Raden paku adalah seorang wali yang berdakwah dan berkedudukan di

SUNAN GIRI
Biografi

Sunan Giri atau yang mempunyai nama lain Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra adalah nama salah seorang Wali Songo yang berkedudukan di desa Giri, Kebomas, Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra Sengkala “Jalmo orek werdaning ratu” (1365 Saka). dan wafat pada tahun Saka Candra Sengkala “Sayu Sirno Sucining Sukmo” (1428 Saka) di desa Giri, Kebomas, Gresik. Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; iaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Ali Al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad Al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut. Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, puteri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahiran Sunan Giri ini dianggap rakyat Blambangan sebagai pembawa sumpahan berupa wabak penyakit di kerajaan Blambangan. Kelahiran Sunan Giri disambut Prabu Menak Sembuyu dengan membuatkan peti terbuat dari besi untuk tempat bayi dan memerintahkan kepada para pengawal kerajaan untuk menghanyutkannya ke laut. Berita itupun tak lama terdengar oleh Dewi Sekardaru. Dewi Sekardadu berlari mengejar bayi yang baru saja dilahirkannya. Siang dan malam menyusuri pantai dengan tidak memikirkan lagi akan nasib dirinya. Dewi Sekardadupun meninggal dalam pencariannya.

Peti besi berisi bayi itu terombang-ambing ombak laut terbawa hinga ke tengah laut. Peti itu bercahaya berkilauan laksana kapal kecil di tengah laut. Cahaya itu kemudian terlihat oleh sekelompok awak kapal (pelaut) yang hendak berdagang ke pulau Bali. Awak kapal itu kemudian menghampiri, mengambil dan membuka peti yang bersinar itu. Awak kapal terkejut setelah tahu bahawa isi dari peti itu adalah bayi lelaki yang molek dan bercahaya. Awak kapal pun memutar haluan kembali pulang ke Gresik untuk memberikan penemuannya itu kepada Nyai Gede Pinatih seorang saudagar perempuan di Gresik sebagai pemilik kapal. Nyai Gede Pinatih kehairanan dan sangat menyukai bayi itu dan mengangkatnya sebagai anak dengan memberikan nama Joko Samudra.

Saat mulai remaja diusianya yang ke12 tahun, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk berguru ilmu agama kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel) atas permintaannya sendiri. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identiti sebenar dari murid kesayangannya itu. Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai sebelum menunaikan keinginannya untuk melaksanakan ibadah Haji. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Di sinilah, Joko Samudra mengetahui cerita mengenai jalan hidup masa kecilnya. Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden ‘Ainul Yaqin diperintahkan gurunya yang tak lain adalah ayahnya sendiri itu untuk kembali ke Jawa untuk mengembangkan ajaran islam di tanah Jawa.

Dengan berbekal segumpal tanah yang diberikan oleh ayahandanya sebagai contoh tempat yang diinginkannya, Raden ‘Ainul Yaqin berkelana untuk mencari dimana letak tanah yang sama dengan tanah yang diberikan oleh ayahanya. Dengan bertafakkur dan meminta pertolongan serta petunjuk dari Allah SWT. maka petunjuk itupun datang dengan adanya bukit yang bercahaya. Maka didatangilah bukit itu dan di lihat kesamaanya dan ternyata memang benar-benar sama dengan tanah yang diberikan oleh ayahnya. Perbukitan itulah yang kemudian ditempati untuk mendirikan sebuah pesantren Giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas, Gresik pada tahun Saka nuju tahun Jawi Sinong milir (1403 Saka). Pesantren ini merupakan pondok pesantren pertama yang ada di kota Gresik. Dalam bahasa Jawa, giri bererti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Sulawesi dan Maluku. Kerana pengaruhnya yang luas saat itu Raden Paku mendapat julukan sebagai Raja dari Bukit Giri. Pengaruh pesantren Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan yang disebut Giri. Kerajaan Giri Kedaton menguasai daerah Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung. Terdapat beberapa karya seni tradisonal Jawa yang sering dianggap berhubung-kait dengan Sunan Giri, di antaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Jor, Gula-ganti, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Perjalanan Sunan Giri

SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: “Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik“. Pesan yang tak terlalu sulit, sebenarnya. Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, “giri” bermakna gunung. Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri, yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana.

Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat tapak Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di tapak itu berdiri sebuah pecahan berukuran 6 x 5 meter. Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini nampak lengang. “Memang banyak orang yang tidak tahu tapak ini“, kata Muhammad Hasan, Sekretariat Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA. Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, kerana Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul. Ia tidak mahu berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merosak kemurnian Islam. Kerana itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum “putihan”, aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku.

Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan. Misalnya dengan wayang. Fahaman ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada perasmian Masjid Demak. “Aliran Tuban. Sunan Kalijaga ingin meramaikan perasmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, kerana gambar wayang itu berbentuk manusia. Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit.

Ketika Sunan Ampel, “ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata. Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Mac 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan pentadbiran negara. Ia pernah menyusun peraturan kerajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan. Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri. Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh kerana diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan.

Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putera Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi. Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya. Nampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syeikh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, puteri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, kerana ingin menyebarkan agama Islam. Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabak penyakit.

Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, turut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengubatinya. Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengubati sang Dewi, jika lelaki akan dijodohkan dengannya, jika perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputus-asaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti. Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi “referensi” tentang Syeikh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengubati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi. Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewi Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebahagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.

Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu, yang sedang mengandung tujuh bulan, agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi lelaki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti. Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi lelaki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan kepada Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam. Kerana kecerdasannya, anak itu diberi gelar “Maulana `Ainul Yaqin“. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan puteranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syeikh Maulana Ishak. Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya.

Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekalkan Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya itu. Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya.

Peranan Sunan Giri Dalam Perjuangan Wali Songo

Sebelumnya telah disebutkan bahawa hanya dalam tempoh waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke Negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana kerana dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedaton (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf. Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justeru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropah (Rom), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah pengembara kebesaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada zamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas. Disekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk kerana sukarnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat perigi atau sumber air itu sangat pelik dan ghaib, hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.

Sebagai Pemimpin Kaum Putihan

Dalam menentukan hukum agama yang pada saat itu memang sedang menghadapi ujian adanya masalah-masalah ummat yang pelik, Sunan Giri sangat berhati-hati, beliau khuatir terjerumus pada jurang kemusyrikan. Itu sebabnya beliau sangat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang sahih. Ibadah menurut beliau haruslah sesuai dengan ajaran Nabi, tidak boleh dicampuri dengan berbagai kepercayaan lama yang justeru bertentangan dengan agama Islam. Kerana mahirnya beliau di bidang ilmu fiqih maka beliau mendapat sebutan Sultan Abdul Fakih. Di bidang tauhid beliau juga tak kenal kompromi dengan adat istiadat lama dan kepercayaan lama. Kepercayaan Hindu-Budha atau animesme dan dinamisme harus dikikis habis. Adat istiadat lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus dilenyapkan supaya tidak menyesatkan ummat dibelakang hari. Pelaksanaan syariat Islam di bidang agama ibadah haruslah sesuai dengan ajaran aslinya yang termasuk didalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kerana sikapnya ini maka Sunan Giri dan pengikutnya disebut kaum Putihan atau Islam Putih. Islam Putihan ini ertinya adalah dalam beragama mengikuti jalan lurus, putih bersih seperti ajaran aslinya. Pemimpin kaum putihan adalah Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajad.

Kalau ada Islam Putihan tentunya ada Islam Abangan, anak Islam Abangan ini adalah para pengikut Sunan Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan Muria. Tujuan Aliran Islam Abangan ini adalah agar Islam cepat tersiar keseluruh penduduk Tanah Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama Islam, kerana itu mereka berpendapat :

  1. Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidak merubah adat yang berat ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam menyebarkan Islam.
  2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka ditiadakan.
  3. Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang benar.
  4. Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau terjadinya kekerasan dalam menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa mengeruhkan airnya
  5. Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga rakyat mahu diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa ajaran agama Islam itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya mahu mendekat kepada para ulama atau para Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat seperti gending dan wayang kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.

Itulah pendapat kaum Abangan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Perlu diketahui walaupun ada perbezaan dalam cara menyiarkan Islam, tapi pada waktu itu tidak sampai terjadi ketegangan, dan kedua belah pihak masih sama-sama berfaham Ahlussunah waljamaah dan bermahZab Syafi’i. Kedua pihak sama-sama menyedari pentingnya pos mereka. Pihak Putihan menjaga kemurnian agama Islam agar tidak bercampur dengan fahaman yang berbau syirik. Sedangkan pihak Abangan adalah mengajak masyarakat atau rakyat secepatnya menjadi pemeluk agama Islam. Bila sudah menjadi pemeluk Islam tinggal menyempurnakan iman mereka saja.

Raden paku adalah seorang wali yang berdakwah dan berkedudukan di
Suasana dalam Makam Sunan Giri
Foto : situsbudaya.id

Perasmian Masjid Demak

Dalam perasmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber iaitu berupa gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, kerana wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri. Jika Sunan Kalijaga mengusulkan perasmian Masjid Demak itu dengan persembahan wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid Demak dirasmikan pada hari jum’at sementara melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak akan disebut sebagai gambar manusia lagi. Lebih kepada karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.

Sunan Kalijaga membawa wayang ciptaannya itu dihadapan sidang para Wali. Kerana tak dapat disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah. Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikeranakan sanggahan Sunan Giri, kerana itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata, yang erti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata. Maka perdebatan tentang perasmian Masjid Demak dapat diatasi. Perasmian itu akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukan wayang kulit yang dibawakan oleh Ki Dalang Sunan Kalijaga.

Prabu Satmata Dan Giri Kedaton

Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan spiritualnya juga semakin luas. Tidak dapat dipungkiri lagi bahawa pesantren Giri kemudian berubah menjadi kerajaan Giri yang sering disebut Giri Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama bergelar Prabu Satmata. Sunan Ampel wafat pada tahun 1478, maka Sunan Girilah yang diangkat sebagai sesepuh Wali Songo atau Mufti (pemimpin agama se Tanah Jawa). Sunan Ampel adalah Penasihat bahagian politik Demak. Jasa beliau sungguh besar bagi perjuangan Wali Songo, iaitu menyebarkan agama Islam tanpa kekerasan. Beliaulah yang paling tidak setuju atas beberapa usul agar Raden Patah segera menyerang Majapahit agar Demak dapat berdiri sebagai kerajaan Islam merdeka tanpa harus tunduk kepada Majapahit. Sunan Ampel dan Sunan Giri yang masih ada ikatan keluarga kerajaan Majapahit memang dianggap Prabu Brawijaya sebagai pembesar atau para Pangeran Majapahit yang berkuasa didaerah masing-masing. Sunan Ampel berkuasa di Surabaya dan Sunan Giri berkuasa di Giri Gresik. Dengan demikian Sunan Ampel adalah orang yang paling tahu situasi kerajaan Majapahit. Ketika beberapa wali mengusulkan untuk menyerbu Majapait, Sunan Ampel menyatakan ketidak setujuannya.

“Tanpa diserbupun Kerajaan Majapahit sudah lompang dari dalam. Lagi pun Prabu Brawijaya Kertabumi itu masih ayah kandung kepada Raden Patah selaku Pangeran Demak Bintoro“, Kata Sunan Ampel. “Apa kata orang nanti bila seorang anak durhaka menyerang dan merebut takhta ayahnya sendiri ? Saya rasakan Kerajaan Majapahit akan sirna dengan sendirinya, beberapa adipati yang masih beragama Hindu sudah banyak yang ingin merebut kekuasaan. Kita tak usah ikut-ikutan merebut takhta Majapahit yang hanya mencemarkan keagungan agama yang kita anut“.

Ramalan Sunan Ampel memang benar. Tidak lama setelah beliau meninggal dunia. Adipati Keling atau Kediri bernama Girindrawardhana menyerbu kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahawa Prabu Kertabumi atau Ayah Raden Patah itu terkorban dalam serangan mendadak yang dilakukan Prabu Girindrawardhana dari Kediri. Setelah Sunan Ampel wafat, penasihat bahagian politik Demak digantikan oleh Sunan Kalijaga. Sedang Sunan Giri dianggap ketua yang sering diminta dalam pertimbangan bidang politik kenegaraan. Para Wali mengadakan sidang sesudah jatuhnya Majapahit oleh serangan menyerang Prabu Girindrawardhana yang berkuasa di Majapahit. Sebab Raden Patah adalah pewaris utama kerajaan Majapahit. Dengan demikian ketika Demak menyerbu Majapahit bukanlah menyerang Prabu Kertabumi yang menjadi ayah Raden Patah, melainkan justeru merebut takhta Majapahit dari tangan musuh Prabu Kertabumi.

Pada waktu Prabu Girindrawardhana ini berkuasa di Majapahit pernah berusaha menggempur Giri Kedaton, kerana Sunan Giri dianggap salah satu kerabat Prabu Kertabumi. Tetapi serangan itu dapat dipatahkan oleh Sunan Giri. Kebesaran nama Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmata itu juga terdengar oleh seorang Begawan dari Lereng Lawu. Namanya Begawan Mintasemeru. Brahmana ini sengaja datang ke Giri Kedaton untuk menentang Sunan Giri beradu kesaktian. Diantara adu kesaktian beragam jenisnya itu, yang paling terkenal adalah adu teka. Begawan Mintasemeru menciptakan sepasang angsa jantan dan betina, kemudian dikubur hidup-hidup diatas gunung Patukangan. Sesudah itu dia kembali menemui Sunan Giri.
“Apakah yang baru saya tanam di puncak gunung Patukangan itu“, demikian tanya Begawan Mintasemeru menguji Sunan Giri. “Yang Tuan tanam adalah sepasang naga jantan dan betina!” jawab Sunan Giri dengan tenangnya. Begawan itu tertawa terbahak-bahak sambil memperolok-olok kebodohan Sunan Giri. “Jika Tuan Begawan tidak percaya, boleh anda lihat lagi, haiwan apakah yang Tuan tanam di puncak gunung itu“, kata Sunan Giri. Sang Begawan menurut. Dia menggali kuburan sepasang angsa ciptaannya. Ternyata angsa itu lenyap sebagai gantinya adalah sepasang naga yang meliuk-liuk hendak menerkamnya. Tentu saja sang Begawan merasa teramat malu. Selanjutnya dikatakan bahawa Begawan Mintasemeru masih mendemonstrasikan beberapa kesaktiannya yang menakjubkan, tapi semuanya dapat dikalahkan oleh Sunan Giri. Pada akhirnya Begawan Mintasemeru menyerah kalah, tunduk dan masuk Islam, kemudian menyebarkan agama Islam di Gunung Lawu. Legenda tentang adu teka kewaskitaan itu diabadikan dalam monumen patung sepasang naga di tangga masuk ke makam Sunan Giri iaitu tangga yang sebelah selatan. Disana ada sepasang naga dari ukiran batu yang mirip dengan angsa.

Raden paku adalah seorang wali yang berdakwah dan berkedudukan di
Patung ukiran naga yang terdapat ditangga masuk ke Makam Sunan Giri

Jasa-Jasa Sunan Giri

Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan keluar pulau. Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syeikh Siti Jenar, seorang Wali yang dianggap murtad kerana menyebarkan fahaman Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan fahaman Ahlussunnah wal jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan memberi impak yang positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai dengan ajaran Nabi, tanpa di campuri kepercayaan atau adat-istiadat lama. Di bidang kesenian pula beliau juga berjasa besar, kerana beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang (lagu / syair) dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain : Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.

Diantara permainan kanak-kanak yang diciptanya ialah sebagai berikut : Diantara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi objek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tunggak atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut “Jelungan“. Makna permainan tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu. Sambil memainkan permainan yang disebut jelungan itu biasanya kanak-kanak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan : “Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan, dolanane na ing latar, ngalap padhang gilar-gilar, nundhung begog hangetikar“.

Ertinya adalah sebagai berikut :
“Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit“.

Maksud lagu dolanan tersebut ialah : Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan. Sunan Giri jauh-jauh hari sudah memperingatkan umat agar berhati-hati terhadap perubahan zaman. Beliau pernah meramalkan bahawa pada masa yang akan datang akan banyak orang yang mengaku mendapat wahyu Tuhan tetapi sebenarnya mereka sangat jauh dari agama. Bahkan sama sekali tak mengerti ilmu agama. Mereka dipuja-puja ummat padahal menjadi parasit atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi menghiraukan syariat agama, bahkan menginjak-nginjak syariat tersebut dengan mendakwa dirinya sudah tidak perlu melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat kerana dirinya sudah baik, sudah sempurna. Itulah orang yang tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan menyesatkan ummat pengikutnya. Dimasa yang akan datang juga akan muncul guru-guru ilmu yang merasa ilmunya sudah tinggi, sudah sempurna, mereka mengaku mendapat wangsit dari Tuhan dan kerananya bebas berbuat apa saja. Guru semacam ini justeru dipuja-puja para pengikutnya sehinggakan masyarakat rela mengorbankan harta, harga diri dan jiwanya demi kesenangan sang guru. Dalam kenyataannya ramalan Sunan Giri itu memang sudah sering terbukti. Sudah berapa kalikah masyarakat dibodohi guru-guru semacam itu, mulai dari dukun cabul hingga orang-orang yang mengaku dirinya Wali ternyata adalah bajingan.

Para Pengganti Sunan Giri

Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa mahupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahawa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan dari Sunan Giri. Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya iaitu :

  1. Sunan Dalem
  2. Sunan Sedomargi
  3. Sunan Giri Prapen
  4. Sunan Kawis Guwa
  5. Panembahan Ageng Giri
  6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
  7. Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri )
  8. Pangeran Singosari

Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari sebuah Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah memporak-porandakan Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di Kediri. Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan kerana tindakan sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama’ Ahlusunnah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki-tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut fahaman Manunggaling Kawula Gusti, fahaman yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar yang ditentang Wali Sanga. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri. Yang dirawat oleh juru kunci makam Sunan Giri

<< Sebelumnya – Sunan Ampel

Seterusnya – Sunan Bonang >>