Titik-titik adalah arti dari pemimpin dimuka bumi ini

Lafadz Khalifah dalam bentuk mufrod/tunggal disebutkan dua kali di dalam al Quran:

  1. Al-Baqarah: 30, dalam tema awal penciptaan manusia.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, “Aku akan menciptkan di bumi ini seorang Khalifah”

  1. Shad: 26, dalam kisah pengangkatan Nabi Dawud sebagai Khalifah.

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Wahai Dawud, Aku telah jadikan dirimu sebagai Khalifah di bumi ini, maka tegakkan hukum di tengah-tengah manusia dengan kebenaran, jangan ikuti hawa nafsu sehingga menyesatkanmu dalam menempuh jalan Tuhanmu”

Para ulama berbeda pendapat dalam mentafsirkan lafadz khalifah yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30, namun tidak berbeda pendapat pada surat Shad ayat 26. Perbedaan tersebut seputar siapakah yang dimaksud sebagai “kholifah/pengganti” itu dan siapakah yang digantikannya?

Ada tiga pendapat yang disimpulkan Imam Mawardi untuk memberikan jawaban dan khazanah pemikiran dari perbedaan pendapat tersebut: Pertama, dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, Khalifah adalah Nabi Adam dan seluruh manusia, diciptakan untuk mengganti makhluk penghuni bumi sebelumnya. Kedua, Khalifah adalah seluruh anak-cucu Nabi Adam as. Mereka diciptakan dari generasi ke generasi, generasi pertama mengganti Nabi Adam, yang baru mengganti yang lama, berkesinambungan.  Pendapat ini dilontarkan tokoh dan ulama terkemuka periode tabi’in, Imam Hasan al-Bashri . Ketiga, pendapat Ibn Mas’ud, khalifah ditafisirkan dengan Nabi Adam dan juga sebagian anak-cucunya, diciptakan Allah menjadi pengganti-Nya dalam memberi keputusan hukum diantara manusia.

Sedangkan ayat-ayat yang menggunakan kata turunan/derivasi dari Khalifah, khususnya bentuk jamak (khalaif fil-ardl) dan kata (khulafa) dalam kumpulan ayat berikut : Al-An’am: 165 (khalaif al-ardl),  Fathir: 39, Yunus: 14 (khalaif fil-ardl) dan an-Naml: 62. Dari kumpulan ayat-ayt tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sosok Khalifah berlaku umum dan khusus:

1-            Khalifah berlaku umum untuk seluruh manusia, pemahaman ini berdasar pada Al-An’am: 165, Fathir: 39 (khalaif al-ardl) dan An-Naml: 62 (khulafa al-Ardl). 

Ada bebrapa ayat yang senada dengan ayat diatas, yaitu:  Al-An’am: 133 (yastakhlifu),  Az-Zukhruf: 60 (yakhlufun) , An-Naml: 62, al-Baqarah: 30 dan al-A’raf: 129 (wayastakhlifakum)

2-            Khalifah digunakan lebih khusus untuk menyebut sebuah generasi manusia atau suatu bangsa tertentu.

Sebagaimana lafadz (khalaif) dalam Yunus: 73, untuk menunjuk pengikut Nabi Nuh yang menggantikan penduduk bumi yang telah musnah karena banjir .

lafad (Khulafa) dalam al-A’raf: 69, untuk menunjuk kaum ‘Ad (kaum Nabi Hud) sebagai pengganti kaum Nabi Nuh. 

Lafadz yang sama di al-A’raf: 74 ditujukan kepada kaum Tsamud (kaum Nabi Shalih) sebagai pengganti kaum ‘Ad.

Lafatdz-lafadz tersebut bermakna masing-masing bangsa mengganti bangsa sebelumnya bukan dalam menduduki tempat atau kawasan tertentu, namun dalam memakmurkan bumi.

3-            Khalifah digunakan lebih khusus lagi, untuk individu yaitu Nabi Dawud, yaitu dalam Shad: 26 karena mengganti nabi sebelumnya .

Khalifah, khulafa atau khalaif, menurut istilah Quran dapat disimpulkan sebagai manusia atau kumpulan manusia yang mampu mengemban amanah keadilan dalam memakmurkan bumi sehingga mereka menjadi manusia yang patut menggantikan generasi sebelumnya sebagai umat yang maju peradabannya dan menjadi poros dunia.

Dan untuk umat  Muhammad saw,  Allah swt berjanji kepada mereka akan menjadi khulafa di bumi jika mereka beriman dan bertindak kebaikan, sebagaimana ayat berikut:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚيَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚوَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur : 55)

Perbedaan Makna Khalifah dalam al-Qur’an dan Fiqh Siyasah

Melihat makna lafadz Khalifah  di atas dapat disimpulkan bahwa Khalifah dalam al Quran tidak dapat difahami secara manthuq/eksplisit sebagai kepala pemerintahan ataupun pimpinan dalam sebuah negara.

Dan bila melihat kesamaan lafadz Khalifah dalam al Quran dan Khalifah dalam istilah ilmu politik Islam (fiqh siyayah syar’iyyah), maka hanya terdapat kesepadanan bahasa saja, karena sama-sama sebagai pengganti dalam kedudukan tertentu, yaitu makna yang diambil dari kata kholafa-yakhlufu.

Imam Thabari sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kepala negara/sulthon disebut Khalifah karena dia mengganti kedudukan kepala negara sebelumnya.

ومن ذلك قيل للسلطان الأعظم: خليفة، لأنه خلف الذي كان قبله، فقام بالأمر مقامه

“Maka dari itu dinamakanlah pemimpin tertinggi itu dengan Khalifah, karena dia berada setelah orang yang sebelumnya dan dia menggantikan kedudukannya”

Sebagai perbedaan mendasar, Khalifah dalam ranah penafsiran lafadz yang ada di dalam ayat-ayat al Quran baik yang bermakna umum ataupun khusus muncul karena Allah menginginkan makna tersebut tumbuh dengan berbagai perbedaan maknanya dalam konteks kebahasaan. Dan Khalifah dalam ranah fiqh siyayah syariyyah yang bermakna pemimpin tertinggi, muncul karena perkembangan hadhoroh, madaniyyah dan tsaqofah Islam.

Fungsi Manusia sebagai Khalifah di muka bumi

 Sebagai Khalifah di bumi, manusia memunyai peranan penting yang dijalankan samapai akhir zaman, diantaranya :

  1. Memakmurkan Bumi (al-'imarah)

Pembangunan materi, dengan memanfaatkan kekayaan alam yang telah disediakan Allah di muka bumi tercinta ini dengan arahan dan syariat yang lurus. Khalifah jugaharus berupaya untuk menjadikan manusia pada zamannya memiliki peradaban yang baik.

  1. Memelihara Bumi (ar-ri'ayah)

Khalifah menjaga bumi dari kerusakan atau kehancuran alam, baik itu yang disebabkan alam sendiri maupun oleh tangan-tangan jahil para manusia.

Khalifah memiliki fungsi untuk melindungi bumi dan seisinya, yang terkandung atas lima pokok kehidupan yaitu, agama (aqidah), jiwa manusia, harta kekayaan, akal pikiran, dan keturunan (kehormatan).

Melihat betapa besarnya peran manusia diatas, maka para Malaikat bersujud kepada Nabi Adam sebagai penghormatan betapa besarnya peranan dari makhluk baru yang diciptakan oleh Allah swt, sujud yang menandakan betapa besarnya jati diri manusia itu dari para malaikat, sujud yang menandakan betapa identitas manusia itu sangat dimuliakan oleh Allah swt.

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ (الكهف: 50)

"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya."

Kredit ilustrasi: Facebook

DALAM Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 30-33, Allah berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku me-ngetahui apa yang tidak Engkau ketahui.”  Dia mengajar kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian memaparkannya kepada para malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepadaKu nama-nama benda itu, jika kamu ‘orang-orang’ yang benar.” Mereka berkata: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini!” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan kamu sembunyikan?”

***

Ayat tersebut memberikan refleksi tentang satu cerita yang populer di kalangan umat Islam. Suatu ketika, Allah men-tanfidz-kan Nabi Adam sebagai Khalifatullah fil ardli –kira-kira berarti “penanggung jawabdi muka bumi”— kepada para malaikat. Tentu malaikat sedikit komplain: bagaimana mungkin makhluk yang banyak berbuat kerusakan ini kemudian bisa mendapatkan ganjaran sebagai khalifah? Tapi Allah memberikan satu anugerah yang lain terkait hal ini: pengetahuan, yang memungkinkan manusia untuk bisa menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Allah memberikan tes sederhana: menyebutkan nama-nama benda yang ada di bumi, sebagai pertanda mengenai pengetahuan manusia yang (mungkin) bisa digunakan untuk mengelola bumi.

Menurut Syaikh Mustafa Al-Maraghi, sebagaimana dikutip oleh Wahib Mu’thi dalam artikelnya, Khalifah berarti pengganti, yaitu pengganti dari jenis makhluk yang lain, atau  pengganti, dalam arti makhluk yang diberi wewenang oleh Allah agar  melaksanakan perintahNya di muka bumi. Artinya, “khalifah” berarti bertanggung jawab dari semua makhluk di muka bumi untuk mengelola semua ciptaan Allah yang ada di muka bumi, baik yang hidup maupun yang mati.

Mengapa manusia –dan bukan yang lain—yang diberi kepercayaan? Ayat tersebut menggariskan dua hal penting: pengetahuan untuk ‘mengelola’ bumi dan seisinya, serta (melalui pengetahuan itu) kemampuan untuk menghindari pertumpahan darah dan kerusakan.

***

Istilah Khilafah kemudian mengalami perluasan makna untuk menyebut ‘pemimpin’. Secara spesifik, ia tidak lagi ditujukan pada manusia secara umumnya, tetapi secara lebih khusus ditujukan pada orang-orang yang mendapatkan kekuasaan. Selepas Nabi Muhammad wafat, istilah Khalifah menjadi lebih spesifik lagi, yaitu ‘pemimpin umat Islam’ dari masa Khulafaurrasyidin hingga khilafah Umayyah, dan Abbasiyah.

Rekan-rekan Hizbut Tahrir, juga Daesh, kemudian menggaungkan jargon ini untuk proyek politik mereka di abad ke-21, yaitu mengembalikan kekuasaan ‘Islam’ di muka bumi, yang konon sudah tercerabut karena hegemoni sekularisme Barat sejak awal abad ke-20.

Tulisan ini tidak membahas aspirasi tersebut. Tapi jika kita lihat konteks ayat tersebut, juga konteks ayat-ayat lain, sesungguhnya ide tentang “Khilafah” bermakna jauh lebih luas: Khilafah juga bermakna tanggung jawab untuk mengayomi semua yang berada dalam jangkauan kekuasaan seorang makhluk. Sebagai khalifatullah fil ‘ardli, “pengganti” Allah di muka bumi, ada tanggung jawab yang melekat pada manusia untuk menjaga seluruh isi muka bumi dari kerusakan dan pertumpahan darah.

Ayat-ayat lain menegaskan tanggung jawab manusia sebagai khalifah ini untuk menjaga bumi dari kerusakan. Di Surah Al-Baqarah ayat 60, Allah berfirman, “Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” Di ayat tersebut, bukan hanya Allah melarang kita untuk berbuat kerusakan di berbagai belahan bumi (dengan teknologi perang yang tidak bernafas etis, misalnya), tetapi juga menegaskan dua ruang yang harus dijaga karena berdampak pada orang banyak: tempat untuk makan dan minum (atau, jika kita bawa dalam konteks yang luas, kita mungkin bisa menyebutnya sebagai “alat produksi”).

Dalam Al-Qur’an Surah Al-An’am ayat 165, Allah juga berfirman, “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kesemua ayat tersebut menandaskan tugas etis Khalifah, yaitu menjaga pertumpahan darah dan menjaga bumi dari kerusakan.

***

Pada awal tahun ini, anak-anak sekolah di negara-negara Eropa, Australia, dan Amerika Serikat turun ke jalan dalam aksi School Strike for Climate, menuntut agar pemimpin-pemimpin dunia bertindak lebih tegas untuk merespons perubahan iklim. Saya berkesempatan untuk mengikuti aksi yang digelar oleh anak-anak sekolah menengah dan sekolah dasar di Brisbane, yang berisi orasi dan long march menuju gedung parlemen. Awal Februari 2019, Anggota House of Representative Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Alexandria Ocasio-Cortez, merilis rancangan UU yang populer dengan istilah Green New Deal. Dokumen setebal 14 halaman tersebut berisi rasionalisasi 15 kebijakan ramah lingkungan dan percepatan transisi menuju ekonomi yang berkelanjutan, pemenuhan hak-hak dasar warga, konsultasi dengan masyarakat indigenous terkait dengan industri, dan pengurangan emisi.

Gagasan-gagasan serupa juga diperjuangkan oleh beragam lapisan masyarakat di Indonesia. Masyarakat di Pegunungan Kendeng, sudah sejak lama menolak pertambangan salah satu BUMN yang ingin mendirikan pabrik. Di berbagai daerah, kelompok-kelompok masyarakat dan ulama lokal bahu-membahu untuk memperjuangkan hak-hak mereka di tengah industrialisasi yang mengeksploitasi alam. Perjuangan mereka tentu tidak mudah. Di masa dimana orang-orang yang menolak “pertumbuhan ekonomi” terancam nyawanya, aktivitas untuk membela hak-hak warga desa untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan nyaman justru dihadang oleh represi dari aparat negara.

