Apa hasil studi dari para ahli geologi tentang candi borobudur

Apa hasil studi dari para ahli geologi tentang candi borobudur

A. Kondisi/informasi umum

Saujana Borobudur adalah kawasan yang melingkupi Candi Borobudur sebagai pusatnya, dengan lingkungan geografisnya dikelilingi oleh gunung-gunung seperti Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Andong, serta perbukitan Menoreh. Di dalamnya mengalir sungai-sungai besar, yaitu Sungai Progo, Elo, Tangsi, Pabelan, Sileng, dan anak-anak sungainya. Di dalam kawasan ini terdapat interaksi antara manusia dan lingkungannya sehingga terlahir beragam kebudayaan yang antara lain terwujud dalam tata pengolahan lahan pertanian, tata kehidupan masyarakat dan nilai-nilai tradisi budaya lokal. Selain menjadi aset pusaka, Candi Borobudur juga menjadi salah satu daya tarik wisata utama di Indonesia. Kegiatan pariwisata berkembang sejak tahun 1980an dengan pusat kegiatan di kawasan Candi Borobudur. Kini, tak hanya candinya saja, wisatawan yang datang mulai tertarik untuk menjelajah desa-desa di sekitar Candi Borobudur yang masuk dalam kawasan Saujana Pusaka Borobudur. Di Kecamatan Borobudur, terutama di sekitar Candi Borobudur, permukiman juga berkembang semakin banyak. Akibatnya, terjadi perubahan fungsi lahan yang dulunya sawah menjadi permukiman dan fasilitas jasa wisata.

B. Sejarah

B.1. Sejarah Singkat Candi Borobudur dan Kawasan di Sekitarnya

Candi Borobudur merupakan situs peribadatan umat Buddha yang dibangun oleh Dinasti Syailendra dalam kurun waktu sekitar abad ke 7-8 Masehi. Bangunan monumental ini sebuah maha karya yang terdiri lebih dari dua juta potongan batu yang disusun di atas sebuah bukit yang kemudian dipahat dengan nilai seni yang sangat tinggi (Miksic, 1990). Candi Borobudur terdiri dari 9 tingkat/teras yang membentuk piramid atau punden berundak, yang merupakan bentuk khas arsitektur prasejarah di Indonesia. 6 tingkat pertama berbentuk kotak dan 3 di atasnya berbentuk lingkaran. Bagian atas candi dihiasi oleh satu stupa raksasa di tengahnya yang dikelilingi oleh 72 stupa yang lebih kecil (Larisa, 2002; Taylor, 2003). Terdapat tangga menuju ke atas di ke empat sisinya, di mana pintu timur sebagai pintu masuk utama.

Sepanjang dindingnya terdapat pahatan berupa panel-panel relief �yang menggambarkan cerita dan ajaran sang Buddha. Sistem ini mengkondisikan pengunjung yang berziarah ke Candi Borobudur untuk berjalan berkeliling, tingkat demi tingat menuju ke puncak tertinggi. Perjalanan ini menggambarkan perjalanan manusia dari kehidupan dunia yang penuh nafsu menuju nirwana. Begitu mencapai puncaknya, pengunjung bisa melihat pemandangan indah 360 derajat yang terhampar di sekeliling candi. Rute ziarah ini menggambarkan perjalanan spiritual Budha menuju pencerahan Bodhisatwa. Inilah konsep dan tujuan utama monumen ini, di mana desain arsitektur dan cerita pada pahatan reliefnya menunjukkan satu kesatuan tema (Miksic, 1990).

Candi Borobudur laksana kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa Kuno. Relief pada candi tersebut menampilkan berbagai macam cerita yang terwujud dalam gambar pahatan batu, antara lain sosok manusia dari berbagai kalangan, beragam tumbuhan dan hewan, serta bangunan. Bangunan-bangunan tersebut banyak yang mencirikan arsitektur vernakular tradisional nusantara.

Borobudur terletak di lembah di antara gunung-gunung yang dikenal dengan sebutan dataran Kedu. Sebenarnya, ada banyak studi dalam berbagai bahasa yang sudah dilakukan untuk mengetahui sejarah, makna arsitektur dan juga lokasi Candi Borobudur di dataran Kedu. Disebutkan bahwa salah satu sebabnya yaitu pada saat candi itu dibangun, dataran Kedu merupakan daerah pertanian yang paling kaya di wilayah kepulauan di Asia Tenggara (Murwanto, H., Y. Gunnell et al., 2004). Wilayah Borobudur dilewati oleh Sungai Progo yang cukup besar, di mana anak-anak sungai dari gunung-gunung di dataran Kedu mengalir ke sungai ini dan bermuara ke Samudera Hindia melalui Yogyakarta. Situasi ini yang menyebabkan dataran Kedu sangat subur dan bagus untuk pertanian. Bahkan, seorang ilmuwan bernama Sigler (1989) menyebutnya sebagai �garden of Java� (kebun Jawa).

B.2. Sejarah Saujana Pusaka Borobudur

Kawasan Borobudur memiliki sejarah panjang, sejak terbentuknya lingkungan fisik, khususnya mengenai proses geomorfologi kawasan, keberadaan candi-candi, keberadaan desa-desa, dan kegiatan pertaniannya (Rahmi, 2020).

