Yang tidak termasuk tokoh musik lagu seriosa adalah

Tahun 1950-an menjadi masa-masa yang cukup penuh perjuangan bagi Ismail Marzuki. Ada sekelompok pemusik lain yang mengkritik habis karya maestro itu. Belum lagi dengan masuknya musik seriosa yang dianggap sebagai cara untuk menyingirkan musik Indonesia gaya Ismail Marzuki.

Seriosa merupakan jenis irama lagu yang menekankan pada suara tinggi si penyanyi, sehingga membutuhkan teknik suara yang lebih tinggi. Tak ada yang tahu kapan musik seriosa itu muncul. Bersamaan dengan dikenalnya seriosa di masa itu perkembangan musik tradisional di Jakarta juga tengah menggeliat, sebut saja keroncong, langgam keroncong, gambus, hingga gambang kromong. Hingga seolah ada dua kubu musik, antara musik-musik tradisional dan Barat yang termasuk seriosa di dalamnya.

Golongan musik tersebut mendambakan musik-musik Indonesia dimainkan di pertunjukan besar layaknya seperti di Berlin, London, Amsterdam. Tentu pula berkolaborasi dengan musik ciptaan penyair luar negeri ternama. Meski pada kenyataannya alunan musik Tanah Air hanya dimainkan di lapisan masyarakat biasa dan jauh dari kata megah sesuai  yang diinginkan.

Pada tanggal 19 April 1950, terkuaklah laporan  yang disinyalir ingin mengubur gaya musik Ismail Marzuki melalui Belanda untuk forum dunia. Laporan ini berbahasa Belanda. Adapun jika di bahasa Indonesiakan, bunyi laporan mengungkapkan bahwa surat yang ditujukan untuk tuan A.H.J Bothenius Brouwer ini “merasa mual” akan  gaya musik Ismail Marzuki.

“Kita ikuti musik dari Kroncong melalui Stambul, gambang, gambus, joged terus ke langgam, suasananya sekitar stambulan, sandiwara atau opera bangsawan; dari Ja’afar Turki dan Marie Oordt, melalui Malay Opera, Dahlia Opera, Miss Ribut, Dardanella, Opera Palestina, Moonlight Faroka, Bintang Surabaya hingga ke Warna Sari dan Panca Warna,” tulis laporan tersebut.

Di akhir kalimat, disematkan kata misselijk yang artinya menjijikan dalam bahasa Belanda. Kata ini menujuk sejumlah deretan nama pemusik di masa itu, termasuk Ismail Marzuki di dalamnya.

“Mendengar nama-nama itu, para pembaca mungkin ingat kembali nama-nama crooner (penyanyi hiburan) seperti: van der Mul, Iseger, Miss Jacoba, Abdullah, Jan Bon, Muss Lee, Rukiah, Annie Landouw, Miss Netty, Leydelmeyer, Paulus Item, Bram Aceh, Wahab, Kartolo, Ismail, Kusbini, Victor Lumbantobing, Leo Spel, Miss Ja, Miss Alang dan lain-lain ”misselijk””,” demikian kalimat penutupnya.

Belum lagi pesan yang berbunyi “Belumlah saatnya dalam perkenalan pertama dengan musik gaya baru Indonesia ini, kita memberikan sesuatu pendapat. Kesan yang diperdapat ialah sayup-sayup, ciptaan-ciptaan tersebut agak mengingatkan kita kepada gaya antara Grie dan Schumann, Indonesia,… tidak, Timur pun tidak” menyiratkan musik Indonesia merupakan musik jipakan musik Barat. Tidak memiliki identitas maupun hal yang bisa dibanggakan.

Layaknya mengganti nasi dengan puree kentang, masuknya seriosa tetap tak bisa begitu saja menggeser musik-musik tradisional. Sekampung-kampungnya gaya musik Ismail Marzuki tetap memiliki identitas dan kepribadian.

Berbanggalah dengan musik Indonesia. Sebab bagaimana pun keberagaman yang ditawarkan merupakan hasil dari perjuangan. Jika pribadi Ismail Marzuki lemah dan rendah diri, mungkin saja kekhasan dan keanggunan musik Indonesia tak menggema seperti sekarang. Ia akan hanyut dalam ‘rayuan’ musik-musik Barat, yang tentulah bukan ciri khas Indonesia.­­­­­­­

Sumber: Firdaus Burhan.1983.Ismail Marzuki. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional: Jakarta.

