Mengapa sosiologi disebut sebagai ilmu yang multiparadigma

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul:Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda

Judul Asli: Sociology A Multiple Paradigm Science

Pengarang:George Ritzer

Penerjemah:Drs. Alimandan

Penerbit:PT. Rajagrafindo Persada

Tempat Terbit:Jakarta, Indonesia

Tahun Terbit:Februari, 2012

Cetakan:I

Ukuran:135 x 205 cm

Jumlah Halaman:viii, 152 hlm

ISBN:979-421-888-x

Harga:-

Waktu Resensi: 11 April 2015

Jam:Pukul 11.22 WIB

Resensi Oleh:La Ode Muhammad Rauda Agus Udaya Manarfa, S.Sos, M.Si

&

Mahasiswa Doktoral Program Studi Sosiologi Pedesaan

Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor

Buku ini bermula dari pemenuhan tuntutan tugas mata kuliah teori sosiologi yang diikuti oleh penerjemah. Kegundahan, kegelisahan membaca sumber litaratur utama yang ditulis oleh Ritzer menginspirasi untuk membuatnya secara lebih terstruktur dan tentunya tarasa nyaman dibaca walau dengan kondisi penjejalan berbagi istilah sosiologi yang membutuhkan penyerngitan dahi guna proses penciptaan pemahaman atasnya. George Ritzer sendiri sebenarnya dalam menulis konsep sosiologi sebagai ilmu berparadigma ganda, adalah juga terinspirasi dari ilmuwan terkemuka seabad silam yakni Thomas Khun. Saling menginspirasi menjadi cerita klasik hingga akhirnya melahirkan karya yang sangat berharga untuk diketahui. Ritzer sendiri membagi ilmu sosiologi ke dalam tiga paradigma, paradigma ini yang menjadi rumah dari teori-teori sosiologi yang mewarnai jagat ilmu sosial.

Status Paradigma Sosiologi

Sosiologi lahir di tengah pergulatan antara ilmu filsafat dan psikologi. Pergulatan ini membawa kepada sintesis baru yang khusus melihat entitas manusia yang terhimpun dalam kelompok-kelompok masyarakat. Pada awalnya sosiologi diperlakukan sebagai fisika sosial oleh pendirinya Auguste Comte, kemudian mindset itu dirubah oleh Emile Durkheim dengan melepaskan tarik menarik di antara dua kutub utama tadi melalui karyanya Suicide dan The Role of Sociological Method. Paradigma sebenarnya (Kuhn) dimunculkan untuk menantang asumsi ilmuwan yang berlaku saat itu, bahwa ilmu pengetahuan berdiri secara kumulatif. Kuhn menjelaskan bahwa adanya paradigma saat ini merupakan bagian dari benturan panjang antara paradigma yang lama dengan berbagai proses yang dilaluinya, hal ini diilustrasikannya sebagaimana demikian:

Paradigma I à Normal Science à Anomalies à Crisis à Revolusi à Paradigma II.

Kuhn sendiri mengajukan dua puluh satu jenis paradigma yang kemudian diredupsi oleh Masterman menjadi tiga bagian besar, antara lain paradigma metafisik, paradigma sosiologis, dan paradigma konstruk. Ritzer sendiri mengemukakan sintesisnya pada pengertian paradigma sebagai pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.

Paradigma Fakta Sosial

Paradigma fakta sosial secara umum merupakan terminologi yang diadopsi dari karya Durkheim mengenai fakta sosial. Menurut Durkheim, fakta sosial terdiri dari dua macam yakni dalam bentuk material dan dalam bentuk non material. Menurut Blau, ada dua tipe dasar dari fakta sosial, yakni nilai-nilai umum dan norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam sub kultur.Dalam paradigma fakta sosial teori-teori yang tercakup di dalamnya antara lain teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori makro. Penganut paradigma fakta sosial cenderung menggunakan metode kuesioner dan interview dalam penelitian empirisnya.

Paradigma Definisi Sosial

Paradigma yang kedua adalah definisi sosial, yang nampaknya lebih diwarnai oleh pemikiran Weber tentang tindakan sosial, yakni tindakan sosial murni, tindakan berorientasi tujuan, tindakan yang dibuat-buat, dan tindakan atas dasar kebiasaan. Adapun paradigma ini mengakumulasi teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi sebagai bagian daripadanya. Penganut paradigma ini lebih merasa nyaman menggunakan metode observasi dalam penelitian mereka.

Paradigma Perilaku Sosial

Paradigma yang terakhir adalah perilaku sosial, yang lebih didominasi oleh arus pemikiran B. F. Skinner yang mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam ilmu sosiologi. Perilaku sosial memusatkan perhatiannya pada bermacam obyek sosial juga obyek non sosial. Adapun teori yang tergabung dalam paradigma ini antara lain behavioral sociology dan teori exchange.

Perbedaan Antar Paradigma (Suatu Penilaian)

Sebenarnya yang menjadi titik perbedaan pada tiga paradigma di atas bukanlah mengenai keragaman pandangan para sosiolog, tetapi terletak pada pokok persoalan yang dikaji. Ritzer sendiri membuat sebuah skema yang menerangkan posisi variabilitas pada masing-masing paradigma, pada paradigma perilaku sosial variabelnya bersifat individual, pada paradigma defisini sosial variabelnya bersifat individual – grup, dan pada paradigma fakta sosial variabelnya bersifat grup.

Menuju Paradigma Sosiologi yang Terpadu

Ritzer menyadari bahwa pembedahan teori dan kecenderungan arah berpikir sosiolog yang ia temukan dalam tiga paradigma, masing-masing membuat posisi paradigma menguat seiring dengan bertambahnya jumlah pengusung, serta pengokohan bangunan paradigma yang diusung. Setiap paradigma berada pada dimensi yang ekslusif subyektif sehingga meredupsi peran yang dapat pula diberikan oleh paradigma lainnya dalam memandang realitas sosial. Ritzer mengemukakan bahwa dalam upaya menutu paradigma sosiologi yang terpadu, entah kapan itu akan terwujud, sebaiknya mampu mengakomodir aras generas yang dilalui oleh ketiga paradigma tersebut, yang diharapkan mampu menjelaskan kesatuan makro obyektif seperti birokrasi, struktur makro subyektf seperti kultur, fenomena mikro obyekfi seperti pola-pola interaksi sosial, dan juga fakta-fakta mikro subyekfi seperti proses pembentukan realitas. Sebenarnya tidak hanya Ritzer seorang yang mengemukakan paradigma dalam ilmu sosiologi, ilmuwan sosial lainnya juga memiliki pembagian teorisasi sosiologi yang didasarkan pada cara pandangnya masing-masing.

Randall Collins (1994) dalam bukunya yang berjudul Four Sociological Traditions menggolongkan sosiologi ke dalam empat tradisi pikir yang disebutnya sebagai tradisi konflik, tradisi rasional/utilitaritarian, tradisi Durkheimian, dan tradisi mikro interaksionisme. Dalam tradisi konflik ia memasukan pemikiran Karl Marx yang tergambar dalam teori kelas sosial, teori ideologi, teori konflik politik, teori revolusi, teori stratifikasi jenis kelamin. Pemikiran konflik Max Weber antara lain seperti pengorganisasian sebagai kekuatan perjuangan, pembagian kelas, budaya kelas, dan ketidaksetaraan kelas, mobilisasi kelas, dan konflik politik, serta zaman emas dalam sejarah sosiologi. Dalam tradisi rasional/utilitarian ia memasukan proposisi tiga hal sosiologis yang diterapkan dalam perdagangan pasar, yakni inflasi pendidikan, split tenaga kerja, dan barang ilegal. Dan usulan solusi rasional dalam menciptakan solidaritas sosial. Dalam tradisi Durkheimian ia memasukan kesamaan pandangan sosial antar Montequieu, Comte, dan Spencer, fungsionalisme Merton dan Parson, ritual perang antar kelas oleh Fustel de Coulanges, teori kematian dan simbolik Durkheim, dasar ritual stratifikasioleh W. Lioyd Warness, pemujaan individu sehari-hari oleh Erving Goffman, ritual interaksi dan budaya kelas oleh Collins, Bernstein dan Douglas. Selanjutnya teori keajaiban pertukaran sosial Marcel Mauss, teori aliansi Levi Strauss, dan teori rantai ritual interaksi. Terakhir, dalam tradisi mikro interaksionis Colins memasukan pemikiran Charles Sanders Peire tentang pragmatis, pemikiran Cooley tentang masyarakat dalam khayalan, sosiologi pemikiran oleh Mead, interaksionisme simbolik Blumer, sosiologi kesadaran oleh Husserl, Schutz, dan Garfinkel, serta pemikiran Goffman mengenai balas dendam.