1 ) Sejarah Geomorfolofi dan Danau Purba

Sejarah geomorfologi kawasan Borobudur tidak terlepas dari sejarah geologi kawasan dan sejarah keberadaan danau serta sungai purba. Sejarah geologi kawasan Borobudur dimulai dari proses tektonik orogenesis Plio-Plistosen di akhir jaman Tersier, sekitar dua sampai satu juta tahun silam. Pada proses ini terbentuklah Pegunungan Menoreh yang memanjang dari Timur ke Barat lebih dari 20 kilometer setinggi 500-1000 meter (dari permukaan laut); cekungan sedimentasi Kuarter Borobudur yang merupakan cekungan terbuka dan mempunyai hubungan dengan laut Jawa di sebelah Utara serta Samudera Hindia melalui celah Terban Bantul (Bantul Graben) (van Bemmelen, 1949, Sutikno dkk, 2006). Pada beberapa bagian dari cekungan tersebut kemudian muncul keatas deretan perbukitan, yaitu Bukit Ukir, Bukit Gendol, Bukit Sari, Bukit Pring, Bukit Borobudur, Bukit Dagi, dan Bukit Mijil. Menjelang berakhirnya orogenesis Plio-Plistosen, munculah gunungapi muda Kuarter di sekitar cekungan, antara lain Gunung Tidar, Gunung Telomoyo, dan Gunung Andong, Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Tubuh gunungapi-gunungapi tersebut terus berkembang semakin tinggi dan besar, dan secara pelan-pelan akhirnya menutup celah Terban Bantul yang membuat cekungan Borobudur terisolasi sama sekali dengan Laut Jawa dan Samudera Hindia. Cekungan tertutup (isolated basin) yang berisi air asin tersebut kemudian disebut Cekungan Intra Montana Borobudur, yang dikelilingi oleh deretan gunungapi muda dan Pegunungan Menoreh di sisi Selatan (Sutikno dkk, 2006; Lavigne dan Gomes, 2010).

Sejarah keberadaan danau purba didukung oleh beberapa penelitian yang sudah dilakukan, diantaranya penelitian oleh van Bemmelen (1970); Nossin dan Voute (1986); Murwanto dkk (2004); dan Lavigne dan Gomes (2010). Para peneliti tersebut menyebutkan bahwa pada cekungan Borobudur pernah terbentuk sebuah danau yang luas dan berubahnya aliran-aliran sungai yang ada. Awal terbentuknya danau disebabkan oleh terjadinya letusan kuat dari Gunungapi Merapi, yang mengakibatkan sebagian puncaknya mengalami pelongsoran ke arah Barat Daya. Longsoran tersebut kemudian tertahan oleh Pegunungan Menoreh bagian Timur, sehingga materialnya akhirnya menutup atau membendung aliran Sungai Progo yang berada di tengah dataran. Akibatnya air Sungai Progo tidak dapat mengalir terus ke Selatan dan terbentuklah genangan air yang luas di dataran Magelang Selatan atau di cekungan Intra Montana Borobudur. Menurut para peneliti, danau tersebut setelah berabad-abad� akhirnya mengering karena material letusan Merapi yang membendung Sungai Progo hilang oleh proses erosi, yang menyebabkan air danau dapat mengalir mengikuti aliran Sungai Progo ke arah Selatan menuju Samudera Indonesia. Nossin dan Voute juga menegaskan bahwa Candi Borobudur dibangun jauh setelah danau menjadi kering (Sutikno dkk, 2006). Dari hasil penanggalan radio karbon C14 batu lempung hitam dan fosil kayu, ditentukan umur endapan danau, yaitu yang tertua berumur 22.130�400 BP dan yang termuda 660�100 BP (Murwanto dkk, 2004). Proses terbentuknya lingkungan danau kemudian disimpulkan dimulai sejak kala Pleistosen Atas dan danau mengering jauh setelah Candi Borobudur selesai dibangun. Berdasarkan hasil penelitian Murwanto, danau Borobudur dipastikan sudah terbentuk sejak lebih dari tahun 22.130 BP yang lalu dan berakhir pada 660 BP atau sekitar abad 13 Masehi (Murwanto, 1996). Jadi menurut Murwanto, Candi Borobudur pada abad ke 9 Masehi dibangun disekitar lingkungan danau dengan beberapa sungai bermuara di danau tersebut (Murwanto dan Sutarto, 2008; Sutikno dkk, 2006).

Kini, Candi Borobudur terletak dalam kompleks taman terpadu bernama Taman Wisata Candi Borobudur, di mana sekelilingnya adalah permukiman penduduk dan pusat kegiatan ekonomi masyarakat. Sisa-sisa peninggalan� danau purba tidak tampak langsung secara jelas, namun ditengarai sebelah selatan candi yang kini berupa sawah dulunya adalah sungai purba. Gambaran candi yang seperti bunga lotus mengapung di atas danau justru bisa didapatkan dari puncak bukit kecil bernama Punthuk Setumbu di sebelah barat daya candi. Dari kejauhan, pada saat kabut pagi mulai bergerak naik ke atas, nampak siluet candi di tengah-tengahnya. Pemandangan ini akan menjadi semakin indah ketika dipadukan dengan pemandangan matahari terbit. Lokasi ini kini menjadi tempat favorit bagi para wisatawan untuk menikmati sunrise di Borobudur.

2)� Sejarah Candi

Candi-candi yang ditemukan di kawasan Borobudur didirikan oleh penguasa atau raja yang memerintah pada masa itu, yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan keagamaan agar terjadi keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Candi-candi klasik tua (bangunan candi yang dibangun sebelum tahun 1000 Masehi) dan sumberdaya arkeologi lainnya di Kawasan Borobudur berlatar belakang agama Hindu dan Budha sesuai dengan penguasa yang memimpin ada masa itu, yaitu Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang beragama Budha Casparis dalam Kasiyati dkk (2002). Pada masa kedua wangsa yang berkuasa tersebut (Mataram Kuno), yaitu pada abad 8 � 9 Masehi, candi-candi klasik tua dibangun� tersebar di wilayah Jawa Tengah bagian Utara sampai Selatan. Tiga candi Budha di wilayah Kabupaten Magelang, yaitu Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon, menurut penafsiran para ahli merupakan satu rangkaian dalam prosesi pemujaan, karena lokasinya terletak dalam satu garis lurus, sehingga pada masa lalu ketiga candi tersebut tidak dapat dipisahkan, baik dari sejarah pembangunannya maupun pemanfaatannya. Di kawasan Borobudur sendiri terdapat 34 situs arkeologi masa periode Hindu Budha yang tersebar di 5 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Magelang Tidak tertutup kemungkinan di kawasan Borobudur masih banyak terdapat situs-situs yang belum ditemukan.

Candi Borobudur dan candi-candi Budha di sekitarnya diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-8 hingga awal abad ke-9 Masehi. Situs-situs atau candi-candi Hindu yang berada di sekitar Candi Borobudur diperkirakan juga didirikan pada waktu yang sama dan sesudah pendirian Candi Borobudur (Kasiyati dkk, 2002). Adanya dua jenis candi, Hindu dan Budha, di wilayah Jawa Tengah yang didirikan pada kurun waktu bersamaan menunjukkan bahwa pada masa Kerajaan Mataram Kuno kehidupan keagamaan dan pemerintahan berjalan baik.

3)� Sejarah Desa

Sejarah keberadaan desa-desa di Kawasan Borobudur penting diketahui untuk memahami kemenerusan budaya masyarakatnya. Sejarah keberadaan desa-desa dapat dilakukan melalui tiga cara,� yaitu melalui prasasti-prasasti yang ditemukan, berdasarkan toponim (nama awal) desa, dan berdasarkan keberadaan desa-desa pada periode pembangunan Candi Borobudur.

Prasasti banyak ditemukan di wilayah Kedu, wilayah di mana kawasan Borobudur berada.Prasasti merupakan penanda bertulis pada batu atau logam yang umumnya berisi pernyataan dari penguasa mengenai suatu hal. Prasasti tertua yang ditemukan di kawasan Kedu adalah Prasasti Tuk Mas, ditulis pada masa Kerajaan Kalingga pada tahun 500 Masehi, jauh sebelum keberadaan Kerajaan Mataram Kuno di wilayah Jawa Tengah antara tahun 732-929 Masehi. Cerita yang tertulis pada Prasasti Tuk Mas memberikan dugaan bahwa pada masa itu di kawasan Kedu telah ada kehidupan manusia dan kemungkinan mereka memanfaatkan Sungai Progo dan Sungai Elo. Prasasti lain di kawasan Kedu yang ditemukan pada masa Kerajaan Mataram Kuno antara lain Prasasti Canggal atau Prasasti Gunung Pring (732 Masehi), Prasasti Sri Kahulunan (Tri Tpusan) (842 Masehi), Prasasti Poh (905 Masehi), dan Prasasti Mantyasih (907 Masehi). Prasasti-prasati tersebut antara lain menceritakan bahwa di kawasan di mana prasasti berada terdapat kehidupan, dusun, desa, jalan, kegiatan tanam padi, kegiatan pemujaan, dan sebagainya.� Dapat diketahui pula bahwa permukiman-permukiman� penduduk tersebut berada di sekitar sungai dan di lembah (dataran). Hal ini dapat diyakini mengingat pada masa itu Gunung Merapi dianggap sebagai tempat suci karena letaknya yang paling tinggi, sementara daerah datar yang berdekatan dengan sungai dijadikan sebagai daerah permukiman karena sungai dianggap sebagai sumber kehidupan (Moehkardi, 1988). Dengan diketemukannya banyak prasasti, diduga bahwa permukiman penduduk telah ada di wilayah Kedu sebelum dikeluarkannya prasasti-prasasti tersebut.

Toponim atau nama desa/dusun dalam bahasa Jawa juga dapat dipakai untuk menemukan riwayat keberadaan desa-desa di kawasan Borobudur, meskipun kebenarannya masih dipertanyakan karena hal ini didasarkan pada cerita rakyat. Toponim desa juga dapat memberi perkiraan arti kondisi kawasan pada waktu itu atau waktu sebelum desa-desa terbentuk. Jejak sejarah kawasan Borobudur yang ditunjukkan dari toponim desa-desanya mengindikasikan adanya empat kondisi kawasan yang saling berdekatan:

  1. Kawasan lereng Pegunungan Menoreh yang berbatu: Giritengah, Kerukbatur
  2. Kawasan tepi sungai: Pragawati, Kaliduren, Brangkal, Kaliabon
  3. Kawasan bekas danau purba: Bumisegoro, Sabrangrowo, Tanjungsari, Toeksanga
  4. Kawasan di sekitar Candi Borobudur: Candirejo, Barbudur, Gopalan, Bogawanti

Desa-desa dengan nama �segoro� (laut), �rowo� (rawa), �tanjung� (semenanjung), mengindikasikan adanya bentangan air di sekitarnya. Keberadaan bentangan air tersebut mungkin sebelum desa-desa tersebut muncul, sehingga desa-desa terbentuk di atas bekas bentangan air tersebut, atau kemungkinan lain, desa-desa berada di tepi bentangan air. Dengan adanya hipotesa danau purba pada penelitian Murwanto (1996), maka hipotesa bentangan air tersebut adalah danau purba yang telah terbentuk sejak 22.130 YBP.

Toponim desa atau dusun yang terletak di lereng Pegunungan Menoreh dengan nama �giri� atau �karang� memberikan petunjuk bahwa desa atau dusun yang berada di lereng pegunungan tersebut memiliki lahan yang tidak rata dengan tanah berbatu-batu. Sedangkan dari toponim desa atau dusun yang terletak di tepi sungai dengan nama �kali�, �praga�, atau �brangkal� menunjukkan bahwa desa atau dusun tersebut berada di tepi sungai dan ada bagian kawasan desa yang banyak terdapat batu-batu besar (brangkal) berasal dari sungai. Beberapa desa yang berada di sekitar Candi Borobudur memiliki nama sesuai dengan fungsinya pada saat candi dibangun, dan ada yang mengambil nama �candi� untuk nama desa (Candirejo). Hal ini mengindikasikan bahwa permukiman-permukiman� penduduk tersebut menjadi desa-desa atau dusun-dusun setelah Candi Borobudur dibangun.

Masa setelah pemugaran Candi Borobudur yang dilakukan oleh van Erp, Candi Borobudur mulai dikunjungi wisatawan, sehingga kehidupan daerah sekitar candi menjadi lebih ramai. Ketika itu, perkembangan fisik desa-desa yang berada dalam radius 5 kilometer dari candi tidak banyak mengalami perubahan. Perubahan baru terjadi pada masa pemugaran ke dua Candi Borobudur oleh Pemerintah Indonesia dan UNESCO (1973-1983). Beberapa rumah dan ladang di Dusun Ngrajan yang berjarak 200 meter dari candi dibebaskan untuk tempat kegiatan pemugaran (Sucoro dalam Winarni, 2006). Untuk pembangunan taman yang mengelilingi Candi Borobudur, dua desa dipindah sepenuhnya yaitu Desa Kenayan dan Dusun Ngaran Krajan, sedangkan Desa Sabrangrowo, Gendingan, dan Gopalan hanya sebagian lahannya yang dipakai sebagai taman. Para penduduk dusun yang lahannya dibebaskan dipindah ke permukiman pengganti di lain dusun yang masih berdekatan. Pada saat ini, desa-desa di kawasan Borobudur terus berkembang seiring dengan perkembangan pembangunan dan kegiatan wisata. Wajah desa telah banyak berubah, terutama desa-desa yang berdekatan dengan Candi Borobudur dan jalan utama menuju candi. Begitu juga dengan tata kehidupan masyarakat yang telah banyak mendapat pengaruh dari budaya kota dan perkembangan teknologi, walaupun masih banyak pula desa yang tetap menunjukkan ketradisionalannya, baik wajah desa maupun budaya hidup masyarakatnya.

C. Saujana Pusaka Borobudur dan elemen-elemen pembentuknya

Saujana (cultural landscape) secara harafiah dalam Bahasa Indonesia berarti �sejauh mata memandang�. Pusaka saujana adalah gabungan dari pusaka alam (natural heritage) dan pusaka budaya (cultural heritage) dalam kesatuan ruang dan waktu. Di Indonesia, pusaka saujana disebutkan pertama kali dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia tahun 2003, dan akhirnya dibahas secara khusus 16 tahun kemudian dalam Piagam Pelestarian Pusaka Saujana Indonesia tahun 2019.

Saujana Borobudur sendiri terbentuk dari gabungan alam dan budaya masyarakatnya yang telah berlangsung selama berabad-abad lamanya. Pusaka saujana terwujud dari elemen-elemen lansekap yang berpadu dengan budaya masyarakatnya baik yang teraga (tangible) maupun tak teraga (intangible).

Lingkup saujana Borobudur meliputi elemen pola pengelolaan lahan, tata kehidupan, arsitektur kawasan dan bentukan-bentukan alami.

1) Pola pengelolaan lahan

Candi Borobudur merupakan bagian dari pusaka saujana Borobudur yang luas terbentang di antara gunung-gunung di dataran Kedu. Adishakti (2006) membagi skala saujana Borobudur menjadi tiga, yakni: makro, meso dan mikro. Klasifikasi ini menggarisbawahi temuan oleh Amiluhur Soeroso (2007) dalam disertasi doktoralnya yang meletakkan skala meso saujana Borobudur ke dalam skala makro dataran Kedu. Lebih jauh, Soeroso membagi wilayah saujana Borobudur menjadi 4 zona (yang disebutnya sebagai Mandala I, II, III dan IV) dengan total luas 46.418,38 hektar. Detil pembagiannya adalah sebagai berikut:

  1. Skala makro dibatasi oleh gunung-gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang, disebut dataran Kedu. Soeroso (2007) menyebutnya sebagai Zona Ekologi Borobudur yang mencakup luas 159.871,6 hektar.
  2. Skala meso dapat ditempatkan pada situs-situs pusaka yang penting (kumpulan beberapa situs pusaka), misalnya skala meso saujana Borobudur� yang terdiri dari Mandala I, II, III dan IV menurut Soeroso (2007).
  3. Skala Mikro merupakan inti (core) dari saujana berskala meso. Contohnya, kesatuan Candi Borobudur, Mendut dan Pawon yang terhubung oleh koridor (disebut sebagai Mandala I menurut Soeroso).

