Apa yang dilakukan bank syariah jika nasabah menunda pembayaran dengan sengaja?

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perbankan syariah di Indonesia selama kurung waktu dua dekade ini hanya mencatatkan pertumbuhan kisaran 5% secara nasional. Dengan dominasi 80% mayoritas muslim, tentu ini bukanlah sesuatu yang menggembirakan mengingat target market di Indonesia sangatlah besar. Sejumlah masalah dikaji secara seksama. Salah satu faktor tidak tumbuhnya perbankan syariah di Indonesia ada pada sisi tingginya persentasi pembiayaan yang bermasalah. Non Performing Financing (NPF) atau pembiayaan bermasalah merupakan momok yang menakutkan bagi dunia perbankan.

Salah satu upaya yang ditempuh oleh bank syariah untuk menekan angka NPF adalah dengan menerapkan denda keterlambatan pembayaran angsuran. Namun, pemberlakuan denda tersebut menjadi polemik di masyarakat perihal kehalalannya. Terjadi silang pendapat beberapa ulama dan cendekiawan muslim kontemporer perihal denda tersebut.

Komisi fatwa Dewan Syariah Nasionanl (DSN) MUI membolehkan penerapan denda bagi nasabah yang menunda-nunda pembayaran angsuran. Hal ini tertuang dalam fatwa DSN-MUI Nomor 17 Tahun 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran. Fatwa ini menjadi tameng utama perbankan syariah di Indonesia untuk menerapkan denda bagi nasabah yang menunda pembayaran angsuran. Dalam fatwa tersebut terdapat beberapa ketentuan dalam penerapan denda keterlambatan angsuran pada perbankan syariah. Pertama, nasabah mampu yang menunda pembayaran dan tidak memiliki itikad yang baik untuk membayar utangnya boleh diberikan sanksi.

Kedua, sanksi berdasarkan pada prinsip ta'zir yaitu agar nasabah lebih disiplin dalam memenuhi kewajibannya. Ketiga, sanksi dapat berupa uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan saat akad ditandatangani. Keempat, dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial (tidak diakui sebagai pendapatan bank). Jika diakui sebagai pendapatan bank, maka akan termasuk kategori mengambil manfaat dalam transaksi utang-piutang. Dan hal tersebut adalah riba.

Kelima, nasabah yang belum mampu membayar disebabkan force majeure tidak boleh dikenakan sanksi.  Salah satu dalil yang menjadi landasan lahirnya fatwa tersebut adalah bersumber dari hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh an-Nasa'i: "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang yang mampu menghalalkan harga diri (dibolehkan mencemarkan nama baiknya) dan pemberian sanksi kepadanya". Fatwa tersebut sejalan dengan kesepakatan ulama yang tergabung dalam AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) pada tahun 2000 (Fatwa tertuang dalam Asy Syuruth at-Ta'widhiyyah karya Dr Iyadh al Anzy).

Namun, pendapat diatas mendapat bantahan dari ulama dan cendekiawan Muslim lainnya yang menganggap bahwa denda keterlambatan pembayaran angsuran termasuk kategori praktek ribawi. Alasannya; Pertama, bank syariah tidak memiliki wewenang memberikan sanksi finansial berupa denda yang bersifat ta'zir. Menurut Abdurrahman al Maliki dalam Nizham al 'Uqubat bahwa yang berhak menjatuhkan sanksi ta'zir hanyalah peradilan syar'i yang ditunjuk oleh pemerintah. Kedua, tidak pernah ada seorang qadhi (hakim) ataupun fuqaha yang menjatuhkan hukuman bagi yang menunda-nunda pembayaran dalam bentuk denda padahal praktek utang-piutang telah ada sejak dulu kala.

Menurut sebagian ulama yang mengharamkan denda, hukuman denda pada awal Islam dibatalkan oleh Hadist Rasulullah SAW yang berbunyi "Dalam harta seseorang tidak ada harta orang lain selain zakat" (HR Ibnu Majah). Dalil lain yang menjadi acuan para ulama yang mengharamkan denda adalah QS al-Baqarah ayat 188 yang artinya "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim...". Jika disandarkan dengan ayat tersebut, maka pemberlakuan denda dapat dikategorikan sebagai upaya mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil. Bahkan seorang ulama kharismatik, Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid menegaskan bahwa denda pembayaran angsuran dari waktu yang ditetapkan termasuk dalam riba jahiliyyah, terlebih lagi disepakati diawal akad, yang para ulama menyepakati keharamannya.

Ketiga, keputusan Majma al Fiqh al Islami Organisasi Kerjasama Islam (OKI) nomor 51 tahun 1999 (sebagaimana tertuang dalam Journal Islamic Fiqh Council) berbunyi: "Bagi nasabah yang mampu haram hukumnya menunda-nunda kewajiban pembayaran yang telah jatuh tempo. Walaupun demikian, tidak dibolehkan penjual membuat persyaratan ta'widh/ganti rugi (denda) pada saat nasabah terlambat melunasi kewajibannya".

Perbedaan pendapat tersebut haruslah dipandang sebagai bagian dari dinamika keilmuwan. Pengambilan keputusan (ijtihad) para ulama bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu yang lama dalam meng-qiyaskan dalil-dalil dari al-Qur'an dan Hadist pada suatu kondisi yang belum pernah ditemukan pada zaman Nabi dan para sahabatnya serta para tabiin dan generasi setelahnya.

Ketika seorang alim berijtihad dalam memutuskan hukum, jika keputusannya benar maka ia akan mendapatkan dua pahala, namun jika keputusannya salah maka ia akan mendapatkan satu pahala. Ijtihad tidak akan pernah terhenti karena telah menjadi kebutuhan ummat ini. Jika sekiranya tidak ada ijtihad, maka ummat Islam akan mengalami kemunduran.

Para cendekiawan Muslim yang membolehkan denda keterlambatan angsuran dapat dipandang sebagai tindakan mengutamakan kemaslahatan terutama dalam menjaga eksistensi perbankan syariah di Indonesia. Lahirnya perbankan syariah di Indonesia sebagai upaya dalam melawan kejamnya sistem ekonomi kapital sehingga eksistensinya begitu diharapkan. Sedangkan kecenderungan pihak yang menganggap denda keterlambatan adalah riba dapat dipandang sebagai tindakan yang mengutamakan asas kehati-hatian (prudential).


Page 2

Perbankan syariah di Indonesia selama kurung waktu dua dekade ini hanya mencatatkan pertumbuhan kisaran 5% secara nasional. Dengan dominasi 80% mayoritas muslim, tentu ini bukanlah sesuatu yang menggembirakan mengingat target market di Indonesia sangatlah besar. Sejumlah masalah dikaji secara seksama. Salah satu faktor tidak tumbuhnya perbankan syariah di Indonesia ada pada sisi tingginya persentasi pembiayaan yang bermasalah. Non Performing Financing (NPF) atau pembiayaan bermasalah merupakan momok yang menakutkan bagi dunia perbankan.

Salah satu upaya yang ditempuh oleh bank syariah untuk menekan angka NPF adalah dengan menerapkan denda keterlambatan pembayaran angsuran. Namun, pemberlakuan denda tersebut menjadi polemik di masyarakat perihal kehalalannya. Terjadi silang pendapat beberapa ulama dan cendekiawan muslim kontemporer perihal denda tersebut.

Komisi fatwa Dewan Syariah Nasionanl (DSN) MUI membolehkan penerapan denda bagi nasabah yang menunda-nunda pembayaran angsuran. Hal ini tertuang dalam fatwa DSN-MUI Nomor 17 Tahun 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran. Fatwa ini menjadi tameng utama perbankan syariah di Indonesia untuk menerapkan denda bagi nasabah yang menunda pembayaran angsuran. Dalam fatwa tersebut terdapat beberapa ketentuan dalam penerapan denda keterlambatan angsuran pada perbankan syariah. Pertama, nasabah mampu yang menunda pembayaran dan tidak memiliki itikad yang baik untuk membayar utangnya boleh diberikan sanksi.

Kedua, sanksi berdasarkan pada prinsip ta'zir yaitu agar nasabah lebih disiplin dalam memenuhi kewajibannya. Ketiga, sanksi dapat berupa uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan saat akad ditandatangani. Keempat, dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial (tidak diakui sebagai pendapatan bank). Jika diakui sebagai pendapatan bank, maka akan termasuk kategori mengambil manfaat dalam transaksi utang-piutang. Dan hal tersebut adalah riba.

Kelima, nasabah yang belum mampu membayar disebabkan force majeure tidak boleh dikenakan sanksi.  Salah satu dalil yang menjadi landasan lahirnya fatwa tersebut adalah bersumber dari hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh an-Nasa'i: "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang yang mampu menghalalkan harga diri (dibolehkan mencemarkan nama baiknya) dan pemberian sanksi kepadanya". Fatwa tersebut sejalan dengan kesepakatan ulama yang tergabung dalam AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) pada tahun 2000 (Fatwa tertuang dalam Asy Syuruth at-Ta'widhiyyah karya Dr Iyadh al Anzy).

Namun, pendapat diatas mendapat bantahan dari ulama dan cendekiawan Muslim lainnya yang menganggap bahwa denda keterlambatan pembayaran angsuran termasuk kategori praktek ribawi. Alasannya; Pertama, bank syariah tidak memiliki wewenang memberikan sanksi finansial berupa denda yang bersifat ta'zir. Menurut Abdurrahman al Maliki dalam Nizham al 'Uqubat bahwa yang berhak menjatuhkan sanksi ta'zir hanyalah peradilan syar'i yang ditunjuk oleh pemerintah. Kedua, tidak pernah ada seorang qadhi (hakim) ataupun fuqaha yang menjatuhkan hukuman bagi yang menunda-nunda pembayaran dalam bentuk denda padahal praktek utang-piutang telah ada sejak dulu kala.

Menurut sebagian ulama yang mengharamkan denda, hukuman denda pada awal Islam dibatalkan oleh Hadist Rasulullah SAW yang berbunyi "Dalam harta seseorang tidak ada harta orang lain selain zakat" (HR Ibnu Majah). Dalil lain yang menjadi acuan para ulama yang mengharamkan denda adalah QS al-Baqarah ayat 188 yang artinya "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim...". Jika disandarkan dengan ayat tersebut, maka pemberlakuan denda dapat dikategorikan sebagai upaya mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil. Bahkan seorang ulama kharismatik, Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid menegaskan bahwa denda pembayaran angsuran dari waktu yang ditetapkan termasuk dalam riba jahiliyyah, terlebih lagi disepakati diawal akad, yang para ulama menyepakati keharamannya.

Ketiga, keputusan Majma al Fiqh al Islami Organisasi Kerjasama Islam (OKI) nomor 51 tahun 1999 (sebagaimana tertuang dalam Journal Islamic Fiqh Council) berbunyi: "Bagi nasabah yang mampu haram hukumnya menunda-nunda kewajiban pembayaran yang telah jatuh tempo. Walaupun demikian, tidak dibolehkan penjual membuat persyaratan ta'widh/ganti rugi (denda) pada saat nasabah terlambat melunasi kewajibannya".

Perbedaan pendapat tersebut haruslah dipandang sebagai bagian dari dinamika keilmuwan. Pengambilan keputusan (ijtihad) para ulama bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu yang lama dalam meng-qiyaskan dalil-dalil dari al-Qur'an dan Hadist pada suatu kondisi yang belum pernah ditemukan pada zaman Nabi dan para sahabatnya serta para tabiin dan generasi setelahnya.

Ketika seorang alim berijtihad dalam memutuskan hukum, jika keputusannya benar maka ia akan mendapatkan dua pahala, namun jika keputusannya salah maka ia akan mendapatkan satu pahala. Ijtihad tidak akan pernah terhenti karena telah menjadi kebutuhan ummat ini. Jika sekiranya tidak ada ijtihad, maka ummat Islam akan mengalami kemunduran.

Para cendekiawan Muslim yang membolehkan denda keterlambatan angsuran dapat dipandang sebagai tindakan mengutamakan kemaslahatan terutama dalam menjaga eksistensi perbankan syariah di Indonesia. Lahirnya perbankan syariah di Indonesia sebagai upaya dalam melawan kejamnya sistem ekonomi kapital sehingga eksistensinya begitu diharapkan. Sedangkan kecenderungan pihak yang menganggap denda keterlambatan adalah riba dapat dipandang sebagai tindakan yang mengutamakan asas kehati-hatian (prudential).


Apa yang dilakukan bank syariah jika nasabah menunda pembayaran dengan sengaja?

Lihat Ekonomi Selengkapnya


Page 3

Perbankan syariah di Indonesia selama kurung waktu dua dekade ini hanya mencatatkan pertumbuhan kisaran 5% secara nasional. Dengan dominasi 80% mayoritas muslim, tentu ini bukanlah sesuatu yang menggembirakan mengingat target market di Indonesia sangatlah besar. Sejumlah masalah dikaji secara seksama. Salah satu faktor tidak tumbuhnya perbankan syariah di Indonesia ada pada sisi tingginya persentasi pembiayaan yang bermasalah. Non Performing Financing (NPF) atau pembiayaan bermasalah merupakan momok yang menakutkan bagi dunia perbankan.

Salah satu upaya yang ditempuh oleh bank syariah untuk menekan angka NPF adalah dengan menerapkan denda keterlambatan pembayaran angsuran. Namun, pemberlakuan denda tersebut menjadi polemik di masyarakat perihal kehalalannya. Terjadi silang pendapat beberapa ulama dan cendekiawan muslim kontemporer perihal denda tersebut.

Komisi fatwa Dewan Syariah Nasionanl (DSN) MUI membolehkan penerapan denda bagi nasabah yang menunda-nunda pembayaran angsuran. Hal ini tertuang dalam fatwa DSN-MUI Nomor 17 Tahun 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran. Fatwa ini menjadi tameng utama perbankan syariah di Indonesia untuk menerapkan denda bagi nasabah yang menunda pembayaran angsuran. Dalam fatwa tersebut terdapat beberapa ketentuan dalam penerapan denda keterlambatan angsuran pada perbankan syariah. Pertama, nasabah mampu yang menunda pembayaran dan tidak memiliki itikad yang baik untuk membayar utangnya boleh diberikan sanksi.

Kedua, sanksi berdasarkan pada prinsip ta'zir yaitu agar nasabah lebih disiplin dalam memenuhi kewajibannya. Ketiga, sanksi dapat berupa uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan saat akad ditandatangani. Keempat, dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial (tidak diakui sebagai pendapatan bank). Jika diakui sebagai pendapatan bank, maka akan termasuk kategori mengambil manfaat dalam transaksi utang-piutang. Dan hal tersebut adalah riba.

Kelima, nasabah yang belum mampu membayar disebabkan force majeure tidak boleh dikenakan sanksi.  Salah satu dalil yang menjadi landasan lahirnya fatwa tersebut adalah bersumber dari hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh an-Nasa'i: "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang yang mampu menghalalkan harga diri (dibolehkan mencemarkan nama baiknya) dan pemberian sanksi kepadanya". Fatwa tersebut sejalan dengan kesepakatan ulama yang tergabung dalam AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) pada tahun 2000 (Fatwa tertuang dalam Asy Syuruth at-Ta'widhiyyah karya Dr Iyadh al Anzy).

Namun, pendapat diatas mendapat bantahan dari ulama dan cendekiawan Muslim lainnya yang menganggap bahwa denda keterlambatan pembayaran angsuran termasuk kategori praktek ribawi. Alasannya; Pertama, bank syariah tidak memiliki wewenang memberikan sanksi finansial berupa denda yang bersifat ta'zir. Menurut Abdurrahman al Maliki dalam Nizham al 'Uqubat bahwa yang berhak menjatuhkan sanksi ta'zir hanyalah peradilan syar'i yang ditunjuk oleh pemerintah. Kedua, tidak pernah ada seorang qadhi (hakim) ataupun fuqaha yang menjatuhkan hukuman bagi yang menunda-nunda pembayaran dalam bentuk denda padahal praktek utang-piutang telah ada sejak dulu kala.

Menurut sebagian ulama yang mengharamkan denda, hukuman denda pada awal Islam dibatalkan oleh Hadist Rasulullah SAW yang berbunyi "Dalam harta seseorang tidak ada harta orang lain selain zakat" (HR Ibnu Majah). Dalil lain yang menjadi acuan para ulama yang mengharamkan denda adalah QS al-Baqarah ayat 188 yang artinya "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim...". Jika disandarkan dengan ayat tersebut, maka pemberlakuan denda dapat dikategorikan sebagai upaya mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil. Bahkan seorang ulama kharismatik, Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid menegaskan bahwa denda pembayaran angsuran dari waktu yang ditetapkan termasuk dalam riba jahiliyyah, terlebih lagi disepakati diawal akad, yang para ulama menyepakati keharamannya.

Ketiga, keputusan Majma al Fiqh al Islami Organisasi Kerjasama Islam (OKI) nomor 51 tahun 1999 (sebagaimana tertuang dalam Journal Islamic Fiqh Council) berbunyi: "Bagi nasabah yang mampu haram hukumnya menunda-nunda kewajiban pembayaran yang telah jatuh tempo. Walaupun demikian, tidak dibolehkan penjual membuat persyaratan ta'widh/ganti rugi (denda) pada saat nasabah terlambat melunasi kewajibannya".

Perbedaan pendapat tersebut haruslah dipandang sebagai bagian dari dinamika keilmuwan. Pengambilan keputusan (ijtihad) para ulama bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu yang lama dalam meng-qiyaskan dalil-dalil dari al-Qur'an dan Hadist pada suatu kondisi yang belum pernah ditemukan pada zaman Nabi dan para sahabatnya serta para tabiin dan generasi setelahnya.

Ketika seorang alim berijtihad dalam memutuskan hukum, jika keputusannya benar maka ia akan mendapatkan dua pahala, namun jika keputusannya salah maka ia akan mendapatkan satu pahala. Ijtihad tidak akan pernah terhenti karena telah menjadi kebutuhan ummat ini. Jika sekiranya tidak ada ijtihad, maka ummat Islam akan mengalami kemunduran.

Para cendekiawan Muslim yang membolehkan denda keterlambatan angsuran dapat dipandang sebagai tindakan mengutamakan kemaslahatan terutama dalam menjaga eksistensi perbankan syariah di Indonesia. Lahirnya perbankan syariah di Indonesia sebagai upaya dalam melawan kejamnya sistem ekonomi kapital sehingga eksistensinya begitu diharapkan. Sedangkan kecenderungan pihak yang menganggap denda keterlambatan adalah riba dapat dipandang sebagai tindakan yang mengutamakan asas kehati-hatian (prudential).


Apa yang dilakukan bank syariah jika nasabah menunda pembayaran dengan sengaja?

Lihat Ekonomi Selengkapnya


Page 4

Perbankan syariah di Indonesia selama kurung waktu dua dekade ini hanya mencatatkan pertumbuhan kisaran 5% secara nasional. Dengan dominasi 80% mayoritas muslim, tentu ini bukanlah sesuatu yang menggembirakan mengingat target market di Indonesia sangatlah besar. Sejumlah masalah dikaji secara seksama. Salah satu faktor tidak tumbuhnya perbankan syariah di Indonesia ada pada sisi tingginya persentasi pembiayaan yang bermasalah. Non Performing Financing (NPF) atau pembiayaan bermasalah merupakan momok yang menakutkan bagi dunia perbankan.

Salah satu upaya yang ditempuh oleh bank syariah untuk menekan angka NPF adalah dengan menerapkan denda keterlambatan pembayaran angsuran. Namun, pemberlakuan denda tersebut menjadi polemik di masyarakat perihal kehalalannya. Terjadi silang pendapat beberapa ulama dan cendekiawan muslim kontemporer perihal denda tersebut.

Komisi fatwa Dewan Syariah Nasionanl (DSN) MUI membolehkan penerapan denda bagi nasabah yang menunda-nunda pembayaran angsuran. Hal ini tertuang dalam fatwa DSN-MUI Nomor 17 Tahun 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran. Fatwa ini menjadi tameng utama perbankan syariah di Indonesia untuk menerapkan denda bagi nasabah yang menunda pembayaran angsuran. Dalam fatwa tersebut terdapat beberapa ketentuan dalam penerapan denda keterlambatan angsuran pada perbankan syariah. Pertama, nasabah mampu yang menunda pembayaran dan tidak memiliki itikad yang baik untuk membayar utangnya boleh diberikan sanksi.

Kedua, sanksi berdasarkan pada prinsip ta'zir yaitu agar nasabah lebih disiplin dalam memenuhi kewajibannya. Ketiga, sanksi dapat berupa uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan saat akad ditandatangani. Keempat, dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial (tidak diakui sebagai pendapatan bank). Jika diakui sebagai pendapatan bank, maka akan termasuk kategori mengambil manfaat dalam transaksi utang-piutang. Dan hal tersebut adalah riba.

Kelima, nasabah yang belum mampu membayar disebabkan force majeure tidak boleh dikenakan sanksi.  Salah satu dalil yang menjadi landasan lahirnya fatwa tersebut adalah bersumber dari hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh an-Nasa'i: "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang yang mampu menghalalkan harga diri (dibolehkan mencemarkan nama baiknya) dan pemberian sanksi kepadanya". Fatwa tersebut sejalan dengan kesepakatan ulama yang tergabung dalam AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) pada tahun 2000 (Fatwa tertuang dalam Asy Syuruth at-Ta'widhiyyah karya Dr Iyadh al Anzy).

Namun, pendapat diatas mendapat bantahan dari ulama dan cendekiawan Muslim lainnya yang menganggap bahwa denda keterlambatan pembayaran angsuran termasuk kategori praktek ribawi. Alasannya; Pertama, bank syariah tidak memiliki wewenang memberikan sanksi finansial berupa denda yang bersifat ta'zir. Menurut Abdurrahman al Maliki dalam Nizham al 'Uqubat bahwa yang berhak menjatuhkan sanksi ta'zir hanyalah peradilan syar'i yang ditunjuk oleh pemerintah. Kedua, tidak pernah ada seorang qadhi (hakim) ataupun fuqaha yang menjatuhkan hukuman bagi yang menunda-nunda pembayaran dalam bentuk denda padahal praktek utang-piutang telah ada sejak dulu kala.

Menurut sebagian ulama yang mengharamkan denda, hukuman denda pada awal Islam dibatalkan oleh Hadist Rasulullah SAW yang berbunyi "Dalam harta seseorang tidak ada harta orang lain selain zakat" (HR Ibnu Majah). Dalil lain yang menjadi acuan para ulama yang mengharamkan denda adalah QS al-Baqarah ayat 188 yang artinya "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim...". Jika disandarkan dengan ayat tersebut, maka pemberlakuan denda dapat dikategorikan sebagai upaya mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil. Bahkan seorang ulama kharismatik, Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid menegaskan bahwa denda pembayaran angsuran dari waktu yang ditetapkan termasuk dalam riba jahiliyyah, terlebih lagi disepakati diawal akad, yang para ulama menyepakati keharamannya.

Ketiga, keputusan Majma al Fiqh al Islami Organisasi Kerjasama Islam (OKI) nomor 51 tahun 1999 (sebagaimana tertuang dalam Journal Islamic Fiqh Council) berbunyi: "Bagi nasabah yang mampu haram hukumnya menunda-nunda kewajiban pembayaran yang telah jatuh tempo. Walaupun demikian, tidak dibolehkan penjual membuat persyaratan ta'widh/ganti rugi (denda) pada saat nasabah terlambat melunasi kewajibannya".

Perbedaan pendapat tersebut haruslah dipandang sebagai bagian dari dinamika keilmuwan. Pengambilan keputusan (ijtihad) para ulama bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu yang lama dalam meng-qiyaskan dalil-dalil dari al-Qur'an dan Hadist pada suatu kondisi yang belum pernah ditemukan pada zaman Nabi dan para sahabatnya serta para tabiin dan generasi setelahnya.

Ketika seorang alim berijtihad dalam memutuskan hukum, jika keputusannya benar maka ia akan mendapatkan dua pahala, namun jika keputusannya salah maka ia akan mendapatkan satu pahala. Ijtihad tidak akan pernah terhenti karena telah menjadi kebutuhan ummat ini. Jika sekiranya tidak ada ijtihad, maka ummat Islam akan mengalami kemunduran.

Para cendekiawan Muslim yang membolehkan denda keterlambatan angsuran dapat dipandang sebagai tindakan mengutamakan kemaslahatan terutama dalam menjaga eksistensi perbankan syariah di Indonesia. Lahirnya perbankan syariah di Indonesia sebagai upaya dalam melawan kejamnya sistem ekonomi kapital sehingga eksistensinya begitu diharapkan. Sedangkan kecenderungan pihak yang menganggap denda keterlambatan adalah riba dapat dipandang sebagai tindakan yang mengutamakan asas kehati-hatian (prudential).


Apa yang dilakukan bank syariah jika nasabah menunda pembayaran dengan sengaja?

Lihat Ekonomi Selengkapnya