PENERAPAN good governance di Indonesia saat ini

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS
HM.4.6/122/SET.M.EKON.3/05/2021

Pemerintah Tekankan Pentingnya Penerapan GCG untuk Keberlanjutan Bisnis dan Upaya Menarik Investasi

Jakarta, 27 Mei 2021

Kedatangan pandemi Covid-19 secara tiba-tiba pada semester pertama 2020 telah menimbulkan disrupsi dan menggeser berbagai tatanan kehidupan yang dikenal sebelumnya. Pandemi ini seolah ingin mengingatkan kembali pentingnya keberlangsungan bisnis, bahwa perusahaan harus memperhatikan semua stakeholders internal dan eksternal yang terdampak, dari para pemegang saham, pegawai, hingga konsumen akhir.

“Kita juga melihat pentingnya kecepatan perusahaan merespon terjadinya hal-hal yang sebelumnya tak terduga. Semuanya menekankan kembali kebutuhan terhadap tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) sebagai fondasi utama pengambilan keputusan yang lebih baik,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam Indonesian Institure for Corporate Directorship Corporate Governance (IICD CG) Conference bertema The 10th ACGS Implementation: Road to ESG in Indonesia, secara virtual di Jakarta, Kamis (27/5).

Sejauh ini, GCG masih menjadi salah satu kelemahan yang dipunyai sebagian besar perusahaan di Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi di akhir tahun 90-an adalah tata kelola perusahaan yang kurang baik, antara lain berupa kualitas investasi yang buruk, diversifikasi usaha yang sangat luas, jumlah pinjaman jangka pendek tak lindung nilai yang sangat banyak, lemahnya peran direksi dan komisaris, sistem audit yang buruk, kurangnya transparansi, serta penegakan hukum yang lemah.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kelemahan tata kelola di Indonesia, salah satunya pembentukan Komite Nasional Kebijakan Good Corporate Governance (KNKG) pada 1999 melalui Keputusan Menko Ekuin saat itu. Lembaga ini pada awalnya membangun kesadaran pentingnya tata kelola perusahaan melalui seminar dan pelatihan serta penyusunan beberapa pedoman tata kelola. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menerbitkan Peta Arah Tata Kelola Perusahaan Indonesia pada awal 2014. Pedoman ini terutama ditujukan untuk emiten dan perusahaan publik.

“Upaya reformasi tata kelola ini selanjutnya mendorong timbulnya inisiatif lain dari berbagai lembaga seperti penerbitan indeks persepsi tata kelola setiap tahun, serta pemberian penghargaan kepada perusahaan yang telah menerapkan tata kelola dengan baik seperti yang dilaksanakan IICD saat ini,” jelas Menko Airlangga.

Pada level regional, kesadaran reformasi tata kelola juga terjadi kolektif di wilayah ASEAN, yang mana ASEAN Capital Market Forum memperkenalkan ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) pada 2011 yang dikembangkan dari prinsip-prinsip The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Scorecard tersebut diharapkan dapat meningkatkan standar tata kelola perusahaan dari perusahaan terbuka di negara-negara ASEAN dan meningkatkan visibilitas mereka kepada investor.

Pada 2019, sepuluh perusahaan tercatat di Indonesia masuk dalam kategori ASEAN Asset Class berdasarkan ACGS. Hal ini menjadi prestasi dan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia. Jumlah perusahaan tercatat yang masuk dalam ACGS setiap tahun juga mengalami peningkatan, yang artinya sudah banyak perusahaan tercatat di indonesia yang memiliki tata kelola yang baik.

Pada 2012, rata-rata total skor perusahaan di Indonesia baru mencapai 43,29 dan terus meningkat hingga mencapai 70,8 di 2019. “Meski terus terjadi peningkatan setiap tahun dalam pencapaian ACGS ini, masih ada potensi perbaikan skor negara kita, karena melihat secara umum bahwa kita masih tidak lebih tinggi dari negara lain yang berpartisipasi di ACGS kecuali Vietnam,” ujar Menko Airlangga.

Oleh karena itu, Menko berharap kepada perusahan-perusahan yang melantai di bursa untuk berpartisipasi penuh dalam menerapkan praktik tata kelola yang baik. Perusahaan Indonesia yang telah tercatat ASEAN Asset Class tersebut dapat dijadikan contoh dan motivasi. Ke depannya, diharapkan skor rata-rata Indonesia dalam ACGS bisa meningkat, sehingga mendatangkan lebih banyak lagi investasi ke negara ini.

“Pandemi ini telah mengingatkan kita bahwa kesehatan hanyalah salah satu dari 17 Sustainable Development Goals (SDGs) PBB yang harus menjadi bagian dari keberlanjutan bisnis, baik di sektor publik maupun swasta. Dalam kaitannya dengan GCG, kita perlu mengubah prioritas dan mulai mengidentifikasi risiko lain yang menjadi bagian dari SDGs seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, bencana alam, dan bencana lingkungan akibat ulah manusia,” terang Menko Airlangga.

Pasalnya, sebagai langkah pertama menuju model ekonomi yang lebih berkelanjutan, bisnis juga harus fokus pada dampak sosial dan lingkungannya. Untuk itu praktik Environmental, Social, and Governance (ESG) atau sering disebut Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) harus diterapkan di seluruh aktivitas bisnis. “Perusahaan perlu menyadari risiko dan mengumpulkan data yang relevan untuk membangun bisnis yang bertahan di masa depan,” imbuhnya.

Akan ada banyak kerugian yang harus ditanggung jika prinsip ESG ini tidak dijalankan di Indonesia, sebab karakteristik geografis negara kepulauan ini rentan terhadap perubahan iklim dan bencana. Selain itu, penerapan ESG juga terbukti berdampak positif bagi kinerja perusahaan.

“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk mewujudkan SDGs, melainkan perlu upaya kolektif dari stakeholder lain, seperti perusahaan (BUMN/swasta), media, dan lembaga pendidikan. Praktik tata kelola yang efektif hanya dapat terwujud bila terjadi kesadaran bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG, mulai dari akar rumput sampai pada jenjang para pengambil keputusan strategis,” pungkas Menko Airlangga.

Turut hadir pada acara virtual tersebut adalah Ketua Komite Nasional Kebijakan Governansi (KNKG) Mardiasmo, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen, Ketua Pengurus IICD Sigit Pramono, Secretary General Asian Corporate Governance Association Jamie Allen, Direktur Penilai Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna, Direktur Utama BRI Sunarso, dan Direktur Utama Adira Dinamika Multi Finance Hafid Hadeli. (rep/fsr/hls)

***

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, dan Persidangan

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Haryo Limanseto

Website: www.ekon.go.id

Twitter, Instagram, Facebook, & Youtube: @PerekonomianRI

Email:

LinkedIn: Coordinating Ministry for Economic Affairs of the Republic of Indonesia

JAKARTA – Tahun 2021 menandai satu dasawarsa pelaksanaan Open Government Partnership (OGP).  Pada 2011, Indonesia mendirikan OGP bersama dengan tujuh negara lain, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Meksiko, Brasil, Afrika Selatan, dan Filipina. Dimulainya inisiasi OGP membuka kesempatan bagi perwakilan pemerintah, masyarakat sipil, dan lainnya untuk bertukar pengalaman, praktik terbaik, dan kemajuan dalam inisiatif dan implementasi pemerintahan terbuka hingga memberantas korupsi. Dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Open Government Partnership Global Summit yang diselenggarakan secara hybrid di Seoul, Korea Selatan, pada 15-17 Desember 2021, Presiden RI Joko Widodo beserta 13 kepala negara lainnya menegaskan kembali komitmen untuk melaksanakan good governance, terutama sebagai langkah strategis dalam penanganan pandemi Covid-19.

Saat ini, 78 negara dan 76 pemerintah daerah dari seluruh dunia bergabung menjadi anggota OGP. Dalam pelaksanaan tingkat nasional, Indonesia didukung Sekretariat Bersama yang diampu Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, dan Kantor Staf Presiden. Menyambut 2022 mendatang, Indonesia membidik kenaikan peringkat dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis oleh Transparency Internasional. Pasalnya, IPK 2020 mencatat Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara. Peringkat tersebut harus terus ditingkatkan, mengingat kurangnya transparansi dalam alokasi sumber daya akan melemahkan efektivitas respons penanganan pandemi Covid-19.

Good governance berlandaskan transparansi juga akan menjaga stabilitas pemerintahan dan demokrasi dalam jangka panjang. Semangat open government, transparansi, dan akuntabilitas sangat dibutuhkan, terutama sebagai bagian dari penanganan Covid-19. Bagi Indonesia, good governance itu penting, tidak hanya di saat krisis. Indonesia selalu menjadi pendukung dalam agenda prioritas OGP,” jelas Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mewakili Indonesia mewakili yang terpilih menjadi anggota Dewan Pengarah Open Government Partnership periode 2019-2022.

Upaya kolektif dan sinergi semua pemangku kepentingan diperlukan dalam melawan praktik korupsi dan menciptakan respons pandemi yang transparan, efektif, dan adil dalam jangka panjang. Sejalan dengan Perjanjian Paris, Indonesia juga akan meningkatkan transparansi tindakan dalam penanganan dampak perubahan iklim sebagai wujud komitmen dalam mengadvokasi ekonomi hijau dan mencapai Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030. Sebagai anggota pendiri OGP, Indonesia akan terus mendukung semangat good governance di tingkat global, termasuk dalam Presidensi G20 Indonesia 2022. “Presidensi G20 Indonesia akan terus mempromosikan integritas dengan memperkuat sistem dan institusi antikorupsi kita, menggunakan pelajaran dari penanganan pandemi untuk memulihkan dan mengembangkan ekonomi di masa depan,” pungkas Menteri Suharso.

Jakarta, 22 Desember 2021

Parulian Silalahi                                                         

Kepala Biro Humas dan Tata Usaha Pimpinan

Kementerian PPN/Bappenas