2) Tata Kehidupan

Tata kehidupan masyarakat di kawasan sekitar Candi Borobudur mayoritas merupakan masyakarat dengan budaya agraris di mana pertanian menjadi kegiatan utamanya. Masyarakat dengan tradisi dan budaya pedesaan memiliki tata cara khas yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian masyarakat masih menerapkan nilai-nilai tradisi dan budaya

3) Arsitektur Kawasan

Kawasan Borobudur tidak hanya sekedar bentang alam biasa, namun lebih dari itu. Candi Borobudur dipercaya terletak dalam satu sistem yang disebut mandala. Mandala Borobudur kaya akan nilai-nilai tak ragawi (intangible values) yang terwujud dalam kosmologinya. Dari segi kosmologi ruang, Candi Borobudur memiliki konsep yang istimewa. Dari tinjauan mikrokosmos, Candi Borobudur merupakan perwujudan alam semesta yang terwujud dalam bentukan �mandala� persegi dan lingkaran, yang terbagi dalam tiga tingkatan spiritual yakni Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Konsep ini juga berkaitan dengan filosofi Jawa yaitu mancapat mancalima, di mana ada 1 pusat berupa puncak stupa dan 4 sisi di tepinya sesuai arah mata angin. Dari tinjauan makrokosmos, Candi Borobudur merupakan bagian tak terpisahkan dari Pusaka Saujana Borobudur yang dibatasi oleh gunung-gunung yang mengelilinginya di dataran Kedu. Saujana Borobudur merupakan ruang yang mendukung konsep candi sebagai sarana peribadatan umat Buddha, yakni perwujudan nirwana yang bisa dilihat secara visual dari puncak candi. Saujana Borobudur juga menjadi wujud keseimbangan alam sebagai hasil sinergi mikrokosmos dan makrokosmos (Fatimah, 2014).

4) Bentukan-bentukan alami

Kawasan Borobudur memiliki bentukan-bentukan alami berupa lahan pemukiman yang tersebar di desa-desa sekitar, lahan pertanian, perbukitan dan gunung, serta sungai-sungai yang mengalir di dalamnya. Tak hanya bentukan alami yang ada saat ini, bentukan alami Saujana Pusaka Borobudur mencakup perubahan-perubahan yang terjadi selama kurun waktu yang lama, antara lain adanya lingkungan danau purba yang dulunya pernah ada di kawasan sekitar Candi Borobudur (Murwanto, 2004 dan Supandi, 2019). Bekas peninggalan danau purba yang ada hingga saat ini merupakan bukti sejarah yang layak untuk dilestarikan.

D. Nilai Penting/Keunggulan Saujana Pusaka Borobudur

Borobudur merupakan pusaka saujana yang� unggul dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmi (2012) menemukan 4 (empat) keunggulan nilai yang dikandung saujana pusaka Borobudur, yaitu: struktur bentanglahan yang berkualitas; kekayaan dan kemenerusan nilai-nilai lokal; peran sejarah dan sumberdaya pusaka; dan kandungan nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan (Rahmi, 2012).

1) Struktur lanskap yang berkualitas

Lanskap atau bentanglahan adalah hasil hubungan antara faktor alam dan kegiatan manusia (Ndubisi dalam Thompson dan Steiner, 1997). Faktor alam meliputi fisik (abiotik) seperti iklim, geologi, fisiografi, hidrologi, tanah, serta faktor biotik yaitu tanaman dan hewan. Sedangkan struktur lanskap kawasan secara organik terbentuk atas jalinan beragam bentuk elemen-elemen spasial yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Tutupan lahan kawasan Borobudur masih sedikit mendapat pengaruh yang merusak atau mengganggu keberadaannya, sehingga seluruh struktur lanskap hampir memperlihatkan sebuah lanskap alami yang ideal yang menjadikan salah satu kekayaan kawasan Borobudur. Struktur lanskap kawasan Borobudur merupakan struktur lanskap yang berkualitas, karena adanya tiga unsur kekuatannya, yaitu kestabilan struktur lanskap; kemenerusan sistem pengolahan lahan; dan panorama indah dengan nilai estetika tinggi.

Pertama, lanskap kawasan ini terbentuk oleh adanya beragam struktur lanskap, antara lain lanskap permukiman, pertanian, pegunungan, sungai, dan sebagainya, yang saling berhubungan. Struktur-struktur lanskap yang beragam tersebut secara keseluruhan menyatu membentuk satu struktur lanskap Borobudur. Keragaman elemen struktur lanskap Borobudur menunjukkan tingginya kualitas lanskap tersebut. Kedua, pusaka saujana Borobudur memiliki keberlanjutan dalam sistem pengolahan lahan, yaitu sistem pertaian tradisional yang telah dilakukan masyarakat lokal sejak dulu dengan konsep �pranotomongso�, atau menanam sesuai dengan musim untuk mempertahankan kesuburan tanah. Ketiga, pusaka saujana Borobudur memiliki kualitas panorama unggul, keindahan alami dan nilai-nilai estetika yang berasal dari interaksi antara alam dan buatan manusia. Panorama indah bentanglahan, gabungan dari mosaik lahan pertanian, permukiman, sungai-sungai, Candi Borobudur, dan gunung-gunung sebagai latar belakang merupakan aset kekayaan kawasan yang perlu terus dipertahankan.

