Siapakah tokoh muhammadiyah yang dikenal sebagai bapak reformasi

JOGJA, Jogjaaja.com - Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam dengan pengaruh yang cukup besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis, dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.

Untuk menambah wawasan sekaligus menyegarkan pengetahuan, berikut ini profil singkat para tokoh pendiri dan berpengaruh di Muhammadiyah, serta sejarah berdirinya.

Tokoh Pendiri Muhammadiyah

KH. Ahmad Dahlan

Siapakah tokoh muhammadiyah yang dikenal sebagai bapak reformasi

KH. Ahmad Dahlan. (eramadani.com)

KH. Ahmad Dahlan adalah seorang yang telah di lahir pada tahun 1285 H/1868 M, dahulunya KH. Ahmad Dahlan diberi nama Muhammad Darwis. KH. Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh ulama yang merupakan salah satu tokoh yang mendirikan Muhamadiyah. Beliau juga menjadi bagian dari pada daftar tokoh pergerakan nasional dan menjadi tokoh idola di Indonesia.

Perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam membela Islam patut di perhitungkan sampai pada akhirnya ia menjadi seorang yang memiliki pengaruh penting dalam perkembangan Islam tersebut. KH. Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan Islam sangatlah keras sampai ia meninggal pada tahun 1923 M.

Pada saat itu KH. Ahmad Dahlan ini memiliki sebuah semboyan yang sampai saat ini tetap dikenal oleh umat Islam terutama untuk ulama ulama ataupun aktivis Muhamadiyah di antaranya adalah sebagai berikut: Hidup-hiduplah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup pada Muhammadiyah.

Buya Hamka

Siapakah tokoh muhammadiyah yang dikenal sebagai bapak reformasi

Buya Hamka. (muhammadiyah.or.id)

Buya Hamka adalah seorang yang lahir pada tahun 1908 pada tanggal 6 Februari di daerah Maninjau lebih tepatnya di daerah Sumatra barat. Buya Hamka adalah seorang yang memiliki nama asli yaitu Haji Abdul Malik Karim Amarullah.

Awal mula Buya Hamka aktif di Muhammadiyah adalah pada saat itu adalah mengikuti mukhtamar di daerah Solo pada 1928. Kemudian Buya Hamka juga menjadi anggota PP Muhamadiyah yang telah dimulai pada tahun 1953 sampai dengan 1971. Buya Hamka meninggal sebagai seorang penasehat di Muhammadiyah.

Pada saat itu, yaitu pada masa orde lama, Buya Hamka ini juga pernah aktif dalam konstituante yang merupakan hasil dari Pemilu 1 pada tahun 1955. Buya Hamka mewakili partai Masyumi Jawa Tengah.

Buya Hamka pernah juga dipenjarakan. Pada saat itu ia ditahan dan saat di penjara, Buya Hamka menyelesaikan karyanya yang berjudul Tafsir al-Azhar. Buya Hamka juga pernah menjabat sebagai Ketua MUI yang terbentuk pada 1957.

Buya Hamka menjadi ketua umum pertama menjabat dua periode pada tahun 1980. Kemudian Buya Hamka tidak menjabat karena sebuah aturan yang dibuatnya tentang larangan mengikuti Natalan.

Ki Bagus Hadi Kusumo

Siapakah tokoh muhammadiyah yang dikenal sebagai bapak reformasi

KI Bagus Hadi Kusumo. (muhammadiyah.or.id)

Bagus Hadi Kusumo adalah seorang tokoh yang merupakan salah satu dari pendiri muhamadiyah. Ki Bagus Hadi Kusumo lahir 24 November 1890 dan kemudian Ki Bagus Hadi Kusumo meninggal 3 September 1954 pada usia 64 tahun. selain itu, Ki Bagus Hadi Kusumo adalah seorang yang telah menjadi Ketua Umum dari PP pada tahun 1942 sampai dengan 1953.

Selain itu juga Ki Bagus Hadi Kusumo adalah seorang yang telah menjadi anggota dari BPUPKI yang telah dibentuk dan dilaksanakan pada 29 April 1945. Dia adalah seorang yang ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan selalu membela Islam. Ki Bagus Hadi Kusumo lah yang mencetuskan kalimat yang terdapat dalam Pancasila Sila ke-1, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.

Prof. Dr.H. Moh. Amin Rais

Prof. Dr. H. Moh. Amin Rais dikenal dengan sebutan Bapak Reformasi sejak 1998. Amin Rais lahir di solo pada 26 April 1944. Dia meraih gelar doktor pada 1981  dari University of Chicago, dengan judul The Moslem Brotherhood In Egypt.

Amin Rais juga pernah menjadi seorang asisten ketua ICMI dan juga ketua dewan pakar ICMI pada tahun 1991 sampai dengan 1995.

Dr. dr Ahmad Watik Pratiknya

Dr. dr Ahmad Watik Pratiknya memiliki nama panggilan yaitu Watik. Banyak orang yang memanggilnya dengan sebutan watik, karena menurut masyarakat sekitar, nama tersebut adalah sebuah nama yang sangat unik dan juga penuh dengan kenangan. Ahmad Watik Pratiknya lahir 8 Februari 1948.

Dia adalah seorang dokter dan juga seorang pendakwah yang sangat hebat. Selain itu, dia juga seorang yang ahli dalam anatomi. Ahmad Watik Pratiknya telah aktif di Muhammadiyah pada 1985.

Ahmad Watik Pratiknya telah tergabung sebagai anggota Majlis Tablig PP Muhammadiyah pada 1985 hingga 1990. Kemudian dia terpilih kembali menjadi anggota pada saat Mukhtamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta.

Pada Muktamar tersebut Dr. dr Ahmad Watik Pratiknya terpilih kembali menjadi koordinator dalam bidang pendidikan. Kemudian pada muktamar ke-43 di Banda Aceh, Ahmad Watik Pratiknya terpilih menjadi koordinator dalam bidang pembinaan kesehatan dan juga kesejahteraan anggota.

Berdirinya Organisasi Islam Muhammadiyah di Indonesia

Tujuh tokoh pendiri Muhammadiyah mungkin amat asing di telinga warga Muhammadiyah. Merekalah sesungguhnya yang berjasa besar dalam proses mengurus perizinan organisasi Muhammadiyah. Tanpa mereka, proses perizinan yang dibantu oleh pengurus Boedi Oetomo cabang Yogyakarta, barangkali Muhammadiyah tidak pernah menjadi organisasi resmi yang mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial pada masanya. Berikut ini kronologi kisahnya.

Mendirikan Muhammadiyah Pada tahun 1911, dalam sebuah pertemuan di Langgar Duwur, KH Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya mendiskusikan rencana pembentukan sebuah perkumpulan yang akan menjadi wadah pergerakannya. Kiai Sangidu mengusulkan nama ”Muhammadiyah” sebagai gerakan yang akan memajukan umat Islam.

Setelah melakukan shalat istikharah, KH Ahmad Dahlan menetapkan Muhammadiyah ini sebagai nama perkumpulan yang akan didirikan. Demikian informasi yang digali dari sumber Ahmad Adaby Darban dalam bukunya, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah (2000: 54). Sumber lain yang memuat informasi serupa adalah HA. Basuni dalam artikel, “Mengenang: Ibu Umnijah A.W. Pendiri NA dan TK Bustanul Athfal, Muballighah sampai Achir Hajat” (Suara Muhammadijah no. 14  tahun 1972).

Keinginan untuk membentuk sebuah perkumpulan Islam yang resmi diutarakan KH Ahmad Dahlan kepada pengurus Boedi Oetomo. Karena hubungan harmonis telah terjalin, maka pengurus Boedi Oetomo tidak keberatan membantu KH Ahmad Dahlan. Boedi Oetomo merupakan salah satu organisasi yang dipandang legal menurut pemerintah Hindia Belanda, sehingga proses pengajuan permohonan badan hukum (rechtpersoon) Muhammadiyah harus melewati organisasi ini.

Sebelum keluar rechtspersoon Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan harus mengikuti prosedur yang disarankan oleh Raden Mas Boedihardjo dan Raden Dwidjosewojo. KH Ahmad Dahlan harus membentuk kepengurusan Boedi Otomo kring Kauman, jika hendak meminta bantuan mengurus proses perizinan kepada pemerintah Hindia Belanda. Prosedur yang ditetapkan Boedi Oetomo, untuk membentuk sebuah kring minimal harus didukung oleh minimal tujuh orang yang akan masuk menjadi anggota dan pengurus organisasi ini.

Terdorong oleh keinginan kuat untuk segera mendirikan perkumpulan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan meminta bantuan murid-muridnya untuk bersedia bergabung dalam kepengurusan Boedi Oetomo kring Kauman. Murid-murid KH Ahmad Dahlan adalah para pemuda Kauman yang sangat revolusioner. Kehendak sang khatib amin langsung mendapat dukungan dan sambutan positif, sehingga terkumpullah enam pemuda yang menyatakan bersiap sedia bergabung dalam kepengurusan Boedi Oetomo kring Kauman.

Keenam pemuda perintis zaman baru ini adalah: RH. Sjarkawi, H Abdoelgani, H Sjuja’, H Hisjam, H Fachrodin, dan H Tamimuddari. Sosok KH Ahmad Dahlan sendiri menggenapi jumlah tujuh orang yang menjadi syarat minimal pembentukan organisasi Boedi Oetomo kring Kauman. Selain harus mengikuti semua aturan dan prosedur organisasi, murid-murid KH Ahmad Dahlan harus bersedia membayar iuran anggota BO sebesar f. 0,25 tiap bulan (Kyai Syuja’, 2010: 86).

Ketujuh tokoh tersebut dinilai berjasa besar besar dalam rangka mempermudah proses pengajuan permohonan rechtpersoon Muhammadiyah. Memang tidak langsung disepakati oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda (A.W.F. Idenburg). Sebab masih harus menunggu korespondensi selama 20 bulan.

Tetapi, berkat jasa ketujuh tokoh tersebut, Gubernur Jenderal Hindia Belanda akhirnya mengeluarkan besluit pada tanggal 22 Agustus 1914, menetapkan Muhammadiyah sebagai organisasi resmi yang mendapat hak-hak sepadan seperti organisasi-organisasi lain.