Ketika manusia berbuat kejahatan di bumi Allah akan

Ladies, tentu pernah mendengar ajakan untuk berbuat baik kepada sesama, entah itu dari orang tua, guru, atau pemuka agama. Pernahkah muncul di benak ladies soal mengapa kita harus berbuat baik kepada sesama? Apa manfaat melakukan kebaikan tersebut, untuk mendapatkan pahala atau balasan perbuatan baik? Ladies, jika mengingat ayat Al-Qur’an, ajakan untuk berbuat baik kepada sesama itu lebih dari sekadar upaya mendapat pahala maupun balasan. Yuk, simak beberapa kutipan Al-Qur’an yang mengajarkan kita untuk giat berbuat baik dengan hati tulus!

Kebahagiaan datang bagi yang berbuat baik

“[…] Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." Kutipan ini berasal dari surat Al-A'raf: 56. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa rahmat Allah senantiasa ada bagi siapapun yang tulus menyebarkan kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya. 

Ayat ini dapat ditafsirkan bahwa berbuat baik akan mendatangkan kasih sayang dari Allah SWT di dunia maupun akhirat. Melakukan perbuatan baik akan membuka pintu kebahagiaan, kesehatan, dan  ketenangan hati. Berbuat baik bisa juga diartikan sebagai satu langkah lebih dekat untuk meraih rahmat Allah. 

Selalu ingat kebaikan yang datang dari Allah SWT 

Terkadang sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, kita lupa untuk bersyukur. Padahal, semua yang ada pada diri kita adalah nikmat pemberian Sang Khalik, mulai dari kesehatan, harta, hingga pengetahuan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 122 yang berbunyi, “Ingatlah nikmat yang telah Aku berikan kepadamu.”

Allah tidak pernah meminta manusia untuk membalas seluruh nikmat-Nya dengan harta benda. Dalam firman-Nya, Allah hanya meminta manusia untuk mengingat nikmat yang telah Ia berikan. Nah, berbuat baik kepada sesama adalah salah satu cara mengingat nikmat pemberian Allah SWT. Menolong sesama dan tidak menzalimi orang lain merupakan tindakan sederhana yang membantu kita untuk tidak mengingkari nikmat dari Allah SWT serta menjadi cerminan kebaikan yang datang dari Allah SWT. 

Berbagi kebaikan juga untuk diri sendiri

Beberapa orang beranggapan bahwa berbuat baik itu bertujuan untuk mendapatkan manfaat berarti. Anggapan yang tidak salah, namun sejatinya, perbuatan baik kita kepada orang lain layaknya “boomerang” bagi diri kita sendiri. Jadi, saat kamu menolong orang lain, bukan hanya mereka yang merasakan manfaatnya, tetapi kamu pun juga, ladies. 

Hal ini disebutkan di surat Al-Isra’ ayat 7 yang berbunyi, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.” Kebaikan untuk orang lain akan mendatangkan kebaikan untuk diri sendiri. Sebaliknya, perbuatan buruk kepada orang lain juga akan mendatangkan keburukan bagi siapapun yang melakukannya.

Terus bersyukur dan bersikap positif

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Ia akan menjadikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka […]" Dalam surat Ath-Thalaq ayat 2-3, Allah menjanjikan jalan keluar berupa rezeki yang tak terduga bagi umat-Nya yang bertakwa dan senantiasa tawakal. Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu bersikap positif dan husnuzan (berprasangka baik) kepada Allah SWT. Rajin beribadah dan melakukan kebaikan akan meningkatkan ketakwaan kita. Selalu ingat janji Allah bahwa Ia akan memberi rezeki dan jalan keluar bagi ciptaan-Nya yang berjalan lurus sesuai ajaran-Nya.

Setiap langkah baik sangatlah berarti

Terkadang, manusia ragu untuk berbuat baik kepada sesama karena merasa kebaikannya tidak cukup bernilai. Namun, sebenarnya sebuah kebaikan tetaplah kebaikan dan lebih baik dari beribu keburukan. Allah menyatakan hal ini melalui firman-Nya dalam surat Al-Maidah ayat 100, “Katakanlah (Muhammad), ‘Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu.’”

Setiap kebaikan, meskipun kecil bentuknya, akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Begitu pula dengan keburukan, seremeh apa pun bentuknya juga akan mendapat ganjaran. "Barangsiapa yang berbuat kebaikan (sebesar biji dzarrah), niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan (sebesar biji dzarrah), niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula."

Jadi, jangan merasa ragu untuk selalu berbuat baik, sekecil apapun itu. Setiap langkah baikmu berarti dan Allah SWT pun telah menjanjikan balasan untuk setiap kebaikan yang dilakukan oleh manusia. Semoga kutipan ayat-ayat Al-Qur’an di atas bisa menginspirasimu untuk berbuat baik kepada sesama ya. Mulai tebarkan kebaikan dan beri manfaat bagi sesama dengan Wardah #LangkahBaikmuBerarti. Yuk, share pengalamanmu tebarkan kebaikan di sini!

 Baca Juga : Bincang Positif Bersama Dian Sastrowardoyo Tentang Arti Wanita Kuat dan Mandiri

TEMPO.CO, Jakarta - Umat manusia diutus Allah SWT sebagai wakilnya untuk memimpin bumi, di dalam Al Quran banyak disebut perkara perihal manusia adalah khalifah Allah yang diberi tanggung jawab atas kelestarian alam. Dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 30 dengan jelas Allah berfirman:

Ketika manusia berbuat kejahatan di bumi Allah akan
Al Baqarah 30

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? Dia berfirman, Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).


Selain diwajibkan untuk beribadah, Allah juga memberikan fasilitas yang bisa manusia panen di bumi sebagai bekal hidup. Namun karena sudah tabiatnya, keserakahan manusia akan harta benda membuatnya lalai akan tugas menjaga kelestarian alam. Sehingga terbuktilah apa yang Allah firmankan dalam alquran surah Ar rum ayat 41-42 yang berbunyi:

Ketika manusia berbuat kejahatan di bumi Allah akan
Ar Rum 41

Ketika manusia berbuat kejahatan di bumi Allah akan
Ar Rum 42

Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. Ar-rum: 41-42)

Ayat tersebut diturunkan untuk menegaskan bahwa ulah manusialah yang menjadi penyebab berbagai kerusakan yang terjadi di darat dan bahkan di laut.

Dalam ayat tersebut Allah juga memperingatkan manusia untuk kembali ke jalan yang benar, tidak merusak alam sesuka hatinya demi menuruti nafsu diri, agar apa yang orang terdahulu alami tidak menimpa pada dirinya. Karena mereka yang melenceng dari jalan kebenaran sebagaimana nenek moyang mereka lakukan Allah katakan sebagai orang-orang musyrik.

Berbagai bencana alam berupa kerusakan di darat dan di laut merupakan salah satu akibat dari kejahatan orang-orang yang berdosa. Kekeringan, banjir, gunung meletus, badai, semua itu bukan hanya faktor bencana alam, tapi juga akibat dari kejahilan tangan-tangan manusia.

Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Ketika ada orang yang sering berbuat dosa itu mati, maka hamba-hamba Allah SWT, seperti manusia, bumi, pohon dan hewan-hewan merasa lega”. (HR.Bukhori dan Muslim).

Seperti yang sudah disebutkan di dalam Al quran, manusia punya tanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam.  

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Baca juga: Lima Amalan Doa agar Terhindar dari Bencana Alam

Kebanyakan manusia yang hidup di jaman sekarang ini, menjadikan barometer dalam menilai hal-hal yang terjadi di sekitarnya dengan perkara-perkara lahir yang nampak dalam pandangan mereka, sebagai akibat dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan kecintaan terhadapa dunia dalam diri mereka.

Mereka lalai dari memahami hakekat semua kejadian tersebut, karena mereka tidak memiliki keyakinan yang kokoh terhadap perkara-perkara yang gaib (tidak nampak) dan lupa pada kehidupan abadi di akhirat nanti.

Allah Ta’ala berfirman:

{يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ}

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS ar-Ruum:7).

Sebagai contoh nyata dalam hal ini, memahami arti “kerusakan di muka bumi” yang sebenarnya. Sementara ini, banyak orang, tidak terkecuali kaum muslimin, yang mengartikan “kerusakan di muka bumi” hanya sebatas pada hal-hal yang nampak, seperti bencana alam, kebakaran, pengrusakan hutan, tersebarnya penyakit menular dan lain sebagainya.

Mereka melupakan kerusakan-kerusakan yang tidak kasat mata, padahal ini adalah kerusakan yang paling besar dan fatal akibatnya, bahkan kerusakan inilah yang menjadi sebab terjadinya kerusakan-kerusakan “lahir” di atas.

Arti “kerusakan di muka bumi” yang sebenarnya

Allah Ta’ala berfirman,

{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)[1] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).

Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan bahwa semua kerusakan yang terjadi di muka bumi, dalam berbagai bentuknya, penyebab utamanya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Maka ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti “kerusakan” yang sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.

Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyaahi[2] berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan ketaatan (kepada Allah Ta’ala)”[3].

Imam asy-Syaukaani ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Dalam ayat ini) Allah menjelaskan bahwa perbuatan syirk dan maksiat adalah sebab timbulnya (berbagai) kerusakan di alam semesta”[4].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Allah Ta’ala memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”[5].

Tidak terkecuali dalam hal ini, musibah dan “kerusakan” yang terjadi dalam rumah tangga, seperti tidak rukunnya hubungan antara suami dan istri, serta seringnya terjadi pertengkaran di antara mereka, penyebab utama semua ini adalah perbuatan maksiat yang dilakukan oleh sang suami atau istri.

Inilah makna yang diisyaratkan dalam ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…”[6].

Oleh sebab itu, Allah menamakan orang-orang munafik sebagai “orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi”, karena buruknya perbuatan maksiat yang mereka lakukan dalam menentang Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ، أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ}

“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS al-Baqarah:11-12).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Melakukan maksiat di muka bumi (dinamakan) “berbuat kerusakan” karena perbuatan tersebut menyebabkan rusaknya apa yang ada di muka bumi, seperti biji-bijian, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, karena terkena penyakit yang disebabkan perbuatan maksiat. Demikian juga karena melakukan perbaikan di muka bumi adalah dengan memakmurkan bumi dengan ketaatan dan keimanan kepada Allah, yang untuk tujuan inilah Allah menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, serta melimpahkan rezeki kepada mereka, agar mereka menjadikan (nikmat tersebut) sebagai penolong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah, maka jika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allah (maksiat) berarti mereka telah mengusahakan (sesuatu yang menyebabkan) kerusakan dan kehancuran di muka bumi” [7].

Maka kematian orang-orang pelaku maksiat merupakan sebab utama berkurangnya kerusakan di muka bumi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Kematian) seorang hamba yang fajir (banyak berbuat maksiat) akan menjadikan manusia, negeri, pepohonan dan binatang terlepas (terselamatkan dari kerusakan karena perbuatan maksiatnya)”[8].

Syirik dan bid’ah sebab terbesar kerusakan di muka bumi

Dikarenakan perbuatan syirik (menyekutukan Allah dalam beribadah) adalah dosa yang paling besar di sisi Allah, maka kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan ini sangat besar, bahkan perbuatan inilah yang menjadi sebab utama kerusakan terbesar di muka bumi.

Imam Qatadah[9] dan as-Suddi berkata, “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik, dan inilah kerusakan yang paling besar” [10].

Demikian juga perbuatan bid’ah[11] dan semua seruan dakwah yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah r, pada hakekatnya merupakan sebab terbesar terjadinya kerusakan di muka bumi. Karena petunjuk dan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya aturan untuk memakmurkan dan mensejahterakan alam semesta, sehingga semua seruan agama yang bertentangan dengan petunjuk beliau adalah sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi.

Oleh karena itu, imam Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy Al Kuufi[12] ketika ditanya tentang makna firman Allah Ta’ala,

{وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…”.

Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia, (sewaktu) mereka dalam keadaan rusak, maka Allah memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga barangsiapa yang mengajak (manusia) kepada selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi”[13].

Cara mengatasi dan memperbaiki kerusakan di muka bumi

Karena sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dengan segala bentuknya, maka satu-satunya cara untuk memperbaiki kerusakan tersebut adalah dengan bertobat dengan taubat yang nasuh[14] dan kembali kepada Allah. Karena taubat yang nasuh akan menghilangkan semua pengaruh buruk perbuatan dosa yang pernah dilakuakan.

Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang telah bertobat (dengan sungguh-sungguh) dari perbuatan dosanya, adalah seperti orang yang tidak punya dosa (sama sekali)”[15].

Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala di atas,

{لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“…supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).

Artinya: agar mereka kembali (bertobat) dari perbuatan-perbuatan (maksiat) yang berdampak timbulnya kerusakan besar (dalam kehidupan mereka), sehingga (dengan tobat tersebut) akan baik dan sejahteralah semua keadaan mereka” [16].

Dalam hal ini, sahabat yang mulia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anha pernah mengucapkan dalam doanya: “Ya Allah, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang malapetaka tersebut kecuali dengan taubat (yang sungguh-sungguh)…”[17].

Maka kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mempelajari, memahami dan mengamalkannya adalah solusi untuk menghilangkan kerusakan di muka bumi dalam segala bentuknya, bahkan menggantikan kerusakan tersebut dengan kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan. Karena memang agama Islam disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang maha sempurna ilmu dan hikmah-Nya[18], untuk kebaikan dan kemaslahan hidup manusia. Allah Ta’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[19] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).

Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[20].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون}

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS al-A’raaf:96).

Ketika manusia berbuat kejahatan di bumi Allah akan
Ketika manusia berbuat kejahatan di bumi Allah akan

Artinya: Kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan dibuktikan dengan amalan shaleh, serta merealisasikan ketakwaan kepada Allah I lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allah akan membukakan bagi mereka (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi, dengan menurunkan hujan deras (yang bermanfaat), dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka, (mereka hidup) dalam kebahagiaan dan rezki yang berlimpah, tanpa ada kepayahan, keletihan maupun penderitaan, akan tetapi mereka tidak beriman dan bertakwa maka Allah menyiksa mereka karena perbuatan (maksiat) mereka” [21].

Oleh karena itu, “orang-orang yang mengusahakan perbaikan di muka bumi” yang sebenarnya adalah orang-orang yang menyeru manusia kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengajarkan dan menyebarkan ilmu tentang tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia.

Mereka inilah orang-orang yang menyebabkan kemaslahatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya, tidak terkecuali hewan-hewan di daratan maupun lautan ikut merasakan kebaikan tersebut, sehingga mereka senantiasa mendoakan kebaikan dari Allah untuk orang-orang tersebut, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada mereka[22].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang berilmu (dan mengajarkan ilmunya kepada manusia) akan selalu dimohonkan pengampunan dosa baginya oleh semua makhluk yang ada di langit (para malaikat) dan di bumi, sampai-sampai (termasuk) ikan-ikan yang ada di lautan…”[23].

Sekaligus ini menunjukkan bahwa kematian orang-orang berilmu yang selalu mengajak manusia kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda akan munculnya malapetaka dan kerusakan besar dalam kehidupan manusia. Karena dengan wafatnya mereka, akan berkurang penyebaran ilmu tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah manusia, yang ini merupakan sebab timbulnya kerusakan dan bencana dalam kehidupan.

Dalam hal ini, imam al-Hasan al-Bashri[24] pernah berkata: “Kematian orang yang berilmu merupakan kebocoran (kerusakan) dalam Islam yang tidak bisa ditambal (diperbaiki) oleh apapun selama siang dan malam masih terus berganti”[25].

Penutup

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dalam mengajak mereka untuk selalu kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, yang itu merupakan sumber kebaikan dan kebahagiaan hidup yang hakiki bagi mereka.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 2 Rabi’ul awwal 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/576).

[2] Beliau adalah Rufai’ bin Mihran ar-Riyaahi (wafat 90 H), seorang Tabi’in senior yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r , lihat “Taqriibut tahdziib” (hal. 162).

[3] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/576).

[4] Kitab “Fathul Qadiir” (5/475).

[5] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 759).

[6] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab “ad-Da-u wad dawaa'” (hal. 68).

[7] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 42).

[8] HSR al-Bukhari (6512) dan Muslim (no. 2245).

[9] Beliau adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r (lihat kitab “Taqriibut tahdziib”, hal. 409).

[10] Dinukil oleh imam al-Qurthubi dalam tafsir beliau (14/40).

[11] Yaitu mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, yang tidak dicontohkan oleh Nabi r.

[12] Beliau adalah imam dari kalangan atba’ut tabi’in senior, seorang ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rsulullah r (wafat 194 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 576).

[13] “Tafsir Ibni abi Hatim Ar Raazi” (6/74) dan “Ad Durrul mantsuur” (3/477).

[14] Yaitu taubat yang benar dan sungguh-sungguh, sehingga menghapuskan dosa-dosa yang lalu. Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (8/168).

[15] HR Ibnu Majah (no. 4250) dan ath-Tahbraani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 10281) dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan syaikh al-Albani. Lihat “adh-Dha’iifah” (no. 615).

[16] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 643).

[17] Dinukil oleh imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam “Fathul Baari” (3/443).

[18] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari

kesempurnaan ilmu Allah I, lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 131).

[19] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).

[20] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).

[21] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 298).

[22] Lihat kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/64) dan “Faidhul Qadiir” (4/268).

[23] HR at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Majah (no. 223), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[24] Beliau adalah al-Hasan bin abil Hasan Yasar al-Bashri (wafat 110 H), seorang imam besar dan termasyhur dari kalangan tabi’in. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 160).

[25] Diriwayatkan oleh imam Ad-Darimi dalam kitab “as-Sunan” (no. 324) dengan sanad yang shahih.

🔍 Nikmat Sakit, Balaslah Kejahatan Dengan Kebaikan, Fiqih Cinta, Doa Nikah Barakallah