Suster adalah jenis pekerjaan yang bergerak di bidang

A. Situasi Negeri Belanda Abad Sembilan belas.

    Abad ke sembilan belas merupakan abad yang sulit bagi perkembangan Gereja Katolik di Negeri Belanda, karena Kerajaan Belanda belum mengakui keberadaan agama Katolik di Belanda. Pemeluk agama Katolik yang telah mulai berkembang secara diam-diam, mendapat tekanan bahkan penindasan. Berbeda dengan Belanda, di Negara Jerman, Perancis dan Belgia agama Katolik telah diterima dan diakui. Maka tidak heran banyak pemuda dan pemudi warga Belanda yang ingin mengabdi pada Tuhan menyeberang ke negeri-negeri tersebut dan masuk dalam biara-biara yang ada di sana. Sementara itu lama kelamaan di Belanda sendiri mulai muncul kelompok-kelompok pemudi yang hidupnya menyerupai hidup membiara yang disebut “Klopyes”, serikat awam yang masuk dalam ordo ketiga St. Fransiskus. Mereka ini dengan kerelaan hati membantu pastor paroki mengajar agama, melayani orang-orang miskin dan orang-orang sakit.

    Tahun 1834, Pemerintah Belanda akhirnya mengakui secara resmi Hierarki Gereja Katolik. Agama Katolik dapat berkembang tanpa mendapat tekanan lagi, bahkan di daerah selatan Belanda pada tahun 1840 telah berdiri beberapa biara yang didirikan oleh ordo-ordo yang berasal dari Belgia dan Perancis.

    Cara hidup biarawan biarawati ini berbeda dengan biara-biara yang lain, yang pada umumnya hidup dalam pertapaan dan berdoa. Mereka justru keluar biara melayani masyarakat yang miskin dan menderita, aktif berinteraksi dengan masyarakat kebanyakan. Cara hidup baru ini ternyata diterima dengan antusias oleh gereja dan masyarakat.

B. Berdirinya Rumah Amal Santu Yosef.

   

Suster adalah jenis pekerjaan yang bergerak di bidang
Pada tahun 1840, di Amersfoort, -sebuah kota miskin di Negeri Belanda,- terdapat banyak orang yang menderita sakit,jompo dan hidup susah. Mereka semua tidak mendapatkan perhatian yang semestinya dari pemerintah.Orang-orang Katolik sendiri, yang cukup banyak di kota itu juga tidak mempunyai kemampuan untuk menolong. Di pemerintahan sendiri mereka sangat sedikit yang menduduki posisi yang penting.

    Hal tersebut membuat gereja terketuk untuk menolong melakukan karya amal, mengupayakan perawatan yang intensif kepada para penderita itu. Pastor Vermeulen, Pastor Van Hattem dan Pastor Henricus Blom adalah tokoh-tokoh gereja yang menggagasi karya amal ini. Mereka semua berasal dari Paroki St. Fransiskus Xaverius yang ada di kota Amersfoort.

    Apa yang dilakukan oleh para Pastor ini sungguh disambut antusias oleh masyarakat. Cinta kasih yang ditebarkan oleh ketiga Pastor ini mengusik nurani dua insane berhati mulia.Tuan Antonius Hunks dan Nona Elisabeth Frits yang lahir 8 Oktober 1806 dengan rela hati menjadi perawat dan pengasuh orang-orang melarat dan menderita itu di sebuah rumah amal. Orang-orangpun memanggil mereka dengan Bapak dan Ibu di rumah amal tersebut. Jejak mereka ini kemudian diikuti pula oleh Nona Maria Greshof yang lahir di Amersfoort 19 Januari 1911. Mereka semua merupakan anggota Ordo II St. Fransiskus yang menghayati semangat St. Fransiskus: mengabdikan diri kepada Tuhan lewat sesama tanpa pamrih, tanpa mengharap balas jasa; semata-mata karena cinta kepada Allah dan sesama.

    Perjalanan karya mereka seringkali mengalami penyelenggaraan Ilahi. Dengan uang yang apa adanya mereka membeli sebuah rumah di Jalan Utrecht di kota Amersfoort tersebut untuk menampung orang-orang terlantar, jompo dan miskin. Rumah itu diberi nama “Rumah Santu Yosef” dan diberkati 14 Mei 1841. Nona Elisabeth Frits dan Maria Greshofpun dipanggil oleh orang-orang dengan sebutan “Suster” dan dengan nama rumah “St. Yosef” itu, merekapun dikenal dengan Suster Santu Yosef. Itulah awal mula nama Suster Santu Yosef. Orang-orang miskin yang saat itu berjumlah 33 orang dirawat dengan penuh kasih, mereka sungguh bahagia tinggal di rumah itu.

C. Rumah Amal Santu Yosef Semakin Berkembang.

    Pada tanggal 13 Nopember 1944, Pastor Vermeulen meninggal dunia sedangkan Pastor Van Hattem pindah ke tempat lain. Maka Pastor Henricus Blom yang telah mendapat gelar kehormatan Mgr. dari Sri Paus dikukuhkan menjadi pastor paroki Amersfoort dan penanggungjawab rumah amal tersebut. Seturut perkembangan waktu jumlah orang miskin semakin banyak, tetapi sukarelawan yang membantu juga semakin banyak. Maka rumah amal itupun perlu diperluas.

    Pada tahun 1850 kembali dibeli sebuah “Het Slusje” dan sebuah gudang di Jalan Muurhuizen, Amersfoort. Setelah gudang tersebut direstorasi, maka rumah amal dipindahkan ke situ. Ini terjadi pada 3 Desember 1852. Selanjutnya mereka juga membeli rumah yang lain yang berdekatan untuk tempat mencuci, mengelantang, gudang gandum, tempat pembakaran roti, rumah potong, gudang makanan serta gudang kayu. Cukup lengkap sebagai sarana untuk berkarya. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah, bagaimana membiayai karya-karya yang dijalankan sementara pendapatan sangat sedikit. Maka diputuskanlah menerima penghuni yang mampu membayar tinggi atau yang mau membayar tempat untuk seumur hidup.

    Selanjutnya rumah amal dikembangkan lagi dengan membeli empat buah rumah di Weverssingel dan empat buah rumah di Bloemendalse Binnenpoort. Empat rumah yang terakhir ini diperuntukkan khusus bagi pria. Sejak saat itu pria dan wanita dipisahkan, begitu pula para pengasuhnya. Pengasuh perempuan disebut Suster dan pengasuh laki-laki disebut Bruder.

    Pada tahun 1870 Pastor Henricus Blom membentuk persekutuan rohani bagi para suster dan bruder ini yang masuk dalam ordo ketiga St. Fransiskus dan hidup menurut aturan ordo tersebut. Iman dan kesalehan hidup mereka membuat karya amal ini semakin berkembang. Pada 2 Januari 1870, Elisabeth Frits digantikan oleh Agnes Van Doorn untuk memimpin rumah amal tersebut, oleh karena kesehatannya yang terganggu. Agnes Van Doorn dipilih dengan suara bulat oleh semua suster dan mereka berjanji untuk membantu tugas-tugas beliau.

    Pada tahun 1871, Mgr. Henricus Blom memperkuat jajaran Pimpinan rumah amal dengan memasukkan Tuan C. Brom dan Tuan M. Lagerwey yang selama ini merupakan penderma yang setia dari rumah amal tersebut. Untuk itu akte pendirian rumah amal dibuat dan didaftarkan pada notaries.

    Pada tahun 1874 terjadi wabah cacar di seluruh Amersfoort. Banyak orang yang meninggal dunia, keadaan sangat mencekam. Para suster bekerja ekstra keras merawat orang-orang yang terkena penyakit cacar tersebut. Semua dikerjakan dengan hati yang besih tanpa pamrih, meski harus menantang resiko terkena penyakit. Selepas itu, pada tanggal 23 April 1877 dibangunlah sebuah kapel di lokasi rumah amal tersebut yang diberkati Mgr. Henricus Blom. Karya amal dan kehidupan religius semakin berkembang baik.

D. Kongregasi Suster St. Yosef Diresmikan.

    Keharuman karya Suster St. Yosef ini semakin meluas hingga Mgr. Schaepman Uskup Agung Utrecht berkenan mengunjunginya pada tanggal 18 Juni 1878. Kekagumannya melihat pengabdian penuh cinta para suster ini membuat Uskup Agung berjanji untuk mengangkat kelompok ini resmi menjadi Kongregasi Religius. Sesuai dengan usul yang disampaikan Mgr. H. Blom, janjinya itu ditepati pada bulan Oktober 1878, empat bulan setelah kunjungannya. Tepat pada pesta St. Willibrod pewarta Injil di Belanda dan pelindung Propinsi Gerejani Belanda, tanggal 7 Nopember 1878 Kongregasi Suster St. Yosef resmi diakui sebagai sebuah lembaga hidup bakti oleh Takhta Suci. Mgr. Henricus Blom diberi kuasa oleh Uskup Agung Utrecht untuk menerima ketiga kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan yang diikrarkan oleh para suster. Itulah tanda bakti penyerahan total kepada Tuhan dan pengabdian pada sesama manusia. Dengan peresmian sebagai kongregasi serta pengikraran ketiga kaul tersebut, maka sesuai konstitusi dipilihlah Pimpinan Umum. Dari 52 orang suster yang ikut dalam pemilihan, semua memilih Suster Agnes Van Doorn sebagai Pemimpin Umum dan segera disahkan oleh Uskup Agung Utrecht. Nona Maria Greshof yang menjadi Sr. Agatha setelah mengikrarkan kaul diangkat oleh Moeder Agnes sebagai Pemimpin Novis. Tidak sampai 6 bulan beliau menjalankan tugas sebagai pemimpin novis, iapun meninggal dunia dalam usia 68 tahun yakni pada tanggal 26 Mei 1879. Nona Elisabeth Frits sendiri tidak mengikrarkan kaul dalam Kongregasi Santu Yosef dan tetap sebagai anggota Ordo ketiga St. Fransiskus. Sampai akhir hayatnya ia tetap tinggal di rumah Santu Yosef.

