Musafir mendapatkan keringanan untuk tidak melaksanakan salat Jumat dan mengganti dengan salat

HUKUM BEPERGIAN PADA HARI JUM’AT

Oleh
Umar Abdul Mun’im Salim

Tidak ada keterangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang seseorang mengdakan perjalanan pada hari Jum’at. Jadi boleh saja bepergian bila waktu shalat masih belum tiba. [1]

Dan ada keterangan-keterangan dari sahabat yang memperkuat hal tersebut.

Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat seorang laki-laki yang sudah tampak siap bepergian, maka berkatalah orang tadi, “Hari ini, hari Jum’at, dan kalau tidak karena hari Jum’at tentu aku sudah keluar”. Umar berkata, “Sesungguhnya shalat Jum’at itu tidak mencegah orang bepergian, maka pergilah selama belum tiba waktu matahari tergelincir.[2]

Diriwayatkan dari Nafi pembantu Ibnu Umar, bahwa anak dari Said bin Zaid bin Nufail –suatu saat- sedang berada di sebidang tanahnya didaerah Al-Aqiq yang jauhnya beberapa mil dari kota Madinah. Lalu ia bertemu dengan Ibnu Umar di siang hari Jum’at, kemudian dia memberitahukan tentang masalahnya, maka pergilah Umar padanya dan meninggalkan shalat Jum’at [3]

Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama. [4]

MUSAFIR DAN SHALAT JUM’AT
Tidak ada ketarangan shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaksanakan shalat Jum’at saat dalam perjalanan, bahkan riwayat menyebutkan bahwa beliau menjama’ (mengumpulkan) dua shalat –dhuhur dan ashar- saat di Arafah dan itu terjadi pada hari Jum’at [5]

Oleh karena itu ada keterangan-keterangan dari Shahabat yang menguatkannya.

Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua raka’at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum’at [6]

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata “Tidak ada shalat Jum’at bagi Musafir”
[7]

[Disalin dari buku Hadyu Nabi Fi Yaumil Jum’ati Wal Yaltihaa Min Shahihil Sunnati, Edisi Indonesia Petunjuk Nabi Tentang Amalan Pada Malam dan Siang Hari Jum’at, Penulis Umar Abdul Mun’im Salim, Penerjemah Abu Okasha, Penerbit Pustaka Azzam] _______ Footnote

[1]. Ibnul Mundzir –dalam kitab Al-Ausath (4/23) berkata, “Saya tidak mengetahui satu keterangan pasti yang melarang bepergian mulai awal siang hari Jum’at sampai tergelincir matahari di masa saat iti muadzin mulai mengumandangkan adzannya. Nah, bila muadzin mulai mengumandangkan adzan, maka wajib bagi orang yang mendengarnya untuk pergi ke shalat Ju’at. Dia tidak bisa lagi menghindar dari suatu kewajiban yang harus dia laksanakan. Bila dia menunda kepergiannya pada hari Jum’at sampai wakt Jum’at selesai, itulah yang lebih baik.

Saya berkata, “ada sebuah riwayat yang tidak kuat yang memakruhkan orang bepergian pada hari Jum’at. Yaitu riwayat yang dikeluarkan oleh Adz-Dzaruquthni dalam kitab Al-Afrad dari hadits Umar secara marfu :

“Barangsiapa yang bepergian pada hari Jum’at, malaikat mendo’akan untuknya, semoga tidak ada yang menyertainya dalam perhalanan”.

Ibnu Hajar berkata di dalam kitab At-Talkish (2/70), “Di dalam sanad hadits ini ada Ibnu Lahi’ah”

Saya berkata, “Ini menandakan bahwa hadits tersebut tidak termasuk hadits yang pantas dijadikan hujjah, apalagi dalam matannyaada perselisihan dengan riwayat yang lebih kuat”.

Ada riwayat lain yang senada yaitu dikeluarkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitab Asmaur Ruwah an Malik seperti yang tesebut pula dalam Nailul Authar (4/156) dengan jalur Al-Husain bin Alwan dari Malik dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu.

“Barangsiapa yang bepergian pada hari Jum’at, dua malaikatnya akan mendo’a semoga tidak ada yang menyertai dalam perjalanannya dan semoga hajatnya tidak terpenuhi”.

Saya berkata, “Hadits ini dengan sanad tersebut adalah maudhu’ sebab Husain bin Alwan itu Taliful Hal (Keadaan/sifatnya tidak baik). Ibnu Main mengatakan dia itu pendusta,dan Ibnul Fallas mengatakan, ‘Dia lemah sekali’. Sementara Abi Hatim, An-Nasai dan Adz-Dzaruquthni mengatakan, ‘Dia itu hadits diringgalkan’. Bahkan Ibnu Hibban mengatakan, “Dia itu pernah membuat hadits palsu”. Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (1/53) mengatakan, “Dan di antara riwayat yang dia palsukan atas nama Malik… lalu Adz-Dzahabi menyebutkan hadits diatas.

[2]. Diekeluarkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf (3/250) dan Ibnu Syaibah (1/442) –secara ringkas- dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath (4/21) melalui jalur Al-Aswad bin Qays dari ayahnya dari Umar Radhiyallahu ‘anhu sanad hadits ini shahih. Abdur Razaq mempunyai jalur lain lagi untuk hadits ini. Dan telah diriwayatkan pula keterangan tentang kemakruhannya dari Ibnu Umar dan Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Adapun hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir (4/22) dengan lafazh.

Baca Juga  Hukum Membangunkan Orang Tidur Di Sela-sela Khutbah

“Janganlah kau pergi sehingga engkau shalat Jum’at dulu, lalu engkau boleh pergi kalau engkau ingin”.

Sanad hadits ini lemah, di dalamnya ada Abdul Aziz bin Ubaidillah bin Hamzah Al-Himshy, dia ini haditsnya lemah dan terkadang menyalahi riwayat perawi yang lebih kuat. Dan ternyata keterangan yang pasti dari Ibnu Umar bertentangan dengan pernyataan di atas.

Adapun hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/443) dengan sanad yang shahih dari Ath-Tha dari Aisyah, dia berkata, “Bila engkau berada pada malam Jum’at maka janganlah engkau keluar hingga engkau sahalat Jum’at dulu”.

Dan dari Ath-Tha pula, Ibnul Mundzir mengeluarkan hadits ini dalam Al-Ausath (4/22). Tapi hal ini bertentangan dengan pendapat kebanyakan para shahabat. Diriwayatkan dari Abi Ubaidah, keterangan yang membolehkannya hal ini disebutkan oleh Abdur Razzaq (3/250), dan perawi-perawi yang ada di sanadnya –menurut mereka- adalah terpercaya 9tsiqah), hanya saja sanadnya terputus. Hadits ini diriwayatkan dari Abu Ubaidah oleh Shalih bin Kisan, dan periwayatan ini adalah mursal. Wallahu a’lam

Orang yang berpendapat membolehkan lebih sesuai dengan dasar masalah ini, karena memang tidak ada nash shahih yang melarang hari Jum’at. Wallahu a’lam

[3]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/443) dengan sanad yang shahih

[4]. Seperti yang dinukil Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/157) dan Al-Iraqy dan ibnu Qudamah

[5]. Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata : “Keterangan yang dapat dijadikan dalil gugurnya kewajiban shalat Jum’at bagi musafir yaitu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa kali perjalanan-perjalanan beliau -sudah tentu- pernah ada yang bertetapan dengan hari Jum’at. Tetapi tidak ada keterangan yang sampai pada kami bahwa beliau melaksanakan shalat Jum’at sementara beliau dalam perjalanan. Bahkan keterangan yang pasti menunjukkan bahwa beliau melaksnakan shalat dhuhur di Padang Arafah pada saat hari Jum’at. Tindakan ini merupakan bahwa tidak ada shalat Jum’at bagi seorang musafir” [4/20]

[6]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/20] dengan sanad yang shahih

[7]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/19] dan Al-baihaqi dalam Al-Kubra [3/184] dengan sanad yang shahih

  1. Home
  2. /
  3. Fiqih : Shalat Jum'at
  4. /
  5. Hukum Bepergian Pada Hari...

🔍 Tidak Puasa, Allah Murka, Cara Mencintai Pria Dalam Islam, Minum Air Susu Istri, Surat Al-ikhlas Terdiri Dari

Jakarta -

Islam mengenal keringanan dalam pelaksanaan ibadahnya, seperti sejumlah halangan yang membolehkan kita tidak melaksanakan salat Jumat. Keadaan ini pula yang kerap kali disebut sebagai uzur Jumat.

Menurut Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq yang ditulis oleh Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, orang yang terkena uzur Jumat diperbolehkan untuk meninggalkan salat Jumat. Namun, kewajiban mengamalkan salat Dzuhur masih dikenakan untuknya.

"Setiap halangan-halangan yang membolehkan tidak melaksanakan salat Jumat atas mereka. Namun, tetap wajib mengerjakan salat Dzuhur," bunyi keterangan buku tersebut.

Dalam artian, uzur Jumat merupakan keringanan seseorang untuk meninggalkan salat Jumat berjamaah di masjid. Kemudian, dapat menggantinya dengan salat Dzuhur di rumah. Lantas, apa saja halangan yang dimaksud tersebut?

4 halangan yang membolehkan untuk tidak melaksanakan salat Jumat

1. Cuaca ekstrem

Halangan yang membolehkan kita tidak melaksanakan salat Jumat menurut hadits adalah cuaca ekstrem. Kondisi cuaca ini ditandai dengan hujan yang membuat pakaian yang dikenakan menjadi basah dan ia tidak mendapati tempat berteduh, seperti diungkap oleh Syaikh DR. Alauddin Za'tari dalam Fikih Ibadah Madzhab Syafi'i.

Rasulullah SAW pernah bersabda dalam haditsnya yang diceritakan dari Ibnu Umar RA. Beliau meminta muadzin untuk menyerukan pelaksanaan salat di rumah ketika malam itu sangat dingin dan turun hujan. Beliau bersabda,

"Ingat, salatlah kalian di rumah saja," (HR Bukhari).

Selain itu, kondisi seperti angin yang berhembus kencang pada malam hari, udara dingin, becek, dan terik panas yang menyengat di waktu dzuhur juga termasuk dalam uzur salat Jumat. Bersumber dari Abdullah bin Harits dalam Kitab Jamaah dan Imamah karangan Bukhari,

"Ibnu Abbas RA (sahabat nabi) berkhutbah di depan kami pada suatu hari yang becek. Ia menyuruh muadzin jika sesudah mengumandangkan hayya 'ala ash-shalah (mari kita shalat), untuk mengatakan: 'Orang-orang salat di rumah saja,'

Lalu, mereka saling memandang satu sama lain seolah-olah mereka protes. Melihat hal itu, Ibnu Abbas berkata, 'Sepertinya kalian memprotes hal ini. Padahal sesungguhnya hal ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik daripada aku, maksudnya adalah Nabi SAW. Sesungguhnya ini adalah hari Jumat dan aku tidak suka menyusahkan kalian,"

2. Sakit

Orang sakit sehingga membuatnya kesulitan untuk hadir ke masjid juga dibolehkan untuk tidak melaksanakan salat Jumat. Syaikh DR. Alauddin Za'tari mengatakan, mereka ini juga termasuk bagi orang yang merasa akan meninggal atau pun penyakit yang dimiliki seseorang dapat membahayakan orang lainnya.

Dari Thariq bin Syihab bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

Artinya: "Salat Jumat itu kewajiban atas tiap muslim di dalam jamaah, kecuali budak yang dimiliki (tuannya), atau perempuan, atau anak kecil, atau orang sakit," (HR Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqi, At Thabarani, Ad Daruquthni).

Di samping itu, perkara ini pernah dicontohkan oleh salah seorang sahabat nabi Sa'id bin Zaid RA yang pernah menderita sakit pada hari Jumat. Diketahui saat hari beranjak makin siang dan mendekati waktu salat Jumat, ia tidak ikut serta dalam salat Jumat.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan dishahihkan oleh Bukhari dalam Kitab Perang-perang Suci.

Keringanan ini juga dikenakan pada petugas kesehatan yang merawat orang sakit. Menurut al Mausu'ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah disebutkan, mayoritas ulama berpendapat perawat dapat dihukumi seperti orang yang sakit untuk tidak menghadiri salat Jumat berjamaah.

3. Rasa takut

Selanjutnya uzur salat Jumat yang lain adalah rasa ketakutan dan kekhawatiran terhadap musuh. Terutama dapat mengancam nyawa, kehormatan, harta, khawatir terpisah dengan teman yang lain.

Menurut riwayat hadits dari Ibnu Abas RA, ia bercerita mengenai bagaimana Rasulullah SAW menyikapi perkara ini. Berikut bunyi haditsnya,

"'Barangsiapa yang mendengar seruan adzan namun tidak ada uzur yang menghalanginya untuk mengikuti seruan azan tersebut, niscaya salat yang telah ia lakukan tidak diterima,' Para saabat kemudian bertanya, 'Apa itu uzurnya?'

Beliau bersabda, 'Yaitu rasa takut dan sakit,'" (HR Abu Dawud).

4. Tunanetra tanpa penuntun

Seorang tunanetra yang tidak ada yang menuntunnnya berjalan ini didasarkan pada hadits dari cerita seorang tunanetra pada masa nabi yaitu Itban bin Malik RA. Ia pernah becerita pada Rasulullah SAW mengenai kondisi dan cuaca di rumahnya.

Kemudian, Itban bin Malik meminta Rasulullah SAW untuk salat di rumahnya yang disebut mushola olehnya dan beliau pun mengabulkan permintaan Itban bin Malik. Berdasarkan hadits ini, Rasulullah SAW tidak menolak anggapan dari seorang tunanetra yang menyebut rumahnya adalah mushola miliknya.

Melalui informasi halangan yang membolehkan kita untuk meninggalkan salat Jumat ini, semoga bisa menjawab kekhawatiran detikers, ya. Sekaligus, dapat menyiapkan diri bila keadaan di atas tiba-tiba dihadapi mendadak saat hendak salat Jumat.

Simak Video "Riuh Sambutan saat Mesut Ozil Kunjungi Istiqlal untuk Salat Jumat"



(rah/lus)


Page 2

Jakarta -

Islam mengenal keringanan dalam pelaksanaan ibadahnya, seperti sejumlah halangan yang membolehkan kita tidak melaksanakan salat Jumat. Keadaan ini pula yang kerap kali disebut sebagai uzur Jumat.

Menurut Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq yang ditulis oleh Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, orang yang terkena uzur Jumat diperbolehkan untuk meninggalkan salat Jumat. Namun, kewajiban mengamalkan salat Dzuhur masih dikenakan untuknya.

"Setiap halangan-halangan yang membolehkan tidak melaksanakan salat Jumat atas mereka. Namun, tetap wajib mengerjakan salat Dzuhur," bunyi keterangan buku tersebut.

Dalam artian, uzur Jumat merupakan keringanan seseorang untuk meninggalkan salat Jumat berjamaah di masjid. Kemudian, dapat menggantinya dengan salat Dzuhur di rumah. Lantas, apa saja halangan yang dimaksud tersebut?

4 halangan yang membolehkan untuk tidak melaksanakan salat Jumat

1. Cuaca ekstrem

Halangan yang membolehkan kita tidak melaksanakan salat Jumat menurut hadits adalah cuaca ekstrem. Kondisi cuaca ini ditandai dengan hujan yang membuat pakaian yang dikenakan menjadi basah dan ia tidak mendapati tempat berteduh, seperti diungkap oleh Syaikh DR. Alauddin Za'tari dalam Fikih Ibadah Madzhab Syafi'i.

Rasulullah SAW pernah bersabda dalam haditsnya yang diceritakan dari Ibnu Umar RA. Beliau meminta muadzin untuk menyerukan pelaksanaan salat di rumah ketika malam itu sangat dingin dan turun hujan. Beliau bersabda,

"Ingat, salatlah kalian di rumah saja," (HR Bukhari).

Selain itu, kondisi seperti angin yang berhembus kencang pada malam hari, udara dingin, becek, dan terik panas yang menyengat di waktu dzuhur juga termasuk dalam uzur salat Jumat. Bersumber dari Abdullah bin Harits dalam Kitab Jamaah dan Imamah karangan Bukhari,

"Ibnu Abbas RA (sahabat nabi) berkhutbah di depan kami pada suatu hari yang becek. Ia menyuruh muadzin jika sesudah mengumandangkan hayya 'ala ash-shalah (mari kita shalat), untuk mengatakan: 'Orang-orang salat di rumah saja,'

Lalu, mereka saling memandang satu sama lain seolah-olah mereka protes. Melihat hal itu, Ibnu Abbas berkata, 'Sepertinya kalian memprotes hal ini. Padahal sesungguhnya hal ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik daripada aku, maksudnya adalah Nabi SAW. Sesungguhnya ini adalah hari Jumat dan aku tidak suka menyusahkan kalian,"

2. Sakit

Orang sakit sehingga membuatnya kesulitan untuk hadir ke masjid juga dibolehkan untuk tidak melaksanakan salat Jumat. Syaikh DR. Alauddin Za'tari mengatakan, mereka ini juga termasuk bagi orang yang merasa akan meninggal atau pun penyakit yang dimiliki seseorang dapat membahayakan orang lainnya.

Dari Thariq bin Syihab bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

Artinya: "Salat Jumat itu kewajiban atas tiap muslim di dalam jamaah, kecuali budak yang dimiliki (tuannya), atau perempuan, atau anak kecil, atau orang sakit," (HR Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqi, At Thabarani, Ad Daruquthni).

Di samping itu, perkara ini pernah dicontohkan oleh salah seorang sahabat nabi Sa'id bin Zaid RA yang pernah menderita sakit pada hari Jumat. Diketahui saat hari beranjak makin siang dan mendekati waktu salat Jumat, ia tidak ikut serta dalam salat Jumat.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan dishahihkan oleh Bukhari dalam Kitab Perang-perang Suci.

Keringanan ini juga dikenakan pada petugas kesehatan yang merawat orang sakit. Menurut al Mausu'ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah disebutkan, mayoritas ulama berpendapat perawat dapat dihukumi seperti orang yang sakit untuk tidak menghadiri salat Jumat berjamaah.

3. Rasa takut

Selanjutnya uzur salat Jumat yang lain adalah rasa ketakutan dan kekhawatiran terhadap musuh. Terutama dapat mengancam nyawa, kehormatan, harta, khawatir terpisah dengan teman yang lain.

Menurut riwayat hadits dari Ibnu Abas RA, ia bercerita mengenai bagaimana Rasulullah SAW menyikapi perkara ini. Berikut bunyi haditsnya,

"'Barangsiapa yang mendengar seruan adzan namun tidak ada uzur yang menghalanginya untuk mengikuti seruan azan tersebut, niscaya salat yang telah ia lakukan tidak diterima,' Para saabat kemudian bertanya, 'Apa itu uzurnya?'

Beliau bersabda, 'Yaitu rasa takut dan sakit,'" (HR Abu Dawud).

4. Tunanetra tanpa penuntun

Seorang tunanetra yang tidak ada yang menuntunnnya berjalan ini didasarkan pada hadits dari cerita seorang tunanetra pada masa nabi yaitu Itban bin Malik RA. Ia pernah becerita pada Rasulullah SAW mengenai kondisi dan cuaca di rumahnya.

Kemudian, Itban bin Malik meminta Rasulullah SAW untuk salat di rumahnya yang disebut mushola olehnya dan beliau pun mengabulkan permintaan Itban bin Malik. Berdasarkan hadits ini, Rasulullah SAW tidak menolak anggapan dari seorang tunanetra yang menyebut rumahnya adalah mushola miliknya.

Melalui informasi halangan yang membolehkan kita untuk meninggalkan salat Jumat ini, semoga bisa menjawab kekhawatiran detikers, ya. Sekaligus, dapat menyiapkan diri bila keadaan di atas tiba-tiba dihadapi mendadak saat hendak salat Jumat.

Simak Video "Riuh Sambutan saat Mesut Ozil Kunjungi Istiqlal untuk Salat Jumat"


[Gambas:Video 20detik]
(rah/lus)