Kapan gugatan tersebut di ajukan ke wto

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham acuan Singapura dibuka melemah pada perdagangan hari ini (3/9/2019) seiring dengan China yang mulai menyuarakan keluhannya atas tarif yang dikenakan Amerika Serikat (AS) ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).Indeks Straits Times dibuka terkoreksi 0,14% ke level 3.078,56 poin, di mana dari 30 saham yang menghuni indeks acuan bursa saham Singapura tersebut, 11 saham yang mencatatkan kenaikan harga, 12 saham melemah, dan 7 saham tidak mencatatkan perubahan harga.

Kementerian Perdagangan China menginformasikan kepada media, bahwa kemarin (2/9/2019) Beijing telah mengajukan gugatan ke WTO terkait tarif khusus yang diberlakukan AS kepada produk impor asal China, dilansir dari CNBC International.

Pihak pemerintah China tidak menyampaikan rincian kasus hukum, tetapi mengatakan bahwa bea masuk AS telah mempengaruhi sekitar US$ 300 miliar ekspor Negeri Tiongkok.Selain itu, Beijing menegaskan bahwa pengenaan tarif tambahan sebesar 15% pada produk Made in China senilai US$ 112 miliar pada Minggu (1/9/2019) telah melanggar konsensus yang dicapai oleh pemimpin kedua negara saat pertemuan di Osaka, Jepang, akhir Juni lalu.Sebagai informasi, gugatan tersebut adalah gugatan ketiga yang diajukan oleh Negeri Tiongkok ke WTO.

Lebih lanjut, Menteri Perdagangan Singapura Chan Chung Sing memperingatkan pelaku pasar bahwa kesepakatan apa pun yang akhirnya dicapai oleh AS-China tidak akan berdasar pada asas kepercayaan yang cukup dan hal ini dapat membahayakan ekonomi global, dilansir dari CNBC International.

Pasalnya, negara-negara akan mulai mengambil tindakan untuk meminimalisir resiko ekonomi dengan memecah rantai pasokan mereka atau mendiversifikasi rantai pasokan global di lingkungan yang terfragmentasi. "Ini adalah jalur (tindakan) yang paling berbahaya bagi perekonomian dunia," ujar Chan.Implikasi dari pernyataan Chan sudah terlihat dari aktifitas pabrik yang menyusut pada beberapa negara yang bergantung pada ekspor, seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Pasalnya, rilis PMI bulan Agustus ketiga negara tersebut kompak di bawah 50 poin.Untuk diketahui, angka PMI di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau memburuknya aktivitas bisnis. Sementara di atas 50 menunjukkan peningkatan aktivitas atau ekspansi.Pada hari ini investor akan mencermati rilis data PMI manufaktur Singapura bulan Agustus.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(dwa/dwa)

PEMERINTAH Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss, akhirnya secara resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), terkait tata niaga kelapa sawit.

Gugatan diajukan atas kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation yang dikeluarkan UE. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit dan turunannya asal Indonesia.

"Indonesia resmi mengirimkan Request for Consultation pada 9 Desember 2019 kepada UE sebagai tahap inisiasi awal dalam gugatan. Keputusan ini dilakukan setelah kami bertemu dengan asosiasi/pelaku usaha produk kelapa sawit dalam negeri dan setelah melalui kajian ilmiah serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya," ungkap Menteri Perdagangan Agus Suparmanto melalui keterangan resmi, Minggu (15/12).

Agus memegaskan gugatan tersebut dilayangkan sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam melawan diskriminasi yang dilakukan UE melalui kebijakan RED II dan Delegated Regulation.

Diskriminasi itu akhirnya berdampak negatif terhadap kinerja ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke pasar Benua Biru.

Sebagaimna diketahui, melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan, mulai 2020 hingga tahun 2030, penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui.

Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke kategori komoditas energi tidak dapat diperbarui lantaran memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.

"Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit, itu juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global," tegas dia.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo menjelaskan inisiasi awal dalam gugatan ataupun proses konsultasi ke WTO merupakan langkah yang dapat diambil setiap negara anggota.

Gugatan bisa dilakukan suatu negara jika negara itu menganggap kebijakan yang diambil negara anggota lain melanggar prinsip-prinsip yang disepakati dalam WTO. Diharapkan, melalui konsultasi tersebut, dapat ditemukan jalan keluar terbaik bagi kedua pihak.

"Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah menyampaikan keberatan atas kebijakan UE ini di berbagai forum bilateral, baik dalam Working Group on Trade and Investment Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dan pertemuan Technical Barriers to Trade Committee di WTO. Namun, kita harus tetap mempertegas keberatan itu melalui WTO,” ucap Iman.

Berdasarkan data BPS, nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke UE berada dalam tren negatif dalam lima tahun terakhir.

Pada periode Januari-September 2019, nilai ekspor FAME mencapai US$882 juta, turun 5,58% dibandingkan periode yang sama di 2018 yang mencapai US$934 juta.

Pelemahan juga terjadi secara global. Sepanjang Januari-September 2019, total ekspor FAME tercatat US$3,04 miliar. Pada periode yang sama tahun lalu, nilai ekspor mencapai US$3,27 miliar. (A-1)

Oleh:

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia telah mengajukan gugatan ke Dispute Settlement Body World Trade Organization seiring dengan ketidakpastian tindak lanjut investigasi kasus dumping dan subsidi produk kertas yang dilakukan oleh Pakistan.

Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan Indonesia telah mengajukan permohonan konsultasi dengan Pakistan melalui Organisasi Perdagangan Dunia pada 27 November 2013.

Kasus tersebut bermula dari inisiasi yang dilakukan oleh Pakistan pada 10 dan 23 November 2011 untuk kasus dumping dan subsidi. Negara yang berada di kawasan Asia Selatan tersebut melakukan penyelidikan produk kertas impor dari Indonesia. Namun, investigasi pada kedua kasus tersebut telah ditangguhkan oleh keputusan Pengadilan Tinggi Islamabad.

Dalam permohonan konsultasi tersebut, Indonesia beralasan hingga saat ini Pakistan belum membuat keputusan terkait dengan kedua kasus tersebut meskipun investigasi telah dihentikan.

Padahal, berdasarkan WTO Agreements on Anti-dumping and Subsidies and Countervailing Measures, Pakistan harus membuat keputusan untuk mencabut atau meneruskan kasus paling lambat 18 bulan setelah penghentian investigasi.

Kelalaian untuk membuat keputusan tersebut menunjukkan inkonsistensi Pakistan terhadap Agreement on Anti-dumping, the Agreement on Subsidies and Countervailing Measures, dan The General Agreement on Tariffs and Trade 1994.

“Prosesnya tinggal menunggu jawaban dari Pakistan dalam waktu 10 hari sejak pengajuan gugatan didaftarkan. Mereka bisa langsung menolak atau memilih untuk menerima ajakan konsultasi kami,” kata Oke kepada Bisnis, Minggu (1/12/2013).

Jika pihak Pakistan tetap tidak memberikan jawaban, lanjutnya, WTO bisa secara langsung membentuk panel. Dalam panel tersebut akan ada perwakilan dari kedua pihak untuk memberikan argumentasi.

Oke menjelaskan dalam proses investigasi dumping maupun subsidi, baik pemerintah maupun perusahaan sudah berusaha untuk bekerja sama secara kooperatif. Namun, selalu mendapatkan tantangan dari importir Pakistan berupa pengajuan ke pengadilan.

Khusus untuk kasus subsidi, imbuhnya, importir Pakistan kembali mengajukan gugatan ke pangadilan setempat pada awal 2013 dan tetap belum menghasilkan keputusan hingga melebihi batas waktu yakni pada Agustus 2013.

Menurutnya, ketidakjelasan keputusan tersebut mengganggu stabilitas perdagangan kertas Tanah Air ke Pakistan. Beberapa perusahaan besar dalam negeri dipastikan tidak bisa melakukan kontrak jangka panjang dengan perusahaan di Pakistan.

Berdasarkan data Trademap, nilai ekspor Indonesia ke Pakistan untuk HS 4810 pada 2009 tercatat sebesar US$18,6 juta. Pada 2010, angka tersebut meningkat hingga 5,9% menjadi US$19,7 juta. Sementara, untuk HS 4802 meningkat 2% dari US$29,4 juta pada 2009 menjadi US$30 juta pada 2010.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Editor: Bambang Supriyanto

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa ke WTO, terkait kebijakan blok ekonomi tersebut atas produk kelapa sawit Indonesia.

Gugatan diajukan melalui Perutusan Tetap RI (PTRI) di Jenewa, Swiss pada 9 Desember 2019. Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation yang dikeluarkan UE.

"Indonesia resmi mengirimkan Request for Consultation pada 9 Desember 2019 kepada UE sebagai tahap inisiasi awal dalam gugatan. Keputusan ini dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi/pelaku usaha produk kelapa sawit dan setelah melalui kajian ilmiah, serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya," papar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Minggu (15/12/2019).

Dia menyatakan gugatan ini menjadi bentuk keseriusan pemerintah dalam melawan diskriminasi UE. Kebijakan RED II dan Delegated Regulation dinilai mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit.

Agus menegaskan diskriminasi tersebut berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di UE.

Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Wisnu Wardhana menjelaskan dengan kebijakan RED II, UE mewajibkan penggunaan bahan bakar di wilayah itu berasal dari energi yang dapat diperbarui mulai 2020 hingga 2030.

Adapun Delegated Regulation, yang merupakan aturan pelaksana RED II, memasukkan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.

"Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global," tuturnya.

Adapun Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo mengungkapkan pemerintah sebelumnya telah menyampaikan keberatan atas kebijakan UE ini di berbagai forum bilateral. Termasuk, dalam Working Group on Trade and Investment Indonesian-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dan pertemuan Technical Barriers to Trade Committee di WTO.

"Namun, kita harus tetap mempertegas keberatan Indonesia terhadap kebijakan UE tersebut," tegasnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke UE turun 5,58 persen secara tahunan menjadi US$882 juta sepanjang Januari-September 2019, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yang senilai US$934 juta.

Secara keseluruhan, total ekspor dua komoditas tersebut juga menyusut 6,96 persen dari US$3,27 miliar menjadi US$3,04 miliar.

Baca Juga : Indonesia dan Guatemala Sepakat Bersatu Lawan Diskriminasi Sawit

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :