Untuk mengatasi inflasi pemerintah melakukan pengguntingan uang yang dikenal dengan istilah

Gunting Syafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafrudin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.[1] Kebijakan itu dikenal sebagai kebijakan berani yang ditetapkan Pemerintah Indonesia dengan cara menggunting fisik uang kertas. [2]

Untuk mengatasi inflasi pemerintah melakukan pengguntingan uang yang dikenal dengan istilah

Gunting Sjafruddin merupakan kiasan

Ketika itu, ada tiga jenis mata uang yang beredar di Indonesia. Ketiga mata uang tersebut adalah Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank, serta mata uang yang digunakan ketika NICA (Belanda) berada di Indonesia pasca-kemerdekaan atau selama masa revolusi fisik.[3]

Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua.[4] Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. [5]"Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).

Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk—utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung.[6] Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar.1950.

Indonesia).

Satu minggu sebelumnya Sjafruddin juga mengeluarkan kebijakan kontroversial, yang disebut dengan Sertifikat Devisa (SD). Kebijaksanaan ini bermaksud mendorong ekspor dan sebaliknya menekan impor.

Berdasarkan kebijaksanaan tersebut, selain mendapatkan uang sebanyak harga barangnya, setiap eksportir juga memperoleh SD sebesar 50% dari harga ekspornya. Sebaliknya, orang yang hendak impor harus membeli SD senilai harga barang yang hendak diimpor. Jadi, selain menyediakan uang senilai harga barang yang akan dibeli, setiap importir harus membeli SD dengan kurs yang ditetapkan pemerintah.

Sebagai permulaan, pemerintah menetapkan kursnya 200 persen. Artinya, kalau orang akan membeli SD sebesar Rp 10.000, dia harus membayar Rp 20.000. Kurs itu akan naik-turun sesuai dengan perkembangan pasar. Dengan demikian, tanpa mengubah kurs resmi, kurs efektif bagi penghasil devisa adalah 200% kurs resmi, sedangkan bagi para pemakai devisa adalah 300% dari kurs resmi. Selisih ini masuk ke dalam kas pemerintah.

Sudah tentu, dua kebijakan yang radikal itu menyulut pro-kontra. Sjafruddin pun mengakui, kebijakannya itu memberatkan para importir. Namun, ia tidak mau mengabaikan kepentingan para petani yang menghasilkan sebagian besar barang ekspor. Hasilnya ternyata mujarab. Kedudukan rupiah menguat, harga barang terutama kebutuhan pokok tidak naik, dan pemasukan pemerintah naik berlipat-lipat, dari Rp 1,871 miliar menjadi Rp 6,990 miliar.

  1. ^ Okezone (2019-03-10). "Peristiwa 10 Maret: Kebijakan "Gunting Syafruddin" Berlaku di Indonesia hingga Satelit Palapa A2 Diluncurkan : Okezone Nasional". https://nasional.okezone.com/. Diakses tanggal 2020-10-15.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  2. ^ "Sejarah Hari Ini: 10 Maret, 69 Tahun Lalu Gunting Syafruddin Hebohkan Indonesia". Tribun Kaltim. Diakses tanggal 2020-10-16. 
  3. ^ "Gunting Uang ala Menkeu Syafruddin demi Atasi Krisis Ekonomi". tirto.id. Diakses tanggal 2020-10-15. 
  4. ^ "Hari ini 10 Maret : Kebijakan Moneter "Gunting Syafruddin"". Republika Online. 2013-03-10. Diakses tanggal 2020-10-15. 
  5. ^ Media, Kompas Cyber. "Gunting Syafruddin: Latar Belakang, Tujuan, dan Dampaknya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-10-15. 
  6. ^ MEDIA, PT AKURAT SENTRA; www.akurat.co. "Mengenal Kebijakan Moneter Gubernur Pertama BI, 'Gunting Syafruddin'". akurat.co. Diakses tanggal 2020-10-15. 

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gunting_Syafruddin&oldid=20492893"

Sanering atau devaluasi adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.[1] Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun rendah. Di akhir tahun 1950-an, Republik Indonesia terkena krisis keuangan hal tersebut membuat Presiden Sukarno beserta perangkat pemerintahannya mengambil tindakan darurat agar perekonomian negara bisa stabil, diantaranya adalah melakukan sanering dan redenominasi. Meskipun pada akhirnya kebijakan itu tidak berhasil hingga akhirnya menumbangkan rezim Orde Lama.[2]

 

Uang kertas sanering, devaluasi 25 Gulden

Pemerintahan Hatta di bawah Presiden RIS Soekarno, melalui menkeu Syafrudin Prawiranegara pada 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan pengguntingan nilai uang. Syafrudin Prawiranegara menggunting uang kertas bernilai Rp5,00 ke atas, sehingga nilainya berkurang separuh. Tindakan ini dikenal sebagai "Gunting Syafruddin".[3] Tujuannya untuk menutup defisit anggaran.[4]

24 Agustus 1959

Pemerintahan Presiden Sukarno melalui Menteri Keuangan yang dirangkap oleh Menteri Pertama Djuanda menurunkan nilai mata uang Rp1.000,00 dan Rp500,00 diturunkan nilainya menjadi Rp100 dan Rp50.[5] Sanering kedua dilakukan untuk mengatasi inflasi.[4]

13 Desember 1965

Walaupun perjuangan Irian Barat sudah dimenangkan pada tahun 1963, Pesiden Soekarno melakukan konfrontasi terhadap Malaysia, untuk memelihara koalisi semu segitiga antara dirinya dengan TNI dan PKI. Koalisi ini berantakan dengan pembunuhan, kudeta dan kontra kudeta 1 Oktober 1965. Sementara itu, pelaksanaan proyek-proyek besar seperti Asian Games 1962 menambah utang negara. Akhirnya pada tanggal 13 Desember 1965, Indonesia melakukan redenominasi[4] dengan mengganti uang lama dengan uang baru dengan kurs Rp1.000 akan diganti Rp1 baru. Namun akibatnya, inflasi segera melonjak sebesar 650%.

Menteri Keuangan Indonesia yaitu Sri Mulyani Indrawati menegaskan kepada masyarakat bahwa redenominasi berbeda dengan sanering yang pernah dilakukan pada 1959.[6] Redenominasi berarti menyederhanakan pecahan mata uang dengan mengurangi digit nol tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Sedangkan sanering adalah pemotongan nilai uang, sehingga terjadi  penurunan daya beli masyarakat.

Parameter Redenominasi Sanering
Aksi Penyederhanaan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka 0) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut Pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang
Pengaruh terhadap harga barang Berpengaruh Tidak berpengaruh
Daya beli Tetap Turun
Nilai uang terhadap barang
Kerugian Tidak Ya
Tujuan Mengefisienkan dan menyamankan transaksi Mengurangi jumlah uang beredar
Menyetarakan ekonomi dengan negara regional
Kondisi saat pelaksanaan Makrekonomi stabil, ekonomi bertumbuh, inflasi terkontrol Makroekonomi labil, hiperinflasi
Momentum pelaksanaan Bertahap, persiapan matang dan terukur Mendadak, tanpa persiapan
  • Denominasi (ekonomi)
  • Redenominasi

  1. ^ Media, Kompas Cyber. "Apa Perbedaan Redenominasi dengan Sanering?". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-10-09. 
  2. ^ "Krisis Ekonomi 1960-an: Sanering Gagal, Sukarno Dilengserkan". tirto.id. Diakses tanggal 2020-10-13. 
  3. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-13. Diakses tanggal 2013-11-23. 
  4. ^ a b c Tempo, Koran (2012-10-31). "Sosialisasi Redenominasi Butuh 3 Tahun - Ekonomi dan Bisnis - koran.tempo.co". Tempo. Diakses tanggal 2020-10-13. 
  5. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-13. Diakses tanggal 2013-11-23. 
  6. ^ Liputan6.com (2017-07-25). "Sri Mulyani: Redenominasi Rupiah Sangat Berbeda dengan Sanering". liputan6.com. Diakses tanggal 2020-10-13. 

  • [1] Diarsipkan 2010-05-26 di Wayback Machine.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sanering_(ekonomi)&oldid=20883905"