Sebutkan usaha usaha yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan minyak bumi

Sebutkan usaha usaha yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan minyak bumi

Jakarta, Ruangenergi.com – Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) menyebut ada dua bentuk energi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, pertama dalam bentuk listrik dan yang kedua Bahan Bakar Minyak (BBM) ataupun Bahan Bakar Gas (BBG).

Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Aspermigas, John Karamoy, dalam sebuah diskusi secara tatap muka yang dihelat oleh Askara Corner bertajuk Indonesia’s Energy Transition Pathway, yang di moderatori oleh Eks Ketua Forum Wartawan ESDM dan Pemimpin Redaksi Ruang Energi, Godang Sitompul, dengan menghadirkan nara sumber Ketua Umum Aspermigas, Ekonom Energi Widhyawan Wiraatmadja, dan Senior Specialist Expert PT Indonesia Power, Herdiyanto Soekono, yang disiarkan melalui YouTube channel Askara Corner, Minggu, (23/05/2021).

Ia mengatakan, energi listrik sangat dibutuhkan untuk industri dan perumahan. Energi dalam bentuk listrik tersebut juga menggunakan sumber-sumber energi seperti fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi), dan non fosil atau Energi Baru dan Terbarukan (EBT) seperi (Air, Geothermal, Angin, Matahari, Nuklir, Biofuel), yang akan didistribusikan melalui jaringan tegangan tinggi.

Sebutkan usaha usaha yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan minyak bumi

Sementara, energi BBM/BBG sangat dibutuhkan untuk industri transportasi, rumah tangga, minyak bumi, gas bumi, syntectic fuel, batubara (coal gasification dan coal liquidfaction), Biofuel, Biogas, Hidrogen yang akan didistribusikan melalui pipa/pengangkutan.

“Listrik di Indonesia dihasilkan sekitar 60% dari batubara, 20% dari gas, kira-kira 6% dari minyak. Jika kita bicara listrik, jelas coal (batubara) mendominasi, bicara BBM/BBG sangat dibutuhkan untuk industri tertentu seperti masyarakat dan rumah tangga, dan transportasi,” katanya

Ia menambahkan, ke depan Pemerintah juga memiliki rencana untuk meningkatkan penggunaan energi bersih, hal ini sejalan dengan komitmen global dalam Paris Agreement, untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan bantuan negara lain pada 2030 sesuai NDC (Nationally Determined Contribution).

Selain itu, Pemerintah juga berupaya mengurangi emisi GRK sebesar 314-398 juta ton CO2 pada 2030 mendatang, melalui pengembangan EBT, pelaksanaan efisiensi energi dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih.

“Kalau dibilang lebih bagus, itu harus kita hubungkan dengan tuntutan masyarakat dunia sekarang ini, agar pengguna energi itu tidak lagi terlalu tergantung pada sumber-sumber yang memberikan CO2 (emisi gas rumah kaca). Itu yang kita kenal sebagai penyebab terjadinya climate change (perubahan iklim),” terang John.

“Kalau kita lihat yang menyebabkan lebih banyak CO2 itu umumnya dari batubara, kalau bicara kedepan energi yaitu bagaimana mengurangi pemakaian batubara (Coal). Tapi hal ini menjadi tantangan bagi kita, sebab batubara baru mulai dalam 20 tahun terakhir, jadi investment-investment disektor tambang batubara belum semuanya kembali. Tapi tetap secara bertahap ke depan kita harus mengurangi pemakaian batubara,” imbuhnya.

Lebih jauh, ia mengatakan, di sektor kelistrikan, Indonesia berupaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (CO2), serta harus meningkatkan, di antaranya :

1. Menurunkan pemakaian batubara (PLTU). 2. Meningkatkan Pemanfaatan listrik dari PLTS, PLTB, PLTGeotermal, PLTA (Air Terjun dan Air Deras).

3. BBM untuk transportasi mulai beralih ke penggunaan baterai listrik dan biofuel.

Sebutkan usaha usaha yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan minyak bumi

Di kesempatan yang sama, Energy Economist, Widyhawan Prawiraatmadja, menambahkan, bicara energi hal ini selalu menghadapi dilema.

“Jadi maunya kan murah, andal, ramah lingkungan, tersedia, bisa diakses dan berkelanjutan. Tapi juga kadang-kadang jika dilihat sebenarnya tidak semudah itu, batubara mungkin dianggap murah tapi jika dilihat dampaknya untuk perubahan iklim dan pemanasan global (global warming),” katanya.

Ia melanjutkan, sebenarnya ada teknologinya untuk mengambil CO2 dari batubara tersebut yakni dengan Carbon Capture Storage and Utilization (CCSU).

“Kembali lagi, jika kita mempertimbangkan lingkungan sebenarnya batubara itu tidak murah karena karbon yang dihasilkan sangat rendah atau dicarikan cara penanggulangannya,” paparnya.

