Adapun bidang yang termasuk dalam Politik Etis antara lain

Adapun bidang yang termasuk dalam Politik Etis antara lain

Adapun bidang yang termasuk dalam Politik Etis antara lain

Penulis: Yuda Prinada
tirto.id - 23 Sep 2021 21:55 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Adapun bidang yang termasuk dalam Politik Etis antara lain
Politik Etis adalah politik "balas budi" yang mengawali sejarah dimulainya era pergerakan nasional. Berikut ini tujuan, tokoh, isi, dan dampak Politik Etis.

tirto.id - Politik Etis adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 17 September 1901. Politik Etis disebut pula sebagai Politik Balas Budi.

Politik Etis mengawali sejarah dimulainya era pergerakan nasional di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Politik Etis bermula dari kebijakan tanam paksa.

Tahun 1830, Johannes van den Bosch yang merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, menetapkan kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel. Ketika aturan ini berlaku, masyarakat Indonesia dipaksa menanam komoditas ekspor demi kepentingan Belanda.

Akan tetapi, banyak penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan cultuurstelsel ini. Dampak yang ditimbulkan amat sangat menyengsarakan rakyat.

Adapun bidang yang termasuk dalam Politik Etis antara lain

Tujuan dan Tokoh Politik Etis

Mulai muncul kritikan dan kecaman atas pelaksanaan tanam paksa, bahkan dari kalangan orang Belanda sendiri. Akibatnya, dikutip dari artikel bertajuk “Politik Etis Sebagai Awal Lahirnya Tokoh-tokoh Pergerakan Nasional" dalam website Kemendikbud, sistem tanam paksa akhirnya dihentikan pada 1863.

Baca juga:

Meskipun begitu, tanam paksa terlanjur menimbulkan kerugian besar bagi rakyat Indonesia. Maka, beberapa aktivis dari Belanda seperti Pieter Brooshooft dan C. Th. van Deventer memprakarsai digagasnya Politik Etis sebagai bentuk balas budi kepada rakyat Indonesia.

Van Deventer pertama kali mengungkapkan perihal Politik Etis melalui majalah De Gids pada 1899. Ternyata, desakan terkait ini diiterima oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak 17 September 1901, Politik Etis pun resmi diberlakukan.

Infografik SC Politik Etis Hindia Belanda. tirto.id/Sabit

Isi Politik Etis

Politik Etis berfokus kepada desentralisasi politik, kesejahteraan rakyat, dan efisiensi. Terkait isinya, terdapat tiga program utama, yakni irigasi, edukasi, dan emigrasi.

1. Irigasi

Dalam program ini, pemerintah Hindia Belanda melakukan pembangunan fasilitas untuk menunjang kesejahteraan rakyat. Sarana dan prasarana untuk menyokong aktivitas pertanian serta perkebunan diberikan, meliputi pembuatan waduk, perbaikan sanitasi, jalur transportasi pengangkut hasil tani, dan lainnya.

Baca juga:

2. Edukasi

Melalui program edukasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan upaya mengurangi angka buta huruf masyarakat dilakukan. Selain itu, mulai dilaksanakan pengadaan sekolah-sekolah untuk rakyat.

Akan tetapi, berdasarkan penjelasan Suhartono dalam Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945 (2001:7), hanya laki-laki saja yang boleh mengenyam pendidikan kolonial kala itu, sedangkan perempuan belajar di rumah.

Baca juga:

3. Emigrasi

Program emigrasi diterapkan dalam rangka meratakan kepadatan penduduk di Hindia Belanda atau Indonesia. Pada 1900 saja, Jawa dan Madura telah dihuni oleh 14 juta jiwa.

Melalui kebijakan yang aktif mulai 1901 ini, didirikan pemukiman-pemukiman baru di Sumatera yang disediakan untuk tempat perpindahan rakyat dari wilayah padat penduduk.

Baca juga:

Dampak Politik Balas Budi

Awalnya, kebijakan Politik Etis memang terlihat menguntungkan rakyat Indonesia. Akan tetapi, dalam perjalanannya terjadi penyimpangan Politik Balas Budi yang dilakukan oleh orang-orang Belanda.

Dampak Negatif

Dalam program irigasi, upaya pengairan yang ditujukan untuk aktivitas pertanian tidak berjalan mulus. Air yang disalurkan ternyata hanya untuk orang-orang Belanda, sedangkan kaum pribumi seakan dipersulit sehingga menghambat kegiatan pertaniannya.

Berikutnya, dalam program edukasi, pemerintah kolonial Hindia Belanda ternyata punya niatan buruk. Mereka ingin memperoleh tenaga kerja dengan kualitas SDM tinggi namun dengan upah rendah.

Program edukasi yang awalnya ditujukan untuk semua golongan, pada kenyataannya didominasi oleh orang-orang kaya atau dari kalangan bangsawan saja sehingga terjadi diskriminasi dalam hal pendidikan.

Baca juga:

Dampak Positif

Meskipun terjadi penyelewengan yang menimbulkan dampak negatif, Politik Etis setidaknya juga menghadirkan beberapa dampak positif bagi bangsa Indonesia.

Diterapkannya Politik Etis memicu lahirnya berbagai organisasi pergerakan dan perhimpunan yang bersifat daerah maupun nasional di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain.

Program edukasi yang diberikan dalam Politik Etis melahirkan kaum terpelajar dari kalangan pribumi. Mereka inilah yang kemudian mengawali era pergerakan nasional dengan mendirikan berbagai organisasi yang berjuang melalui pemikiran, pengetahuan, hingga politik.

Baca juga:

Nantinya, berbagai organisasi pergerakan ini berganti wujud menjadi partai politik yang memperjuangkan kesetaraan atau merintis upaya kemerdekaan bagi Indonesia.

Politik Etis berakhir ketika Belanda menyerah dari Jepang tahun 1942 dalam Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua.

Tahun 1945, giliran Jepang yang kalah di Perang Dunia Kedua sehingga membuka peluang bagi bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait POLITIK ETIS atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/isw)

Penulis: Yuda Prinada Editor: Iswara N Raditya Kontributor: Yuda Prinada

Array
© 2022 tirto.id - All Rights Reserved.

Salah satu materi mata pelajaran sejarah yang harus kamu kuasai itu ialah tentang politik etis. Sebab, dengan mempelajarinya, Quipperian sekalian secara tak langsung memahami perjalanan bangsa.

Untuk itu, pada artikel kali ini akan membahas mengenai materi politik etis yang terjadi di Indonesia pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Biar kamu langsung paham, yuk, langsung dibaca ulasannya!

Pengertian Politik Etis

Sebelum membahas lebih lanjut soal politik etis, baiknya kamu memahami pengertiannya. Politik etis (Etische Politiek) atau politik balas budi merupakan pemikiran yang menyatakan pemerintah kolonial Hindia Belanda mempunyai tanggung jawab secara moral kepada rakyat bumiputera.

Pemikiran tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk kritik terhadap pelaksanaan politik kolonial yang telah dilakukan oleh pemerintah Belanda. Politik etis dipelopori oleh dua orang politikus yang berasal dari Belanda, yakni Pieter Broshooft dan van Deventer. Pemikiran kedua politikus tersebut membuka mata pemerintah Kolonial Belanda untuk lebih memperhatikan nasib wilayah jajahannya. 

Latar Belakang Politik Etis

Politik etis tidak muncul begitu saja. Ada sejumlah hal yang melatarbelakanginya. Pertama, perihal adanya sistem tanam paksa yang mewajibkan rakyat dan pemilik lahan kala itu untuk menanam tanaman yang sesuai dengan permintaan Belanda. Sistem tersebut menyebabkan penderitaan tersendiri bagi rakyat Indonesia kala itu. 

Sistem itu merupakan gagasan dari Van den Bosch yang diangkat menjadi gubernur jendral yang baru di Hindia Belanda pada tahun 1830. Setelah Van den Bosch sampai di Jawa, ia segera mencanangkan program Cultuurstelsel atau tanam paksa.

Sayangnya, ketentuan dalam Cultuurstelsel tidak dijalankan dengan semestinya. Hal tersebut menyebabkan rakyat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, sehingga menyebabkan penderitaan yang lebih berat bagi rakyat. Dalam penerapannya, rakyat juga banyak kehilangan tanahnya karena diambil oleh para bangsawan lokal atau pemerintah Hindia Belanda.

Hal kedua yang melatarbelakangi terjadinya politik etis ialah diterapkannya sistem ekonomi liberal pasca pelaksanaan Cultuurstelsel dihapuskan pada 1863. Penerapan sistem ini membuat modal-modal swasta masuk nusantara.

Ternyata, penerapan sistem ekonomi liberal tidak membuat penderitaan rakyat nusantara kala itu membaik. Sebab, sistem tersebut hanya menguntungkan para pengusaha yang memiliki modal dari pada rakyat yang bekerja. Hal tersebut sama saja seperti hanya memindahkan penjajahan dari negara kepada swasta saja. Koeli Ordonantie yang diterapkan tidak dapat melindungi rakyat dari pemerasan, akan tetapi hanya melegalkan perbudakan dengan adanya Ponale Sanctie.

Dan, hal ketiga yang ikut melatarbelakangi politik etis ialah kritik dari para intelektual Belanda. Dasar utama kritik tersebut lantaran pelaksanaan tanam paksa yang dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda. Dua tokoh yang sudah disebutkan di atas, yakni Broshooft dan van Deventer, merupakan tokoh yang menolak keras pelaksanaan sistem tersebut.

Kedua tokoh tersebut menganjurkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda untuk melakukan politik etis atau politik balas budi. Van Deventer berpendapat bahwa Pemerintah Kolonial Belanda telah banyak berutang budi kepada rakyat nusantara selama pelaksanaan sistem tanam paksa. 

Utang budi tersebut harus dibayar oleh Pemerintah Belanda dengan cara memperbaiki nasib rakyat, seperti memberikan pendidikan serta kemakmuran bagi kehidupan rakyat nusantara kala itu. Gagasan tersebut dituangkan dalam artikel yang berjudul Eeu Eereschuld yang artinya utang budi dan dimuat oleh majalah De Gids.

Pelaksanaan Politik Etis

Dengan adanya kaum humanis yang menyerukan politik etis, dipelopori oleh van Deventer dan Brooshooft, telah membuat Pemerintah Kolonial untuk lebih memperhatikan nasib rakyat nusantara. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang saat itu baru naik tahta sebagai mahkota Belanda mengumumkan dalam pidato politiknya pada pembukaan parlemen Belanda. Ia mengumumkan bahwa Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral dan utang budi kepada bangsa pribumi di Hindia Belanda.

Pada pidatonya itu, Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral utang budi itu ke dalam kebijakan politik yang tertuang dalam program Trias Politika yang meliputi irigasi, emigrasi, dan edukasi. 

Program irigasi (pengairan) merupakan program untuk melakukan perbaikan serta pembangunan irigasi dalam bidang pengairan untuk keperluan pertanian. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga ketahanan pangan dari gagal panen akibat cuaca sehingga mencegah kelaparan di Hindia Belanda.

Program kedua, yakni emigrasi yaitu proses perbaikan dalam bidang kependudukan dengan cara mengakomodasi perpindahan penduduk dari tempat yang padat ke tempat yang lebih sedikit penduduknya. Pelaksanaan program tersebut dalam rangka memberikan kesempatan bagi penduduk untuk mendapatkan kesempatan dalam berusaha dan mengusahakan tanah yang menganggur.

Dan, program terakhir, yakni edukasi merupakan program yang bergerak pada proses pengembangan dan perbaikan dalam bidang pengajaran dan pendidikan. Pelaksanaan program ini membuat pendidikan yang selama ini hanya menjangkau masyarakat bangsawan, sekarang juga diberikan kepada masyarakat golongan lain.

Dari pidato itu, banyak pihak yang menghubung-hubungkan kebijakan baru Ratu Wilhelmina tersebut dengan tulisan dari van Deventer yang diterbitkan sebelumnya. Hingga akhirnya, van Deventer dikenal sebagai pencetus dari politik etis tersebut.

Penyimpangan Politik Etis

Ide gagasan yang mulia tersebut pada akhirnya terjadi penyimpangan pada pelaksanaannya. Penyimpangan tersebut terjadi di tiap gagasan program.

Pada program irigasi, penyimpangan terjadi pada pemilihan tanah-tanah yang dibuatkan irigasi. Tanah-tanah yang dipilih hanya tanah-tanah subur untuk perkebunan swasta milik Belanda. Tanah perkebunan milik rakyat pun akhirnya tidak teraliri air dari saluran irigasi yang telah dibuat.

Lalu, pada program emigrasi, penyimpangannya pada pemilihan wilayahnya di luar pulau Jawa, yakni pada daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan milik Belanda. Hal tersebut terjadi lantaran adanya permintaan besar akan tenaga kerja yang dibutuhkan di daerah tersebut seperti perkebunan di Sumatra, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lainnya. Di daerah tersebut, rakyat nusantara dijadikan sebagai kuli kontrak, sedangkan emigrasi yang ditujukan ke Lampung bersifat menetap.

Dan, program pendidikan akhirnya hanya menghasilkan tenaga-tenaga administrasi yang terampil dan murah. Selain itu, pendidikan itu dibuka hanya untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang kalangan mampu. Hal tersebut akhirnya melahirkan diskriminasi pendidikan dengan membedakan kelas pendidikan.

Demikianlah sedikit pembahasan mengenai politik etis yang terjadi pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Memahami kondisi itu kiranya dapat membuka cakrawala berpikirmu perihal sejarah bangsa Indonesia. Jangan lupa mampir ke Quipper Blog untuk baca artikel menarik lainnya, ya!

[spoiler title=SUMBER]

  • Mata Pelajaran Sejarah Materi Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Quipper Video
  • http://www.kompas.com/[/spoiler]

Penulis: Muhammad Khairil