Saya tidak bertanya lagi, apakah Islam menyuruh kita untuk peduli pada lingkungan. Pandangan Islam terkait hal ini sudah jelas. Nash Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi telah banyak menganjurkan kita untuk peduli pada kerusakan lingkungan. Ulama-ulama kontemporer juga sudah merumuskan banyak fikih terkait dengan air, penanggulangan bencana, hingga masalah-masalah etika dalam bisnis dan industri.

Tapi, saya kira ada hal lain yang lebih patut kita tanyakan: mengapa agenda-agenda untuk merespons perubahan iklim dan kerusakan lingkungan tidak didorong masuk ke legislasi-legislasi nasional, atau kebijakan yang lebih luas, oleh partai-partai Islam? Mengapa masalah lingkungan minim sekali dibahas ketika kampanye, yang notabene banyak sentimen terkait identitas Umat Islam muncul dalam berbagai narasi? Atau, mengapa banyak negara berpenduduk muslim yang kaya seperti Saudi atau negara-negara Petro-Dollar yang justru tidak banyak mendorong pengelolaan lingkungan yang baik?

Bisa jadi ada satu fakta yang jelas: ada keterputusan antara gagasan tentang Khilafah dan interpretasinya yang lebih luas, sebagaimana saya utarakan di atas, dengan agenda politik umat Islam. Selama ini, agenda politik umat Islam ketika Pemilu diletakkan di atas gagasan kosong: Islam didudukkan tanpa diamalkan ajarannya, tanpa dikontekstualisasikan ajarannya untuk menjawab tantangan zaman, dan tanpa dipahami isi ajarannya. Ketika Pemilu, umat Islam disesatkan oleh ajakan untuk menjaga kepentingan umat Islam tanpa kemudian ada pembahasan kritis tentang seperti apa dan bagaimana Islam diejawantahkan di abad ke-21.

Akibatnya, yang terjadi adalah polarisasi identitas Islam tanpa disertai oleh perdebatan dan diskusi konstruktif tentang bagaimana memahami dan menjalankan ajaran Islam di abad ke-21. Secara lebih spesifik, kita diberikan khutbah tentang pentingnya politik dan menegakkan Khilafah tanpa kemudian melihat bahwa menjadi khilafah di muka bumi berarti juga mencegah pertumpahan darah dan menjaga diri dari berbuat kerusakan.

***

Pada titik inilah, penting untuk memberikan pemahaman yang lebih kritis dan riil tentang ‘khalifah Allah di muka bumi’ pada generasi muda. Kita perlu imajinasi tentang “khilafah” yang lebih progresif, yaitu “khilafah” yang mencegah pertumpahan darah dan kerusakan apapun di muka bumi.  Dengan kata lain, kita juga perlu “khilafah” yang menjaga lingkungan, berbuat adil kepada sesama, mengayomi kaum minoritas, dan khilafah yang berorientasi pada perdamaian dan nilai-nilai anti-kekerasan. Artinya, menjadi “khilafah” bukan berarti sekadar institusi abad pertengahan yang dipaksakan untuk berdiri di abad ke-21 dengan senjata, tetapi justru komitmen etis kita sebagai umat Islam untuk mencegah pertumpahan darah esame manusia dan menjaga bumi dan seisinya dari kerusakan.

Dengan cara pandang ini, istilah Khilafah juga perlu diejawantahkan menjadi gerakan politik yang berbeda dengan apa yang dibawa oleh Daesh. Khilafah, dalam konteks ini, secara politis bisa bermakna komitmen pemerintah untuk penurunan suhu 1,5oC, mengurangi emisi, mencegah kenaikan air laut, hingga mendorong hak-hak orang-orang desa yang ingin bertani di tengah-tengah ekspansi perusahaan-perusahaan tambang. Atau, bisa jadi bermakna perbaikan regulasi terkait dengan pemberian izin operasi untuk pertambangan yang semakin hari semakin tidak beraturan.

Menjadi Khalifah Allah di muka bumi di abad ke-21, dengan demikian, menjadi semakin berat. Pada titik inilah kesadaran teologis kita sebagai seorang Muslim juga mesti dibarengi dengan kesadaran lingkungan. Jangan sampai, khutbah-khutbah Jumat kita dipenuhi oleh ajakan untuk tidak memilih pemimpin dengan identitas tertentu, sementara kita lupa bahwa di kabupaten sebelah, udara semakin panas karena truk batubara yang hilir-mudik tanpa memedulikan dampak lingkungan.

Semoga Allah melindungi kita dari berbuat kerusakan di muka bumi.

Afalaa tadzakkaruun?***

Ahmad Rizky Mardhatillah Umaradalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia