Apakah ada dampak potensial dari otomatisasi pada manajemen rantai pasokan untuk bisnis?

Kembali diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), membuat para pelaku usaha merasa panik. Mau tidak mau, mereka diharuskan untuk mengurus usaha mereka dari rumah demi memutus rantai penyebaran infeksi COVID-19.

Sejak awal Pandemi COVID-19 hingga sekarang, masalah ini telah memukul perekonomian dan menyebabkan banyak dampak negatif dalam sektor usaha di Indonesia. Dampak buruk akibat pandemi COVID-19 juga mempengaruhi supply chain management secara global.

Proses rantai pasokan (supply chain) telah berubah dari masa ke masa. Pada setiap aspek rantai pasokan,  terdapat berbagai aktivitas pertukaran informasi, transaksi dana, pengelolaan barang, manajemen logistik, hingga proses pelaporan.

Baca juga: Bagaimana supply chain dapat membantu interkoneksi berbagai jenis bisnis

Saat ini banyak perusahaan di berbagai penjuru dunia sedang bekerja keras untuk mencari solusi ataupun strategi penanganan untuk menanggulangi gangguan pada manajemen rantai pasok (supply chain management).

Untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan rantai pasok pelaku usaha memerlukan kajian pemetaan rantai pasokan yang baru, baik permintaan maupun pasokannya. Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam menjamin keberlangsungan rantai pasok adalah dengan membangun sistem logistik yang baru, dalam hal ini membutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang serta pendanaan yang besar, maka sebaiknya upaya itu dibarengi dengan pemanfaatan sistem distribusi yang sudah berjalan.

Sistem logistik yang dimaksud harus mampu meminimalkan kedatangan, pertemuan, dan kerumunan yang harus dilakukan di masa pandemi ini. Proses pemesanan dan pembayaran dilakukan secara online.

Berikut adalah langkah-langkah dalam menghadapi gangguan dalam rantai pasokan yang harus diketahui dan dipahami oleh pelaku usaha:

Fokus Meningkatkan Nilai Tambah Proses Pemesanan dan Pembayaran

Perusahaan harus fokus pada semua kegiatan yang dapat memberikan nilai tambah (value). Prinsip ini dapat menghasilkan kinerja rantai pasok yang lebih unggul serta memberikan dampak positif yang signifikan bagi bisnis, khususnya dalam menghadapi gangguan tertentu (supply chain disruption).

Dalam hal ini layanan dan jasa e-commerce menjadi hal yang mulai digemari masyarakat. Customer akan mulai berbelanja kebutuhan secara online dan dari proses pemesanan barang sampai pembayaran dan pengiriman dapat dilakukan secara online kemudian dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan dalam proses bisnis.

Alignment

Menyelaraskan Sistem Internal dan Eksternal Perusahaan Alignment (keselarasan) merupakan upaya perusahaan menyelaraskan strategi proses bisnis inti dan aktivitas harian untuk menciptakan proses operasional yang unggul.

Menghubungkan strategi organisasi secara keseluruhan merupakan bagian penting untuk mensukseskan program supply chain suatu perusahaan. Upaya kolaborasi bisa dimulai dari kerjasama internal antar divisi hingga sinkronisasi dalam menangani permintaan dan penawaran barang (supply demand).

Selain itu, perlu dilakukan kolaborasi eksternal seperti menjalin relasi yang erat dengan klien yang juga tak kalah penting untuk meningkatkan kualitas kerja sama antar perusahaan. Kemudahan yang diberikan oleh inventory tracking dalam hal mengurutkan, menyortir, dan mengklasifikasikan produk berdasarkan indikator tertentu seperti  tingkat lakunya produk tersebut. Lewat inventory tracking pelaku usaha dapat mengetahui stok produk yang ada hingga kondisinya.