“Konteksnya adalah seberapa siap kita dapat melakukan hal tersebut, dengan penyamaan biaya sehingga bisa Apple to Apple sumber energi batubara dengan yang lain. Tapi jangan lupa, kita memiliki potensi EBT yang cukup banyak dan tidak menghasilkan karbon. Terkait harga, ini menjadi sesuatu yang berbeda, mau pakai mahal tapi bersih atau murah tapi kotor,” sambungnya.

Seiring perkembangan zaman, jelas Widhyawan, investasi disektor EBT saat ini sudah sangat murah, seperti halnya pengembangan energi surya, begitupun dengan energi angin.

Sementara untuk sektor pertambangan, kata Widyhawan, belum lama ada kegiatan investasi yang dilakukan seperti tambang batubara dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Apalagi banyak yang baru tandatangan, batu saja onstream, bahkan ada yang bakalan onstream, lalu jika terlalu cepat diberhentikan ini namanya Staranded Asset.

“Jika sudah seperti ini nanti siapa yang akan membayarnya, padahal mereka kan juga punya kontrak untuk jangka waktu 5-25 tahun kedepan. Ini menjadi hal yang harus kita pertimbangkan, pastinya kearah yang lebih baik dan bersih itu kan menajsi tujuan bersama. Sebaiknya dari sekarang tidak ada lagi penambahan investasi di sektor batubara,” ungkapnya.

Sebutkan usaha usaha yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan minyak bumi

Proses Transisi Energi

PLN’s Expert, Herdiyanto Soekono, mengatakan dalam melakukan transisi energi hal yang perlu diperhatikan yakni bagaimana mentansformasi energi ini mulai dari ketersediaan resources (sumberdaya) yang ada.

“Banyak yang menyampaikan bahwa kita beruntung banyak memiliki cadangan energi baru dan terbarukan seperi panasbumi (Geothermal) terbesar kedua setelah US, dan saat ini belum termanfaatkan dengan maksimal. Kemudian paradigma baru harga Variabel Renewables Energy dalam hal ini solar dan wind sudah sedemikian murah, hanya saja isu yang ada ketidaksiapan grid (jaringan) mungkin, selain itu juga maintenance resources yang juga marginal di equator line. Mungkin isu berikutnya adalah regulasi pemerintah mengenai industri dalam negeri dan partisipasi perusahaan lokal untuk bisnis ini sendiri,” katanya.

Terkiat isu grid, ini menjadi tugas PLN dan sebenarnya juga sudah banyak pembahasan yang dibuat bagaimana ketahanan untuk menyambung jaringan hingga ke end user , terlebih yang memiliki karakter intermitten yang harus segera diselesaikan.

Kemudian, John Karamoy, kembali mengatakan, Indonesia memiliki tiga kelebihan di sektor energi, yang pertama Indonesia berada di Ring Of Fire yang sangat banyak menghasilkan energi dari panasbumi. Sebagaimana diketahui, potensi yang tersimpan sebesar 23,7 Gigawatt (GW) dan hingga saat ini pemanfaatan pembangkit listrik dari panasbumi baru mencapai 2.130 Megawatt (MW) atau baru sekitar 8,9% dari total sumber daya yang bisa dimanfaatkan.

Kedua, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 95,181 km, dengan luas perairan laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi. Selain itu, juga merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia yang dapat dimanfaatkan untuk PLT Bayu dan PLT Arus Laut.

“Kita harus memanfaatkan arus laut untuk menjadi energi listrik, dan dengan garis pantai ini ada ombak dan teknologi pengembangan pembangkit listrik dari ombak sudah ada tapi masih mahal, seiring berjalannya waktu mungkin ada efisiensi sehingga biayanya menjadi terjangkau. Dengan puluhan ribu garis pantai yang dimiliki Indonesia, bayangkan kita bisa pasang alat-alat yang bisa mengkonversi ombak itu menjadi listrik, begapa banka listrik yang data dihasilkan,” imbuhnya.

Ketiga, terletak di garis khatulistiwa, memiliki potensi besar PLT Surya dan banyak tumbuh-tumbuhan yang menyerap lebih banyak CO2.

“Kita beruntung bisa menikmati 8 jam dalam sehari pancaran sinar matahari secara gratis dan itu sangat berpotensi menghasilkan energi listrik, berbeda dengan negara lain yang hanya dapat menikmati sekitar 5 jam dalam sehari,” jelasnya.

“Yang tidak kalah pentingnya adalah kita diakui negara yang masih banyak hutannya, kita ini patu-paru dunia. Dalam banyak pertemuan saya mengatakan kenapa kita tidak menanam pohon-pohon yang bisa menyerap lebih banyak CO2, jika itu kita lakukan kita akan lebih dipuji lagi, terlebih lagi Indonesia merupakan negara yang paling mudah ditumbuhi pepohonan, jenis-jenis pohon mana yang harus ditanam sebanyak mungkin agar kita berkontribusi mengurangi CO2 seperti komitmen Paris Agreement,” tandasnya.

Sebutkan usaha usaha yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan minyak bumi

Sebutkan usaha usaha yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan minyak bumi

Sebutkan usaha usaha yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan minyak bumi