Apakah yang menjadi dasar terjadi pewarisan menurut hukum Islam?

Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.

Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lainnya, memiliki ciri khas tersendiri dalam melaksanakan pembagian warisan. Ada beberapa sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia, yaitu:

  1. Sistem Keturunan, Secara teoritis sistem keturunan ini dapat dibedakan dalam tiga corak:

a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan.

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria didalam pewarisan.

c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan.

  1. Sistem Pewarisan Individual

Sistem pewarisan individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagain untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain. Sistem pewarisan individual ini banyak berlaku di kalangan masyarakat adat Jawa dan Batak.

  1. Sistem Pewarisan Kolektif

Sistem pewarisan dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasi dari harta peninggalan itu.

Bagaimana cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan masing-masing waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan kerabat. Sistem kolektif ini terdapat misalnya di daerah Minangkabau, kadang-kadang juga di tanah Batak atau di Minahasa dalam sifatnya yang terbatas.

Sistem pewarisan mayorat sesunggunhnya adalah juga merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta  yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.

Sistem mayorat ini ada 2 (dua) macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut, yaitu:

  1. Mayorat laki-laki, seperti berlaku di lingkungan masyarakat Lampung, terutama yang beradat pepadun, atau juga berlaku sebagaimana di Teluk Yos Soedarso Kabupaten Jayapura Papua.
  2. Mayorat perempuan, seperti berlaku di lingkungan masyarakat ada semendo di Sumatera Selatan.

Dalam sistem hukum nasional, hukum adat, hukum Islam dan hukum perdata berlaku dan diakui dalam penyelesaian masalah-masalah hukum. begitu pula hukum waris, hukum waris adat diakui dan berlaku bagi masyarakat adat setempat, hukum waris islam diperuntukkan bagi umat islam dalam pembagian waris, sedangkan hukum waris perdata bagi masyarakat atau golongan non-muslim dalam pembagian dan atau penyelesaian masalah waris.

Hukum yang berlaku di Indonesia bersifat transindental dan horizontal, artinya selain berhubungan dangan sesama manusia dan lingkungan juga berhubungan dengan Allah SWT, lain halnya dengan hukum sekuler yang berlaku di negara-negara barat. Hukum Islam telah mengatur secara jelas mengenai hukum waris, siapa yang berhak menjadi ahli waris, berapa bagian masing-masing ahli waris dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat dalam Al-qur`an terutama dalam Surat An-nisa dan juga Hadist Nabi. Pembagian waris perlu diatur karena dengan aturan tersebut, setiap proses pembagian harta warisan bisa mengikuti satu pedoman dan aturan yang bermuara pada terciptanya keadilan serta kesetaraan diantara para ahli waris.

Hukum kewarisan islam ialah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan islam disebut juga hukum Fara`id. Sumbernya Alqur`an terutama surat An Nisa ayat 7,8,9,10,11,12,13,176, Surat al-Anfal:75 dan Al Hadist yang memuat Sunnah Rasulullah yang kemudian dikembangkan secara rinci oleh ahli hukum fiqih islam melalu ijtihad orang yang memenuhi syarat, sesuai dengan ruang dan waktu, situasi dan kondisi tempatnya berijtihad.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketentuan tentang kewarisan diatur dalam Buku II, yang terdiri dari 23 Pasal, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193. Dalam berbagai ketentuan tersebut terdapat beberapa hal yang tidak ada didalam fiqih klasik, tetapi ada dalam KHI, maupun ketentuan yang seharusnya ada, tetapi tidak dicantumkan dalam KHI. Adapun beberapa ketentuan yang dimaksud diantaranya:

  1. Besarnya bagian laki-laki dan perempuan tetap dipertahankan sesuai dengan dalil Al-Qur’an, yaitu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan;
  2. Adanya prinsip musyawarah dalam pembagian warisan (Pasal 183), bahwa para ahli dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya;
  3. Pembagian waris tidak mesti harus membagikan bendanya secara fisik. Pasal 189 mengatur tentang pembagian warisan yang berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar yang harus dipertahankan dan dimanfaatkan bersama atau dengan membayar harga tanah sehingga tanahnya tetap dipegang oleh seorang ahli waris saja.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi di dalam pembagian harta warisan,

  1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqi, hukmy, (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri;
  2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqi pada waktu pewaris meninggal dunia;
  3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti bagian-bagian masingmasing.

Tentang pewaris dan ahli waris telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Pewaris tercantum dalam Pasal 171 huruf b : “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.” Terjadinya pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki maupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdir. Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris serta memiliki harta peninggalan.

Sedangkan ahli waris tercantum di dalam KHI Pasal 171 huruf c yang berbunyi : “Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Dari Pasal 174,181,182 dan 185 KHI dapat dilihat bahwa ahli waris terdiri atas :

  1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan suami.
  2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri.
  3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan.

Syarat-syarat sebagai ahli waris adalah;

  1. mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan,
  2. beragama Islam dan
  3. tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dalam Pasal 172 KHI : “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau 36 kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.” Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan dan beragama Islam serta tidak terhalang mewarisi seperti yang disebutkan di dalam Pasal 173 KHI. Sehingga dalam hukum waris islam tentang masalah waris memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. Sumber hukum: Al-Quran, Hadist dan Ijtihad
  2. Sistem kewarisan: Bilateral, Individual
  3. Terjadinya pewarisan karna: adanya hubungan darah, adanya perkawinan
  4. Perbedaan agama tidak mendapatkan warisan
  5. Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan
  6. Bagian anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1
  7. Bagian ahli waris tertentu: ½, ¼, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8
  8. Anak (cucu) dan orang tua tidak saling menutup
  9. Wasiat maksimum 1/3 dari harta peninggalan
  10. Jenis harta dalam perkawinan: Harta bawaan, Harta campur

Penerapan hukum Islam termasuk hukum kekewarisan dapat terjadi tidak sesuai dengan tektualnya, apalagi yang berhubunmgan dengan perkembangan dari tektual dalam ayat-ayat Al-Qura’an. Al Qur’an umumnya hanya mengatur yang pokok-pokoknya saja. Dalam hukum kekewarisan tentang ahli waris Al-Qur’an hanya mengatur ayah, ibu, suami. istri dan anak, di luar itu tidak diatur. Sehingga dikembangkan oleh para ahli hukum Islam seperti ahli waris kakek, nenek, cucu dan lain sebagainya.