Bryan S. Turner (1997) dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory membagi sosiologi ke dalam tujuh perspektif antara lain teori fungsionalisme, teori evolusi, teori konflik, teori pertukaran, teori interaksionisme, teori strukturalis, dan teori kritis. Pada perspektif pertama teori fungsionalisme mencakup pendekatan empirik Robert K. Merton, pendekatan analisis Talcott Parsons, neo fungsionalisme Jeffrey C. Alexander, dan fungsionalisme sistem Niklas Luhmann. Perspektif kedua teori evolusi mencakup teori ekologi, teori biologi, dan teori evolusi baru. Perspektif ketiga teori konflik mencakup dialektika konflik Ralf Dahrendorf, konflik fungsionalisme Lewis Coser, teori konflik sintetik Jonathan H. Turner, pendekatan analisis Randall Collins (Teori Neo Weberian), teori konflik dalam perbandingan sejarah sosiologi, teori konflik Neo Marxian, dan teori stratifikasi serta ketidaksetaraan gender. Perspektif keempat teori pertukaran mencakup teori pertukaran, pendekatan behavioristik George C. Homans, pendekatan dialektikal Peter M. Blau, pendekatan pertukaran jaringan Richard M. Emerson, dan teori pilihan rasional. Perspektif kelima teori interaksionisme mencakup teori interaksionisme dan fenomenologi, teori interaksionisme simbolik, teori diri dan identitas, teori peranan(pendekatan sisntesis Ralph H. Turner), pendekatan dramaturgi Erving Goffman, teori tantangan etnometodologi, teori emosi dalam interaksi sosial, dan teori negara harapan. Perspektif keenam teori strukturalis mencakup teori strukturalis, teori strukturasi Anthony Gidden, teori budaya, analisis jaringan, dan teori makro struktural Peter M. Blau. Perspektif ketujuh teori kritis mencakup analisis kritis atas modernitas, pemikiran Frankfurt School atas budaya yang terus berubah, pemikiran Jurgen Hubermas pada proyek Frakfurt School, teori sosiologi atas kritik feminisme, meliputi gender, politik, dan patriarki, dan teori postmodernisme.

Sosiologi bagi William Skidmore (1979) dalam bukunya yang berjudul Theoritical Thinking in Sociology terbagi ke dalam tiga tipe logika yakni teori deduktif, teori pola, dan perspektif. Teori deduktif merupakan teori yang dibuktikan kebenarannya berdasarkan deduksi atau penjabaran, bukan berdasar pengalaman. Pengakuan adanya aksioma (dalil yang tidak perlu dibuktikan) sudah terkandung dalam metode deduktif. Aksioma tersebut merupakan dasar kuat untuk menyusun teori deduktif. Orang dapat mengusahakan jumlah aksioma terbatas; atau mengusahakan agar pilihan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga teori tersebut secara keseluruhan merupakan struktur yang mudah dipahami secara umum; atau orang berusaha agar bukti-bukti yang utama dapat ditemukan. Teori pola tidak menekankan menggunakan pendekatan deduktif formal. Tetapi dimensi vertikal tidak terlalu penting dibandingkan logika secara “lateral” (kesamping). Sebagai contoh, aplikasi praktis, misal suatu sistem yang berisikan ide-ide untuk melihat hubungan diantara term secara teori dan realitas. Pada teori pola, kecenderungan menjadi sistem tertutup karena konsepnya mendapat makna dari pola itu sendiri. Dalam pembagian Skidmore, perspektif berbeda dengan teori pola dan deduktif, ia merupakan kumpulan ide-ide penting sebagai sumber untuk melakukan sintesa. Kadang tidak pertimbangkan sebagai teori, tetapi dapat digunakan untuk menjelaskan kejadian sosial.

Martin Slattery (2003) dalam bukunya yang berjudul Key Ideas in Sociology membagi sosiologi ke dalam tiga periode yakni klasik, modern, dan post-modern,dengan penjabaran teori lebih luasnya sebagai berikut:

a.Klasik; Alienation (Karl Marx), Anomie (Emile Durkheim), Bureaucracy (Max Weber), Formal Sociology (George Simmel), Gemeinschaft – Gesellschaft (Ferdinand Tonnies), Historical Materialism (Kalr Marx), The Iron Law of Oligarchy (Robert Michels), Positivism (Auguste Comte), The Protestant Ethic (Max Weber), Social Darwinism (Herbert Spencer), dan Social Solidarity (Emile Durkheim).

b.Modern; Conflict Theory (Ralf Dahrendorf), Critical Theory (Frakfurt School), Dependency Theory (Andre Gunder Frank), Deskilling (Harry Braverman), Ethnometodology (Harold Garfinkel), Falsification and Conjucture (Karl Popper), Gender (Feminism), Hegemony (Antonio Gramsci), Human Relation Theory (Elton Mayo), Ideology (Karl Mannheim), Labeling Theory (Howard Becker), Linguistic Codes (Basil Bernstein), Modernisation Theory (W.W Rostow), Paradigms (Thomas S. Kuhn), Patriarchy (Feminism), Phenomenology (Hussert and Schutz), Power Elite (C.W. Mills), Scientific Management (F.W Taylor), Secularisation (Bryan Wilson), Stigma (Erving Goffman), Structural Functionalism (Talcott Parsons), Symbolic Interactionism (George. H. Mead), dan Urbanism (Louis Wirth).

c.Post-Moderen; Cultural Studies (Stuart Hall), Discourse (Michel Foucault), Globalisation (Anthony Giddens), Information(al) Society (Manuel Castells), Legitimation Crisis (Jurgen Hubermas), Pos-Fordism (Michael Piore), Post-Industrial Society (Daniel Bell), Post-Modernism/Post-Modernity (Jean-Francois Lyotard), Relative Autonomy (Nicos Poulantzas), Risk Society (Ulrich Beck), Simulation (Jean Baudrillard), Strutural Marxism (Louis Althusser), dan Structuration (Anthony Giddens).