Baca juga: Rahasia produktivitas Marc Jacobs dengan AP Automation

Sustainability

Mewujudkan Sistem Manajemen Rantai Pasok yang Berkelanjutan Sustainability (keberlanjutan) adalah usaha perusahaan dalam mengelola risiko dan mengidentifikasi peluang untuk merealisasikan sistem manajemen rantai pasok yang berkelanjutan.

Hal ini berhubungan dengan pemasok, distributor, dan juga pelanggan. elemen tersebut akan menjadi bagian yang penting untuk meningkatkan operasional. Melalui rekanan ini akan sangat membantu untuk membuat sistem operasional yang strategis, efisien, dan juga cepat. Kelancaran rantai pasok meliputi pabrik pembuat, supplier, perusahaan, ritel, sampai final customers. Perlu dikelola dengan baik. Rantai yang panjang (chain) aliran bahan baku sampai barang jadi dan diterima pelanggan.

(Visited 13.024 times, 2 visits today)

Apakah ada dampak potensial dari otomatisasi pada manajemen rantai pasokan untuk bisnis?

Oleh: Dr. Zaroni, CISCP., CFMP.
Head of Consulting Division | Supply Chain Indonesia

Setiap hari kita bersentuhan dengan risiko. Sederhananya, risiko merupakan peristiwa “tidak mengenakkan” yang mungkin terjadi di masa depan. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa depan. Sesuatu bisa terjadi. Bisa mengenakkan atau tidak mengenakkan. Bisa menguntungkan atau merugikan. Bisa sesuai harapan atau tidak sesuai harapan. Bisa sesuai yang direncanakan atau jauh dari yang direncanakan.

Karena masa depan tidak pasti, maka potensi risiko pun selalu ada. Ada risiko kehilangan uang atas investasi yang kita pilih, risiko keterlambatan keberangkatan dan kedatangan kereta api, risiko keterlambatan pengiriman barang, risiko berhentinya proses produksi, dan banyak peristiwa lain yang menimbulkan risiko.

Peristiwa yang akan terjadi di masa depan tidak ada yang bisa mengetahui pasti. Apa yang akan terjadi, kapan, dan di mana semuanya tidak ada yang tahu persis. Kita hanya bisa memprediksi, meramal, memperkirakan, dan mengestimasi. Tidak ada yang bisa menjamin pasti.

Risiko adalah dampak. Hasil yang disebabkan oleh peristiwa. Pengembangan produk baru bisa berisiko. Risiko produk tidak sesuai dengan standar atau spesifikasi. Risiko produk tidak laku. Proyek yang dijalankan bisa tidak sesuai yang direncanakan. Di sini ada risiko proyek gagal.

Dalam bisnis, kemungkinan banyak menghadapi bermacam-macam risiko, seperti risiko kenaikan harga bahan, risiko kenaikan suku bunga, risiko kerusakan mesin produksi, dan lain-lain. Dalam perspektif supply chain risiko bisa terjadi di sepanjang rantai pasokan mulai dari aliran bahan baku yang dipasok dari supplier, keterlambatan pengangkutan bahan, tertunda dan terhentinya proses produksi, kerusakan produk jadi, kesalahan proses order pembelian, dan kekeliruan pengantaran produk.

Banyak peristiwa bisa terjadi dengan berbagai peluang. Dampak dari peristiwa terhadap kinerja supply chain ini yang kita takar untuk menentukan risiko supply chain. Manajemen rantai pasokan atau supply chain management mengelola aliran barang atau material dari hulu (upstream) ke hilir (downstream). Aliran material dari pemasok ke pelanggan.

Pengertian material ini mencakup tidak hanya material yang berwujud (tangible), namun juga mencakup material tidak berwujud (intangible). Oleh karena itu, cakupan pengertian material dalam supply chain management ini sangat luas. Ia meliputi bahan baku (raw material), barang dalam proses (work-in process), produk jadi (finished goods), komponen (parts), orang (people), kertas, informasi, pesan, pengetahuan, energi, uang, atau apa pun yang “bergerak”, berpindah, di setiap titik serangkaian proses rantai pasokan dalam organisasi (Waters, 2007).

