Bagaimana cara fortifikasi mineral tersebut ke dalam makanan

PanganNews.id Jakarta - Oleh Drh. Pudjiatmoko, Ph.D, Medik Veteriner Ahli Utama Direktorat Kesehatan Hewan

1. Tantangan kebutuhan nutrisi

Kekurangan satu atau beberapa zat gizi mikro seperti zat besi, seng, dan vitamin A banyak ditemui di negara berkembang. Kondisi seperti ini akan membahayakan kapasitas fisik dan kognitif jutaan penduduk di negara tersebut. Fortifikasi pangan merupakan strategi hemat biaya yang terbukti bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan, ekonomi dan sosial. 

Menurut WHO, fortifikasi pangan adalah menambahkan atau meningkatkan zat gizi tertentu ke dalam bahan pangan untuk meningkatkan kualitas pangan. Biasanya fortifikasi dilakukan untuk menambahkan zat gizi yang secara alami tidak ada di dalam makanan atau minuman tertentu. Fortifikasi juga bisa dilakukan untuk mengembalikan suatu zat gizi yang hilang dalam proses pengolahan makanan atau minuman. Tujuan utama dilakukan fortifikasi pangan adalah untuk membantu memastikan anak-anak, maupun orang dewasa, mendapat asupan gizi yang cukup.

Terlepas dari perdebatan yang sedang berlangsung secara global dan di beberapa negara mengenai kinerja dan keamanan fortifikasi pangan, praktik ini menawarkan manfaat yang signifikan di setiap upaya utama fortifikasi pangan. Ini meliputi fortifikasi pangan skala besar, biofortifikasi dan fortifikasi rumah, yang dimulai dari mengurangi prevalensi kekurangan gizi sampai dengan manfaat ekonomi bagi masyarakat. 

Dengan menggunakan pengalaman global dan kebijakan nasional Program Sight and Life (pelopor inovasi nutrisi berbasis sains) dalam menerapkan upaya fortifikasi pangan, dapat ditunjukkan bagaimana berbagai program di negara berkembang yang telah berhasil mengatasi tantangan dengan fortifikasi pangan. Dalam implementasinya ditemukan bahwa upaya ini berhasil ketika terdapat kemitraan yang mencakup sector publik dan swasta beserta pihak lain yang dapat memberikan dukungan di bidang utama seperti advokasi, manajemen, peningkatan kapasitas, implementasi dan pemantauan peraturan.

Kurang gizi pada ibu dan anak menyebabkan 45% dari semua kematian pada balita di negara berkembang. Masalah yang tersebar luas di NBRM adalah rasa lapar yang tersembunyi, atau kekurangan kronis vitamin dan mineral esensial dalam pangan. Kekurangan satu atau beberapa zat gizi mikro seperti zat besi, seng, dan vitamin A membahayakan kapasitas fisik dan kognitif jutaan orang. 

Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa kekurangan zat gizi mikro menyumbang sekitar 7,3% dari beban penyakit global, dan kekurangan zat besi dan vitamin A berada di antara 15 penyebab utama beban penyakit global, berkontribusi pada kematian lebih dari satu juta anak setiap tahun. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 42 persen anak-anak di bawah usia 5 tahun dan 40 persen ibu hamil di seluruh dunia menderita anemia; Wanita hamil dengan anemia berat dua kali lebih menghadapi kemungkinan meninggal selama atau segera setelah kehamilan dibandingkan wanita non-anemia, dan anak-anak mereka mengalami defisiensi mikronutrien dalam kandungan yang dapat menyebabkan berat badan lahir rendah dan cacat otak dan tulang belakang.

Defisiensi mikronutrien terutama disebabkan oleh asupan pangan padat nutrisi yang tidak memadai dan kehilangan nutrisi karena pola makan yang buruk, infeksi dan kehilangan darah selama menstruasi (wanita usia reproduksi). Persyaratan metabolik untuk zat gizi mikro sangat tinggi selama perkembangan awal kehamilan dan menyusui. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengadopsi empat strategi utama untuk meningkatkan asupan pangan: (a) fortifikasi pangan, (b) suplementasi mikronutrien, (c) pendidikan gizi, dan (d) tindakan pengendalian penyakit. Fortifikasi bahan pangan pokok merupakan salah satu strategi yang terbukti memiliki sejarah kesuksesan dalam meningkatkan keragaman pangan dan secara efektif menurunkan defisiensi mikronutrien.

2. Apa Itu Fortifikasi Pangan ?

Fortifikasi pangan didefinisikan sebagai praktik penambahan vitamin dan mineral ke pangan yang biasa dikonsumsi selama pemrosesan untuk meningkatkan nilai gizinya. Ini merupakan strategi yang terbukti, aman dan hemat biaya untuk memperbaiki pola makan dan untuk pencegahan dan pengendalian defisiensi mikronutrien. Pada tahun 2008 dan 2012, Konsensus Kopenhagen menempatkan fortifikasi pangan sebagai salah satu prioritas pembangunan yang paling hemat biaya. 

Sementara fortifikasi pangan wajib telah digunakan sebagai strategi untuk mencegah defisiensi mikronutrien di negara maju—sejak tahun 1920-an di Eropa dan Amerika Utara ketika pertama kali garam beryodium—masih kurang umum di negara berkembang di mana sistem pangan tidak memberikan nutrisi dengan diet cukup karena produksi dan konsumsi hanya beberapa tanaman pangan bertepung utama (jagung, beras, gandum) dengan kandungan mikronutrien rendah dan/atau bioavailabilitas (phytate). Dalam dua dekade terakhir, fortifikasi pangan menjadi semakin populer di negara berkembang karena beberapa alasan, termasuk urbanisasi yang cepat dan peningkatan daya beli rumah tangga, yang menyebabkan proporsi penduduk yang lebih besar mengandalkan pangan olahan.

Ada bukti kuat bahwa fortifikasi pangan di negara maju efektif dalam mengatasi kekurangan mikronutrien. Di negara berkembang bukti masih dikembangkan, tetapi penelitian, termasuk tinjauan sistematis baru-baru ini dan meta-analisis program fortifikasi pangan skala besar, menegaskan dampak fortifikasi pada hasil gizi termasuk pengurangan defisiensi vitamin A, defisiensi yodium, anemia, dan kekurangan zat besi pada wanita dan anak-anak; penurunan gondok dan lahir cacat otak atau tulang belakang (neural tube defect / NTD) di antara anak-anak; dan peningkatan folat serum di antara wanita usia reproduksi.

Namun, pendekatan fortifikasi tertentu, seperti fortifikasi zat besi pada pangan pokok seperti tepung, memberikan hasil yang beragam. Misalnya, Field et al. (2020) menemukan bahwa fortifikasi tepung terigu dengan zat besi memiliki sedikit atau tidak berpengaruh pada anemia dan memiliki sedikit atau tidak berdampak pada defisiensi besi dibandingkan dengan tepung terigu yang tidak difortifikasi; dan bahwa penambahan mikronutrien lain juga berdampak kecil pada defisiensi besi dan konsentrasi hemoglobin dibandingkan dengan tepung terigu saja. Demikian pula, Pachon dkk. (2015) menemukan bukti terbatas untuk mendukung pengurangan anemia dengan fortifikasi tepung skala besar. Sebaliknya, Barkley dkk (2015) menemukan bahwa di antara negara-negara yang memiliki program tepung terigu nasional, terjadi penurunan (peluang) anemia sebesar 2,4% pada ibu tidak hamil pada setiap tahun fortifikasi dibandingkan tahun sebelumnya.

Jenis fortifikasi yang paling tepat dan efektif di suatu negara tergantung pada beberapa faktor termasuk: prevalensi defisiensi mikronutrien tertentu, populasi yang paling terpengaruh, komposisi pangan, infrastruktur yang tersedia, kapasitas pemrosesan dan sistem produksi pangan, serta regulasi nasional dan kepemimpinan pemerintahan. 

A. Fortifikasi pangan industri atau skala Besar

Fortifikasi pangan industri atau skala besar (FPIB) adalah penambahan zat gizi mikro selama pemrosesan ke pangan yang biasa dikonsumsi seperti garam, tepung, minyak, gula, dan bumbu. Program FPIB dapat dikategorikan sebagai wajib—artinya diprakarsai dan diatur oleh pemerintah—atau sukarela di mana pengolah pangan menambahkan nutrisi ke pangan mereka atas kemauan mereka sendiri tetapi masih diatur dengan peraturan atau regulasi pemerintah. Program fortifikasi wajib semakin umum, terutama dalam hal tepung yang diperkaya dan garam beryodium. Garam beryodium mungkin merupakan bentuk yang paling umum dan antara tahun 1990 dan 2008, jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium secara global meningkat dari 20 persen menjadi 70 persen. Saat ini, lebih dari 130 negara telah mengamanatkan garam beryodium.

Fortifikasi tepung terigu wajib pertama kali diperkenalkan pada tahun 1942 dan saat ini 85 negara telah melaksanakan penggunaannya. Di Amerika Utara dan Selatan, penambahan asam folat ke tepung terigu adalah wajib untuk menurunkan risiko cacat lahir. Minyak nabati merupakan pembawa yang semakin umum untuk fortifikasi, dan sejauh ini 27 negara telah mengamanatkan fortifikasi minyak dengan Vitamin A; dan 14 negara telah melaksanakan fortifikasi susu, 11 negara fortifikasi susu dengan Vitamin A dan D, satu negara (Kosta Rika) tambahan fortifikasi dengan zat besi dan asam folat, dan dua negara (China dan Kanada) menambahkan kalsium, selain Vitamin A dan D.

Fortifikasi gula dengan vitamin A dimulai pada tahun 1970-an di Amerika Latin dan pertama kali diterapkan di Guatemala pada tahun 1975 menjadi model bagi negara lain karena menghasilkan asupan vitamin A hampir tiga kali lipat dan penurunan defisiensi vitamin A dari 22 menjadi 5% hanya dalam satu tahun. Di Afrika, ada program fortifikasi gula wajib di Malawi, Mozambik, Nigeria, Rwanda, Zambia, dan Zimbabwe.

Saat ini, lebih dari 140 negara di dunia memiliki pedoman atau peraturan yang berlaku untuk program fortifikasi, yang sebagian besar bersifat wajib, dan hampir 140 negara menerapkan program iodisasi nasional yang 102 negara bersifat wajib, 85 negara melaksanakan setidaknya satu jenis biji-bijian sereal (jagung, beras atau gandum) diperkaya dengan zat besi dan asam folat, dan lebih dari 40 negara mengamanatkan fortifikasi minyak nabati, margarin dan/atau gula dengan vitamin A dan/atau vitamin D.

Fortifikasi pangan juga dapat dicapai dengan memanfaatkan kemajuan sektor swasta untuk memproduksi dan mendistribusikan pangan yang diperkaya. Fortifikasi sukarela adalah proses dimana produsen pangan memilih untuk menambahkan satu atau lebih mikronutrien ke pangan olahan sesuai dengan peraturan dan standar pemerintah. Contohnya seperti Olam di Ghana melakukan fortifikasi beras dan gandum dengan mikronutrien yaitu zat besi, seng, dan vitamin B kompleks, menyediakan lebih dari 15% dari tunjangan diet yang direkomendasikan per porsi. Di India dan Kenya, prakarsa fortifikasi sukarela merupakan pendorong legislasi yang lebih lengkap dan lingkungan pendukungnya yang kuat.

B. Biofortifikasi

Berbeda dengan fortifikasi pangan industri skala besar (FPIB) di mana nutrisi ditambahkan selama pemrosesan pasca panen, biofortifikasi adalah proses di mana tanaman pangan ditanam untuk meningkatkan nilai gizinya. Proyek biofortifikasi terutama berkonsentrasi pada peningkatan zat besi, seng dan provitamin A karotenoid pada berbagai tanaman pangan melalui pemuliaan tanaman atau secara agronomis (pupuk mineral); beberapa proyek juga telah di-biofortifikasi dengan asam amino dan protein. Contoh proyek biofortifikasi yaitu (a) biofortifikasi besi pada beras, kacang-kacangan, jagung dan ubi jalar; (b) biofortifikasi seng pada gandum, beras, kacang-kacangan, ubi jalar dan jagung; dan (c) Biofortifikasi Vitamin A pada ubi jalar, jagung dan singkong.

Penelitian tentang biofortifikasi telah mengidentifikasi keuntungan dari pendekatan ini, khususnya menargetkan keluarga miskin yang tinggal di daerah pedesaan terpencil tanpa atau akses terbatas ke pangan yang diperkaya industri. Keluarga-keluarga ini sering mengandalkan pertanian subsisten di mana petani fokus pada usaha menanam, mengkonsumsi, dan menjual tanaman untuk kebutuhan mereka sendiri. Selain itu, ketika ditargetkan dengan benar, biofortifikasi dapat memungkinkan sistem pangan memberikan pangan bergizi lebih hemat biaya. Di Mozambik utara, sebuah studi tahun 2019 menemukan bahwa pengenalan ubi jalar oranye kepada petani meningkatkan asupan vitamin A di kalangan wanita usia reproduksi dan anak-anak, dan meningkatkan asupan vitamin A (dengan dampak jangka panjang pada asupan vitamin A). Pola makan yang buruk nutrisi berdasarkan tanaman pokok (umbi dan sereal) biasanya menyebabkan defisiensi mikronutrien ganda, tetapi biofortifikasi dapat meningkatkan nilai nutrisi tanaman menggunakan teknik pemuliaan tradisional dan biofortifikasi agronomis. Namun, biofortifikasi melalui rekayasa genetika—yang memungkinkan memasukkan beberapa mikronutrien secara simultan dalam satu tanaman—dapat mendukung peningkatan kadar beberapa mikronutrien dalam satu tanaman pangan dan akumulasi mikronutrien tingkat tinggi.

C. Fortifikasi rumah

Fortifikasi Rumah merupakan penambahan vitamin dan mineral pada pangan yang telah dimasak dan siap untuk dimakan. Sebelumnya dikenal sebagai "Fortifikasi rumah”, WHO mengadopsi istilah "Titik penggunaan" pada tahun 2012 untuk mencerminkan banyak pengaturan di mana jenis intervensi ini dapat terjadi seperti di sekolah dan kamp pengungsi. Pada tahun 2016 direkomendasikan fortifikasi pangan pelengkap dengan bubuk mikronutrien sebagai intervensi utama untuk meningkatkan asupan mikronutrien (untuk meningkatkan status zat besi dan mengurangi anemia pada khususnya) pada anak usia 6-24 bulan.

Bubuk mikronutrien merupakan paket dosis tunggal yang mengandung beberapa vitamin dan mineral dalam bentuk bubuk yang dapat ditaburkan ke pangan tanpa mempengaruhi rasa atau warna. Tujuan awal dari bubuk mikronutrien adalah untuk menyediakan zat besi dan nutrisi lain untuk mengobati anemia dan kekurangan zat besi tetapi formulasinya telah berubah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi untuk anak balita. Saat ini, sebagian besar negara menggunakan formulasi bubuk mikronutrien terdapat 15 mikronutrien yang dirancang untuk menyediakan satu asupan nutrisi yang direkomendasikan dari setiap mikronutrien per dosis untuk anak usia 6-59 bulan. Bubuk mikronutrien ini direkomendasikan dalam pengaturan di mana anak-anak memiliki keragaman pangan yang rendah, pangan yang tersedia secara lokal memiliki nilai gizi yang rendah, atau ketika seorang anak memiliki penyakit menular (malaria, diare, cacing).

Tinjauan Cochrane baru-baru ini telah menetapkan bahwa bubuk mikronutrien efektif dalam mengurangi anemia dan defisiensi besi untuk anak-anak 6-24 bulan. Fortifikasi rumah dengan bubuk mikronutrien mengurangi anemia sebesar 31% dan defisiensi besi sebesar 51% pada bayi dan anak kecil bila dibandingkan dengan tanpa intervensi atau placebo, namun tidak menemukan efek pada pertumbuhan. Penelitian oleh Program Pangan Dunia, menggunakan program yang disebut Save the Children's Cost of Diet, juga menemukan bahwa penambahan dua sachet bubuk mikronutrien ke dalam pangan di Indonesia dapat mengurangi jumlah belanja keluarga untuk mendapatkan pangan bergizi yang memadai sebesar 20%.

Malnutrisi dalam segala bentuknya mempengaruhi jutaan wanita di seluruh dunia, tetapi wanita di negara berkembang sangat rentan terhadap kekurangan vitamin dan mineral penting seperti zat besi, asam folat, seng dan yodium karena kualitas pangan yang buruk. Kekurangan gizi ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan mereka tetapi juga anak-anak mereka. Perkiraan terbaru mengungkapkan bahwa 154 juta wanita usia reproduksi terlalu kurus dan 520 juta wanita menderita anemia, dua kondisi yang terkait dengan kelahiran 20 juta bayi dengan berat badan lahir rendah setiap tahun. 

Suplemen mikronutrien ibu adalah solusi yang aman dan hemat biaya untuk meningkatkan status gizi ibu hamil di negara berkembang. Studi tersebut menunjukkan bahwa suplemen mikronutrien ibu mengurangi berat badan lahir rendah hingga 13% dan meningkatkan status gizi sebesar 9%.

3. Keuntungan dan Kerugian Fortifikasi Pangan

Menurut data kematian WHO, sekitar 0,8 juta kematian (1,5% dari total) dapat dikaitkan dengan kekurangan zat besi setiap tahun, dan jumlah yang sama dengan kekurangan vitamin A, dan berkontribusi pada sejumlah besar nyawa yang hilang. Sejumlah besar literatur menunjukkan bahwa fortifikasi pangan industri atau skala besar dapat memiliki dampak kesehatan masyarakat di negara maju dan di negara berkembang. 

Sebuah analisis terbaru dari 50 studi di negara berkembang telah menunjukkan bahwa fortifikasi dengan yodium, asam folat, vitamin A dan zat besi telah menyebabkan pengurangan dramatis pada penyakit serius. Sebuah tinjauan tahun 2019 mencoba untuk memperkirakan dampak nyata dari fortifikasi pangan industri pada hasil kesehatan dan gizi di negara berkembang, dan menemukan bahwa itu memiliki dampak positif pada beberapa hasil kesehatan, termasuk gondok, anemia, dan prevalensi lahir cacat otak atau tulang belakang (NTD). Program fortifikasi yang diterapkan di seluruh populasi telah menimbulkan 34% pengurangan anemia akibat peningkatan asupan zat besi, dengan manfaat lebih besar yang disadari oleh mereka yang paling berisiko kekurangan; 74% pengurangan menderita gondok; dan 41% pengurangan lahir cacat otak atau tulang belakang (NTD). 

Sejumlah penelitian tingkat negara tentang dampak fortifikasi pangan pada status mikronutrien telah menunjukkan hasil yang sangat positif. Sebagai contoh, di Indonesia, terdapat penelitian yang dilakukan di dua kabupaten di Jawa Barat dari 2011 hingga 2012, menilai efek fortifikasi skala besar pada status vitamin A wanita dan anak-anak, telah ditemukan bahwa minyak fortifikasi meningkatkan asupan vitamin A mendekati nutrisi yang direkomendasikan. Asupan memberikan kontribusi rata-rata 26% dari kebutuhan harian untuk anak-anak berusia 12 hingga 23 bulan, 38-40% di antara anak-anak yang lebih tua, dan 29-35% untuk wanita. Tidak hanya status vitamin A semua penerima manfaat membaik dan defisiensi vitamin A turun secara signifikan, dan kandungan vitamin A ASI ibu menyusui juga meningkat. 

Di Kosta Rika, evaluasi dampak fortifikasi besi pada prevalensi anemia menemukan penurunan yang signifikan di tingkat nasional dalam prevalensi anemia pada anak usia 1-7 tahun dan wanita usia reproduksi. Anemia berkurang dari 19 menjadi 4% pada anak-anak dan dari 18 menjadi 10% pada wanita; dan pada anak-anak, kekurangan zat besi juga berkurang dari 27 menjadi 7%.

Terlepas dari manfaat besar strategi fortifikasi pangan pada status gizi, beberapa penelitian telah mengidentifikasi hasil yang berlawanan dalam hal tidak ada dampak dari program fortifikasi pangan dan jaminan batas atas yang aman. Misalnya, sebuah penelitian yang dilakukan di antara anak-anak Brasil di bawah usia enam tahun tidak menemukan efek tepung yang diperkaya zat besi pada prevalensi anemia. Beberapa survei berbasis populasi yang dilakukan selama periode empat tahun, dengan mengukur asupan pangan dan kadar hemoglobin, temuannya menunjukkan peningkatan tak terduga pada anemia di antara anak-anak. Meskipun asupan rata-rata tepung yang diperkaya terdeteksi sebesar 100 g per hari, kualitas pangan yang buruk anak-anak dengan bioavailabilitas zat besi yang rendah menurunkan manfaat tepung yang diperkaya.

Selanjutnya, tinjauan sistematis yang dilakukan di negara maju dan negara berkembang tidak menemukan hubungan yang signifikan antara efek fortifikasi mikronutrien ganda pada hasil pertumbuhan anak. Pangan pendamping yang diperkaya memiliki efek kecil pada anemia anak-anak tetapi tidak berdampak pada pertumbuhan mereka.

Ada juga perdebatan secara global yang sedang berlangsung dan di beberapa negara mengenai kinerja dan keamanan upaya fortifikasi (apakah konsumsi pangan yang diperkaya mikronutrien dapat menyebabkan efek kesehatan yang merugikan karena akumulasi nutrisi ini dalam tubuh manusia). Untuk memastikan keberhasilan dalam fortifikasi pangan, “Tingkat asupan atas yang dapat ditolerir” (Tolerable Upper Intake Level / UL) mikronutrien harus ditetapkan. 

WHO mengusulkan metodologi untuk menghitung dan mendefinisikan batas atas yang aman dalam Pedoman Fortifikasi Pangan dengan Mikronutrien, yang bervariasi tergantung pada konteks lokal. Namun, tantangan dapat muncul dalam kasus konsumsi besar pangan yang diperkaya di antara populasi yang sama dan pemanfaatan beberapa pembawa pangan. 

Di Guatemala ditunjukkan bahwa konsumsi tepung terigu yang diperkaya dengan asam folat sangat bervariasi di antara orang-orang dari status sosial ekonomi yang berbeda (wanita dari kelompok kaya mengonsumsi 15 kali lebih banyak daripada wanita dari kelompok tidak kaya) meningkatkan kekhawatiran tentang batas aman. 

Di Kamerun, konsumsi beberapa pembawa pangan yang diperkaya Vitamin A seperti gula atau tepung terigu dengan minyak nabati dapat mengakibatkan kelebihan UL (“Tingkat asupan atas yang dapat ditolerir”) di antara anak-anak. Kebanyakan kasus ini terjadi di wilayah perkotaan akibat tingginya konsumsi pangan tersebut.

Sementara beberapa bukti menunjukkan bahwa beberapa eksposur mikronutrien termasuk pangan yang diperkaya untuk jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan efek samping, namun bila diatur dengan benar, fortifikasi membawa risiko toksisitas minimal. Misalnya, keamanan fortifikasi vitamin A sering disebut-sebut sebagai perhatian dalam program fortifikasi pangan, tetapi tinjauan baru-baru ini menunjukkan bahwa risiko konsumsi vitamin A yang berlebihan dari pangan yang diperkaya pada wanita dan anak kecil dapat diabaikan.