Salah satu cara mengasihi dan menyayangi sesama adalah

Bulan Februari sering disebut sebagai bulan kasih sayang karena ada peringatan Valentine’s Day setiap tanggal 14 Februari. Ada banyak pihak yang memanfaatkan bulan ini untuk berbicara secara mendalam tentang kasih. Perayaan hari kasih sayang pun dikemas dengan berbagai bentuk. Ada yang isinya bicara soal kasih sayang pada pasangan, keluarga, komunitas bekerja, rekan pelayanan, bahkan ada juga yang berbicara tentang mengasihi Tuhan di momen hari kasih sayang ini. Namun tidak sedikit juga yang memakai momen hari kasih sayang untuk melakukan hal-hal tidak baik. “Valentine nih, kita holiday berdua yuk,” kata seseorang kepada pacarnya, kemudian berujung dengan melakukan free sex. Ma, hari Valentine nih, jalan-jalan yuk!” kata seorang anak pada ibunya. “Mama kasih uang ya, kamu pergi aja sama mba atau teman-teman kamu,” jawab ibunya. Benarkah tindakan demikian merupakan bentuk mengasihi antara satu orang kepada yang lain?

Orang Kristen sangat identik dengan ajaran kasih karena ajaran utama Yesus tentang hukum kasih. Ajaran ini seringkali dilihat sebagai ajaran yang menguatkan ketika dunia lebih banyak mengajari manusia untuk mengurus diri pribadi dan tak perlu memedulikan orang lain. Namun tak jarang juga ajaran ini dilihat sebagai hal utopis yang tidak mungkin dilakukan manusia. Hukum kasih hanya dilihat sebagai aturan yang kalau mampu dilakukan, kalau tidak mampu, dilewatkan saja. Tetapi mari kita melihat hukum ini untuk mencari kekuatan dalam mengasihi sesama.

Mengasihi Allah dengan Hati, Jiwa dan Akal Budi

Dalam Matius 22: 37-40, termuat perkataan Yesus yang menjadi inti dari ajaran Kristen yakni hukum kasih yang biasa juga disebut hukum yang terutama. Pada bagian ini Yesus sedang menjawab pertanyaan seorang Farisi sekaligus ahli Taurat yang sedang menguji-Nya. Maksud sang ahli Taurat bertanya demikian adalah untuk mencari-cari kesalahan Yesus. Jika Yesus menjawab salah satu aturan dari hukum Taurat juga turunan-turunannya (pada zaman itu orang-orang Yahudi juga berpegangan pada hukum turunan yang merupakan hasil penafsiran dari hukum Taurat yang isinya lebih praktis) sebagai hukum yang terutama, pasti mereka telah menyiapkan bahan untuk menyalahkan jawaban dari Yesus.

Sayangnya prediksi ahli Taurat terhadap Yesus ternyata keliru, sebab Dia merupakan sosok yang cerdas. Ia menyebutkan inti dari hukum Taurat sebagai hukum yang terutama. Ia tidak terkecoh oleh pertanyaan ahli Taurat tersebut. Yesus mengatakan demikian: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia  seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Dari jawaban Yesus, kita dapat melihat bahwa Ia memahami apa yang Ia hayati sebagai hukum Tuhan. Hukum Taurat bukan hanya dilihat secara teknis, tetapi juga secara filosofis dan mendalam. Ia berteologi lewat hukum yang diberlakukan dalam kehidupan beragama. Saat ini sikap yang sedang populer di kalangan masyarakat justru sikap yang bertentangan dengan apa yang Yesus lakukan. Banyak orang beragama hanya secara praktis, hanya menelan mentah-mentah apa yang tertulis, apa yang diterapkan sebagai aturan. Banyak orang beragama tanpa menggunakan nalar dan penghayatan. Hal inilah yang membuat pemaknaan tentang beragama menjadi semakin sempit. Orang-orang yang berjuang untuk mengasihi Allah lewat ketaatannya terhadap aturan keagamaan menjadi orang-orang yang salah arah. Mereka tidak lagi mengasihi Allah, mereka hanya mengasihi aturan keagamaan yang dipandang begitu penting dan suci.

Seperti apa yang Yesus katakan, kita diminta untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi. Artinya kita harus berusaha untuk menjadi pribadi yang mau mengolah rasa, mengolah emosi, maupun mengolah pengertian kita akan Allah. Kita mengasihi-Nya dengan keseluruhan diri kita. Kita tidak bisa mengasihi Allah jika hanya melakukan aturan-aturan keagamaan secara praktis tetapi hati dan pikiran kita tidak menghendakinya.

Mengasihi Diri Sendiri untuk Mengasihi Sesama

Hukum Taurat merupakan hukum yang dianugerahkan Allah pada umat-Nya untuk menjaga relasi antara manusia dengan Allah serta manusia dengan sesamanya. Yesus menyadari bahwa dua bagian tersebut ada dalam satu kesatuan. Sama-sama penting dan tidak dapat dibandingkan mana yang lebih utama. Keduanya adalah hukum yang sama-sama utama. Mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri merupakan hukum yang sama pentingnya dengan mengasihi Allah.

Bagian yang kedua ini seringkali secara cepat dimaknai bahwa kita harus berbuat baik pada sesama. Itu memang benar, tetapi mari kita soroti kalimat Yesus tadi secara lebih seksama. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Seseorang tidak dapat mengasihi sesamanya jika ia tidak mengasihi dirinya sendiri. Kemudian bagaimanakah kita semestinya mengasihi diri kita? Secara prinsip, sama seperti yang Yesus katakan tentang mengasihi Allah yakni dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap akal budi. Kita perlu belajar untuk mengasihi diri sendiri. Hal ini tidak diartikan sebagai bentuk egoisme atau tindakan narsistik. Mengasihi diri sendiri merupakan sebuah bentuk penerimaan atas apa yang ada dan terjadi dalam diri kita. Dengan menggunakan hati, jiwa, dan akal budi, kita belajar untuk memahami apa yang lebih dan kurang dari diri kita. Kita belajar untuk menerima dan berdamai dengan keadaan diri sendiri. Kita tidak terus menerus menyalahkan diri jika kita salah. Kita juga tidak perlu membandingkan diri kita dengan orang lain dan terus menuntut diri kita agar sama seperti orang lain. Kita perlu belajar percaya pada diri sendiri, percaya bahwa diri kita pun baik adanya. Diri kita diciptakan Tuhan bukan dengan asal-asalan. Ketika kita dapat percaya pada diri kita, maka kita sedang percaya bahwa kebesaran dan cinta kasih Tuhan yang berkarya atas diri kita.

Kasih yang kita upayakan pada diri sendiri itulah yang akan menuntun kita untuk dapat mengasihi sesama. Hanya seseorang yang dapat menerima dirinyalah yang dapat menerima orang lain dengan tulus. Hanya seseorang yang dapat menjaga dirinyalah yang dapat menjaga orang lain. Hukum Taurat yang dianugerahkan oleh Allah pada manusia tentang relasinya dengan sesama manusia bukanlah suatu tuntutan semata agar manusia berperilaku baik pada orang lain, tetapi juga agar manusia berperilaku baik pada dirinya sendiri. Allah katakan jangan mencuri. Perintah itu bukan hanya menghindarkan orang dari perbuatan yang merugikan orang lain (membuat orang lain kekurangan materi), tetapi juga menghindarkan seseorang dari rasa ketidakpuasan dan ketakutan. Mencuri adalah tindakan yang lahir dari kondisi tidak puas akan apa yang ia miliki. Ketika ia mencuri, ia pun tidak akan merasa puas, ia justru menjadi takut karena memperoleh sesuatu yang bukan haknya. Allah ingin menghindarkan manusia dari kondisi-kondisi yang tidak baik, makanya Ia menganugerahkan hukum untuk mengatur kehidupan manusia denganNya dan sesamanya.

Ketika seseorang mengasihi Allah dan dirinya dengan sungguh dan penuh, maka kasih itu akan memancar pada sesamanya. Ia akan dimampukan Allah untuk menyatakan kebaikan-kebaikan yang menenangkan dirinya dan sesamanya. Ia tidak akan punya alasan untuk tidak mengasihi sesamanya. Ia tidak akan kelelahan untuk terus memahami dan mengasihi orang lain. Bahkan, ia akan terus mencari orang-orang yang perlu ia kasihi.