Yang tidak termasuk tokoh musik lagu seriosa adalah
Pranawengrum Katamsi | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Kiprah jawara tujuh kali Bintang Radio dan TV ini sebagai penyanyi seriosa mungkin tidak seramai kiprah diva pop masa kini. Meski demikian, ketekunan dan konsistensi perempuan yang dijuluki Ibu Seriosa Indonesia ini di jalur musik seriosa sudah menjadi sumber inspirasi bagi generasi selanjutnya.

Pranawengrum Katamsi, putri ke-5 dari enam bersaudara pasangan RM Surachmad Padmorahardjo dan Oemi Salamah ini lahir di Yogyakarta, 28 Maret 1943. Bakat seni yang mengalir dalam diri Rum, sapaan akrab Pranawengrum, didapat dari ayahnya, seorang pegawai swasta yang memiliki profesi sampingan sebagai pemain biola. Orang tuanya sangat memperhatikan kemampuan Rum dalam menyanyi. Sayang, ia tak lama menimba ilmu dari sang ayah karena saat Rum masih berusia 7 tahun, sang ayah keburu dipanggil Yang Maha Kuasa.

Beruntung, Rum masih memiliki ibu yang juga memberikan andil besar dalam mengembangkan bakat menyanyinya. Bahkan, setiap kali Rum ikut lomba menyanyi, ibunya selalu membuatkan intip, penganan khas Jawa Tengah yang terbuat dari kerak nasi. Hanya saja, sang ibu keberatan jika Rum bersiul, soalnya tradisi orang Jawa memang menganggap perempuan bersiul itu tidaklah sopan.

Saat bersekolah di SMA BOPKRI, bakat alami Rum tercium oleh Nathanael Daldjoeni, sang kepala sekolah yang juga berprofesi sebagai penggubah lagu dan pemerhati musik. Nathanael jualah yang berjasa memperkenalkan lagu seriosa pada Rum. Lambat laun ia mulai mencintai lagu bergenre seriosa yang dikenal dengan tekniknya yang sulit itu.

Kendati seorang muslim, Rum mengikuti upacara kerohanian Kristen yang diadakan setiap Senin, tujuannya tak lain adalah agar ia bisa ikut menyanyi. Dari hari ke hari, kemampuan menyanyinya kian terasah dan vibrasi suaranya pun terdengar kian merdu. Sejak itu, Rum makin serius memupuk impiannya menjadi penyanyi seriosa.

Di tengah upayanya memperkenalkan musik seriosa, Rum tak memungkiri masih adanya pandangan keliru dari segelintir kalangan yang menganggap bahwa musik seriosa adalah ”musik gedongan”, hanya untuk konsumsi ”orang berstatus tinggi” dengan pemahaman musik di atas rata-rata. Padahal, musik seriosa sendiri tak pernah membatasi diri. Bahkan, pada 1950-an, seriosa menjadi musik yang sering dinyanyikan kaum remaja.

Pada 1960, Rum mengikuti lomba seriosa di Pekan Kesenian Jakarta mewakili sekolahnya. Rum yang ketika itu masih berusia 16 tahun berhasil meraih juara II. Setahun berselang, ia mengikuti ajang bintang radio Yogyakarta tingkat nasional namun hanya mampu menyabet gelar juara harapan. Meski begitu, semangat Rum tak mengendur, ia makin terpacu untuk meningkatkan kemampuan menyanyinya. Untuk itu, ia pun mulai menimba ilmu pada banyak guru vokal, seperti R Suwandi, Suthasoma, Kusbini, Binsar Sitompul, Sari Indrawati, EL Pohan, dan N Simanungkalit. Simanungkalit bahkan memiliki keyakinan bahwa Rum akan tumbuh menjadi penyanyi seriosa top, mengikuti penyanyi seriosa senior seperti Surti Suwandi, Sunarti Suwandi, Nani Yosodiningrat, dan Kusmini Projolalito.

