Menurut sistem demokrasi di Indonesia yang berhak memilih dalam pemilihan umum adalah

Menurut sistem demokrasi di Indonesia yang berhak memilih dalam pemilihan umum adalah

Oleh Hartoyo

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan perwujudan sistem demokrasi, di mana rakyat dapat turut berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Suryanto,[1] mendeskripsikan pemilihan umum sebagai usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tanpa paksaan) melalui kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobi-lobi, maupun kegiatan-kegiatan lain.

Sistem pemilihan umum merupakan sebagian di antara instrumen kelembagaan penting dalam negara demokrasi. Sebuah negara demokrasi ditandai dengan tiga syarat, sebagai berikut:[2] 1) Kompetisi dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan; 2) Partisipasi masyarakat; 3) Jaminan hak-hak sipil dan politik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, diwujudkanlah sistem pemilihan umum. Dengan sistem tersebut maka kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak politik dapat terpenuhi.

Secara garis besar sistem pemilihan umum dibagi dibagi menjadi dua macam, yakni sistem proporsional dan sistem non proporsional (disebut juga sistem distrik).[3] Sistem proporsional atau juga disebut sebagai sistem perwakilan adalah sistem pemilihan umum di mana satu daerah pemilihan memilih beberapa orang sebagai wakil. Sedangkan sistem non proporsional merupakan bentuk penerapan prinsip single-member constituency, yakni satu daerah pemilihan memilih satu wakil saja.

Pemilihan umum di Indonesia diatur dalam UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, kemudian diperbarui dengan UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selanjutnya diperbarui lagi dengan UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.[4] Dalam perkembangan selanjutnya, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga menjadi bagian dari rezim pemilihan umum.

Pada mulanya pemilihan umum di Indonesia dilakukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yakni DPR, DPRD, dan DPD. Semenjak dilakukan ‘amandemen’ IV UUD 1945 pada tahun 2002, untuk memilih presiden dan wakil presiden yang semula dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka disepakati untuk pemilihan presiden dan wakil presiden tersebut langsung oleh rakyat. Dengan demikian pemilihan presiden dan wakil presiden masuk dalam rezim[5] pemilihan umum, yang biasa dikenal dengan istilah ‘Pilpres’. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum untuk yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 2004.

Pada masa sekarang ini pemilihan umum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang disahkan pada tanggal 15 Agustus 2017 di Jakarta. Undang-Undang itu menyatukan tiga Undang-Undang yang telah ada sebelumnya, yakni: 1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; 2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum; dan 3) Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum pada Bab I Pasal 1, Pemilihan Umum atau Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonsia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas ‘kedaulatan di tangan rakyat’, sehingga tercipta hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal tersebut merupakan inti kehidupan demokrasi.

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum pada Bab I Pasal 1 tersebut di atas, bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa Pemilu harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan berdasarkan asas-asas Pemilihan Umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

  1. Langsung artinya adalah rakyat sebagai pemilih mempunyai hak memberikan suaranya secara langsung tanpa perantara, sesuai dengan kehendak hati nuraninya;
  2. Umum maksudnya adalah, setiap warga negara yang mempunyai persyaratan minimal berusia 17 tahun atau lebih atau telah menikah, maka ia berhak ikut memilih dalam Pemilu, dan warga negara yang telah berusia 21 tahun berhak dipilih. Dengan demikian Pemilu menjamin kesempatan warga negara yang memenuhi persyaratan tertentu untuk mengikuti Pemilu tanpa adanya diskriminasi;
  3. Bebas artinya setiap warga negara bebas menentukan pilihannya, tanpa tekanan dan paksaan dalam bentuk apapun dan dari pihak manapun. Dalam melaksanakan hak konstitusionalnya setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga ia dapat memilih sesuai dengan hati nurani serta kepentingannya;
  4. Rahasia maksudnya adalah pemilih dalam menyalurkan aspirasi politiknya tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan jalan apapun;
  5. Jujur artinya semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu, baik secara langsung maupun tidak langsung harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku;
  6. Adil maksudnya dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta Pemilu mendapatkan perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan yang dilakukan pihak manapun.

Untuk mewujudkan asas-asas Pemilu sebagaimana tersebut di atas, Suryanto merumuskan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sebagai berikut:[6]

  1. Peraturan perundangan yang mengatur Pemilu tidak membuka peluang terjadinya tindak kecurangan yang bisa menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu;
  2. Peraturan pelaksanaan Pemilu yang memuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan Pemilu tidak membuka peluang terjadinya tindak kecurangan yang bisa menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu;
  3. Badan/Penyelenggara Pemilu harus bersifat mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pemerintah atau partai politik peserta Pemilu, baik dalam hal kebijakan maupun operasionalnya, serta terdiri dari tokoh-tokoh yang kredibilitasnya tidak diragukan;
  4. Panitia Pemilu di semua jenjang dan tingkatan harus bersifat mendiri dan independen, bebas dari adanya campur tangan pemerintah atau partai politik peserta Pemilu, baik dalam hal kebijakan maupun operasionalnya, serta terdiri dari tokoh-tokoh yang kredibilitasnya tidak diragukan. Keterlibatan aparat pemerintahan dalam kepanitiaan Pemilu sebatas pada dukungan teknis operasional yang bersifat administratif;
  5. Partai politik peserta Pemilu hendaknya memiliki kesiapan yang memadai untuk terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu, khususnya yang berkaitan dengan kepanitiaan Pemilu serta kemampuan mempersiapkan saksi-saksi di tempat-tempat pemungutan suara.
  6. Kampanye

Dalam Undang-Undang Pemilihan Umum,[7] dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kampanye pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Mengacu Undang-Undang Pemilihan Umum tersebut, maka kampanye dilaksanakan secara serentak antara kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pemilihan umum yang diselenggarakan pada tahun 2019 merupakan pemilihan umum pertama yang tidak hanya memilih anggota legislatif saja, tetapi sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden. Secara terperinci pemilu sekarang ini memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan memilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan demikian kampanye yang dilakukan tidak semata-mata mengkampanyekan anggota legislatif di semua tingkatan, tetapi juga kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Istilah kampanye diambil dari bahasa Inggris, campaign secara umum dimaksudkan sebagai suatu kegiatan komunikasi verbal dan non verbal dengan cara persuasif yang mencakup kegiatan yang bersifat sosial, ekonomi, dan politik.[8] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,[9] kampanye diartikan sebagai gerakan (tindakan) serentak (untuk melawan, mengadakan aksi, dan sebagainya); Kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan di parlemen dan sebagainya, untuk mendapatkan dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara.

Roger dan Storey,[10] berpendapat bahwa kampanye adalah serangkaian kegiatan komunikasi antar organisasi dengan tujuan menciptakan dampak tertentu, terhadap sebagian besar khalayak sasaran secara berkelanjutan dalam periode tertentu. Kampanye dilakukan oleh para juru kampanye dari partai politik, dengan catatan harus didaftarkan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik KPU Pusat, KPU Provinsi, maupun KPU Kabupaten/Kota.[11]

 Dalam beberapa penelitian diketahui adanya kecenderungan bahwa kampanye Pemilu ternyata tidak signifikan terhadap pemberian suara pemilih.[12] Menurut sementara penelitian itu, pengaruh yang besar dalam pemberian suara disebabkan karena adanya hubungan emosional , atau ikatan afeksi) mereka terhadap suatu partai tertentu. Ada lagi praktek dalam kampanye, meskipun tidak dibenarkan dan melanggar Undang-Undang, tapi ditengarai ada yang melakukan, yakni kampanye yang disertai hadiah dalam bentuk ‘materi’, yang biasa dikenal dengan istilah money politics. Hanya saja praktik politik uang itu sulit dibuktikan.  

  • Pemilih dan Hak Pilih
  • Tipe Pemberi Suara

Orang yang memberikan suaranya dalam pemilihan umum ada beberapa macam, Dan Nimmo,[13] membagi menjadi empat tipe pemberi suara. Empat tipe itu adalah: 1) Tipe rasional; 2) Tipe reaktif; 3) Tipe responsif; dan 4) Tipe aktif.

Tipe rasional adalah pemberi suara berdasarkan pertimbangan rasional. Karakteristik orang-orang yang rasional, di antaranya: 1) Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif; 2) Memilih alternatif-alternatif secara sadar; 3) Memilih alternatif yang peringkat preferensinya paling tinggi; 4) Selalu mengambil keputusan yang sama jika dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama.

Tipe reaktif adalah pemberi suara yang mempunyai ketertarikan emosional dengan partai politik tertentu. Ikatan emosional kepada partai merupakan sumber utama aksi dari pemberi suara yang reaktif. Semakin kuat ikatan dengan partai semakin besar distorsi persepsinya.

Tipe responsif adalah pemberi suara yang mudah berubah dengan mengikuti waktu, peristiwa politik dan kondisi-kondisi sesaat. Meski memiliki kesetiaan kepada partai, tapi afiliasinya tidak mempengaruhi perilakunya dalam pemberian suara. Pemberi suara yang responsif lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka pendek dibanding kesetiannya kepada kelompok atau kepada partai.

Tipe aktif adalah pemberi suara yang terlibat aktif dalam menginterpretasikan peristiwa, isu, partai dan personalitas dengan menetapkan, menyusun maupun menerima serangkaian pilihan yang diberikan.

Di samping empat tipe pemberi suara tersebut, Anwar Arifin menambah satu tipe lagi, yakni tipe transaksional.[14] Tipe transaksional adalah pemberi suara yang memberi suara berdasarkan transaksi-transaksi, bisa berupa hadiah atau fasilitas. Ini yang sering diidentifikasikan sebagai politik uang (money politics). Tipe ini jumlahnya banyak di Indonesia.

Pemberi suara terutama yang menyangkut citra diri politik menurut Dan Nimmo,[15] meliputi: 1) Citra diri partisan, yakni melakukan pemberian suara tanpa terpengaruh oleh isu, kandidat dan peristiwa. Sebagai partisan partai, orang dalam tipe ini memberikan suaranya kepada partai tersebut; 2) Citra diri kelas, yakni pemberi suara mengacu kepada kelas sosial tempat mereka mengidentifikasikan diri dan menganggap dirinya sebagai anggotanya, seperti kelas atas, kelas menengah, ataukelas bawah; 3) Citra diri ideologi adalah para pemilih yang memberikan suaranya kepada partai atau calon yang sesuai dengan ideologi politiknya; 4) Citra diri jabatan ideal, yakni pemberi suara akan menjatuhkan pilihannya sesuai dengan citra diri jabatan yang ideal. Dalam hal ini pemilih akan mencari sifat-sifat abstrak, seperti kedewasaan, kejujuran, kecerdasan, kesungguhan, kegiatan dan energi. Dengan kata lain, pemilih akan mencari pahlawan politik untuk dipilih menduduki jabatan tertentu, yakni Presiden, gubernur, dan anggota parlemen.

Menurut Anwar Arifin,[16] pemberi suara pada saat menentukan pilihannya dalam pemilihan umum akan memfokuskan perhatiannya kepada isu politik yang dikembangkan oleh kandidat dalam kampanye pemilihan umum. Isu politik tersebut meliputi  visi dan misi, serta program partai politik atau program para kandidat yang berkontestasi.dalam pemilihan umum.  

Pasca digelarnya pemilihan umum tahun 2019, muncul wacana ‘People Power’, people power ini bisa diartikan sebagai ‘kuasa rakyat’. Kemunculan istilah people power pasca Pemilu tahun 2019 ini berawal dari pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, saat menghadiri kampanye Prabowo Subianto di Yogyakarta.[17]

Sebenarnya istilah People power pertama kali dipakai pada ‘revolusi damai’ di Filipina tahun 1986, di mana dalam peristiwa tersebut jutaan rakyat Filipina melakukan aksi damai dengan tujuan mengakhiri rezim otoriter Presiden Ferdinand Marcos. Upaya tersebut berhasil dengan ditetapkannya Corazon Aquino sebagai presiden yang menggantikan Ferdinand Marcos.[18]

Hampir sama kejadiannya, di Indonesia juga pernah terjadi semacam people power tahun 1998, ketika sejumlah massa yang besar menuntut mundurnya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Aksi massa tersebut telah berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dengan mundurnya Presiden Soeharto, sekaligus gerakan massa tersebut melahirkan ‘Era Reformasi’.

Di negara demokrasi yang sehat, people power menemukan bentuknya.[19] Hal itu karena dalam negara demokrasi rakyat adalah segalanya. Seluruh lembaga negara adalah pengejawantahan rakyat. Presiden adalah rakyat yang selama lima tahun, dipercaya oleh rakyat yang lain untuk menjalankan roda pemerintahan. Tentara adalah rakyat yang mendapat tugas khusus untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara.

Wakil rakyat adalah perwakilan rakyat yang mendapat tugas membuat regulasi, sekaligus menjadi penyeimbang presiden. Demikian pula lembaga-lembaga yang lain, seperti lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi, kepolisian, Walikota, Bupati, sampai dengan aparat di tingkat desa atau kelurahan, semua adalah perwujudan rakyat.[20] Begitu juga pemilihan umum tidak lain adalah di antara bentuk people power. Dengan pemilihan umum tersebut rakyat menunjukkan kuasanya atau powernya untuk menentukan jalannya pemerintahan selama lima tahun ke depan. Dengan pemilihan umum rakyat memilih Presiden, Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.

[1] Suryanto, S.Sos, M.Si, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Pustaka Setia, 2018), hlm. 256

[2] Ibid, hlm. 259

[3] Arifin, Anwar, Prof. Dr, Perspektif Ilmu Politik, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 109

[4] Suryanto, op. cit, hlm. 257

[5] Rezim adalah serangkaian peraturan baik formal (misalnya konstitusi dan sebagainya) maupun informal (misalnya hukum adat, norma budaya atau norma sosial dan sebagainya) yang mengatur pelaksanaan suatu pemerintahan terkait interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat.

[6] Suryanto, op. cit, hlm. 259

[7] Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dijelaskan dalam bab I Pengertian, pada angka 35

[8] Arifin, op. cit, hlm. 113

[9] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 613

[10] Arifin, loc. cit.

[11] Lihat UU Pemilu Bab VII Pasal 272

[12] Arifin, op. cit, hlm. 115.

[13] Ibid.

[14] Ibid, hlm. 116

[15] Ibid, hlm. 125

[16] Ibid, hlm. 127

[17] Marisa Safitri, dalam https://www.idntimes.com diunduh 12/06/2019

[18] Idem

[19] Jati Diri Jawa Pos, Rabu 22 Mei 2019

[20] Idem