2)� Kekayaan dan kemenerusan nilai-nilai lokal

Saujana pusaka Borobudur memiliki keunggulan nilai-nilai lokal, yang terwujud dalam tiga hal, yaitu: (a)� kemenerusan� dan kestabilan sistem budaya� masyarakat lokal dalam bercocok tanam (agraris); (b) keunikan pola tata guna lahan yang telah terbentuk secara turun-temurun dan berlanjut sampai saat ini; dan (c) kekayaan budaya lokal ragawi (tangible) dan tak ragawi (intangible) yang telah berlangsung lama dan merupakan respon masyarakat terhadap kondisi alam berdasarkan filosofi hidup yang mereka anut.

Tradisi-tradisi budaya masyarakat desa (kegiatan pertanian dengan cara-cara tradisional, kerajinan dengan memanfaatkan bahan baku lokal, kebiasaan sehari-hari, kepercayaan, kesenian, arsitektur kawasan yang memperhatikan iklim) yang secara turun-temurun dilakukan, menunjukkan keunikan budaya lokal yang masih hidup dan mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Tradisi-tradisi budaya tersebut juga telah memberi identitas kawasan.

3) Peran Sejarah dan Sumberdaya Pusaka

Nilai keunggulan saujana pusaka Borobudur yang lain yaitu peran sejarah dan sumberdaya pusaka, yang terdiri dari dua, yaitu: kekayaan sejarah kawasan, dan peran candi-candi terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. Pertama, pusaka saujana Borobudur memiliki sejarah panjang, mulai dari sejarah geologi pembentukan gunung-gunung dan dataran Borobudur, sejarah keberadaan danau dan sungai purba meskipun kebenarannya masih kontroversial, sejarah keberadaan permukiman dan kegiatan pertanian, sampai sejarah pembangunan candi-candi yang tersebar di seluruh kawasan. Semua sejarah tersebut merupakan data yang penting untuk mengetahui proses kehidupan dan perubahan pada masa lalu. Hal ini ditegaskan juga oleh Bimbaum dan Peters (1996) bahwa sejarah keberadaan kawasan, baik sejarah bentanglahan maupun budaya masyarakat, menjadi dasar untuk memahami perubahan dan kemenerusan yang terjadi selama ini.

Kedua, untuk memahami sejarah, sangat terbantu dengan adanya sumberdaya pusaka (heritage sources). Pada saujana pusaka Borobudur, sumberdaya pusaka tersebut berupa benda-benda peninggalan arkeologi terutama candi, yang sampai saat ini masih dapat dilihat keberadaannya. Bahkan Candi Borobudur dengan arsitekturnya yang istimewa dianggap sebagai bukti tingginya sejarah peradaban, dan dianggap sebagai mahakarya arsitektur yang tak lekang dimakan waktu, memiliki fungsi dan keindahan. Sejak didirikannya sampai saat ini, keberadaan candi-candi menjadi bagian dari pusaka saujana Borobudur. Candi memiliki hubungan tak ragawi (intangible relationships) dengan tradisi-tradisi kehidupan masyarakat desa disekitarnya. Candi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan.

4) Kandungan Nilai Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

Pusaka saujana Borobudur adalah tempat untuk belajar, karena banyaknya nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan yang dikandungnya. Dikatakan oleh Taylor (2003), Borobudur adalah �open air museum and university�, di mana orang-orang dari seluruh dunia dapat mengambil pelajaran tidak hanya dari konsep-konsep dan tampilan fisik Candi Borobudur sebagai benda arkeologi, tetapi juga lingkungan kehidupan disekitarnya � masyarakatnya, desa-desanya, dan seluruh alam lingkungannya. Tanudirjo (2008) menegaskan, bahwa Borobudur adalah media pembelajaran, pusat pendidikan masyarakat untuk menjadi creative genius dan mencapai kesempurnaan sebagai manusia, sehingga kawasan Borobudur layak menjadi center of excellence dalam berbagai bidang. Pusaka saujana Borobudur memiliki empat nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu: arkeologi dan sejarah, lanskap, sosial-budaya, serta filosofi dan religi.

Banyak hal dapat dipelajari dari bangunan candi yang tersebar di kawasan Borobudur. Bangunan candi mengandung pengetahuan tentang arsitektur dan teknologi pembangunannya, serta merupakan bukti karya cipta masyarakat yang berakal budi tinggi. Candi Borobudur diharapkan menjadi pusat studi konservasi batu di kawasan Asia Tenggara, tempat belajar mengenai budaya dan pengetahuan.

Hubungan-hubungan fungsional antar elemen bentanglahan, proses-proses ekologi yang terjadi, serta integrasi fungsional tata guna lahan untuk saat ini dan yang akan datang memberi banyak pengetahuan kepada siapa saja yang ingin mempelajarinya. Selain itu, panorama kawasan Borobudur yang indah dan estetis memberi banyak inspirasi bagi terciptanya berbagai karya seni.