    Waktu berjalan terus, pada tahun 1880 Rumah St. Yosef dikembangkan lagi dengan membeli beberapa gedung di Jalan Het Joul dan di Jalan Muurhuizen yang diperuntukkan bagi yatim piatu putrid katolik yang miskin. Pada tahun yang sama, Pimpinan Rumah Sakit Elisabeth memohon kepada Pemimpin Umum Kongregasi Suster St. Yosef untuk bersedia membantu perawatan orang-orang sakit. Dan atas persetujuan Uskup Agung Utrecht, pada tanggal 1 Juni 1881 enam orang suster dikirimkan untuk membantu di Rumah Sakit Elisabeth.

    Pada tanggal 14 Nopember 1881 sepuluh orang suster dipindahkan lagi ke rumah yatim piatu untuk merawat dan mendampingi mereka. Di situ dibuka sekolah jahit menjahit dan rajutan.

E. Walau Berbagai Tantangan, Karya Terus Dikembangkan.

    Karya Suster Santu Yosef memang terus berkembang, tetapi tibalah juga saat yang tidak terduga. Awan kelabu meliputi Kongregasi Suster Santu Yosef. Mgr. Henricus Blom, penggagas dan pendiri kongregasi ini menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 20 Juli 1884. Dua tahun kemudian Nona Elisabeth Frits menyusul, beliau meninggal dunia pada usia 80 tahun. Kongregasi Suster Santu Yosef menangis, mengenang jasa Sang pahlawan dan pendekar perempuan yang berhati mulia ini.

    Namun panggilan karya amal tetap harus dijalankan. Sejalan dengan perkembangan karya yang dialami, jumlah anggota kongregasi juga semakin banyak. Para suster pindah lagi ke bangunan yang lebih luas dan besar yang dikenal dengan nama “Muurhuizen” yang artinya: rumah yang dikelilingi tembok. Itulah rumah induk pertama KSSY yang terletak di pusat kota Amersfoort. Rumah itu diperuntukkan bagi postulant, novis, pemimpin umum dan suster-suster yang melayani orang sakit dan para jompo. Kemudian pada tahun 1910 Kongregasi membeli lagi rumah dengan sebidang tanah di pinggir kota dekat stasiun kereta. Rumah ini menjadi rumah induk yang kedua, yang dikenal dengan BW Laan 55, 3819 AB Amersfoort. Para Postulan, novis dan pimpinan umum pun akhirnya pindah ke rumah induk yang baru ini. Lokasi Rumah induk ini dilengkapi dengan tanah pekuburan bagi para suster St. Yosef yang meninggal dunia. Pater-pater Redemptoris juga kejipratan rejeki, karena suster-suster St. Yosef bersedia pula mengurus rumah tangga di rumah retret mereka yang terletak di sebelah rumah induk Suster St. Yosef.

    Semangat pengabdian terhadap orang-orang yang menderita yang telah dihayati Mgr. Henricus Blom benar-benar dihayati pula oleh Suster-suster St. Yosef sehingga pelayanan dikembangkan ke beberapa kota di Belanda. Di Harlinger mereka juga ambil bagian di rumah sakit, dan di Utrecht mereka mendampingi para perempuan yang hamil tanpa suami serta merawat orang-orang sakit. Di Joure mereka merawat para jompo, mengajar SKP, membuka poliklinik serta mengurus rumah tangga anak-anak Seminari.

    Di Edi Suster-suster St. Yosef juga menyediakan sebuah asrama bagi para perempuan yang bekerja di pabrik pada siang hari dan kemudian belajar menjahit dan ketrampilan lainnya di malam hari.

F. Indonesia, Karya Misi Pertama Suster St. Yosef

    Begitulah karya amal terus dikembangkan, membagikan cinta kasih kepada orang-orang yang membutuhkannya, hingga datangnya permohonan dari Indonesia untuk mengirimkan tenaga suster. Suster St. Yosef menebar kasih di Petisah, Medan- Indonesia. Itulah misi yang pertama dilakukan Suster St. Yosef ke luar Belanda.