Setiap organisasi perlu menggerakan material. Manajemen logistik sebagai bagian dari supply chain management. Ia bertanggung jawab atas pergerakan material. Harrington (1996) meringkas peran pokok fungsi logistik dan supply chain dalam organisasi mencakup aktivitas sebagai berikut: desain supply chain, procurement atau pembelian, inbound transport, penerimaan (receiving), pergudangan (warehousing) atau penyimpanan (stores), pengendalian persediaan (stock control), material handling, order picking, outbound transport, distribusi, recycing, returns, waste disposal, dan komunikasi.

Peran logistik sangat penting dalam setiap organisasi. Tanpa logistik, tidak akan ada perpindahan material, tidak ada manajemen operasi, tidak ada produk, tidak ada pelayanan pelanggan, tidak ada penjualan, dan tidak ada profit.

Logistik juga mahal. Seberapa mahalnya logistik? Tidak ada yang dapat menyajikan angka pasti. Aktivitas logistik menimbulkan biaya, seperti biaya pengadaan barang, biaya transportasi, biaya penyimpanan, biaya distribusi, biaya pengelolaan inventory, dan lain-lain. Biaya-biaya tersebut merupakan contoh biaya logistik. Secara agregat, biaya logistik sering diukur dalam persentasi terhadap GDP. Antarnegara persentase biaya logistik terhadap GDP bervariasi. Rentangnya berkisar 11% sampai 32%. Indonesia sendiri, secara agregat biaya logistiknya tidak kurang dari 24% dari GDP. Selain mahal, aktivitas logistik juga berisiko karena logistik sangat berhubungan dengan isu keselamatan, keamanan, kesehatan, dan lingkungan.

Di era kolaborasi dan globalisasi banyak pihak yang terlibat dalam supply chain. Kinerja supply chain ditentukan oleh kinerja antarpihak yang berkontribusi di sepanjang proses supply chain. Suatu peristiwa yang mungkin kecil dan jauh dari pusat kegiatan produksi bisa saja memengaruhi secara signifikan terhadap kinerja supply chain.

Peristiwa yang terjadi pada Ericson bisa menjadi pelajaran. Pada tanggal 17 Maret 2000, halilintar menggelegar di langit New Mexico dan mengakibatkan kebakaran karena korsleting listrik. Salah satunya kebakaran pabrik Phillips di Albuquerque yang memproduksi chip untuk Ericson. Sistem pemadaman automatis aktif begitu terdeteksi adanya kebakaran sehingga tidak mengakibatkan kebakaran yang meluas. Sayangnya, semprotan air dari pemadam automatis dan asap meyebabkan chip terkontaminasi. Ribuan chip yang siap dikirim ke Ericson pun dibatalkan karena chip rusak.

Ericson berada di Swedia, jaraknya 8.307 kilometer dari Albuquerque di New Mexico. Peristiwa kebakaran pabrik chip di Albuquerque, berakibat terkontaminasinya chip untuk pasokan produk Ericson. Dampaknya, kerugian pun cukup signifikan. Produksi terhenti untuk beberapa hari. Produk dalam proses tidak bisa diselesaikan menjadi finished goods karena tiadanya chip. Order pembelian dari pelanggan tidak bisa dipenuhi. Terhentinya pasokan chip berakibat kerugian Ericson yang hanya memiliki pemasok tunggal untuk komponen chip dari Phillips di Albuquerque. Sayangnya, proses perbaikan pabrik Phillips memakan waktu hampir satu tahun. Praktis Ericson pun menghentikan proses produksinya selama satu tahun sehingga kerugian pun semakin besar.

