiri saja." Hoseok menarik bangku dan mengaturnya agar Namjoon bisa duduk. "Ayo duduk dulu, ini ada air putih, diminum dulu."

xxx

"Pai apel adalah makanan terakhir yang ibuku masak sebelum pergi, Hoseok," tutur Namjoon. Hoseok menunduk. "Beliau tertabrak ketika hendak ke kantor."

"Jadi, kau…" Hoseok tidak dapat melanjutkan kata-katanya, teringat Namjoon yang sangat cemas ketika menyaksikan Hoseok yang hampir tertabrak di depan pria itu. "Maaf…"

"Untuk apa kau minta maaf terus," balas Namjoon sambil tertawa. "Aku sudah tidak apa-apa."

"Tidak, maksudku, saat tadi… Peristiwa tadi.. Aku… Ya…"

"Kau mau bicara apa, Hoseok?" Namjoon tertawa lagi. "Aku hanya tidak ingin kehilangan orang yang berharga bagiku."

"Aku, penting?" Hoseok malah bingung. "Berharga, untuk mengajarimu membuat kue Pai, kan?"

"Iya, itu juga, hahaha…"

"Lagi pula…" Hoseok meletakkan tangannya di dagu seperti orang berpikir. "Banyak orang yang menjual Pai apel, tapi kenapa kau suka Pai buatanku? Maksudnya, Pai buatanku juga termasuk salah satu yang enak, bukan? Dari sekian banyak Pai apel yang pernah kau makan?" Hoseok bertanya panjang lebar. Banyak hal yang ingin ia ketahui tentang Namjoon.

Namjoon menggeleng. "Tidak ada kue Pai yang seenak buatan ibuku, tapi ketika aku memakan kue Pai buatanmu, aku jadi teringat ibuku. Kue Pai buatanmu mirip dengan buatan ibuku. Oh ya, bagaimana caramu belajar membuat kue Pai apel itu?"

"Aku?" Hoseok menunjuk dirinya sendiri. "Hanya belajar dari resep-resep yang ada di buku resep, tidak ada yang istimewa, Namjoon."

"Oh, begitu." Namjoon tersenyum. "Tapi Pai buatanmu berbeda, itu begitu enak dan…. Aku jadi sangat bahagia saat memakannya."

"Syukurlah kalau begitu. Aku jadi senang, Namjoon." Hoseok tersenyum lebar. "Berarti masakanku sukses."

"Oh ya, Hoseok." Namjoon kemudian menunjuk bagian atas kepalanya. "Benjolannya masih ada."

Dikatakan seperti itu, Hoseok lantas melihat ke arah atas kepala Namjoon dan menemukan benjolan besar di sana. Hoseok menghela napas, tentu saja butuh waktu lama untuk sembuh.

"Iya, aku tahu, jangan diingatkan lagi," jawab Hoseok. "Lalu, bagaimana? Kau ingin aku mengantarkanmu ke rumah sakit?"

Namjoon menggeleng. "Bukan…."

Hoseok menyipitkan mata, bingung, lantas apa keinginan pria ini?

Hoseok kemudian dengan cepat berpikir, menebak keras maksud Namjoon. Namun, tidak berlangsung begitu lama karena pria itu telah memeluk Hoseok lagi. Kali ini tidak erat seperti sebelumnya. Pelukannya lebih lembut, Hoseok terkejut ia jauh lebih terbuai daripada tersiksa, hahaha…. Hah? Terbuai?

"Hoseok…."

"I-iya, Namjoon… Kenapa?"

"Kau masih ingat janjimu, kan?"

"Janji apa?" tanya Hoseok lagi. Serius, karena kejadian di jalanan tadi, Hoseok mendadak amnesia rasanya. Ia melupakan banyak hal.

"Bodoh!" seru Namjoon sambil tertawa, tapi tetap memeluk Hoseok. "Janjimu untuk merawatku."

"Oh, itu.. Hahaha… Lalu, raja ini ingin apa?" ledek Hoseok.

"Bisakah kau mengabulkan keinginanku lagi? Kali ini untuk merawatku sepanjang hidupku, Hoseok?"

"Eh!" Hoseok langsung menarik dirinya dari Namjoon. "Maksudnya? Kita baru saja berkenalan!"

Namjoon tersenyum. "Aku tidak bohong ketika aku mengatakan aku tidak ingin kehilangan orang yang berharga. Kau berharga bagiku, Hoseok, karena itu aku tidak kehilangan dirimu. Berharga karena apa pun, bukan hanya karena kau guruku juga." Namjoon tertawa setelahnya, tapi menjadi sendu seketika sebelum menatap mata Hoseok dalam-dalam dan berkata, "Hoseok, aku menyukaimu, pada pandangan pertama. Dirimu, kebaikanmu, dan segalanya, aku telah jatuh padamu, maukah kau…. Menjadi kekasihku, Hoseok?"

xxx

Epilog

"Hoseok, sudah lama kita tidak bertemu, ya!"

"Hai, sini!" Hoseok melambaikan tangannya. Apartemen yang tak lagi sama membuat dirinya dan teman-teman lamanya jarang bertemu. Malah bisa dikatakan tidak pernah bertemu lagi setelah hari kepindahannya.

"Aduh, Hoseok, bagaimana kabarmu? Kami merindukanmu."

"Benar," timpal salah satu teman Hoseok yang lainnya. "Bagaimana apartemen baru? Menyenangkan?"

"Aku rasa tidak, Hoseok pasti merindukan kita," balas teman Hoseok yang lain.

Hoseok hanya tertawa saat mendengarkan kedua temannya itu.

"Bagaimana, bagaimana, Hoseok? Ayo, cerita!"

"Iya, ini mau cerita." Hoseok tersenyum. "Oh, ya, omong-omong. Aku ingin memperkenalkan kalian dengan kekasihku." Hoseok kemudian mengambil ponselnya. "Namanya Kim Namjoon. Sayang sekali,  sekarang dia sedang berada di kantor. Jadi ini, aku tunjukkan fotonya saja, ya."

Tidak kaku sehingga dapat melihat berbagai celah yang tidak terduga merupakan wujud dari

END