Sebagai pusat pembelajaran sosial budaya, kawasan Borobudur adalah tempat untuk belajar berbagai hal yang berkaitan dengan hubungan antar manusia dan kehidupan bermasyarakat, serta antara manusia dan alam tempat tinggalnya. Desa-desa di kawasan Borobudur menyajikan atraksi kehidupan tradisionalnya, dengan berbagai tradisi budaya, kesenian, kerajinan, dan tata cara kehidupan sebagai masyarakat agraris.

Pusaka saujana Borobudur kaya akan nilai-nilai tak ragawi (intangible values), dan satu yang merupakan keistimewaannya� adalah kandungan nilai kosmologi mandala yang diinterpretasikan pada candi,� lanskap, dan kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai mandala tersebut merupakan pengetahuan yang perlu diketahui masyarakat luas. Sebagai sebuah mandala, Candi Borobudur mengajarkan tentang falsafah-falsafah hidup, yang diakui dalam agama Budha, maupun agama-agama lain. Sedangkan saujana pusaka Borobudur juga menjadi tempat untuk belajar agama, khususnya agama Budha.

E. Upaya-upaya pelestarian yang pernah dilakukan selama ini antara lain�:

1) Kebijakan dan kegiatan:

Upaya-upaya pelestarian yang pernah dilakukan selama ini antara lain�:

  • 2020. Rencana Penataan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Borobudur, oleh Cipta Karya, Kementerian PUPR
  • 2018-2020. Integrated Tourism Master Plan of Borobudur � Yogyakarta Prambanan, oleh BPIW, Kementerian PUPR
  • 2017. Kawasan Strategis Nasional disusun oleh Kementerian PU
  • 2011. RTRW Kabupaten Magelang 2010 � 2030
  • 2010. RTRW Provinsi Jawa Tengah�2009-2029
  • 2004 � 2016. International Field School on Borobudur Saujana. Diselenggarakan oleh Center for Heritage Conservation (CHC) UGM bekerja sama dengan Kanki Laboratory Wakayama University (yang kemudian pindah menjadi Kyoto University)
  • Balai Konservasi Borobudur
  • Beragam kegiatan oleh masyarakat, antara lain: Festival Lima Gunung, Ruwat-Rawat Borobudur, dst
  • 1992. Keputusan Presiden (Keppres)�no�1/1992 � Management Plan of Borobudur and Prambanan.
  • 1991. Borobudur masuk dalam List World Heritage Site - UNESCO
  • 1979. JICA Master Plan

2) Penelitian dan Publikasi:

Adishakti, Laretna T, 2016, Kajian Arahan Olah Disain Arsitektur Pusaka Saujana Borobudur, Hibah Penelitian Departemen Arsitektur dan Perencanaan, FT UGM, Yogyakarta

Bimbaum, C. dan Peters, C., 1996, Guidlines for the Treatment of Cultural Landscape, U.S. Department of the Interior, Washington, D.C.

Budianta, Eka et.al. 2012, Jantung Hati Borobudur, Jakarta: Badan Pelestarian Pusaka Indonesia

Fatimah, Titin, 2015, The impacts of rural tourism initiatives on cultural landscape sustainability in Borobudur area, Prosiding Internasional �Procedia Environmental Science� Volume 28, 2015, p. 567�577. The Fifth International Conference on Sustainable Future for Human Security (SustaiN 2014), Penerbit: Elsevier�

Fatimah, Titin, 2014, Pusaka saujana Borobudur dalam tinjauan kosmologi ruang, Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP)#3, Manusia dan Ruang dalam Arsitektur dan Perencanaan; UGM,Yogyakarta

Fatimah, Titin, 2012, A Study on Community-based Cultural Landscape Conservation in Borobudur, Indonesia (unpublished Doctoral Dissertation, Kyoto University)

Fatimah, Titin; Kanki, Kiyoko, 2012, Evaluation of Rural Tourism Initiatives in Borobudur Sub-district, Indonesia: A Study on Rural Tourism Activities for Cultural Landscape Conservation,�Journal of Architecture and Planning, Transactions of AIJ, Vol. 77 No. 673, March 2012, Architectural Institute of Japan

Fatimah, Titin; Kanki, Kiyoko, 2009, A Study on Citizens� Organizations Relationship for Cultural Landscape Conservation Initiatives in Borobudur Sub-district Level, Indonesia, Journal of the City Planning Institute of Japan, Volume No. 44-3 Oktober 2009�

Fatimah, T.; Kanki, K; Adishakti, LT, 2005, Borobudur � Recent History of Its Cultural Landscape - Toward the Sustainable Rural Development as the Landscape Rehabilitation - Paper presented at the 10th UNESCO Universities Heritage Forum, Newcastle April 2005

Kanki, Kiyoko; Adishakti, Laretna T.; Fatimah, Titin, 2016, Borobudur as Cultural Landscape-10 years of International Borobudur Field School activities with local initiatives, International Conference on Tourism and Cultural Landscapes: Towards A Sustainable Approach, 2016

Kanki, K; Adishakti, LT, Fatimah, T, 2015, Borobudur as Cultural Landscape: Local Communities' Initiatives for the Evolutive Conservation of Pusaka Saujana Borobudur, Kyoto University Press, Japan & Trans Pacific Press, Australia, ISBN: 978�1�920901�67�7 (amazon.com).

Kasiyati, W., Dahroni, dan Bujono, 2002, Keberadaan Candi-candi Hindu di Sekitar Borobudur, Makalah disampaikan pada Rapat Evaluasi Teknik Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, BSKB, Magelang

Lavigne, F. dan Gomes, C., 2010, Some Recent Findings on the Paleo-Environment of Borobudur, Materi� Presentasi �pada Seminar Internal Fakultas Geografi UGM Juli 2010, Yogyakarta

Moehkardi, 2008, Bunga Rampai Sejarah Indonesia Dari Borobudur hingga Revolusi 1945, Gama Media, Yogyakarta

Murwanto, H., 1996, Pengaruh Aktivitas Gunung Merapi Kwarter terhadap Perkembangan Lingkungan Danau di Daerah Borobudur dan Sekitarnya di Jawa Tengah, Thesis tidak diterbitkan, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Murwanto, H., Gunnel, Y., Suharsono, S., Sutikno., dan Lavigne, F., 2004, Borobudur Monument (Java, Indonesia) Stood by a Natural Lake: Chronostratigraphic Evidence and Historical Implications, The Holocene 14(3): 459-463

Murwanto, H., Sutarto, 2007, Kajian Geologi Situs Danau Purba Borobudur, Kabupaten Magelang.

Nagaoka, Masanori, 2016, Cultural of Landscape Management at Borobudur, Indonesia, SpringerBriefs in Archaeology

Nagaoka, Masanori, 2015, Buffering Borobudur for socio-economic development an approach away from european values-based heritage management, Journal of Cultural Heritage Management and Sustainable Development (2015) 5(2) 130-150

Nieuwenkamp, 1931/32, W. O. J. De Borobudur Maitreya's Lotus Troon, Nederlandsch-Indie Oud en Niew (in Dutch).

Nossin, J.J. dan Voute, C., 1986, The Geomorphology of Borobudur Plain: Its Archaeology and History (Central Java, Indonesia), International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences Journal, 4: 280-89

Susilo, YS;� Soeroso, A, 2014, Integrated Management of Borobudur World Heritage Site: A Conflict Resolution Effort, Asia-Pacific Management and Business Application 3 (2) 116 � 134

Rahmi, D.H., 2012, Pusaka Saujana Borobudur: Studi Hubungan antara Bentanglahan dan Soio-Budaya Masyarakat, Disertasi tidak dipublikasikan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

Soeroso, A. 2007. Penilaian Kawasan Pusaka Borobudur Dalam Kerangka Perspektif Multiatribut Ekonomi Lingkungan dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Manajemen Ekowisata. Disertasi S3 yang tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,

Soekmono, 1976, Chandi Borobudur - A monument of Mankind. Paris, Van Gorcum, Assen/Amsterdam: the UNESCO Press.

Supandi, Yenny, 2019, Pengelolaan Bekas Danau Purba Borobudur sebagai Komponen Penting Kawasan Strategis Nasional Borobudur, Tesis tidak dipublikasikan, Magister Arkeologi, Universitas Gadjah Mada.

Sutikno, Murwanto, H.dan Sutarto, 2006, Kajian Lingkungan Geologi di Daerah Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dalam Seminar Nasional �Borobudur, Dari Masa Lalu ke Masa Depan�. Konferensi Agung Sangha Indonesia dan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, Jakarta.

Tanudirjo, D.A., 2008, Nilai Penting Arkeologi dan Pelestarian Kawasan Candi Borobudur, makalah disampaikan dalam Workshop: Re-Thinking Borobudur di Jakarta 27 Mei 2008.

Taylor, Ken, 2003, Cultural Landscape as Open Air Museum: Borobudur World Heritage Site and Its Setting, Humanities Research, 10 (2): 51-62

Thompson, G. F. dan Steiner, F. R. (ed), 1997, Ecological Design and Planning, John Wiley & Sons, Inc, New York

van Bemmelen, R.W., 1970, The Geology of Indonesia (Volume 1A): General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, Martinus Nijhoff, The Hague

Winarni, 2006, Kajian Perubahan Ruang Kawasan Worrld Cultural Heritage Candi Borobudur. Thesis Magister Perencanaan Kota dan Daerah Jurusan Ilmu-ilmu Teknik, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Saujana Borobudur adalah kawasan yang melingkupi Candi Borobudur sebagai pusatnya, dengan lingkungan geografisnya dikelilingi oleh gunung-gunung seperti Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Andong, serta perbukitan Menoreh.

Apa hasil studi dari para ahli geologi tentang candi borobudur

Nama Info Kontak
Laretna T. AdishaktiPusat Pelestarian Arsitektur, Departemen Arsitektur & Perencanaan, Fakultas Teknik, UGM
Dwita Hadi RahmiPusat Pelestarian Pusaka, Departemen Arsitektur dan Perencanaan FT UGM
Amiluhur SoerosoProdi Magister Kebijakan Publik Fisipol - UGM/ Prodi Magister Pariwisata - Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (STIPRAM)
Titin FatimahJurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara
Jack PriyatnaJaringan Kepariwisataan (JAKER) Borobudur
SucoroWarung Info Jagad Cleguk/Sekolah Lapangan Borobudur/Komunitas Pecinta Budaya Brayat Panangkaran