Tindakan berikut yang dapat mengancam kelestarian rumah adat adalah

Upaya Mitigasi Terhadap Bangunan Cagar Budaya Berbahan Kayu

Vinda Deby Anggraini

Jurusan Arkeologi Angkatan 2015, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi

Pendahuluan

Bangsa Indonesia memiliki banyak benda dan bangunan cagar budaya yang tersebar di seluruh kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik yang ada di wilayah kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik yang ada di wilayah perairan maupun daratan. Setiap benda memiliki keunikan, kekhasan dan kekhususan dalam hal bahan, wujud, bentuk, periode waktu pembuatan serta latar belakang etnik budaya leluhur pembuat benda dan bangunan yang berstatus sebagai cagar budaya.

Cagar Budaya yang tersebar di berbagai wilayah, salah satu nya yaitu Bangunan Cagar Budaya.  Menurut Undang-Undang RI No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Undang-undang, 1992) (UU,2010, bahwa yang dimaksud dengan Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam aau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan atau tidak berdinding dan beratap. Adapun bangunan ini memiliki kriteria seperti a). berusia 50 tahun atau lebih; b) mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun; c) memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan d). memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Dan bangunan itu Bangunan Cagar Budaya dapat berunsur tunggal atau banyak, dan/atau berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.

Mundardjito menyatakan, bahwa setiap benda dan bangunan cagar budaya merupakan sumberdaya budaya bagi etnik dan suku bangsa pembuatnya Mengingat bahwa bangsa Indonesia merupakan kesatuan dari berbagai etnik dan suku bangsa yang berdomisili di setiap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka setiap benda dan bangunan cagar budaya juga menjadi sumber budaya bagi bangsa Indonesia. Budaya Indonesia terwujud dari puncak-puncak budaya setiap etnik dan suku bangsa penyusun bangsa Indonesia (Akbar, 2010).

Kerentanan terhadap bencana yang mengancam Bangunan Cagar Budaya salah satu nya yaitu pada bangunan kayu perlu diperhatikan, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi generasi yang akan datang mengingat nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya. Secara lebih khusus pada jenis cagar budaya berupa bangunan, potensi ancaman yang merusak relatif lebih besar. Hal ini merupakan fenomena tersendiri, sebagaimana dapat dilihat pada bangunan cagar budaya berupa rumah-rumah tradisional atau rumah adat di seluruh Indonesia. Bangunan Cagar Budaya berarsitektur tradisonal yaitu seperti Balai Silaga-laga yang terbuat dari bahan kayu.

Balai silaga-laga

Balai Silaga-laga terletak di Jl. Batang Piaman, Korong Bintungan Kajai, Nagari Gunung Padang Ala, Kec. V Koto Timur, Kab. Padang Pariaman. Balai Silaga-laga merupakan bangunan yang berbentuk rumah panggung yang dipergunakan sebagai tempat belajar ilmu silat. Rumah ini terbuat dari kayu dengan arsitektur Minangkabau. Rumah berkontruksi kayu ini didirikan oleh Ninik Mamak Batang Piaman yang bernama Data Hitam sekitar tahun 1800-an. Bahkan tempat ini merupakan awal mula sejarah penduduk V Koto bermula.

Balai Silaga-laga berdenah bujur sangkar dengan ukuran panjang masing-masing sisi adalah 10 m, dan tinggi 15 m. Bangunan ini ditopang oleh 9 (Sembilan) buah tiang utama yang berbentuk segi delapan dengan ukuran tiang berdiameter 40 cm, selain ditopang oleh tiang utama bangunan ini juga ditopang oleh 12 tiang pembantu yang tersebar di sekeliling bangunan. Tiang pembantu ini juga berbentuk segi delapan dengan ukuran berdiameter 25 cm. Seperti halnya bangunan rumah panggung pada umumnya untuk akses masuk ke dalam rumah memakai tangga naik yangterbuat dari plesteran semen dan berada di sisi Barat. Tinggi panggung rumah adalah 1 meter dari permukaan tanah. Panggung rumah ditopang oleh 9 (Sembilan) tiang utama yang berada di sekeliling sisi bangunan, sedang tiang pembantu lainnya berjumlah 12 (dua belas) tersebar dibagian dalamnya. Atap rumah ini merupakan atap model tumpang dua yang terbuat dari seng. Atap tumpang pertama berbentuk limas ditopang dengan kontruksi kasau dan reng kayu. Sedangkan atap tumpang kedua berbentuk gonjong dengan kontruksi kasau dari bambu betung yang dibelah dan dikombinasi dengan reng kayu.

Lantai Pertama,ruang utama berdenah bujur sangkar dengan ukuran panjang 10 m dan lebar 10 m. Untuk akses masuk ke dalam ruangan terdapat 2 (dua) buah pintu yang masing-masing berdaun pintu 2 (dua) buah, pintu masuk tersebut berada di sisi barat. Di sekeliling dinding bangunan ini terdapat jendela sebanyak 10 (sepuluh) buah yaitu 2 (dua) buah masing-masing berada di sisi barat, utara, dan selatan, sedangkan 4 (empat) buah berada di sisi timur. Seluruh dinding rumah silage-laga ini terbuat dari papan kayu setebal 2 cm, dengan model pemasangan diagonal/menyerong. Lantai ruang utama terbuat dari kayu yang terbuat dari potongan-potongan bambu, lantai ini merupakan tempat kegiatan belajar ilmu silat. Disekeliling ruangan utama ini pada bagian sisi dekat dinding terdapat balai-balai dari kayu setinggi 40 cm lebarnya 2 m, namun pada sisi barat yang terdapat pintu masuk tidak terdapat bentuk balai-balai tersebut, sehingga balai-balai tersebut membentuk denah huruf “U”. Balai-balai ini berfungsi sebagai tempat duduk bagi Ninik Mamak dan para tetua adat yang menyaksikan proses belajar ilmu silat. Dahulu ilmu silat yang dipelajari agak rahasia, sehingga tidak sembarang orang boleh masuk untuk menonton. Disudut ruangan tepi barat daya terdapat lemari kayu tempat menyimpan peralatan. Didekatnya terdapat tangga naik yang terbuat dari papan kayu bagian luarnya sementara bagian pijakannya terbuat dari bambu.

Lantai Kedua, ada lantai kedua ruangannya berdenah bujur lebih kecil dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing 5 m. Lantai ruangan terbuat dari papan kayu setebal 3 cm. Ruangan di lantai dua disekeliling dindingnya terdapat jendela yang masing-masing sisi berjumlah 2 (buah) sehingga jumlah seluruh jendela di lantai dua adalah 8 (delapan) buah. Di sudut ruangan sisi tenggara, terdapat sebuah bilik/kamar dengan menyekat ruangan lantai dua. Bilik tersebut berukuran panjang 2 m dan lebar 2 m yang dilengkapi 1 (satu) buah pintu dan 2 (dua) buah jendela. Menurut informan bilik/kamar tersebut dahulu dipergunakan sebagai penjara bagi yang berzina/berselingkuh dan bagi keluarga yang berselisih/bertikai. [1] langit-langit bilik merupakan loteng yang sekaligus dapat dipergunakan untuk menyimpan peralatan/barang. Di depan pintu bilik diletakan bedug sepanjang 1,5 m dengan diameter 50 cm, namun membrane bedug sudah tidak ada lagi.

Tindakan berikut yang dapat mengancam kelestarian rumah adat adalah

Foto Balai Silaga-laga (Dok: Vinda 2018)

Upaya Mitigasi Cagar Budaya terhadap Bangunan Kayu

Secara umum, bencana merupakan suatu musibah yang bersifat menghancurkan. Bangunan Cagar Budaya, saat ini keberadaannya cukup terancam baik dari faktor internal maupun dari eksternal. Kerusakan yang terjadi pada tinggalan purbakala berupa bangunan, benda, dan situs termasuk lingkungan fisik dan sosial di sekitarnya yang berpotensi menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas suatu objek yang berhubungan dengan fungsi sosial, spiritual dan kebudayaan bagi masyarakat.

Untuk mempertahankan eksistensi tinggalan purbakala terhadap bencana atau kerusakan perlunya dilakukan upaya nyata untuk mencegah semaksimal mungkin tingkat kerusakan dan dampak-dampaknya. Melihat dari keterancaman Bangunan Cagar Budaya, sehingga di perlukan nya mitigasi yang tepat. Adapun pengertian dari Mitigasi menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 pasal 1, pengertian dari mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik (structural) maupun penyadaran peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (non-struktural).

Mitigasi merupakan titik tolak utama dari manajemen penanggulangan bencana. Dengan mitigasi dilakukan usaha-usaha untuk menurunkan dan/atau meringankan dampak/korban yang disebabkan oleh suatu bencana pada jiwa manusia, harta benda, dan lingkungan. Mitigasi juga merupakan tindakan pencegahan bencana. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana,baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. Dengan adanya upaya mitigasi diharapkan agar bukti-bukti masa lalu tersebut dapat dipertahankan agar tidak musnah dan dapat dilihat oleh generasi yang akan datang.

Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana yaitu : 1) Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana; 2) sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana; 3) mengetahui apa yang perlu di hindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4) pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana (Permendagri No. 33,2006).

Berdasarkan observasi pada bangunan Balai Silaga-laga, saat ini sudah tidak difungsikan selama 2 tahun.  Adapun kondisi pada bangunan Silaga-laga saat ini memburuk karena faktor usia dll. Keberadaan Balai Silaga-laga ini semakin terancam kerusakan dan pelapukan karena melihat dari tidak difungsikan nya. Pelestarian harus dilakukan agar keberadaan Balai Silaga-laga ini dapat dipertahankan untuk jangka panjang, sehingga dapat disampaikan kepada generasi selanjutnya. Pelestarian cagar budaya dalam konteks konservasi secara teknis pada dasarnya adalah upaya untuk memperpanjang eksitensi dari cagar budaya itu sendiri (Scovil, 1977:234). Dalam arti lain, bisa dimaknai sebagai upaya mengelola potensi ancaman yang dapat merusak kelestarian cagar budaya. Pemahaman dan wawasan yang baik mengenai nilai-arkeologis-historis, sifat, bahan, faktor, proses, gejala kerusakan dan pelapukan, serta kondisi lingkungan cagar budaya sangat diperlukan.

Potensi ancaman dan upaya mitigasi

Adapun potensi ancaman yang terdapat pada Bangunan Silaga-laga yaitu:

Ancaman dari dalam yaitu berupa kerusakan karena faktor usia. Ancaman dapat diupayakan melalui berbagai upaya seperti perawatan,dan konservasi. Melihat dari bangunan Silaga-laga yang sebagian telah mengalami pelapukan dan telah ditumbuhi oleh lumut yaitu pada jendela, lantai,tiang dan tangga. Adapun upaya mitigasi pada bangunan kayu terhadap ancaman dari dalam yaitu  dengan mengidentifikasi jenis kayu terlebih dahulu, karena ada kaitannya dengan asal usul kayu, sifat kayu dan tindakan yang akan dilakukan. Kerusakan kayu merupakan bentuk dari degradasi fisik kayu, dan pelapukan kayu merupakan bentuk degradasi secara kimiawi pada kayu dalam kondisi kering. Setelah itu dapat diupayakan dengan melakukan perawatan  pada kayu yang masih layak digunakan. Perawatan kayu yang dimaksudkan adalah tindakan pencegahan untuk mengantisipasi rayap penyebab kerusakan dan pelapukan. Adapun dapat menerapkan dengan menggunakan bahan tradisional.

Ancaman dari luar yaitu disebabkan oleh faktor alam, binatang maupun manusia. Adapun potensi bencana yang terdapat pada bangunan Silaga-laga berupa Kebakaran, Banjir, Bencana Akibat Ulah Manusia.

Kebakaran yang terjadi dipengaruhi oleh faktor alam yang berupa cuaca yang kering serta faktor manusia yang berupa pembakaran baik sengaja maupun tidak sengaja. Kebakaran ini akan menimbulkan efek panas yang sangat tinggi sehingga akan meluas dengan cepat. Kerusakan yang ditimbulkan berupa kerusakan lingkungan. Melihat dari bangunan silaga-laga yang tidak memiliki pengaman terhadap bencana kebakaran sehingga perlu nya upaya mitigasi yaitu dengan pengadaan alat untuk antisipasi dari kebakaran yaitu berupa penangkal petir yang di letakkan pada ujung atap,penataan listrik yang baik dan selain itu juga dapat dilengkapi dengan pengaman seperti gas racun api.

Banjir yaitu  baik yang berupa genangan atau banjir bandang bersifat merusak. Aliran arus air yang tidak terlalu dalam tetapi cepat dan bergolak (turbulent) dapat menghanyutkan manusia dan binatang. Aliran air yang membawa material tanah yang halus akan mampu menyeret material berupa batuan yang lebih berat sehingga daya rusaknya akan semakin tinggi. Banjir air pekat ini akan mampu merusakan fondasi bangunan yang dilewatinya terutama fondasi pada bangunan kayu sehingga menyebabkan kerusakan yang parah pada bangunan tersebut, bahkan mampu merobohkan bangunan dan menghanyut-kannya. Pada saat air banjir telah surut, material yang terbawa banjir akan diendapkan ditempat tersebut yang mengakibatkan kerusakan. Pada bangunan silaga-laga tidak memiliki drainase air sehingga perlunya upaya pembuatan drainase tersebut untuk mencegah terjadi nya banjir. Selain itu, juga dapat dilakukan dengan penataan lahan seperti penanaman pohon.

Penutup

Bangunan Silaga-laga merupakan cagar budaya yang perlu kita jaga dan lestarikan bersama. Kandungan nilai penting sejarah, pengetahuan, kebudayaan yang melekat pada bangunan tersebut dapat memberikan manfaat dalam kesadaran masyarakat akan jati diri dan identitas sejarah serta budaya. Oleh karena itu, agar eksitensinya dan kebermanfaatan bangunan cagar budaya ini tetap terjaga, diperlukan upaya pelestarian yang berkesinambungan.

Pelestarian yang dilakukan dengan upaya mitigasi tersebut, diperlukan data akurat terkait potensi ancaman yang memuat informasi mengenai hal apa saja yang dapat menjadi ancaman yang merusak. Jenis potensi ancaman ini tentunya perlu dikelola dengan cara yang berbeda agar dampak merusaknya dapat dieliminir. Potensi ancaman terkait dengan prilaku manusia, dapat dikelola dengan membuat panduan mengenai hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Selain itu juga dapat dilakukan dengan pengadaan alat atau penataan untuk mencegah dari ancaman.  Namun, dalam upaya mitigasi tersebut tentunya juga harus diikuti dengan kegiatan sosialisasi mengenai nilai penting sebagai Cagar Budaya, sehingga terbangun kesadaran masyarakat mengapa rumah tradisional ini perlu dilestarikan keberadaannya.

Adapun terkait potensi ancaman karena faktor usia bangunan cagar budaya yang sudah ratusan tahun sehingga hal yang alamiah terjadi pada tingkat laju kerapuhan material bangunannya, maka perlu adanya tindakan konservasi berupa perawatan rutin baik dalam bentuk pembersihan secara mekanis, pengawetan (pengolesan anti rayap) dan konsolidasi.

Daftar Pustaka

Akbar, A, 2010. Arkeologi Masa Kini. Alqaprint Jatinangor. Balai Arkeologi Bandung. Bandung.

Scovill, D.H., G.J. Gordon, dan K.M. Anderson. 1977. “Guidelines for the Preparation of Statements of Environmental Impact on Archaeological Resources” dalam Schiffer, M.B dan G.J. Gumerman (ed) ConservationArchaeology. New York: Academic Press.

Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Peraturan Menteri Dalam Negri No. 33 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana.

Laporan Hasil Pemutakhiran 2007. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat