Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kesultanan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat[2] dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatra dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatra dan Kalimantan.[3][4][5] Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.[6] Siak Sri Inderapura ﻛﺴﻠطﺎﻧﻦ سياك سري إندراڤورا
Bendera
Lambang Kesultanan Siak pada 1850 Ibu kotaBuantan,Mempura, Pekanbaru, Siak Sri InderapuraBahasa yang umum digunakanMelayuAgama IslamPemerintahanMonarkiYang Dipertuan Besar • 1723-1746 Raja Kecik• 1781-1791 Raja Yahya• 1791-1811 Sultan Sayyid Ali• 1915-1946 Sultan Syarif Kasim II Sejarah• Didirikan 1723• Bergabung dengan Indonesia 1945
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu berkaitan erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam; seseorang yang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.[7][8] Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yang bermakna pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii,[9] masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo, seorang penulis geografi dari Yunani.[10] Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai.[11] Perkembangan agama Islam di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam. Hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak.[8] Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.[12][13] Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, tetapi terdapat sedikit pengaruh Minangkabau dengan identitas matrilinealnya yang masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa warisan dalam bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.[14] Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak merupakan kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau,[15] kemudian menjadi vasal Kesultanan Melaka sebelum ditaklukkan oleh Portugal. Sejak jatuhnya Malaka ke tangan VOC, Kesultanan Johor telah mengklaim Siak sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Hal ini berlangsung hingga kedatangan Raja Kecil yang kemudian mendirikan Kesultanan Siak.[3] Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk melepaskan Siak dari pengaruh Kesultanan Johor.[5] Sementara dalam Hikayat Siak, Raja Kecil disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan.[16] Berdasarkan korespondensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Melaka saat itu, disebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC.[17] Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri yang ditujukan kepada pihak Belanda, menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.[18] Sebelumnya dari catatan Belanda, dikatakan bahwa pada tahun 1674 telah datang utusan dari Johor meminta bantuan raja Minangkabau untuk berperang melawan raja Jambi.[19] Dalam salah satu versi Sulalatus Salatin, juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke Johor (1673),[20] yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yang sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugal dan Aceh.[21][22] Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.[23] Pada tahun 1718, Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor[3] sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor. Namun pada tahun 1722, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara Johor, yang juga menuntut hak atas takhta Johor. Atas bantuan pasukan bayaran dari Bugis, Raja Sulaiman kemudian berhasil mengkudeta takhta Johor, dan mengukuhkan dirinya menjadi penguasa Johor di Semenanjung Malaka. Sementara Sultan Abdul Jalil, pindah ke Bintan dan pada tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura.[5] Sementara pusat pemerintahan Johor yang sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu saja, dan menjadi status quo dari masing-masing penguasa yang bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah takhta Johor, diakui oleh komunitas Orang Laut. Orang Laut merupakan kelompok masyarakat yang bermukim pada kawasan Kepulauan Riau yang membentang dari timur Sumatra sampai ke Laut Tiongkok Selatan, dan loyalitas ini terus bertahan sampai kepada beberapa keturunan Raja Kecil berikutnya.[24] Sultan Siak dan Dewan Menterinya serta Kadi Siak pada tahun 1888 Upacara penobatan Sultan Siak pada tahun 1899 Dengan klaim sebagai pewaris Malaka,[4] pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukkan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak dan kemudian membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun, pada 1728, atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, Raja Kecil diusir keluar dari Kepulauan Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya. Atas keberhasilannya itu, Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat.[24] Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya di Kepulauan Riau dan mulai membangun kekuatan baru di kawasan sepanjang pesisir timur Sumatra. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.[25] Karena mendapat ancaman dari Siak, dan pada saat yang bersamaan orang-orang Bugis juga meminta balas atas jasa mereka, maka Raja Sulaiman meminta bantuan kepada Belanda di Malaka. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1746 itu, Johor menjanjikan akan memberikan Bengkalis kepada Belanda. Perjanjian itu kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.[26][27] Sepeninggal Raja Kecil pada tahun 1746, klaim atas Johor memudar. Pengantinya, Sultan Mahmud, berfokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatra dan daerah vasal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan.[28] Setelah Raja Mahmud wafat, muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini. Raja Muhammad Ali yang lebih disukai Belanda kemudian menjadi Sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail yang tidak disukai Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatra sampai ke Laut Tiongkok Selatan, dan membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.[29] Sekitar tahun 1767, Raja Ismail telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil. Didukung oleh Orang Laut, ia terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatra, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan. Hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan, mulai dari Terengganu, Jambi, dan Palembang. Laporan Belanda menyebutkan, Palembang telah membayar 3.000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan. Sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.[29] Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatra. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,[30] termasuk wilayah Deli dan Serdang.[31] Di bawah ikatan perjanjian kerja sama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor.[32] Sebelumnya mereka telah bekerja sama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat. Kesultanan Siak dan taklukannya, 1850. Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka, serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan pada tahun 1783 ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka.[33] Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang.[34] Di sisi lain, kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan dan permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dalam Tuhfat al-Nafis,[35] di mana dalam deskripsi ceritanya mereka menggambarkan Sultan Siak sebagai "orang yang rakus akan kekayaan dunia".[butuh rujukan] Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini, berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar, timah, dan emas. Pada saat bersamaan, Kesultanan Siak juga telah menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka dan salah satu kawasan industri kayu untuk pembuatan kapal maupun bangunan. Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung ke sumber beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC. Namun, tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yang tidak berujung.[36] Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaya cukup signifikan. Mereka mampu menggantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan. Selain itu, Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan Kuantan, yang mana sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian, kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri.[28] Wilayah zelfbestuur di Sumatra Tengah, termasuk Siak, 1941. Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatra tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan, Kesultanan Langkat, dan kemudian muncul Indragiri sebagai kawasan mandiri.[37] Begitu juga di Johor, di mana seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor kembali didudukkan, dan berada dalam perlindungan Inggris di Singapura.[38][39] Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat, dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu, Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw yang merupakan bagian dari pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.[40][41][42] Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris.[43] Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia Belanda,[44] setelah memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858.[28][45] Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap pengangkatan raja, Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan pemerintahan Hindia Belanda.[28] Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan Inggris dan Belanda, melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya.[46] Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatra antara pihak Inggris dan Belanda, menjadikan Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah.[47] Kemudian berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau.[48] Namun, di tengah tekanan tersebut, Kesultanan Siak masih tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia,[6] walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.[butuh rujukan] Bergabung dengan IndonesiaPotret Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim II dan istrinya (1910-1939) Sultan Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang tidak memiliki putra. Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.[6] Sebagai bagian dari rantau Minangkabau, sistem pemerintahan Kesultanan Siak mengikuti model Kerajaan Pagaruyung. Setelah posisi Sultan, terdapat Dewan Menteri yang mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Pagaruyung. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan.[49] Dewan Menteri bersama dengan Sultan, menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya.[14][50] Dewan menteri ini terdiri dari:
Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan pembenahan sistem birokrasi pemerintahannya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh model birokrasi pemerintahan yang berlaku di Eropa maupun yang diterapkan pada kawasan kolonial Belanda dan Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat Jabatan yang diterbitkan tahun 1897. Naskah ini terdiri dari 33 halaman yang panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi atau tulisan Arab-Melayu. Ingat Jabatan merupakan dokumen resmi Siak Sri Inderapura yang dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut, ditutup dengan peringatan serta perintah untuk tidak berkhianat kepada sultan dan nagari.[51] Pada perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa'id.[52] Kitab ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yang dikenakan kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lain yang terlibat perkara dengan masyarakat Melayu. Namun, tidak mengikat orang Melayu yang bekerja dengan pihak pemerintah Hindia Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia Belanda.[14] Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak sebagai anggota. Selanjutnya, beberapa nama jabatan lainnya dalam pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas Polisi. Kemudian terdapat juga warga dalam yang bertanggung jawab terhadap harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendahari Sriwa Raja yang bertanggung jawab terhadap pusaka kerajaan.[51] Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu dan hilir, masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dalam bentuk distrik[48] yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan bertanggungjawab kepada Sultan Siak yang juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak,[53] salah satunya keturunan Al-Jufri yang bergelar Bendahara Patapahan.[54] Pada kawasan tertentu, ditunjuk Kepala Suku yang bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yang sama dengan Penghulu, tetapi memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang tidak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan Antan-antan. Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak, sama halnya dengan pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir.[14][50][55] Menurut Bab Al-Qawa'id[52], kitab hukum kesultanan Siak, wilayah administrasi kesultanan dibagi ke dalam 10 propinsi, setiap propinsi dipimpin oleh hakim polisi yang memiliki gelar masing-masing. Untuk urusan keagamaan, tiap provinsi tersebut ditunjuk seorang imam jajahan sebagai hakim syari'ah. Adapun pembagiannya adalah: Propinsi Negeri Siak
Tengku Besar yang terkenal adalah Sayyid Sagaf, sepupu Sultan Syarif Kasim II yang ditunjuk sebagai wali sultan (regent) bertugas menjalankan pemerintahan semasa sultan menempuh pendidikan di Batavia dan belum diresmikan sebagai sultan.[56]
Propinsi Negeri Tebing Tinggi
Propinsi Negeri Merbau
Propinsi Negeri Bukit Batu
Propinsi Negeri Bangko
Salah satu Imam Bangko yang dikenal bernama Imam Abdullah.[57]
Propinsi Negeri Tanah Putih
Propinsi Negeri Kubu
Propinsi Negeri Pekanbaru
Propinsi Negeri Tapung Kiri
Propinsi Negeri Tapung Kanan
Daftar Sultan Siak Sri Inderapura.
Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura yang dibangun pada tahun 1889,[62][63][64] masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin Melayu dan Tari Olang-olang yang pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura.[50] Begitu juga nama Siak masih merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yang bermuara di kawasan timur pulau Sumatra.[65]
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Sultans of Siak.
|