LAPORAN PRAKTIKUM PENENTUAN parameter farmakokinetika obat setelah PEMBERIAN secara infus SIMULASI

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA SIMULASI MODEL IN VITRO FARMAKOKINETIK OBAT SETELAH PEMBERIAN SECARA INTRAVENA 1 KOMPARTEMEN DAN 2 KOMPARTEMEN TERBUKA Disusun Oleh : Nur Meti Anisa 11161020000003 Imalya Puspitasari 11161020000015 Nur Afifah Pulugan 11161020000016 Selviana 11161020000017 Safna Prameswari 11161020000021 Aditya Rahmansyah 11161020000040 Kelompok 2 Farmasi 2016 A PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA NOVEMBER/2019 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Farmakokinetika dapat didefinisikan setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Farmakokinetika dapat diilustrasikan sebagai model kompartemen, terdapat dua macam model kompartemen yaitu model kompartemen 1 dan model kompartemen 2. Fungsi kompartemen adalah mendistribusikan seluruh cairan tubuh diantara dua kompartemen utaama, yaitu cairan intraselular (CIS) dan cairan ekstraselular (CES). Model kompartemen didasarkan atas anggapan linier yang menggunakan persamaan diferensial linier. Secara konseptual, obat bergerak masuk dan keluar kompartemen secara dinamik. Tetapan laju reaksi diperlukan untuk menyatakan semua proses laju obat masuk dan keluar dari kompartemen. Model kompartemen kemudian diuji kebenarannya dan selanjutnya diperoleh parameter – parameter farmakokinetiknya (Shargel dan Andrew, 2005). Parameter-parameter farmakokinetika, yaitu parameter farmakokinetika primer meliputi volume distribusi (Vd), klirens (Cl) dan kecepatan absorbs (Ka). Parameter sekunder meliputi kecepatan eliminasi (Ke), waktu paruh (T⅟ ₂ ), AUC dan Css. Dengan konsep memahami setiap parameter dilakukan percobaan dengan meniru suatu perilaku dan nasib obat dalamsistem biologis jika diberikan dengan suatu pemberian rute utama dan bentuk dosis tertentu. Obat yang digunakan dalam percobaan adalah parasetamol. Parasetamol atau asetaminophen, N-asetil-4Aminofenol (C8H9NO2), mengandung tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2. Berbentuk hablur atau serbuk hablur berwarna putih tidak berbau dan rasa pahit. Mempunyai kelarutan, larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%), dalam 13 bagian aseton, dalam 40 bagian gliserol dan dalam 9 bagian propilenglikol, larut dalam larutan alkalihidroksida. Khasiat dan kegunaan yaitu analgetikum, antipiretikum. (FI IV, 1995) 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses farmakokinetika obat didalam tubuh setelah pemberian secara bolus intravena dengan simulasi model in vitro farmakokinetika obat satu kompartemen terbuka? 2. Bagaimana menentukan berbagai parameter farmakokinetik? 3. Bagaimana memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala semilogaritmik? 1.3 Tujuan 1. Mampu menjelaskan proses farmakokinetika obat didalam tubuh setelah pemberian secara bolus intravena dengan simulasi model in vitro farmskokinetika obat satu kompartemen terbuka 2. Mampu menentukan berbagai parameter farmakokinetik 3. Mampu memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala semilogaritmik BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Farmakokinetik Farmakokinetika adalah ilmu yang khusus mempelajari perubahanperubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu sebagai hasil dari proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, biotransformasi (metabolisme), distribusi dan ekskresi (Hoan Tjay, 2008). 1. Absorpsi Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain (Setiawati, 2008). 2. Distribusi Obat yang telah melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke seluruh jaringan tubuh, khusunya melalui peredaran darah. Lewat kapiler dan cairan ekstra sel (yang mengelilingi jaringan) obat diangkut ke tempat kerjanya di dalam sel (cairan intra sel), yaitu organ atau otot yang sakit. Tempat kerja ini hendaknya memiliki penyaluran darah yang baik, karena obat hanya dapat melakukan aktivitasnya bila konsentrasi setempatnya cukup tinggi selama waktu yang cukup lama (Tjay dan rahardja, 2007). 3. Metabolisme Metabolisme obat terutama terjadi di hati. Tempat metabolisme yang lain adalah dinding usus, ginjal, paru, darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus). Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar menjadi polar agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik (Setiawati, 2008). 4. Ekskresi Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat di ekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus (Anief, 2007). Selain itu ada pula beberapa cara lain yaitu melalui kulit bersama keringat, paru-paru, empedu, air susu, dan usus (Tjay dan Rahardja, 2007). 2.2 Model kompartemen Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama pada berbagai waktu (Shargel dan Yu, 2005). Dalam model kompartemen dua dianggap bahwa obat terdistribusi ke dalam dua kompartemen. Kompartemen kesatu, dikenal sebagai kompartemen sentral, meliputi darah, cairan ekstraselular, dan jaringanjaringan dengan perfusi tinggi, kompartemen-kompartemen ini secara cepat terdifusi oleh obat. Kompartemen kedua merupakan kompartemen jaringan, yang berisi jaringan-jaringan yang berkesetimbangan secara lebih lambat dengan obat. Model ini menganggap obat dieliminasi dari kompartemen sentral (Shargel dan Yu, 2005). 2.3 Parameter Farmakokinetik Kompartemen farmakokinetik dari obat pada setiap tahap perlu ditetapkan secara kuantitatif dan dijelaskan dengan bantuan parameter farmakokinetik. Parameter farmakokinetik ditentukan dengan perhitungan matematika dari data kinetika obat di dalam plasma atau di dalam urin yang diperoleh setelah pemberian obat melalui berbagai rute pemberian, baik secara intravaskular atau ekstravaskular. Terdapat tiga jenis parameter farmakokinetik yaitu parameter primer, sekunder, dan turunan. Parameter farmakokinetik primer meliputi kecepatan absorbsi, Vd (volume distribusi), Cl (klirens). Parameter farmakokinetik sekunder antara lain adalah t1/2 eliminasi (waktu paruh eliminasi), Ke (konstanta kecepatan eliminasi). Sedangkan parameter farmakokinetik turunan harganya tergantung dari dosis dan kecepatan pemberian obat. Parameter farmakokinetik meliputi : 1. Parameter pokok a. Tetapan kecepatan absorbsi (Ka) Tetapan kecepatan absorbsi menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu masuknya obat ke dalam sirkulasi sistemik dari absorbsinya (saluran cerna pada pemberian oral, jaringan otot pada pemberian intramuskular). b. Cl (Klirens) Klirens adalah volume darah yang dibersihkan dari kandungan obat per satuan waktu (Neal, 2006). c. Volume distribusi (Vd) Volume distribusi adalah volume yang menunjukkan distribusi obat (Neal, 2006). 2. Parameter Sekunder a. Waktu paruh eliminasi (t1/2) Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat di dalam tubuh menjadi seperdua selama eliminasi (atau selama infus yang konstan) (Katzung, 2001). b. Tetapan kecepatan eliminasi ( Kel ) Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang akan tereliminasi dalam satu satuan waktu. Tetapan kecepatan eliminasi menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapai keseimbangan (Neal, 2006). 3. Parameter Turunan a. Waktu mencapai kadar puncak ( tmaks ) Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak. b. Kadar puncak (Cp maks) Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah atau serum atau plasma. Nilai ini merupakan hasil dari proses absorbsi, distribusi dan eliminasi dengan pengertian bahwa pada saat kadar mencapai puncak proses-proses tersebut berada dalam keadaan seimbang. c. Luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam sirkulasi sistemik vs waktu (AUC) Nilai ini menggambarkan derajad absorbsi, yakni berapa banyak obat diabsorbsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Area dibawah kurva konsentrasi obat-waktu (AUC) berguna sebagai ukuran dari jumlah total obat yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik (Shargel dan Yu, 2005). BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan : 3.1.1 Alat :  Beaker glass  Erlenmeyer  Pipet  Vial  Spuit  Alat uji disolusi  Spektrofotometer  Hot plate dan stirrer  Thermometer 3.1.2 Bahan :  Larutan parasetamol  NaOH 0,1 N  Aquadest 3.2 Prosedur Kerja 1. Larutan induk parasetamol 1000 ppm dibuat di dalam labu ukur 250 ml 2. Dibuat larutan NaOH 0,1 N 3. Kemudian isi wadah beaker glass dengan 500 ml NaoH 0,1 N 4. Atur keran untuk pengeluaran cairan dari dalam wadah dalam jumlah konstan per menit dan pompa air kecil untuk penggantian NaOH yang hilang dari wadah 5. Siapkan gelas beaker kemudian pasangkan pipa kecil yang disambungkan dengan syringe untuk pengeluaran cairan dalam jumlah konstan per menit dan syringe untuk mengganti NaOH yang diambil dari gelas beaker (Metode manual) 6. Masukkan NaOH dalam infus untuk mengganti cairan NaOH yang hilang di dalam beaker glass dan atur kecepatan keluar infus per menit 7. Sampling cumplikan sebanyak 10 ml pada waktu ke 5, 10, 20, 30, 40, 50, 60 menit setelah rangkaian alat dijalankan 8. Setiap kali sampling cumplikan tambahkan sejumlah NaOH volume sama dengan volume cuplikan 9. Tentukan kadar obat dalam cuplikan dengan spektrofotometer UV 10. Hitung Co, K, Vd, Cl, T⅟ ₂ dan AUC BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kompartemen 1 4.1.1. Pembuatan Larutan Induk Paracetamol 1000 ppm Larutan induk PCT 1000 ppm dibuat pada labu ukur 50 ml. 1000 μg/ml = X = 50000 μg = 50 mg PCT Maka sebanyak 50 mg paracetamol dilarutkan ad 50 ml NaOH 0.1 N pada labu ukur. 4.1.2. Kurva Kalibrasi Kurva kalibrasi yang digunakan yaitu kurva kalibrasi dari praktikum sebelumnya, yaitu Konsentrasi Absorbansi Absorbansi (ppm) 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 2 0.154 4 0.295 6 0.430 8 0.571 10 0.703 y = 0,0687x + 0,0184 R² = 0,9999 0 2 4 6 8 Konsentrasi (ppm) Y = 0.0687x + 0.0184 dengan R2 = 0.9999 10 12 4.1.3. Penentuan Konsentrasi dan Kurva Eliminasi Konsentrasi ditentukan dengan cara memasukkan nilai absorbansi ke sumbu y pada persamaan kurva kalibrasi. Nilai x yang didapat merupakan konsentrasi. Waktu (menit) 5 Absorbansi Pengenceran 0.570 ( 10 Konsentrasi sebenarnya (ppm) Ln C 2x 2.7762 2x 2.7524 ) 0.546 ⁄ ⁄ ( 20 0.428 ) 2x 2.5299 ⁄ ⁄ ( 30 0.334 ) 2x 2.3080 ⁄ ⁄ ( 40 0.262 ) 2x 2.0971 ⁄ ⁄ ( 50 ) 0.387 - 1.8807 ⁄ ⁄ ( 60 0.318 ) - 1.7336 ⁄ ⁄ Maka didapatkan kurva eliminasi sebagai berikut ln C Kurva Eliminasi 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 y = -0,0201x + 2,9137 R² = 0,9952 0 10 20 30 40 50 60 70 Waktu (menit) Didapatkan persamaan farmakokinetika untuk pemberian IV dengan model satu kompartemen, yaitu : ln Ct = ln Co - kt y = 2.9137 - 0.0201x 4.1.4. Menentukan Parameter Farmakokinetik Parameter Teoritis C1 x V1 = C0 x V0 Co k Praktikum ⁄ ⁄ ⁄ ⁄ ⁄ ⁄ ⁄ Cl 15 ml / menit Vd 500 ml 500 ml Persamaan y = 2.9957 – 0.03x y = 2.9137 - 0.0201x AUC ⁄ ⁄ 4.1.5. Perbandingan Konsentrasi Teoritis dan Praktikum Waktu (menit) Konsentrasi praktikum ( ⁄ ) Konsentrasi teoritis ( ⁄ ) 5 10 20 30 0,406 40 0,301 50 0,223 60 1 Dari hasil diatas didapatkan kurva perbandingan antara konsentrasi teoritis dan konsentrasi praktikum : Konsentrasi (ppm) Kurva Perbandingan Konsentrasi 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0 10 20 30 40 Waktu (menit) Praktikum Teoritis 50 60 70 4.2. Kompartemen 2 4.2.1. 4.2.2. Kurva Kalibrasi Parasetamol Konsentrasi (ppm) Absorbansi 2 0.154 4 0.293 6 0.43 8 0.571 10 0.703 Konsentrasi Tiap Satuan Waktu Dari persamaan kurva kalibrasi paracetamol dapat di gunakan untuk menentukan konsentrasi tiap satuan waktu, yaitu dengan mencari nilai X dengan mengganti Y dengan masing-masing absorbansi.  Persamaan kurva kalibrasi paracetamol  Hasil Pengukuran dengan Spektro t (menit) Absorbansi (ppm) Kadar Praktikum (ppm) 2,5 0,675 28,671 5 0,617 26,258 7,5 0,541 23,04 10 0,497 21,222 15 0,390 16,680 20 0,447 19,193 30 0,316 13,072 45 0,228 9,762 60 0,341 9,801 3,355 3,267 3,137 3,055 2,814 2,954 2,570 2,278 2,282 Kadar saat Praktikum(ppm) Kurva Uji Invitro Kompartemen 2 y = -0,0061x + 0,5825 R² = 0,6756 0,8 0,6 0,4 0,2 0 - 20,0 40,0 Waktu 60,0 Ln Cp 80,0  Waktu (menit) Abs Perhitungan Kadar Saat Praktikum Perhitungan Kadar saat Praktikum Pengenc Hasil (ppm) eran Factor koreksi (Konsentrasi (x) x vol.cuplikan) 2,5 0,675 ( ) ,8 28,671 3x FK I 5 ( 0,617 ) ( ) ( 26,258 ppm 3x 0,541 ( ) 26,258 23,04 FK II 7,5 ) ( ) ( 3x ) 23,04 ppm 21,222 FK III 10 0,497 ( 3x ) ( ) ( ) 21,222 ppm 16,680 FK IV 15 ( 0,390 ( ) ) ( 3x ) 16,680 ppm 19,193 FK V 20 0,447 ( ) ( ) ( 3x ) 19,193 ppm 13,072 FK VI ( 30 ) 0,316 ( 3x ) ( ) 13,072 ppm 9,762 FK VII ( 45 0,228 ) ( ) 3x ) ( 9,762 ppm ) 9,801 FK 60 ( 0,341 ) 2x   9,801 ppm Persamaan Kurva Eliminasi t (menit) Kadar (ppm) 20 19,193 30 13,072 45 9,762 Ln 2,954 2,570 2,278 Kurva Kalibrasi dari K eliminasi (3 data linear) 3,5 3 2,5 2 y = -0,0264x + 3,4386 R² = 0,963 1,5 1 0,5 0 0 10 20 30 40 Di dapat persamaan Kurva Eliminasi y = 3,4386 -0,0264x R² = 0,963 Diketahui : y = Ln Cp Ln B = 3,438 K = 0,0264 X=t Ln B = 3,438 B=𝜀 K = 0,0264 8 50 Pembuatan Garis Ekstrapolasi dan Cresidual Ln Cext = Ln B + Bt  Untuk menit ke 2,5 Ln Cext = 3,4386 -0,0264(2,5) Ln Cext = 3,3726  Untuk menit ke 5 Ln Cext = 3,4386 -0,0264(5) Ln Cext = 3,3066  Untuk menit ke 7,5 Ln Cext = 3,462 - 0,0279(7,5) Ln Cext = 3,252  Untuk menit ke 10 Ln Cext = 3,4386 -0,0264(10) Ln Cext = 3,1746  Untuk menit ke 15 Ln Cext = 3,4386 -0,0264(15) Ln Cext = 3,0426 Persamaan Untuk Fase Distribusi Diambil 4 data dari atas : t (menit ) 2,5 5 7,5 10 Cp 28,671 26,258 23,04 21,222 Ln Cp 3,355 3,267 3,137 Ln