Kumpulan peneliti menggunakan alquran sebagai panduan

                Keempat, Al-Quranlah undang-undang kehidupan yang paling pas bagi manusia dan seluruh alam. Berpijak di atasnya tidak akan tersesat selamanya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam surat Al-Isra ayat 9, Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. Rasulullah Saw bersabda, “Aku tinggalkan untukk kalian dua perkara yang apabila berpegang kepadanya niscaya tidak akan tersesat selamanya, yaitu Al-Quran dan Sunah.” Untuk dapat mengikuti petunjuk-petunjuk Alquran, memang kita harus belajar kepada orang yang ahli atau punya kompetensi di bidang ilmu-ilmu Alquran. Karena terkadang, secara sepintas bagi orang yang tidak memiliki pemahaman terhadap ilmu-ilmu Alquran, melihat ada perbedaan makna antara satu ayat dan ayat lainnya dalam memberikan informasi tentang sesuatu. Sebagai contoh, dapat kita ambil informasi mengenai petunjuk Alquran. Pada Sûrah al-Baqarah ayat 185 Allah swt. berfirman yang artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”.

Pada ayat ini dijelaskan bahwa petunjuk Alquran itu berlaku umum, sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Bagi orang yang tidak mengerti, mungkin akan membantah kebenaran informasi Alquran ini. Karena dia akan menemukan banyak orang yang tidak mendapat petunjuk Alquran. Banyak orang yang tidak memeluk Agama Islam, atau memeluk Agama Islam, tetapi tidak mampu menerapkan ajaran-ajaran Islam itu dalam kehidupannya sehari-hari. Padahal Allah swt. telah menyatakan dalam firman-Nya Sûrah Âli ‘Imrân ayat 19 yang artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”.

Sebenarnya ayat 185 Sûrah al-Baqarah tadi, menjelaskan nilai petunjuk Alquran itu sendiri yang bersifat netral, siapa pun dapat mengambil dan memanfaatkannya, apakah dia seorang mukmin, seorang muslim, seorang kafir, seorang musyrik, atau seorang atheis yang tidak bertuhan sekalipun, seperti nilai-nilai keadilan, kejujuran, tolong-menolong dalam kebaikan dan kebenaran dan lainnya yang merupakan petunjuk Alquran yang bersifat universal.

Sekedar untuk mendekatkan pemahaman kita terhadap nilai petunjuk Alquran yang bersifat universal ini, kita bandingkan dengan sinar matahari yang sangat berguna bagi kehidupan. Manusia yang melakukan kegiatan di siang hari, dengan sinar terik matahari, tidak lagi memerlukan alat penerangan lainnya. Kebanyakan tanaman yang terkena sinar matahari, akan berkembang dengan baik dan menjadi segar. Jemuran kita akan cepat kering, jika terkena sinar matahari, dan seterusnya. Itu semua berlaku secara umum, selama si penerimanya dalam kondisi sehat dan normal. Akan tetapi, jika si penerimanya dalam kondisi tidak normal atau sakit, seperti orang yang sedang sakit mata, maka jangankan sinar matahari yang terik, lampu remang-remang pun sudah menyusahkannya, karena matanya terasa perih ketika secercah cahaya menerpa penglihatannya.

Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa ayat 185 Sûrah al-Baqarah ini menjelaskan nilai petunjuk Alquran itu sendiri yang bersifat umum dan netral, yang dapat dimanfaatkan oleh siapa pun dalam kondisi sehat dan normal.

Pada Sûrah al-Baqarah ayat dua, mengenai petunjuk Alquran, Allah swt. berfirman yang artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa…”

Pada ayat ini dijelaskan bahwa petunjuk Alquran itu hanyalah untuk orang-orang yang bertakwa. Dengan demikian terlihat adanya perbedaan informasi pada ayat ini dengan ayat 185 Sûrah al-Baqarah terdahulu. Jika kita ikuti penjelasan sebelumnya bahwa ayat 185 Sûrah al-Baqarah tadi menjelaskan nilai petunjuk Alquran itu sendiri, maka Sûrah al-Baqarah ayat dua ini menjelaskan sikap manusia dalam menerima petunjuk Alquran. Dalam hal ini, manusia terbagi kepada tiga kelompok, yaitu: 1. al-Muttaqûn atau al-Mu’minûn, 2. al-Kâfirûn, dan 3. al-Munâfiqûn. Penjelasan ini dapat kita pahami jika kita pelajari Sûrah al-Baqarah ini dari ayat satu sampai dengan ayat 20.

Ayat pertama sampai dengan ayat kelima, menjelaskan sikap orang-orang yang bertakwa yang aktif menerima dan menerapkan petunjuk-petunjuk Alquran dalam kehidupannya, mereka beriman dan melaksanakan ibadah, menafkahkan harta, dan yakin akan adanya Hari Akhirat sebagai hari pembalasan segala amal manusia. Merekalah yang selalu berada di bawah naungan petunjuk Allah dan merekalah orang-orang yang beruntung.

Ayat keenam sampai dengan ayat  ketujuh, menjelaskan sikap orang-orang kafir yang sama sekali tidak mau menerima petunjuk Alquran. Peringatan tidak berguna bagi mereka, karena itulah Allah mengunci mati hati mereka. Perlu kita ketahui dan kita pahami bahwa Allah mengunci mati hati mereka itu setelah mereka menolak petunjuk-petunjuk Alquran. Ayat keenam menginformasikan bahwa petunjuk Alquran itu tidak berguna bagi orang-orang kafir, mereka tidak bakal menjadi orang-orang yang beriman. Ayat ketujuh baru menjelaskan akibat sikap mereka itu, di mana Allah mengunci mati hati-hati mereka. Penjelasan ini jangan sampai diputar balikkan, menjadi karena Allah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak dapat beriman.

Ayat ke-8 sampai dengan ayat ke-20 menjelaskan sikap orang-orang munafik yang tidak mau menerima petunjuk Alquran, tetapi tidak berani berterus terang. Karenanya mereka berpura-pura menerimanya untuk menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Akan tetapi, apa yang mereka lakukan itu menjadi senjata makan tuan, karena tipuan yang mereka lakukan itu, justeru menimpa diri mereka sendiri. Dalam kehidupan sosial, menghadapi orang-orang munafik ini lebih sulit daripada menghadapi orang-orang kafir, karena orang-orang kafir secara jantan menolak kebenaran, sementara orang-orang munafik sekalipun mereka menolak kebenaran, tetapi mereka berpura-pura menerimanya. Sebenarnya orang-orang munafik itu adalah orang yang tidak percaya diri dan Alquran menyatakan ada penyakit di hati mereka.

Penyakit utama mereka adalah tidak percaya diri. Karenanya mereka tidak berani menolak kebenaran, walaupun hati mereka tidak mau menerimanya. Untuk itu, mereka berpura-pura mengaku sebagai orang beriman, namun Alquran menolak pengakuan mereka dengan menyatakan mereka bukanlah orang-orang yang beriman. Penyakit kedua mereka adalah tidak memiliki kesadaran, ketika melakukan kerusakan. Bahkan mereka merasa apa yang mereka lakukan itu adalah perbaikan. Penyakit mereka selanjutnya adalah lemah otak (lemot) atau ketidakmampuan berpikir logis. Semula mereka mengaku beriman, namun ketika diperintahkan untuk beriman, mereka menganggap orang beriman itu adalah orang bodoh. Dengan demikian, sesungguhnya menurut penilaian mereka sendiri, pengakuan mereka pada ayat delapan sebagai orang-orang beriman, adalah mengakui diri sebagai orang bodoh pada ayat 13. Pada ayat 13 ini Allah menutup firmannya dengan justifikasi mereka itulah orang bodoh yang sesungguhnya bahkan tidak mengetahui kebodohan diri mereka sendiri.

Ayat 14 sampai dengan ayat 20 Sūrah al-Baqarah ini menjelaskan tindakan-tindakan bodoh yang mereka lakukan, seperti bermuka dua ketika berhadapan dengan orang-orang beriman dan ketika berhadapan dengan pemimpin-pemimpin mereka; membeli kesesatan dengan petunjuk yang tentunya tidak akan memperoleh laba secara hakiki. Di samping itu, dijelaskan pula akibat-akibat dari tindakan mereka, mulai dari Allah memperolok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.

Uraian ini memberi pemahaman bahwa Sūrah al-Baqarah ayat 185 menjelaskan nilai petunjuk Alquran yang bersifat netral dan berlaku secara universal. Sementara ayat satu sampai dengan 20 menjelaskan sikap manusia dalam menerima petunjuk Alquran sebagai: al-muttaqūn, al-kāfirūn, dan al-munāfiqūn.

 

*Profil Penulis

Abdullah Karim, lahir di Amuntai tanggal 14 Februari 1955, dari pasangan Karim (alm.) dan Sampurna (almh.) Sarjana Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin Jurusan Perbandingan Agama Tahun 1981, Magister Agama (S2) Konsentrasi Tafsir-Hadis IAIN Alauddin Ujung Pandang Tahun 1996. Dan Program Doktor, Konsentrasi Tafsir-Hadis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2008.

Menjadi dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari sejak tahun 1982 dengan mata kuliah antara lain: Bahasa Arab, Tafsir, Pengantar Studi Alquran, Metode Penelitian Tafsir, Metode Penelitian Hadis, Ulumul Quran, Alquran dan Orientalisme, dan Tafsir Ayat-ayat Akidah.

Menyajikan makalah, antara lain  pada: Internasional Conference, Theme: “Islamic Cosmopolitanism: Doctrine, Praxis, and Paradox” dengan judul: “Profesionalisasi Kerja dalam Alquran”.