Keyakinan pria berjuluk Bapak Paduan Suara itu terbukti. Perlahan-lahan kualitas vokal Rum semakin baik dan prestasinya pun terus merangkak naik. Saat masih menjadi mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, ia tampil sebagai juara pertama dalam Pekan Kesenian Mahasiswa seluruh Indonesia di Denpasar Bali. Prestasinya yang paling membanggakan adalah saat ia berhasil keluar sebagai jawara sebanyak tujuh kali dalam perlombaan bintang radio dan televisi tingkat nasional jenis seriosa yakni tahun 1964, 1965, 1966, 1968, 1974, dan 1980. Atas prestasi itu, Rum berhak mendapat Piala WR Supratman, sebuah penghargaan tertinggi dalam ajang tersebut.

Pada 27 Januari 1964, Rum menikah dengan Amoroso Katamsi, seorang aktor, dokter, dan perwira Angkatan Laut. Sebagai istri seorang prajurit, Rum kerap menemani suaminya bertugas, seperti saat aktor pemeran Soeharto dalam film G30S/PKI itu ditugaskan ke Cilacap pada tahun 1969 hingga 1973. Selama kurun waktu tersebut, Pranawengrum absen dari kompetisi bintang radio dan televisi. Setelah menikah, Rum dan keluarga bermukim di Jakarta. Status barunya sebagai ibu rumah tangga tak menghalangi hasratnya untuk terus berkecimpung di dunia olah vokal. Dengan dukungan penuh dari sang suami, Rum yang hobi memasak dan menjahit ini kian giat berlatih di bawah bimbingan Pranadjaja, FX Sutopo, Sunarto Sunaryo, dan Anette Frambach.

Ia bahkan tak hanya eksis berkarya sebagai penyanyi tetapi juga turut berusaha mengembangkan genre seriosa di Indonesia. Misalnya Rum mengumpulkan rekan seprofesinya untuk memperkenalkan musik seriosa kepada masyarakat awam. Upaya lain yang dilakukannya adalah membuat rekaman bersama pianis Soewanto Soewandi, di bawah label Irama Master, namun sayangnya album tersebut kurang mendapat sambutan hangat.

Meski demikian, Rum tak pernah sepi mendapat tawaran tampil. Ia pernah mendapat undangan untuk tampil dalam Pentas Paduan Suara Mahasiswa Nommensen Medan membawakan Oratorium The Messiah (Handel) sebagai solois tamu. Selain secara solo, ia juga kerap berkolaborasi dengan sejumlah musisi lain seperti rombongan La Grande Opera, Twilite Orchestra, Orkes Remaja Bina Musika, Orkes Simponi Jakarta, Orkes mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta pimpinan Ed van Ness, konduktor Richard Haskin dari Orkes PPIA, pemimpin koor N Simanungkalit, Max Rukmarata, dan FX Sutopo.

Kemampuannya berolah vokal membawakan lagu-lagu seriosa juga ia tularkan kepada calon-calon penyanyi masa depan dengan menjadi pelatih dan pembina sejumlah paduan suara. Pada tahun 1970, ia pernah mendirikan dan memimpin Paduan Suara Wijayakusuma di Cilacap, Jawa Tengah, kemudian membina Paduan Suara Gita Nusantara, Paduan Suara Anak-anak Radio Republik Indonesia (RRI), dan Paduan Suara Wanita di Jakarta bersama Binsar Sitompoel.

Namun di tengah upayanya memperkenalkan musik seriosa, Rum tak memungkiri masih adanya pandangan keliru dari segelintir kalangan yang menganggap bahwa musik seriosa adalah ”musik gedongan”, hanya untuk konsumsi ”orang berstatus tinggi” dengan pemahaman musik di atas rata-rata. Padahal, musik seriosa sendiri tak pernah membatasi diri. Bahkan, pada 1950-an, seriosa menjadi musik yang sering dinyanyikan kaum remaja. Seperti halnya Rum yang mulai jatuh cinta pada musik seriosa saat usianya masih remaja.