Cext 3,1830 3,3726 3,3066 3,1746 3,055 15 16,680 2,814 Ln Cresidual 0,172 -0,105 -0,169 -0,119 3,0426 -0.228 Didapat Kurva sebagai berikut : Kurva Distribusi 0 0 2 4 6 8 10 12 14 -0,05 -0,1 -0,15 -0,2 -0,25 y = -0,0106x - 0,0557 R² = 0,6614 16 Persamaan Regresi Kurva Distribusi y = - 0,0557-0,0106x ket = y = Ln Cp Ln A = 0,0557 A = α = 0,0106 R² = 0,6614 Maka Persamaan IV Bolus pada Kompartemen 2 adalah : 𝐶𝑝 𝜀 𝑡 𝜀 Perhitungan Teoritis  Menit Ke 2,5 (  )  ( ) Menit Ke 7,5 (  ) Menit Ke 5 ( )  ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Menit Ke 10 Menit Ke 15 𝑡     Menit Ke 20 ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Menit Ke 30 Menit Ke 45 Menit Ke 60 ( ) ( ) Tabel Perbandingan Kadar teoritis dan Kadar Praktikum t (Menit) Kadar Praktikum (ppm) 2,5 28,671 5 26,258 7,5 23,04 10 21,222 15 16,680 20 19,193 30 13,072 45 9,762 60 9,801 Kadar teoritis (ppm) 4.2.3. Menentukan parameter Farmakokinetik Parameter Farmakokinetik B Nilai Persamaan Eliminasi y = 3,4386 -0,0264x Ln B = 3,438 8 B= ß Persamaan Eliminasi y = 3,4386 -0,0264x ß = 0,0264/menit A Persamaan Distribusi α y= - 0,0557-0,0106x Ln A = 0,0557 A = Persamaan Distribusi y= - 0,0557-0,0106x α = 0,0106 Co C0 = A + B = 1,057 + 31,124 = 32,181 ppm K1.2 ( )( K 1.2 = ( ) 88 ( =( =( ) ( 88 )( ) 8 8) = K2.1 1 menit K 2.1 = = ) 88 ( 8) 88 ) 8 88 ( K1.0 = = ( ( = T ½ eliminasi ( ( = K1.0 8) 88 88 )( T1/2 = 8 ) )( 88 ) 88 8 8) 8) T ½ distribusi T1/2 = AUC = 1.057/0,0106 + 31,124/0,0264 = 99,71 + 1.178,9 = 1278,6 4.3. Pembahasan Percobaan simulasi model in vitro farmakokinetik ini bertujuan untuk menjelaskan proses farmakokinetik obat dalam tubuh setelah pemberian secara intravaskular dan mengetahui profil farmakokinetik obat. Dalam metode ini, suatu wadah digambarkan sebagai kompartemen tubuh dimana obat mengalami profil farmakokinetik dari absorpsinya hingga eliminasi obat. Sampel untuk percobaan ini yaitu paracetamol yang akan di uji aktifitas farmakokinetiknya dengan menggunakan metode model in vitro. Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular. Pada pemberian secara intravaskular, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik tanpa mengalami absorpsi, sedangkan pada pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah obat masuk dalam sirkulasi sistemik, obat akan didistribusikan, sebagian mengalami pengikatan dengan protein plasma dan sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas selanjutnya didistribusikan sampai ditempat kerjanya dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi obat diekskresikan dari dalam tubuh melalui organ-organ ekskresi, terutama ginjal. Seluruh proses yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi disebut proses farmakokinetik dan proses ini berjalan serentak. Perbedaan jalur pemberian obat menyebabkan ketersediaan obat dalam cairan tubuh berbeda pula. Intravascular memiliki bioavailibilitas yang lebih tinggi (100%) karena obat langsung didistribusikan ke sistemik. Sedangkan pada ekstravaskular,bioavailibilitasnya lebih rendah dibanding intravascular. Hal ini dikarenakan obat mengalami proses absorpsi terlebi dahulu (Zunilda,.dkk, 1995). Perbedaan selanjutnya terjadi pada kurva berikut : Gambar 1. Kurva ekstravaskular Gambar 2. Kurva intravascular Parameter farmakokinetika dari kedua jalur pemberian obat tersebut terdapat sedikit perbedaan, yaitu pada proses absorpsi. Parameter yang digunakan adalah tetapan kecepatan absorpsi (Ka). Absorpsi adalah proses perpindahan obat dari tempat pemberian/aplikasi menuju ke sirkulasi/peredaran darah yang selanjutnya mencapai target aksi obat. Tetapan kecepatan absorbs (Ka) menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu masuknya obat ke dalam sirkulasi sistemik dari absorbsinya (saluran cerna pada pemberian oral, jaringan otot pada pemberian intramuskular). Parameter inilah yang membedakan antara ekstravaskular dengan intravascular. Hal ini dikarenakan saat pemberian intravascular, obat langsung masuk ke sistemik, tidak melalui proses absorpsi dulu (Neal, 2006). Proses distribusi diilustrasikan oleh larutan dalam gelas beker. Parameter farmakokinetika yang digunakan yaitu Volume distribusi (Vd) merupakan volume hipotesis cairan tubuh yang akan diperlukan untuk melarutkan jumlah total obat pada konsentrasi yang sama seperti yang ditemukan dalam darah (Ansel, 2006). Digunakan satu wadah sebagai ilustrasi model kompartemen satu terbuka. Model ini menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan (Shargel, 1988). Klirens merupakan parameter farmakokinetika yang menggambarkan eliminasi obat yang merupakan jumlah volume cairan yang mengandung obat yang dibersihkan dari kompartemen tubuh setiap waktu tertentu. Secara umum eliminasi obat terjadi pada ginjal dan hati yang sering dikenal dengan istilah klirens total yang merupakan jumlah dari klirens ginjal (renalis) dan hati (hepatik) (Mutschler, 1991). Percobaan simulasi model in vitro farmakokinetik obat secara bolus intravena dilakukan dengan tujuan untuk memahami proses in vitro dan perkembangan kadar obat dalam darah setelah pemberian obat secara bolus intravena, mampu memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala semilogaritmik dan mampu menentukan berbagai parameter farmakokinetika obat yang berkaitan dengan pemberian obat secara bolus intravena. Percobaan ini menggunakan model farmakokinetik secara in vitro yang digunakan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan sekumpulan data yang diperoleh dari percobaan yang dilakukan. Dalam metode ini, suatu wadah digambarkan sebagai kompertemen tubuh dimana obat mengalami profil farmakokinetik dari distribusinya hingga eliminasi obat. Menurut Shargel (1988), digunakannya satu wadah sebagai ilustrasi model kompartemen satu terbuka. Model ini menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Sampel yang digunakan pada percobaan ini adalah Paracetamol yang dianggap sebagai obat yang diberikan melalui rute IV. Langkah kerja awal dibuat larutan induk 1000 ppm pada labu ukur 50 ml dengan melarutkan Paracetamol 50 mg dengan 50 ml NaOH 0,1 N dalam labu ukur. Menurut FI III (1979) dilihat dari kelarutannya, dimana paracetamol ini larut dalam 7 bagian etanol, 70 bagian air dan dalam 13 bagian aseton. Kemudian dikocok untuk mendapatkan campuran yang homogen sehingga diperoleh larutan Paracetamol dengan konsentrasi 1000 ppm. Lalu kalibrasi chamber dilakukan dengan diukurnya larutan NaOH sebanyak 500 ml didalam beaker glass dan masukkan ke dalam chamber lalu diberi label setinggi 500 ml, setelah itu diatur tetesan infus set/kantung dialisis yang berisi NaOH (harus berada direntang 10-20 ml/menit) dan didapatkan sebanyak 15 ml/menit. Setelah 500 ml NaOH dan 10 ml Paracetamol dimasukkan ke dalam chamber, lalu chamber ditempatkan diatas penangas air hingga suhu mencapai 37 °C, hal ini disesuaikan dengan suhu fisiologi tubuh manusia yaitu 37-38 °C dan dimasukkan magnetic stirrer agar Paracetamol dan larutan NaOH dapat bercampur secara merata (homogen). Setelah itu diambil (sampling) larutan sebanyak 10 mL pada menit ke5, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 dengan cara mengambil cuplikan sebanyak 10 mL/menit ( sebagai nilai klirens obat ). Cairan ( Cuplikan ) yang telah diambil akan diganti sesuai dengan volume yang diambil yakni 10 ml, agar larutan tetap konstan dan hal ini dilakukan karena system peredaran darah manusia adalah system peredaran darah tertutup sehingga volume cairan (darah) akan konstan, tetapi yang berubah adalah konsentrasi obat dalam darah. Pengeluaran cairan dari dalam wadah (chamber) dilakukan dalam jumlah konstan (secara berulang) yaitu setiap per menit yang diatur dengan menggunakan stopwatch sampai semua dosis Paracetamol masuk. Pemberian berulang ini dimaksudkan agar kadar obat didalam darah selalu berada dalam kadar terapeutik yaitu kadar obat berada didalam kisaran terapeutik yang secara klinis telah dibuktikan berkolerasi dengan efek terapi obat ( Hakim, 2012). Masing-masing sampel yang telah ditampung per interval waktu tersebut kemudian dimasukkan ke dalam vial untuk diukur kadar Paracetamol dalam cairan tersebut dengan melihat absorbansinya pada spektrofotometer UV Vis. Tujuan penggunaan spektrofotometri UV Vis karena mempunyai kelebihan yaitu gabungan antara spektrofotometer UV dan Visible, menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda yakni sumber cahaya ultra ungu dan sumber cahaya tampak. Setelah dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer UV Vis, didapatkan nilai absorbansi untuk larutan yang diambil pada menit ke-5, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 secara berturut-turut yaitu 0.570, 0.546, 0.428, 0.334, 0.262, 0.387, dan 0.318. Nilai absorbansi tersebut masing-masing dimasukkan kedalam persamaan regresi larutan baku Paracetamol yang telah diketahui sebelumnya. Berdasarkan pengamatan diperoleh konsentrasi Paracetamol pada masing-masing waktu pengambilan pada menit ke-5, 10, 20, 30, 40, 50, dan , 60 berturut-turut adalah sebesar , dan Dari data yang diperoleh tersebut dapat diketahui bahwa konsentrasi Paracetamol mengalami penurunan kadar sebanding dengan selang waktu dari cuplikan yang diambil. Sehingga dapat dilihat bahwa laju eliminasi dari larutan Paracetamol semakin menurun seiring dengan perubahan waktu. Data yang didapat merupakan data kompartemen tunggal injeksi bolus intravena. Data menghasilkan grafik menurun karena pada rute ini obat langsung mencapai konsentrasi 100 % dan didistribusikan tanpa adanya tahapan absorbsi obat. Kemudian dari data konsentrasi tersebut dapat diperoleh nilai Ln C dari menit ke-5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 sampel sebesar 2.7762, 2.7524, 2.5299, 2.3080, 2.0971, 1.8807, dan 1.7336. Parameter yang dapat dihitung dari percobaan pemberian obat dengan rute bolus intravena ini yaitu [Co, k, Vd (Volume distribusi), Cl (Klirens), dan t 1/2 (waktu paruh, persamaan dan AUC)]. Parameter farmakokinetik primer atau yang pertama dari profil farmakokinetik Paracetamol adalah Volume distribusi (Vd), yaitu merupakan volume hipotesis cairan tubuh yang akan diperlukan untuk melarutkan jumlah total obat pada konsentrasi yang sama seperti yang ditemukan dalam darah (Ansel, 2006). Proses distribusi diilustrasikan oleh larutan dalam gelas beker model kompartemen satu terbuka. Model ini menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan (Shargel, 1988). Berdasarkan teoritis, Vd= 500 ml dan dari hasil percobaan diperoleh hasil perhitungan Vd = 500 ml. Hasil ini sejalan dengan teori semakin banyak obat yang terdistribusi ke dalam jaringan semakin rendah kadar obat di dalam darah dalam artian nilai F-nya akan lebih kecil.. Parameter selanjutnya adalah klirens. Klirens secara teoritis dihasilkan sebanyak 15 ml/menit. Sementara pada praktikum dihasilkan . Klirens merupakan parameter farmakokinetik yang menggambarkan eliminasi obat yang merupakan jumlah volume cairan yang mengandung obat yang dibersihkan dari kompartemen tubuh setiap waktu tertentu, secara umum eliminasi obat terjadi pada ginjal dan hati yang sering dikenal dengan istilah klirens total yang merupakan jumlah dari klirens ginjal (renalis) dan hati (hepatic) (Mutschler, 1991). Parameter sekunder yaitu waktu paruh (t1/2 eliminasi) merupakan waktu yang diperlukan tubuh untuk mengeliminasi obat sebanyak 50% dari kadar semula. Obat dengan t1/2 pendek akan berada di dalam tubuh lebih singkat dibanding dengan yang mempunyai t1/2 panjang. Pada metode chamber berkran pada teoritis didapat percobaan nilai t1/2 = sedangkan pada hasil . Selain itu parameter sekunder yang digunakan adalah kecepatan eliminasi dimana berdasarkan teoritis, hasil kecepatan eliminasinya (K) adalah sebesar percobaan didapat sebesar /menit, sedangkan hasil /menit. Nilai ini menggambarkan proses eliminasi, namun perlu diingat bahwa pada waktu itu kemungkinan proses absorpsi dan distribusi masih saja berlansung. Parameter selanjutnya yaitu Co (Konsentrasi Obat pada waktu nol) secara teoritis sedangkan pada hasil percobaan didapatkan didapatkan . Parameter turunan selanjutnya adalah AUC. AUC yang didapatkan ⁄ pada kelompok 2 ini sebesar . AUC (Area Under Curve) adalah permukaan dibawah kurva (grafik) yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavaibilitas suatu obat. AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan kecepatan (Waldon,2008). ⁄ eliminasinya Nilai AUC tidak secara mengalami teoritis yaitu perubahan sebesar . Hal ini menunjukkan bahwa nilai AUC teoritis dan praktikum terdapat perbedaan nilai yang jauh. AUC dapat ditentukan dengan suatu prosedur integrasi nuerik, metode rumus trapesium atau secara langsung menggunakan planimeter. Satuan AUC adalah konsentrasi waktu (misalnya mg jam/ml) (Ganiswara, S.G,. 1995). Hasil konsentrasi sesungguhnya (Cp) pada saat praktikum pada menit ke-5, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 berturut-turut adalah sebesar , , dan , . Sementara secara teoritis didapatkan Cp pada menit ke-5, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 berturut-turut adalah sebesar , , , , dan yang sama-sama terlihat dari data menunjukkan juga bahwa konsentrasi Paracetamol mengalami penurunan kadar sebanding dengan selang waktu dari cuplikan yang diambil. Sehingga dapat dilihat bahwa laju eliminasi dari larutan Paracetamol semakin menurun seiring dengan perubahan waktu. Mekanisme farmakokinetika pemberian intravena bolus model dua kompartemen terbuka menggambarkan proses obat yang mengalami distribusi dari kompartemen sentral/satu ke jaringan/kompartemen dua sekaligus mengalami eliminasi. Kompartemen kesatu atau kompartemen sentral yaitu darah, cairan ekstraseluler dan jaringan dengan perfusi tinggi. Kompartemen dua atau kompartemen jaringan berisi jaringan-jaringan yang berkesetimbangan lebih lambat dengan obat yang menganggap obat dieliminasi dari kompartemen satu atau sentral. Model dua komprtemen diperlukan untuk menjelaskan adanya kurva kadar dalam plasma-waktu yang tidak menurun secara linier sebagai proses laju orde ke satu setelah pemberian injeksi intravena secara cepat. Obat didistribusikan dengan laju reaksi yang tidak sama ke dalam berbagai jaringan yang berbeda. Ketika distribusi awal, obat dilepaskan ke kompartemen perifer dengan aliran darah lebih sedikit tetapi jaringanjaringan dalam kompartemen tersebut mempunyai aliran darah dan afinitas yang sama terhadap obat. Perbedaan tersebut menyebabkan adanya kurva log konsentrasi obat dalam plasma-waktu yang tidak linier. Setelah terjadi kesetimbangan obat dalam perifer, maka kurva kadar dalam plasma-waktu mencerminkan eliminasi obat yang sesuai dengan orde kesatu. Dalam percobaan ini digunakan sampel parasetamol 1000 ppm dengan melarutkan paracetamol 50 mg dalam 50 ml NaOH 0,1 Ndalam labu ukur dan dikocok hingga homogen. Selanjutnya dilakukan kalibrasi chamber menggunakan NaOH sebanyak 800 ml yang merupakan alat simulasi dua kompartemen intravena, ditempatkan di atas hotplate dengan suhu 37 oC yang sesuai dengan suhu tubuh manusia dan diaduk menggunakan magnetic stirer agar obat tetap homogen dan terdispersi secara merata pada cairan. Klirens diatur sebanyak 24 ml/menit. Chamber yang berisi NaOH digambarkan sebagai kondisi darah ketika terdapat sediaan injeksi intravena yang diberikan. Sedangkan NaOH menggambarkan volume distribus (Vd) obat dalam tubuh. Volume distribusi merupakan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum (Setiawati, 2005). Kemudian dilakukan pengaturan pada infus set yang berisi NaOH dengan kecepatan 20 ml/menit. Selanjutnya dimasukkan larutan sampel paracetamol ke dalam chamber yang berisi NaOH. Setelah itu diambil larutan sampling sebanyak 10 ml pada watu menit ke- 2,5; 5; 7,5; 10; 15; 20; 30; 45; dan 60. Cairan yang disampling, diganti dengan NaOH sesuai volume yang digunakan yaitu 10 ml agar tetap konstan karena sistem peredaran darah tertutup sehingga volume darah akan konstan dan konsentras obat yang akan berubah. Hasil sampling diukur serapannya pada spektrofotometer UV Vis dan dihitung parameter farmakokinetiknya. Hasil absorbansi yang didapatkan sesuai urutan waktu pengambilan sampling yaitu 0,675; 0,617; 0,541; 0,497; 0,390; 0,447; 0,316; 0,228; dan 0,341. Nilai absorbansi tersebut dimasukkan ke dalam persamaan regresi dari kurva kalibrasi parasetamol. Maka konsentrasi obat yang didapatkan adalah 28,671; 26,258; 23,04; 21,222; 16,680; 19,193; 13,072; 9,762; dan 9,801 pp. Terjadi penurunan konsentrasi dari menit ke 2,5 hingga menit ke-15 dan dari menit ke 20 sampai menit ke 45 serta terjadi kenaikan konsentrasi dari menit ke-15 ke menit 20 dan dari menit ke-45 ke menit 60. Dari data tersebut didapatkan nilai Ln Cp 3,355; 3,267; 3,137; 3,055; 2,814; 2,954; 2,570; 2,278; 2,282. Grafik yang dihasilkan naik turun, berbeda dengan hasil teoritis yang seharusnya menurun. Dan tidak linear karena beberapa obat terdistribusi dalam jaringan yang berbeda dengan laju yang berbeda yaitu kompartemen sentral dan jaringan atau perifer. Kurva elimminasi yang didapatkan terjadi pada waktu menit ke-20, 30 dan 45 karena mempunyai kurva yang paling linear. Sementara itu kurva distribusi diambil dari data menit ke- 2,5; 5; 7,5; 10 dan 15. Dari data-data tersebut dapat ditentukann parameter farmakokinetiknya. Yang pertama adalah parameter primer yaitu volume distribusi (Vd) sebesar 800 ml dan klirensnya sebesar 24 ml/menit. Sementara untuk parameter sekundernya yaitu waktu paruh (t ½) eliminasi sebesar 26,25 menit dan waktu paruh (t ½) distribusi sebesar 65,377 menit. Pada aplikasinya,obat dengan t 1/2 pendek perlu diberikan dengan interval waktu lebih pendek, misalnya diberikan 2-3 kali sehari untuk mempertahankan kadar efektif didlam darah (Hakim, L,. 2012). Nilai Co yaiyu 32,181 ppm, nilai AUC yaitu 1278,6 µg.menit/ml. AUC (Area Under Curve) adalah permukaan dibawah kurva (grafik) yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavaibilitas suatu obat. AUC dapar digunakan untuk membandingkan kadar masing – masing plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan ( Waldon,2008). Nilai k1.2 yaitu 0,00221; k2.1 0,00228 dan k1.0 yaitu 0,1808. Sedangkan untuk nilai A dan B secara berturut-turut adalah 1,057 dan 31,124. Dari hasil yang telah dijelaskan terdapat perbedaan yang antara hasil perhitungan teoritis dan hasil praktikum. Hal ini kemungkinan disebabkan dari perlakuan selama simulasi in vitro yang kurang maksimal. Sehingga diperoleh nilai absorbansi yang tidak linier. Dari kurva eliminasi yang harusnya linier menurun, tetapi tidak linier sempurna. Menyebabkan perhitungan farmakokinetik tidak sesuai dengan perhitungan secara teoritis. Selama pengambilan cuplikan dari beaker glass larutan dimungkinkan tidak berada dalam kondisi homogen. Maka dari itu didapatkan nilai konsentrasi yang tidak linier menurun sesuai dengan kurva yang dimiliki obat-obat IV. Hal ini termasuk human error, kesalahan dalam menyampling, perlakuan terhadap sampel uji; cairan masuk maupun yang keluar. BAB V KESIMPULAN  Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan.  Parameter yang dapat dihitung dari percobaan pemberian obat dengan rute bolus intravena ini yaitu [Co, k, Vd (Volume distribusi), Cl (Klirens), dan t 1/2 (waktu paruh, persamaan dan AUC)].  Berdasarkan teoritis, Vd= 500 ml dan dari hasil percobaan diperoleh hasil perhitungan Vd = 500 ml.  Klirens secara teoritis dihasilkan sebanyak 15 ml/menit. Sementara pada praktikum dihasilkan .  Parameter sekunder yaitu waktu paruh (t1/2 eliminasi) pada teoritis didapat sedangkan pada hasil percobaan nilai t1/2 = .  Berdasarkan teoritis, hasil kecepatan eliminasinya (K) adalah sebesar /menit, sedangkan hasil percobaan didapat sebesar /menit.  Co (Konsentrasi Obat pada waktu nol) secara teoritis didapatkan sedangkan pada hasil percobaan didapatkan  AUC yang didapatkan pada kelompok 2 ini sebesar Nilai AUC secara teoritis yaitu sebesar . ⁄ . ⁄  Mekanisme farmakokinetika pemberian intravena bolus model dua kompartemen terbuka menggambarkan proses obat yang mengalami distribusi dari kompartemen sentral/satu ke jaringan/kompartemen dua sekaligus mengalami eliminasi.  Parameter primer yaitu volume distribusi (Vd) sebesar 800 ml dan klirensnya sebesar 24 ml/menit. Sementara untuk parameter sekundernya yaitu waktu paruh (t ½) eliminasi sebesar 26,25 menit dan waktu paruh (t ½) distribusi sebesar 65,377 menit. Nilai Co yaitu 32,181 ppm, nilai AUC yaitu 1278,6 µg.menit/ml. Nilai k1.2 yaitu 0,00221; k2.1 0,00228 dan k1.0 yaitu 0,1808. Sedangkan untuk nilai A dan B secara berturut-turut adalah 1,057 dan 31,124. DAFTAR PUSTAKA Shargel, L. dan Andrew B.C.YU., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Edisi kedua, Airlangga University Press, Surabaya. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia edisi keempat. Jakarta: Depkes RI. Tan Hoan Tjay, Kirana Raharja. 2008. Obat-obat Penting. Edisi 6. Jakarta : Gramedia. Katzung, B.G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik : Reseptor- reseptor Obat dan Farmakodinamik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit Erlangga. Setiawati, S. 2008. Proses Pembelajaran Dalam Pendidikan Kesehatan. Jakarta : Trans Info Media. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Waldon, D.J. (2008). Pharmacokinetic and Drug Metabolism. Cambridge: Amgen, Inc., One Kendall Square, Building 1000, USA. Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi V, 88, Penerbit ITB, Bandung. Hakim, L., 2012, Farmakokinetika, Bursa Ilmu: Yogyakarta. Setiawati, A., 2005, Farmakokinetik Klinik Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ansel, H. C., & Prince, S. J. 2006 Kalkulasi Farmasetik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Depkes RI, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Ganiswarna, S., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 271-288 dan 800-810, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Zunilda, S.B, dan F.D. Suyatna. 1995. Pengantar Farmakologi. Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press. LAMPIRAN Mengatur tetesan keran sesuai dengan yang diinginkan (kompartemen 1) Mengatur tetesan infus sesuai dengan yang diinginkan (kompartemen 1) Mengencerkan sampel yang sudah diambil. Kemudian di cek dengan Spektrofotometer UV-Vis (kompartemen 1) Mengatur tetesan keran sesuai dengan yang diinginkan (kompartemen 2) Mengatur tetesan infus sesuai dengan yang diinginkan (kompartemen 2) Mengambil cuplikan sampel sesuai dengan waktu yang ditentukan (kompartemen 2)

Mengembalikan volume yang hilang karena pengambilan sampel (kompartemen 2)