A. Situasi Sumatera Di Awal Tahun 1900

    Di awal tahun 1900 Gereja Katolik di daerah Hindia Belanda termasuk wilayah Sumatera telah dilayani oleh Misi Jesuit yang berada di bawah naungan Vikariat Batavia yang dipimpin oleh Mgr. E. S. Luypen, SJ. Misionaris Kapusin pertama kali masuk ke Borneo pada tanggal 16 Oktober 1905, sedangkan masuk ke Sumatera persisnya di Padang Sumatera Barat pada tanggal 13 Juni 1912.

    Pada 11 April 1921, Pastor Mathias Brans diangkat menjadi Superior Regularis Kapusin Sumatera dan berkedudukan di Tanjung Sakti. Pada tanggal 20 Juli 1921 Beliau diangkat sebagai Prefek Apostolik wilayah Sumatera. Wilayah pelayanan Prefektur Sumatera ini meliputi juga Sumatera Utara. Di Sumatera Utara sendiri jauh sebelumnya telah banyak penganut agama Katolik. Baik orang-orang Eropa, Cina maupun orang-orang Tamil,- India- yang bekerja sebagai buruh, tenaga kerja di perusahaan-perusahaan Belanda

    Pada tahun 1887 saja diketahui ada ratusan orang penganut Katolik di Sumatera Utara. Di Medan sendiri, sebagai pusat perkebuanan Hindia Belanda umat Katolik juga cukup banyak. Di Petisah- Medan, banyak berdomisili warga Tamil- India yang kurang mendapat pelayanan, baik rohani maupun pendidikannya. Hidup mereka sangat sederhana. Mengingat kurangnya jumlah tenaga pastoral, terlebih para suster yang saat itu hanya ada beberapa Suster Fransiskanes Dongen (SFD) di Jalan Pemuda dan Fransiskanes St. Elisabeth (FSE) untuk melayani kesehatan. Maka atas permohonan Pastor Van Loon yang bertugas di gereja St. Antonius Petisah (Jl. Hayam Wuruk sekarang). Mgr. Mathias Brans sebagai Prefek Apostolik Padang melayangkan surat permohonan kepada Pimpinan Umum Kongregasi Suster St. Yosef di Amersfoort Belanda pada Januari 1970, agar sudi mengirimkan tenaga misi dan membuka komunitas di Petisah Medan, Indonesia. Tugas utama adalah melayani rumah tangga pastor dan melayani orang-orang Tamil yang ada di Petisah Medan.

B. Menancapkan Panji-panji di Indonesia

   

Suster adalah jenis pekerjaan yang bergerak di bidang
Permohonan Mgr. Mathias Brans dari Indonesia mendapat tanggapan yang baik dari pimpinan Umum Suster St. Yosef Belanda. Panggilan untuk melayani Kristus dalam sesama selaras pula dengan seruan Santu Bapa Paus Benedictus XV dan Kardinal Van Rossum agar semua ordo dan kongregasi di Belanda ikut serta mengembangkan agama Katolik di tanah misi di seluruh dunia, maka Kongregasi Suster St. Yosef di Burchman Wyuterslaan 55 Amersfoort menyatakan siap mengirimkan tenaga suster ke Indonesia, di Petisah medan. Untuk itu dikirimkanlah dari negeri Belanda uang sebesar F 40.000 kepada Mgr. Brans untuk biaya pembelian tanah pertapakan membangun biara di Petisah Medan, sebesar 1.100 m2 berikut bangunan dan mesin cuci. Dari kalangan suster-suster bertugas di tanah misi juga disambut antusias. Ada 60 orang suster yang mendaftarkan diri, namun yang diberangkatkan 6 orang saja yaitu Zr. Anselma Grets, Zr. Alexia Bramer, Zr. Modesta Giesbers, Zr. Anicetha Okkursen, Zr. Valeria Wiemen dan Zr. Odulfa Grathart. Setelah dipersiapkan beberapa waktu lamanya, pada tanggal 8 Januari 1831 dengan ditemani seorang imam misionaris, keenam Suster St. Yosef itu berangkat meninggalkan Belanda. Setelah sehari semalam jalan darat dengan kereta api dari Amersfoort ke Gema Italia untuk memperpendek jalan, merekapun berangkat ke Indonesia dengan menumpangi kapal “SS Koninghen Nederland”.

    Tanggal 28 Januari 1931, mereka tiba di Pelabuhan Belawan Indonesia. Perjalanan pertama ke luar negeri pastilah menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati: apa dan bagaimana Indonesia. Apakah karya amal ini bisa diterima, dan apakah keamanan terjamin? Tetapi para suster misionaris ini pastilah sudah mendapat gambaran dan pembekalan. Prinsip berkarya bagi Tuhan dalam sesama mengatasi semua tanda Tanya itu, apalagi sambutan yang mereka terima baik di Belawan oleh P. Van Loon dan beberapa suster SFD Jl. Sutomo terlebih antusiasme umat Tamil di India, mengikis habis keraguan mereka. Para Saudara orang India yang miskin dengan segala kepolosan mereka membuat suster ini yakin dan mantap untuk berkarya. Sejarah baru Kongregasi Suster St. Yosef .

C. Berkarya Dalam Segala Kekurangan

    Pada awalnya suster-suster bekerja di tengah-tengah umat India. Anak-anak India yang orang tuanya bekerja sebagai karyawan perkebunan diasuh di salam asrama yang telah mereka kelola di Daendels Strat Petisah (di Jl. Hayam Wuruk sekarang). Mereka bersekolah di Hollands Indische School. Diajar oleh suster ini dalam bahasa Belanda yang sudah barang tentu cukup sulit dilaksanakan. Untuk ibu-ibu orang India, mereka dipekerjakan di rumah-rumah dan di Wasere, mencuci dan menyeterika pakaian, dengan upah F 10 sebulan. Orang-orang India di Petisah mulai mengalami perubahan. Anak-anak telah bersekolah, ibu-ibunya sudah mendapat tambahan belanja ke rumah dari hasil cuci, gosok. Mereka sangat gembira, apalagi gereja di Hayam Wuruk juga sudah dirawat dan semakin bercahaya dari kehadiran suster-suster ini. Tidak hanya itu. Para suster ini juga mengelola dua asrama yang lain yang berada di Wilhelmina Strat (jl. Sutomo sekarang). Satu untuk anak-anak Belanda dan satu untuk anak Tionghoa. Keadaan saat itu memang sangat sulit untuk membiayai asrama, para suster ini harus bekerja sebagai binatu (upahan untuk cuci gosok dari dua hotel di Medan dan juga cuci gosok pakaian frater-frater serta suster-suster kongregasi lain walau bantuan dari Mgr. Brans juga ada, begitu pula dari kongregasi di Belanda. Di samping itu, factor cuaca yang panas, masalah komunikasi yang tidak lancar (bahasa Indonesia dan bahasa India yang tidak nyambung), menambah kesulitan yang dialami para suster kita ini. Tetapi begitulah, semangat St. Yosef serta cara hidup St. Fransiskus tidak membuat mereka patah semangat. Cinta Kristus harus terus ditebarkan kepada siapa saja di setiap jengkal bumi ciptaan Allah ini. Dalam situasi sulit itu, mereka terus membuka sekolah kejuruan untuk anak-anak putrid (SKP) dan sekolah taman kanak-kanak (Frobel). Di bidang social, mereka mengasuh anak-anak miskin dan yatim piatu.

D. Penambahan Tenaga Misionaris

    Perhatian Kongregasi di Belanda bagi Indonesia dibuktikan dengan menambah tenaga misionaris. Pada tanggal 26 Maret 1932, tiga orang suster dari Belanda tiba lagi di medan, yaitu Zr. Friska Yorna, Zr. Symphrosa Versteg dan Zr. Bernardine Vinklevegel. Kedatangan mereka ini adalah memenuhi permohonan Pastor Damen Maret 1932, untuk mengelola asramauntuk anak-anak Eropa yang orangtuanya bekerja di perkebunan. Letak asrama ini di Wilhelmina strat (Jl. Sotomo sekarang). Kemudian suster-suster ini juga mengelola sebuah asrama lagi di tempat yang sama yang khusus bagi anak-anak Tionghoa yang juga bekerja di perkebunan. Anak-anak orang Eropa ini bersekolah di Padang Bulan Medan pada Suster-suster Fransiskane. Cukup lama suster-suster ini berkarya di sana, dari tanggal 26 mei 1932 sampai 1 Juli 1955, lebih kurang 32 tahun lamanya. Sejak 1955 itu kedua asrama ini telah dijual oleh Vikariat Apostolik Medan untuk membiayai pembangunan Seminari Menengah yang saat itu akan dipindah kan dari Padang ke Siantar. Suster Simphrosa sendiri tidak lama bertugas di Indonesia (Medan) karena pada 11 Pebruari 1933 ia harus meninggalakn Indonesia kembali ke Belanda karena sakit paru-paru.

E. Kunjungan Pimpinan Umum Belanda

    Kunjungan Pimpinan Umum kongregasi memperkuat semangat pengabdian suster-suster misionaris. Tidak bisa dibantah bila dalam menjalankan suatu tugas yang berat, apalagi jauh dari daerah asal, lalu kita mendapat kunjungan dari pimpinan tertinggi, maka segala susah dan letih kita terasa terobati, sirna dan semua menjadi lega. Begitu jugalah yang dialami para suster misionaris ini, ketika Muder Antonia bersama Zr. Salesia datang berkunjung ke Petisah Medan 15 Maret 1933, melihat secara langsung apa yang telah dan sedang dilaksanakan anggota kongregasinya di Indonesia. Dan kunjungan ini tidak main-main, hampir 3 bulan lamanya Beliau mendampingi para suster di sini. Maka cukup jelas bagi Beliau bagaimana suka duka para suster menjalani tugas dan kehidupan hari demi harinya. Dan semua itu dengan rela ia jalani bersama-sama. Dalam kunjungan ini turut dibawa Zr. Cayetana Van der Zwip dan Zr. Euphrasia Van Galen. Zr. Cayetana akan mengasuh asrama Jl. Sutomo dan Zr. Euphrasia mengajar anak-anak TK serta urusan memasak.

F. Jumlah Tenaga Terus Bertambah

    Sepulangnya Muder Antonia ke Belanda, sesuai situasi yang ada di daerah misi Indonesia yang telah ia lihat dan alami, maka Kongregasi di Amersfoort Belanda mengirim lagi tenaga suster untuk membantu dan memperkuat pelayanan amal kasih di Indonesia ini. Pada 28 Nopember 1933, Zr. Carolina Hulsoof tiba di Indonesia untuk menggantikan Zr. Anselma sebagai Pimpinan komunitas. Pada 4 Juli 1936, dikirim lagi 3 suster yaitu Zr. Wulfrana Bruens sebagai guru, Zr. Idelfonsa Van De Watering yang akan mengasuh dan Zr. Zura Wintjes untuk memimpin kursus-kursus dan mengajar bernyanyi. Pada tanggal 10 Mei 1937, empat suster dikirim lagi ke Petisah Medan, Zr. Engelmonda Kampuis, Zr. Filomena Meimers, Zr. Paschala Van Schie (ketiga suster ini ke Jl. Sutomo) sementara seorang lagi Zr. Melchiada Blom mengajar SD di Petisah untuk anak-anak India. Namun di waktu yang sama Zr. Valeria pulang ke Belanda karena sakit. Pada tanggal 3 Pebruari 1938, Zr. Ladislaus tiba pula di Indonesia menggantikan Zr. Valeria yang sakit tersebut. Pada tanggal 16 Pebruari 1939 Zr. Gaudensia tiba pula di Indonesia untuk Kepala Sekolah di Petisah Medan. Zr. Gaudensia datang bersama Moeder Bernardo dan Zr. Yovitasebagai visitasi yang kedua Pimpinan Umum Kongregasi Belanda. Sebaliknya 15 April 1939, Zr. Zura pulang ke Belanda karena sakit. Sampai dengan tahun 1939, di Petisah Medan telah berdiri 3 rumah suster dan jumlah suster-suster sendiri ada 18 orang.

G. Masa-masa Sulit dan Suram (1940 – 1946)

   Masa-masa sulit dan suram, perang dunia II meletus pada tahun 1940 – 1946 komunikasi terputus.

1. Belanda Jatuh dalam Kekuasaan Jerman

    Perseteruan antara aliansi Rusia, Jerman dan tentara sekutu, Pimpinan Amerika serikat akhirnya memicu perang yang dahsyat di Eropa yaitu pada 6 Mei 1940, militer memerintahkan tentara Nazi menyerbu Eropa Barat, termasuk negeri Belanda. Dan Belandapun akhirnya jatuh di bawah kekuasaan Jerman. Keadaan ini mempengaruhi kehidupan beragama. Hitler yang komunis tidak menyukai agama, mereka tidak mengenal Tuhan. Agama Katolik ikut ditindas. Terpaksa suster-suster yang berada di Amersfoort dipindahkan ke Alpen Van de Rijn, komunikasi komunitas di Medan terputus kontak. Terakhir adalah 25 Pebruari 1941 melalui Palang Merah Internasional.

2. Medan Diduduki Jepang

    Indonesia sendiri tidak kalah gentingnya dengan Belanda. Pada tahun 1941, tanda-tanda Jepang akan masuk sudah dirasakan. Para suster di Petisah Medan (Hayam Wuruk) sudah membuat tempat-tempat perlindungan di bawah tanah. Dan barulah, 13 Maret 1942 Medan telah diduduki Jepang. Orang-orang Belanda (Eropa) mulai disweeping dan ditangkapi tentara Nippon (Jepang). Keadaan komunitas suster-suster di Petisah menjadi kacau. Anak sekolah dan anak asrama dipulangkan ke orangtua atau keluarga mereka. Pada tanggal 13 April 1942, semua orang-porang Belanda termasuk suster-suster Hayam Wuruk dan pastor-pastore telah ditawan dan diinternir (diperiksa/ diselidiki dan diintimidasi). Di Pulo Brayan Medan, dalam kompleks perumahan karyawan Deli Spoorweg Matschappij. Perbekalan yang bisa dibawa hanya seberat 30 kg danmakanan yang hanya cukup untuk 2 kali. Ke-18 suster St. Yosef disatukan dengan ibu-ibu dan anak-anak serta suster-suster dari kongregasi lain. Ada 76 orang suster banyaknya berbaur di dalam 2500 orang tawanan.

H. Masa yang Suram Dilewati

1. Suster-suster beramai-ramai pulang dan datang dari Belanda

    Pertengahan Oktober 1945, komunikasi yang telah terputus 3,5 tahun terjalin kembali. Kongregasi dan sanak saudara para suster St. Yosef yang ada di Belanda mendapat kabar bahwa suster-suster yang ditawan Jepang di Medan semua selamat. Kegembiraan tak terperikan para saudaranya masih hidup semua. Para tawanan Jepang akhirnya dibebaskan. Semua suster baik Suster St. Yosef maupun Suster-suster dari kongregasi lain berkumpul di susteran St. Yosef, begitu pula pastor-pastor serta para ibu dan anak-anak. Biara dan gedung-gedung St. Yosef menjadi penuh semuanya. Makanan untuk mereka disiapkan dari dapur umum di kota. Keadaan ini berlangsung beberapa waktu hingga mereka mulai kembali ke daerahnya atau ke kongregasinya masing-masing. Mgr. Mathias Brans sendiri selaku uskup di Padangf menganjurkan agar para biarawan biarawati (misionaris) semua memeriksakan kesehatannya. Maka banyak para suster yang pulang ke negeri Belanda memulihkan kesehatannya sekaligus mengambil cuti. Zr. Alexia kembali ke Belanda tahun 1947, Zr. Anselma pada 18 Januari 1948, Zr. ANicetha dan Zr. Philomena tak ketinggalan berangkat pada 23 Juni 1948. Mereka semua pulang untuk tidak kembali lagi. Zr. Bernardine berangkat cuti 24 Maret 1948 ddan kembali lagi 24 Nopember 1948 dengan tiga orang suster: Zr. Woltera, Zr. Desideria dan Zr. Fidelia. Pada 14 Oktober 1948, cuti pula : Zr. Odulpha, Zr. Carolina, Zr. Priska dan Zr. Melchiada. Pada 14 Nopember 1948, Zr. Luasina tiba dari Belanda untuk perawat di St. Theresia Stichting yang telah didirikan di Jl. Pemuda 1 Oktober 1947 guna menampung anak-anak yatim piatu sebagai akibat dari perang kemerdekaan itu. Begitu pula pada 11 Maret 1949, Zr. Mamerta tiba di Indonesia untuk menjadi guru SD.

    Dapat dibayangkan hidup dalam tawanan susah, serba kekurangan, diintimidasi dengan kesehatan yang tak terpelihara tetapi tenaga tetap diperas. Maka banyaklah suster-suster yang jatuh sakit, bahkan ada seorang suster dari komunitas lain yang hampir buta karena selalu terkena asap api kayu yang basah yang selalu dialaminya sebagai juru masak tawanan. Hari-hari yang suram terus dilalui, namun suster-suster kita tetap tabah, tetap memelihara spiritulaitas hidup mereka dalam iman yang teguh akan karya penyelamatan Ilahi. Mereka menjalaninya dengan hati yang lapang, gembira, bahkan selalu berusaha menghibur orang-orang lain yang putus asa. Doa dan kehidupan rohani tetap mereka jalankan walau tak pernah sekalipun merayakan Ekaristi, menerima Tuhan dalam komuni suci. Tiada seorang pastorpun yang diijinkan mempersembahkan misa bagi mereka. Namun bergembira dan penuh harapan di dalam segala situasi dan penderitaan hidup, selalu mereka memperlihatkan. Ini memberi kekaguman bagi orang yang beragama lain, termasuk orang-orang Jepang yang menawan mereka. Pada tanggal 15 Juni 1945, merekapun dipindahkan ke Aek Pamingke. Mereka di sana sampai Pemerintah Indonesia mengambil alih kekuasaan. Kejatuhan Jepang diakibatkan kesombongan mereka sendiri. Kamikaze yang mereka banggakan meluluhlantakkan Pearl Harbour memaksa Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima (6 – 8 Agustus 1945). Jepang bertekuk lutut menyerah tanpa syarat, harapan untuk bebas menyembul dari tawanan-tawanan yang telah sangat lemah. Saat itu ke-18 suster-suster KSSY masih hidup semua. Makanan dan obat-obatan, pakaian sudah mulai dimasukkan oleh organisasi PAlang Merah. Pada akhir Oktober 1945 tawanan sudah dipindahkan kembali dari Aek Pamingke ke Medan. Istilahnya bukan ditawan tetapi dilindungi dalam masa transisi mengakhiri kolonialisasi menuju kedaulatan penuh Republik Indonesia 1945.

2. Novis I KSSY berdiri di Medan

    Perkembangan yang dialami dari sejak 1931 hingga 1949, rupanya membuka mata hati para suster kita, untuk melihat jauh ke depan. Tidaklah mungkin selamanya mereka bisa berkarya di Indonesia. Putri-putri daerah inilah yang kelak akan menggantikan mereka. Merekapun mulai membicarakan dan mempersiapkan agar di Medan bisa didirikan Novisiat untuk mendidik anak-anak daerah menjadi suster-suster St. Yosef. Zr. Cayetana pun mulai sibuk menghubungi PImpinan Umum di Belanda. Zr. Bernardo dan staf meminta pula pendapat Mgr. Brans akan niat yang baik ini. Mgr. Brans sendiri juga sangat setuju dengan rencana ini. Maka terjadilah surat menyurat yang panjang hingga sampai ke tahta suci Roma, dan ini sesuai dengan petunjuk dari Mgr. De Yong yang saat itu adalah penanggungjawab Kongregasi suster St. Yosef di Amersfoort Belanda. Menunggu jawaban dari Roma, para suster selalu mendoakan pada TUhan agar rencananya ini dapat dikabulkan, dan tahta suci memberikan ijin. Dan itulah yang terjadi. Doa biarawati dengan pelindung St. Yosef inipun dikabulkan oleh TUhan. Tanggal 27 Pebruari 1957, Roma mengesahkan beridinya Novisiat baru di Medan, Indonesia. Inilah awal sejarah baru keberadaan suster pribumi Kongregasi St. Yosef di Indonesia dan sesuai rencana, Zr. Mamerta Briegman dilantik untuk pendidik Novis di Indonesia. Tempat pendidikan postulanyang pertama adalah pastoran lama yang sudah dipakai sebagai asrama. Dan tanggal penerimaan calon biarawati yang pertama ditetapkan pula 1 Agustus 1950. Tanggal itulah yang menjadi tanggal momental bagi kongregasi Suster St. Yosef Vikariat Medan. Langsung saja Pastor Van Duyn Hoven membawa dan mendaftarkan 3 orang calonnya dari daerah sekitar Haranggaol, yaitu Hormalina Saragih, Viktoria Batubara, dan Maria Purba. Dua orang lagi yang mendaftar adalah Amlor Lourdes yang berasal dari kampung India dan Jakoba Parapat. Kedua orang ini sudah lebih dahulu bekerja membantu di kamar bayi asrama.

    Dapat dibayangkan bagaimana perasaan semua suster ketika diadakan upacara penerimaan para postulant ini dengan memberikan nama biara kepada mereka. Bahagia dan mengharukan. Itu terjadi pada tanggal Agustus 1950. Amlor Lourdes menjadi Sr. Bonaventura, Jakoba Parapat menjadi Sr. Adriana, Hormalina Saragih menjadi Sr. Bernadeth, Viktoria Batubara menjadi Sr. Yosephina dan Maria Purba menjadi Sr. Marietta. Begitulah calon-calon suster pribumi pertama di Medan ini masuk pendidikan suster. Pastor Kerkers Vikaris Keuskupan Medan ikut puila menjadi tenaga pengajar bidang katekismus yang kemudian digantikan oleh Pastor Van de Weyden. Bertahun-tahun lamanya beliau mengajar di Novisiat ini dan perkembangan novis tidak sampai di situ saja, Pebruari 1951 masuk lagi 8 orang gadis sebagai aspiran walau saat itu fasilitas dan sarana yang dimiliki masih sangat minim dan sederhana. Untuk ruang makan harus menyewa satu ruangan sekolah SD dan untuk kegiatan ibadat harus pergi ke gereja karena belum memiliki kapel sendiri, namun semua calon suster ini cukup serius dan sangatlah memberi harapan. Hal itu membuat Sr. Cayetana terpicu untuk membangun Novisiat di pekarangan Suster sendiri. Dan dengan rahmat Tuhan Novisiat baru itu diberkati oleh Pastor Timmermans, pastor paroki St. Antonius Hayam Wuruk Medan. Saat itu kelima postulant yang pertama sudah pula memasuki masa novisiat. Sebagai penghargaan atas jasanya, P. Van Duyn Hoven yang mengantar ketiga calon ini dipercayakan memberi retret pertama dalam bahasa batak. Tercatat sembilan tahun lamanya Sr. Melchiada menjadi pemimpin postulant sebagai tangan kanan Sr. Mamerta, sedangkan Sr. Mamerta sendiri bertugas selama 18 tahun menjadi ibu pendidik novis. Di awal-awal berdirinya novis ini, pastilah banyak kesulitan, terlebih-lebih dalam pengadaan buku-buku yang berbahasa Indonesia, semua harus diterjemahkan dulu dari Bahasa Belanda. Untuk ini kongregasi sangat berterima kasih kepada P. Lim dari Sidikalang yang dengan susah payah menterjemahkan Konstitusi/ Regel kongregasi ke dalam bahasa Indonesia.