Sadar bahwa usahanya melakukan regenerasi tak berjalan sesuai harapan, Pranawengrum tak patah arang. Baginya yang penting, ia sudah berusaha melestarikan karya seni Indonesia. Kekecewaan Rum mulai terobati ketika ketiga buah hatinya, Ratna, Doddy, dan Aning mengikuti jejaknya. Ratna yang kini menjadi guru piano dan sejarah musik di Yayasan Pendidikan Musik (YPM) Jakarta, mengawali kariernya sejak usia 11 tahun, di bawah bimbingan Chairi dan Sunarto Sunario. Selain mengajar, Ratna juga sering tampil sebagai pengiring berbagai konser dan lomba musik seriosa. Sesekali Ratna juga tampil mengiringi ibunya dalam sejumlah pementasan.

Ratna yang merupakan sarjana biologi lulusan UI ini mempelajari piano dari pianis terkenal Iravati M Sudiarso, serta beberapa pianis mancanegara, antara lain Reynaldo Reyes dan Walter Hautzig. Sementara, Doddy, satu-satunya anak lelaki Pranawengrum, lebih memilih menjadi penyanyi rock yang sering membawakan lagu-lagu Deep Purple. “Ibu tak melarang saya nyanyi rock. Dia justru yang ngajari saya teknik vokal seriosa untuk diaplikasikan ke rock,” kata mantan personil grup musik Elpamas Surabaya seperti dikutip dari situs kompas.com.

Sedangkan si bungsu, Aning yang kini dikenal sebagai penyanyi seriosa mendapat bimbingan vokal awal dari sang ibu yang kemudian berlanjut di bawah bimbingan Catharina W. Leimena. Lulusan Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia ini sebenarnya pernah mendapat tawaran mengajar di almamaternya, namun Aning lebih memilih mengajar vokal dan piano di YPM.

Di mata anak-anaknya, Rum dikenal sebagai ibu yang siap berkorban bagi keluarga. Ratna mengisahkan, ibunya rela meninggalkan bangku kuliah di UGM, demi berkonsentrasi mengasuh anak-anaknya. Bahkan, ketika mengikuti rombongan paduan suara Kodam VII Diponegoro ke Bandung dan Jakarta di tahun 1965, Rum mengajak serta putri sulungnya, Ratna, yang ketika itu baru berumur dua bulan.

Meski semua anaknya mengikuti jejaknya, Rum mengaku tak pernah memaksakan ketiganya untuk terjun sebagai musisi. Menurut Rum, ketertarikan anak-anaknya mungkin karena sering mendengarkan ibunya berlatih di rumah dan menonton aksi Rum di atas panggung.

Ketika berhasil melahirkan generasi penerus musik seriosa, Rum merasa sebagian tugasnya sudah terlaksana. Namun ia masih tetap berharap, suatu saat nanti musik seriosa Indonesia bisa kembali hidup seperti masa kejayaannya di tahun 1960-an. Salah satu upaya Rum untuk menghidupkan kembali musik yang pernah melambungkan namanya itu adalah dengan menggelar konser bertajuk “Konser Seriosa Indonesia” pada 20 Juni 2001.

Tujuan utama konser yang mengambil tempat di Auditorium Erasmus Huis, Jakarta, itu adalah dalam rangka memperingati 40 tahun perjalanan karirnya. Di samping itu, Rum berharap lewat konsernya tersebut bisa membentuk kelompok atau masyarakat seriosa Indonesia, dengan mengumpulkan penonton, penikmat, pencipta dan penyanyi. Konser itu juga diselenggarakan dengan maksud menghargai para komponis dengan kembali mengenang karya-karya mereka. Dengan begitu, secara tak langsung, Pranawengrum juga mengajak generasi muda, pencipta lagu, dan penyanyi bisa ikut melanjutkan kelestarian seriosa Indonesia.

Selain menampilkan putri bungsunya, Aning Katamsi, konser tersebut juga dimeriahkan dengan lantunan suara merdu milik Binu Sukaman. Pranawengrum sendiri tampil menyanyikan 13 dari 32 lagu yang dipilih dari khasanah musik seriosa Indonesia yang terentang selama lebih dari empat dasawarsa. Bagi mereka yang pernah mendengar satu-satunya rekaman Pranawengrum, konser tersebut seakan membawa kembali mereka ke masa lalu, bukan saja ke saat ketika jenis musik itu berada di zaman keemasannya, tetapi juga saat Pranawengrum masih berada di puncak keindahan suaranya. Pada paruh kedua konser monumental itu, Rum sempat disergap rasa haru yang mendalam saat ia menyanyikan Gugur Bunga ciptaan Ismail Marzuki, linangan air mata bahkan sempat menghentikan sejenak nyanyiannya.

Di usia senjanya, mungkin saja suaranya tak lagi prima, akan tetapi yang tak banyak berubah dari seorang Pranawengrum adalah warna suara yang indah, presisi penempatan nada (pitch), serta kejelasan diksi. Baginya, semua itu adalah anugerah yang harus ia syukuri dan pelihara, betapa pun usia perlahan mengikisnya. “Usia saya 58 tahun masih dikaruniai bisa nyanyi, waduh itu sudah luar biasa. Teman-teman seangkatan saya banyak yang tidak tampil menyanyi lagi,” kata Rum seperti dikutip dari situs Republika.

Keberhasilan karirnya diakui Rum tak terlepas dari dukungan keluarganya, terutama sang suami. Dukungan itu tak hanya ditunjukkan suaminya lewat perkataan namun juga tindakan. Misalnya saat Rum akan pentas atau mengikuti kompetisi, Amorosolah yang memilihkan baju dan perhiasaan yang akan dikenakan Rum. “Pak Katamsi (Amoroso Katamsi, suami Pranawengrum) selalu melarang saya untuk mengerjakan pekerjaan rumah khusus untuk persiapan lomba atau pentas,” kata Rum. Selain itu, suami dan ketiga anaknya tak segan mengkritik caranya membawakan lagu jika dirasa masih kurang pas.

Meskipun Pranawengrum mempunyai andil besar dalam dunia musik khususnya seriosa, tidak lantas membuat dirinya terkenal. Nasibnya yang kurang populer mungkin karena genre musik seriosa yang menjadi pilihannya. Pencipta lagunya terbatas, produksi lagunya tidak banyak, demikian pula penyanyinya. Namun, di tengah kecenderungan maraknya penyanyi pop, Pranawengrum tetap mempertahankan keberadaannya sebagai penyanyi seriosa.

Salah satu penyanyi seriosa terbaik yang pernah dimiliki Indonesia itu meninggal dunia pada Senin 4 September 2006 pukul 13.50 di RSAL Mintohardjo, Jakarta, dalam usia 63 tahun. Sebelum wafat, Rum yang diketahui mengidap penyakit gagal ginjal yang mengalami komplikasi ke paru-paru dan jantung itu sempat menjalani perawatan selama satu bulan. Sebelum dimakamkan, jenazahnya disemayamkan di Jalan Kamper 9, Kompleks Angkatan Laut Pangkalan Jati, Jakarta Selatan. Keesokan harinya, Selasa 5 September 2006, Rum dikebumikan di pemakaman Pangkalan Jati.

Hampir separuh hidupnya didedikasikan untuk dunia musik, bahkan ketika terbaring di rumah sakit, ia masih membicarakan seriosa. Cita-citanya sederhana saja, yakni ingin kaum muda gemar menyanyi seriosa dengan dasar yang benar. Meskipun punya prestasi dan nama besar, ia tetap seorang yang rendah hati dan bersahaja. Kebersahajaan itu yang membuat dirinya luwes dalam bergaul.

Rekan-rekannya mengenang wanita Jawa ini sebagai sosok guru yang selalu memberikan keteladanan. Ia pun senantiasa mensyukuri garis hidupnya sebagai seniman musik. Pemusik Suka Hardjana bahkan menilai kesetiaan Rum pada seriosa pantas dicontoh seniman lain. Hardjana juga menghargai konsistensi dan kedisiplinan Rum pada pilihannya itu. Komponis penggubah lagu Hari Merdeka, H Mutahar, bahkan memberikan Rum julukan “Ibu Seriosa Indonesia”. muli, red

Data Singkat
Pranawengrum Katamsi, Penyanyi Seriosa / Ibu Seriosa Indonesia | Ensiklopedi | Dosen, Guru, Penyanyi, UI, universitas indonesia, seriosa, pengajar, piano