LAZONE.ID - Jatuh Bangun Nicholas Kurniawan, Pengusaha Ikan Hias Berpenghasilan Ratusan Juta
Untuk menuju kesuksesan, atau cita-cita yang lo inginkan, tentunya lo harus berjuang keras, jatuh bangun untuk mendapatkan itu semua. Hal itu juga dilakukan oleh Nicholas Kurniawan, pengusaha ikan hias yang memiliki omzet perbulan lebih dari Rp 100 juta. Dari SD Nicholas emang udah memiliki jiwa pebisnis. Saat itu doi menjual berbagai mainan di sekolahnya. Menginjak SMP, doi menjual baju di sekolah, dan SMA ia terus berusaha dengan mengikuti berbagai jenis MLM hingga asuransi. Doi emang berasal dari keluarga sederhana. Pernah suatu hari, keluargnya mengalami kesulitan dalam finansial yang membuat ayahnya sering meminjam uang kesana kemari. Hal itu juga yang akhirnya mendorong Nicholas terus mencari uang sejak kecil. Awal mula jadi eksportir ikan saat doi duduk di bangku SMA. Nicholas dikasih ikan garra rufa oleh seorang temannya. Nicholas enggak terlalu tertarik merawat ikan, doi akhirnya menjualnya di FJB Kaskus. Tawaran yang datang ternyata banyak. Ia akhirnya mencari penjual ikan tersebut yang murah dan menjualnya kembali. Akhirnya, uang dia terkumpul hingga Rp 10 juta di usia 17 tahun. Tapi, doi harus menelan kenyataan pahit karena enggak naik ke kelas 3, padahal doi punya prestasi yang sangat membanggakan. Nicholas akhirnya pindah sekolah. Dia juga tetap berusaha karena ia bercita-cita kuliah di Prasetiya Mulya Business School BSD. Kuliah di situ tidak murah, total biaya smester 1 mencapai Rp 100 juta. Nicholas kembali menekuni dunia eksportir secara dalam. Ia pun pernah ditipu oleh mitranya sendiri sebesar Rp 30 juta. Nicholas enggak mau menyerah. Akhirnya uang Rp 100 juta itupun terkumpul dan ia berhasil kuliah di sana. Meski sempat beberapa kali ditipu oleh calon pembeli, bisnis ikan hias Nicholas kini sudah menjangkau luar negeri dan dalam sebulan omzetnya bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta.
Menjadi pengusaha muda tentu akan menjadi impian semua orang. Siapa yang tidak senang bisa menghidupi diri sendiri bahkan orang lain ketika masih berusia muda. Seperti Nicholas Kurniawan, yang kini seorang pengusaha sukses berusia 21 tahun asal Jakarta. Nicholas Kurniawan memang dilahirkan di keluarga yang sangat mencintainya dan sempurna. Namun, perekonomian keluarganya kurang baik. Kedua orangtua Nicho harus rela banting tulang dan mencari pinjaman sana-sini demi menyekolahkan anak-anaknya. Karena itu, sejak kecil Nicho bercita-cita danmemiliki tekad untuk menjadi orang sukses. Di samping itu, sejak usianya 8 tahun, Nicho sudah terbiasa untuk hidup mandiri dan berjualan, seperti makanan, minuman, pakaian dan sebaginya. Ketika berusia 17 tahun, Nicho mendapatkan sepaket Ikan Garra Rufa, ikan terapi, dari seorang temannya. Bukannya mempelihara ikan tersebut, Nicho justru memutar otak dan mencari objek bisnis dari ikan tersebut. Bermula ketika akhirnya Nicho membuat akun pada FJB Kaskus dan menjual semua ikannya. Tak disangka, banyaknya peminat yang tertarik dengan ikan tersebut. Dalam hitungan jam ikan miliknya semua habis terjual. Kemudian, Nicho menanyakan dari mana mendapatkan ikan tersebut kepada teman yang dulu memberinya. Akhirnya ia mendapatkan supplier dan bisa meraup keuntungan sebesar 2 sampai 3 juta rupiah per bulan. Di tahun yang sama,Nicho memiliki ide untuk mengekspor ikan jualannya tersebut guna membiayai pendidikan kuliahnya. Ia mencoba berkerja sama dengan para eksporter, tetapi tidak satupun yang berhasil karena faktor usia yang masih tergolong muda. Nicholas tidak putus asa, ia terus belajar. Ia meneliti website perusahaan besar dan mencoba mencontohnya dan mencari tahu tentang shipment. Suatu ketika Nicho mendapatkan kepercayaan dari seorang pengusaha yang memesan 10.000 ekor ikan garra rufa untuk dikirim ke Medan. Namun ternyata pengiriman ke Medan tersebut mengalami kesulitan dan akhirnya dibatalkan. Karena dibatalkannya pengiriman tersebut, 10.000 ekor ikan milik Nicho mati satu per satu, karena tidak memiliki peralatan yang cukup untuk menampung ikan sebanyak itu. Ia menderita kerugian yang sangat besar. Dengan terus semangat, akhirnya Nicholas mendapatkan kembali orderan dari orang Medan untuk mengekspor ikan pergi ke luar negeri, tetapi menggunakan nama perusahaannya. Sejak itu, nama Nicholas mulai dikenal oleh pengusaha dalam negri maupun luar negeri. Di tengah masa jayanya, lagi-lagi Nicho harus menanggung duka. Ia harus rela kehilangan uang 30 juta rupiah karena ditipu oleh rekan bisnisnya. Namun ternyata duka tersebut berujung suka, karena beberapa pelanggan yang juga tertipu oleh mantan rekan Nicholas tersebut kemudian langsung memesan ikan dari Nicho. Menakjubkan, dalam waktu satu setengah bulan Nicho mampu mengumpulkan uang hingga 100 juta rupiah. Kisah Nicholas mengajarkan kepada kita mengenai arti perjuangan. Bahwa hidup tidak selamanya indah. Akan ada banyak cobaan yang datang, semua akan berakhir indah tergantung bagaimana kita memperjuangkannya. (anb)
KONTAN.CO.ID – Berasal dari keluarga tak berada, memaksa Nicholas Kurniawan harus kehilangan sebagian masa kanak-kanak yang indah. Sejak duduk di bangku kelas dua sekolah dasar (SD), ia mesti mencari duit dengan berjualan untuk membiayai sekolahnya. Pria kelahiran 29 Januari 1993 ini berdagang apa saja, mulai makanan, minuman, kaos, hingga produk multi-level marketing (MLM). “Dari berbagai macam usaha itu, saya pernah rugi, dagangan enggak laku, ketipu sama pemasok, sampai kehilangan teman. Ya maklum, namanya urusan uang, terkadang sama saudara saja bisa berantem,” ungkap dia. Sampai akhirnya, Niko, panggilan Nicholas Kurniawan, berjualan ikan garra rufa saat kelas dua sekolah menengah atas (SMA). Bisnis ini yang kemudian mengantarkannya menjadi eksportir ikan hias dengan omzet miliaran rupiah, bukan per tahun tapi per bulan. Saban pekan, lulusan SMA Kanisius, Jakarta, ini bisa mengekspor ikan hias sebanyak tiga hingga empat kali. “Sudah lebih ke 30 negara saya ekspor,” kata pemenang Wirausaha Muda Mandiri Tahun 2013 itu. Dan, berjualan ikan hias awalnya tak sengaja. Saat kelas dua SMA, temannya memberi ikan garra ruffa. Jujur, mulanya Niko tidak tahu samasekali soal ikan berjulukan dokter tersebut. “Daripada saya buang, kan, sayang tuh, saya coba jual aja di Forum Jual Beli Kaskus. Eh, enggak tahunya ada yang beli, bahkan banyak banget yang nawar,” ujarnya. Setelah tanya teman dari mana mendapatkan ikan garra ruffa, Niko pun mulai jualan ikan yang hidup di aliran sungai di Turki, Iran, dan Irak ini dalam jumlah banyak. Kala itu, ia sudah bisa mengantongi uang Rp 2 juta–Rp 3 juta per bulan dari usaha tersebut. Hanya, permintaan yang banyak tidak dibarengi suplai ikan garra ruffa yang berlimpah dari pemasok. Biar bisnis jalan terus, dia pun memutuskan jualan ikan hias lainnya, seperti tigerfish dan arwana. “Saya pun memberanikan diri untuk keliling kampung nelayan atau suplier ikan hias yang ada di Sumatra buat mencari tahu sekaligus kerjasama,” imbuh Niko, yang menggandeng pemasok ikan hias dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua. Namun, Niko mengakui, ketika itu, dengan penghasilan yang besar, dirinya terbilang sangat sombong. Maklum, baru kelas dua SMA tetapi punya penghasilan jutaan rupiah. Lalu, Tuhan menegurnya dengan tidak naik ke kelas tiga sampai harus pindah sekolah. “Tapi, saya sadar dan malah menetapkan tujuan yang lebih tinggi lagi, saya harus kuliah karena memang butuh ilmu bisnis dan pemasaran,” ucap jebolan Jurusan Marketing Management Universitas Prasetiya Mulya, Jakarta, ini. Gagal di bisnis baru Setelah bisnis berjalan dua tahu, ia memberi nama usahanya: Venus Aquatic. Bukan sekadar nama. Venus, nama planet berjulukan bintang fajar, mengandung filosofi, yakni bukan yang terbesar tapi yang paling terang di antara planet dan bintang dalam galaksi. “Saya juga, sampai kapan pun mungkin tak akan pernah bisa jadi yang terbesar, tapi bisa jadi yang paling bersinar. Saya akan memberikan pelayanan yang paling berkualitas ke pembeli, keuntungan yang bagus bagi suplier,” jelas Niko. Soalnya dulu, waktu memulai bisnis ini, dia mengungkapkan, banyak ikan hias yang cantik dan hidup di sungai-sungai di Indonesia tapi tidak ada nilainya. Sekarang, harganya berkali-kali lipat. Contoh, ikan tigerfish. Lima tahun lalu, harganya cuma Rp 5.000–Rp 10.000 per ekor. Kini, harganya bisa Rp 500.000–Rp 1 juta. Tanpa bermaksud sombong, ia menyebutkan, banyak yang mengakui, harga ikan hias di Indonesia bisa bagus lantaran peran dirinya. Ini berkat strategi promosi yang gencar lewat saluran online ke seluruh dunia. “Bahkan, yang menetapkan harga adalah saya. Sebelumnya, kan, orang banting-bantingan harga,” ungkap Niko. Alhasil, harga ikan hias Indonesia perlahan bisa naik. “Boleh dibilang, saya berjasa meningkatkan industri ikan hias di tanah air. Sehingga, banyak orang yang sejahtera karena ikan hias. Ke depan bisa lebih baik, jangan malah hancur,” tegasnya. Sejak awal berbisnis, Niko memang berjualan ikan hias melalui kanal daring, baik situs maupun media sosial. Sebab, cara ini jadi salah satu kunci kesuksesan dalam berbisnis, harus bersentuhan dengan teknologi. Terlebih, pemasaran online tanpa biaya. Selain bikin laman yang menarik, ia juga membuat tagar alias hashtag tropicalfish. Tujuannya, agar calon pembeli bisa dengan mudah menemukan informasi mengenai ikan hias yang dia sampaikan. Meski begitu, perjalanan bisnis ikan hiasnya tidak melulu mulus. Niko pernah kena tipu pemasok. Sudah mengirim uang Rp 30 juta yang seharusnya buat biaya masuk ke Universitas Prasetiya Mulya, tapi pesanan tidak kunjung datang dan si supplier menghilang. Pengalaman pahit lainnya adalah banyak ikan yang mati gara-gara belum punya banyak akuarium. Waktu awal ekspor juga begitu. Banyak ikan yang dia kirim mati di tengah jalan karena salah mengemas. Pelajaran berharga dari semua kejadian pahit itu adalah: harus terus belajar, jangan pernah merasa puas, serta mesti lebih mawas diri. “Uang saya saja sekarang mungkin ada ratusan juta masih di pemasok. Tapi, ya, sudahlah, namanya bisnis memang selalu ada seperti itu. Ada hutang dan piutang juga,” kata Niko. Filosofi semut Dan, meski sukses di bisnis ikan hias, Nicholas ternyata gagal di bidang usaha lainnya. Sambil membesarkan usaha ikan hias dan kuliah, dia pernah menjajal bisnis properti dan kuliner, dengan berkongsi dengan sejumlah teman. Cuma, kedua bisnis itu gagal total. Bisnis properti tidak semudah yang dia bayangkan, apalagi modalnya harus besar. Kuliner juga bukan bisnis yang gampang lantaran banyak sekali saingan. Dan, “Saya juga tak terlalu menguasai kedua bisnis itu. Setelah lulus kuliah tahun lalu, saya benar-benar fokus bisnis ikan hias dan merasakan lonjakan omzet yang luar biasa,” ujar penulis buku Die Hard ANTrepreneur: Born a Leader, Made a Champion ini. Buku yang ia rilis 2014 itu mengupas tentang dua filosofi bisnis utamanya yakni die hard dan ant (semut). Niko menjelaskan, kedua filosofi ini merupakan kunci utama dari awal merintis bisnis ikan hias. Filosofi die hard mirip dengan film Die Hard yang dibintangi Bruce Willis. Seorang pengusaha harus beraksi seperti Bruce Willis, tidak takut mati dan terus berjuang, walau berbagai cobaan menerpa. Sementara filosofi semut, dia bilang, pengusaha yang sukses harus memiliki mentalitas seperti semut. Meski dari luar kelihatan lemah, semut sejatinya sangat kuat. Dia sanggup memikul beban dengan berat tiga kali dari berat tubuhnya. Saat ini, untuk pemesanan dan pembelian, Niko mengerjakan sendiri dengan berperan sebagai administrator. Cuma sebetulnya, ia pernah menyerahkan pekerjaan itu ke beberapa orang. Tetapi, baru hitungan bulan bekerja, mereka sudah keluar lalu membentuk usaha ikan hias sendiri. Tentu, bukan berarti sekarang Niko tidak punya karyawan. Buat urusan bersih-bersih akuarium, pengepakan, dan pengiriman ikan, ada pekerja yang membantunya. “Tapi, kan, saya pantau langsung, harus terus saya awasi. Cuma, kalau yang kecil-kecil juga saya ambil, bisa kewalahan,” imbuhnya. Supaya usahanya makin maju dan pasokan lancar, Niko berencana membangun tempat budidaya ikan hias yang besar. Sebab, “Saya juga ingin agar spesies ikan hias kita tidak punah. Dari hasil browsing, Indonesia kaya sekali akan spesies ikan hias. Namun, jumlahnya terus turun,” sebut dia. Untuk itu, Niko juga bercita-cita mendirikan taman akuarium terbesar di Indonesia sekaligus museum ikan hias. Ia tengah membidik lahan di daerah Serpong, Tangerang Selatan, dengan mengajak mitra. Menurutnya, taman akuarium yang ada di negara kita, seperti Taman Akuarium Air Tawar TMII, Jakarta Akuarium, dan SeaWorld Ancol, kalah jauh dengan di Singapura. “Akuarium terbesar ini juga bisa jadi etalase produk-produk yang saya jual,” tambah dia. Dengan dua filosofi bisnisnya, die hard dan ant, tampaknya tidak sulit buat Niko mewujudkan impian itu. Semoga. |