Kejadian dalam suatu peristiwa kadang dalam kendali internal manajemen, namun sesungguhnya banyak peristiwa yang diluar kendali internal manajemen. Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, badai, angin topan, banjir, cuaca ekstrim, gagal panen, dan lain-lain adalah beberapa contoh peristiwa yang di luar kendali internal manajemen. Selain bencana alam, kegagalan proses dan kinerja pihak lain dalam jaringan supply chain produk perusahaan pun bisa berdampak pada kerugian perusahaan.

Pentingya mengelola risiko
Praktik pengelolaan risiko sesungguhnya bukanlah hal baru. Pengelolaan risiko telah lama diterapkan. Premi asuransi merupakan contoh pengelolaan risiko. Selain itu, pengenaan bunga pada pinjaman merupakan contoh manajemen risiko. Baik premi asuransi dan bunga pinjaman merupakan bentuk pengambilan risiko (risk taking) yang dilakukan perusahaan asuransi dan perbankan dalam mengelola risiko.

Tentang pentingnya pengelolaan risiko, Handy (1999) mengatakan: “Pengelolaan risiko tidak dapat dipisahkan dari manajemen, karena sesungguhnya risiko merupakan bagian dari manajemen itu sendiri”, demikian Handy mengingatkan.

Dalam sektor bisnis, kesadaran pengelolaan risiko semakin meningkat. Semula para pemimpin bisnis kurang begitu memerhatikan dampak risiko. Risiko bencana alam, seperti gempa, tsunami, erupsi gunung, dan lain-lain, pun diabaikan. Umumnya, mereka menganggap peristiwa bencana alam sangat jarang terjadi. Oleh karena itu, perencanaan penanggulangan bencana seringkali hanya dipandang sebagai tugas pemerintah. Manakala peristiwa bencana alam terjadi, dampak kerusakan dan kerugian bisnis sungguh tak terperi.

Kini kesadaran dan pengelolaan risiko di sektor bisnis semakin membaik. Bahkan, pengelolaan risiko di banyak sektor bisnis menjadi bagian penting dari pengelolaan tata kelola perusahaan (corporate governance).

Praktik-praktik pengelolaan perusahaan yang baik, atau sering kita kenal dengan GCG (good corporate governance) mensyaratkan pengelolaan dan prosedur risiko melalui pendekatan formal dalam organisasi. Setidaknya GCG untuk (Sarbanes-Oaxley Act, 2002):

  • melindungi kepentingan pemegang saham;
  • memastikan para manajer senior menempati peran secara tepat dalam manajemen risiko;
  • menjaga kelangsungan operasi organisasi melalui pengembangan sistem manajemen risiko yang tepat;
  • menggunakan prosedur formal untuk mengidentifikasi dan menganalisis ancaman dari risiko;
  • memiliki proses yang mampu menghadapi berbagai peristiwa yang berisiko dan mitigasinya;
  • memonitor, menilai, dan mengendalikan risiko secara menyeluruh;
  • memastikan kepatuhan perusahaan terhadap hukum dan peraturan.

Dalam konteks supply chain, risiko dapat muncul dalam berbagai peristiwa. Sepanjang proses aliran material, produksi, dan produk jadi, risiko bisa muncul. Risiko tersebut dapat mengganggu atau mendisrupsi aliran barang, informasi, dan keuangan yang memengaruhi kinerja supply chain.

Risiko supply chain berupa keterlambatan delivery, kerusakan barang, atau apa pun yang memengaruhi kelancaran operasional. Pada dasarnya, risiko supply chain berasal dari internal dan eksternal. Risiko dari internal seperti keterlambatan pengangkutan, keterlambatan pengantaran barang, kelebihan stok, peramalan yang buruk, risiko keuangan, kecelakaan minor, human error, kegagalan sistem ICT, dan lain-lain. Sementara risiko eksternal, umumnya berasal dari luar supply chain, seperti gempa bumi, angin topan, serangan teroris, perang, bencana penyakit, kenaikan harga, permasalahan yang dihadapi mitra usaha, kekurangan pasokan bahan baku, krisis keuangan dan ekonomi makro, dan lain-lain.

Minahan (2005) melaporkan hasil penelitiannya mengenai risiko disrupsi dalam supply chain. 82% dari manajer yang disurvei mengatakan bahwa dalam 2 tahun terakhir mengalami disrupsi dalam supply chain:

  • kerusakan barang dalam proses pengiriman 50%;
  • keterlambatan pengiriman 49%;
  • peningkatan biaya logistik 47%;
  • lead time yang lebih lama 33%;
  • kendala kapasitas 32%.

Perkembangan tren logistik dan supply chain berdampak pada peningkatan kerentanan (vulnerability) supply chain. Juttner (2005) menemukan faktor-faktor yang memengaruhi kerentanan supply chain, yaitu: globalisasi (52% dari manajer yang disurvei), penurunan tingkat stok (51%), pengurangan pemasok (38%), dan outsourcing (30%).

Walters (2007) mengidentifikasi beberapa isu logistik dan supply chain dalam dekade terakhir yang memengaruhi risiko supply chain: integrasi supply chain, agile logistics, cost reduction, e-dagang, globalisasi, outsourcing, dan perubahan praktik-praktik logistik dalam organisasi.

Integrasi supply chain memberikan banyak manfaat bagi organisasi, namun integrasi supply chain juga menimbulkan risiko. Ketergantungan dengan sedikit mitra usaha dan pemasok tunggal, merupakan salah satu risiko integrasi supply chain. Strategi agile logistics memang dapat meningkatkan kepuasan pelanggan tetapi berisiko. Terutama risiko keuangan, peningkatan biaya operasional untuk merespon fleksibilitas layanan pelanggan, dan kinerja operasional. Sementara strategi cost reduction, memangkas aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah dalam proses supply chain. Strategi cost reduction berisiko, terutama ketika organisasi menghadapi peristiwa yang tidak diharapkan.

E-dagang dan globalisasi dapat meningkatkan pertumbuhan bisnis perusahaan, namun berisiko karena pertimbangan jarak, lokasi, dan perbedaan regulasi dan budaya. Outsourcing mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Selain itu, outsourcing memungkinkan perusahaan lebih fokus pada kompetensi dan layanan pelanggan. Outsourcing juga berisiko karena kehilangan kendali atas pengelolaan aktivitas atau proses bisnis.

Praktik-praktik logistik di perusahaan terus berubah. Kepedulian terhadap lingkungan, seperti pengelolaan limbah dan jejak karbon, mendorong perubahan praktik-praktik logistik. Selain itu, perubahan strategi proses manufaktur, seperti JIT menyebabkan lead time semakin pendek. Cross-docking, pengiriman material dalam ukuran kecil, pengiriman langsung (direct delivery), dan peningkatan utilisasi kendaraan merupakan beberapa praktik-praktik logistik yang kini banyak dilakukan perusahaan.

Perubahan praktik-praktik logistik, selain memberikan manfaat bagi organisasi, terutama pengurangan biaya dan peningkatan kinerja logistik, juga menyisakan persoalan potensi risiko supply chain. Manajer logistik dan supply chain perlu mengelola risiko supply chain melalui pendekatan Supply Chain Risk Management (SCRM).

Referensi:

  • Manners-Bell, John., Supply chain Risk: Understanding Emerging Threats to Global Supply chains, KoganPage, 2014
  • Waters, Donald., Supply chain Risk Management: Vulnerability and Resilience in Logistics, KoganPage, 2007

29 Oktober 2018

*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.

Download artikel ini:

Apakah ada dampak potensial dari otomatisasi pada manajemen rantai pasokan untuk bisnis?
  SCI - Artikel Supply Chain Risk (Bagian 1 dari 3 tulisan) (788.1 KiB, 713 hits)

Komentar

comments