Praktek Mengasihi di Hari Valentine

Berkaca dari penghayatan ajaran hukum kasih yang diajarkan Yesus, semestinya kita memiliki banyak pilihan untuk merayakan kasih sayang di hari Valentine. Cinta kasih diantara pasangan tidak boleh lagi dimaknai secara sederhana dengan melakukan tindakan tidak senonoh seperti seks bebas. Cinta kasih diantara keluarga tidak boleh lagi dikecilkan hanya dengan memberikan uang atau biaya harian pada anak tetapi tidak pernah memberikan waktu untuk saling memperhatikan. Cinta kasih pada rekan kerja tidak boleh lagi dipraktikkan hanya sekadar kerja bersama kemudian justru menjelek-jelekan satu sama lain di belakang. Cinta kasih mesti kita rayakan secara utuh yakni dengan hati, jiwa, dan akal budi. Cinta kasih kepada Allah dan diri sendiri yang memancar pada sesama sudah semestinya mewujud dalam praktik paling sederhana. Lewat sapaan, senyuman, pengertian, kesediaan membantu, pemberian waktu untuk mendengarkan keluh kesah, bahkan sampai keberanian untuk menyuarakan hak-hak kemanusiaan. Cinta kasih itu semestinya kita rayakan dengan utuh dan lebih sungguh bersama pasangan, keluarga, rekan kerja, juga orang-orang yang membutuhkan meski tidak kita kenal secara intim. (Ester Novaria/ PKK)

Untuk mengukur keber-Islaman seseorang bisa lewat beberapa cara, tetapi yang lebih umum adalah melihat dari keaktifan seseorang dalam menjalankan kegiatan ritual, seperti shalat, puasa, zakat, dan juga haji. Orang yang sehari-hari telah menjalankan beberapa jenis kegiatan ritual itu, maka disebut telah menjalankan Islam dengan baik.

Hal demikian itu sebenarnya tidak salah, oleh karena kegiatan ritual adalah bagian penting dari Islam. Bahkan ada hadits nabi yang intinya mengatakan bahwa, segala amal akan dilihat dari kualitas shalatnya. Manakala shalatnya baik, maka kegiatan yang lain akan menjadi baik, dan demikian pula sebaliknya. Sebagai seorang muslim, maka dalam sehari semalam harus menjalankan kewajiban shalat lima waktu.

Akan tetapi bahwa sebenarnya shalat yang dijalankan oleh seseorang harus memberi dampak positif pada perilaku yang bersangkutan. Shalat harus membuahkan bekas kebaikan, di antaranya adalah kesediaan mencintai atau menyayangi sesama. Dalam hadits nabi juga disebutkan, bahwa tidak sempurna iman seseorang hingga yang bersangkutan sanggup mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Kegiatan shalat akan memberi bekas kepada pelakunya sendiri manakala dijalankan oleh orang yang beriman. Semua kegiatan ritual, tidak terkecuali shalat, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, benar, tulus dan ikhlas hanya karena Allah. Shalat tidak boleh dilakukan hanya sebatas formalitas, atau sekedar memenuhi kewajiban. Diajarkan bahwa shalat harus dijalankan dengan khusu'.

Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa kegiatan ritual seharusnya membuahkan perilaku mulia, di antaranya ialah kesanggupan untuk menyayangi sesama. Sementara itu, kasih sayang atau saling mencintai, adalah perbuatan hati, ialah bagian manusia yang paling dalam. Namun demikian, perbuatan itu seharusnya selalu diwujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari. Seseorang disebut telah menjalin kasih sayang atau saling mencintai dengan sesama, tetapi tidak memberi dampak apa-apa kepada yang disayangi, maka artinya kasih sayang itu hanyalah palsu belaka.

Oleh karena itu, konsep kasih sayang ini seharusnya diimplementasikan dalam berbagai kegiatan, misalnya kegiatan ekonomi, pendidikan, sosial, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain-lain. Atas dasar kasih sayang misalnya, maka kegiatan ekonomi tidak boleh merugikan orang lain, dan bahkan seharusnya adalah sebaliknya, yaitu justru menguntungkan. Manakala konsep Islam ini dijadikan pegangan, maka praktek-praktek ekonomi liberal, kapitalis, dan semacamnya tidak boleh tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat muslim. Praktek ekonomi semacam itu jauh dari nilai-nilai kasih sayang dan bahkan menjauhkan antar sesama.

Praktek ekonomi kapitalis, liberalis, dan semacamnya yang hanya akan memberikan kepuasan kepada sekelompok orang dan mensengsarakan terhadap kelompok lain yang lebih besar jumlahnya akan melahirkan kesenjangan. Selanjutnya, kesenjangan itu sendiri akan menumbuh-kembangkan sifat-sifat tercela yang tidak dikehendaki oleh Islam. Kasih sayang atau saling mencintai antar sesama semestinya dijadikan dasar dalam membangun perekonomian bersama. Sebaliknya, bukan berebut, dan apalagi perebutan yang berdampak mensengsarakan orang lain.

Contoh lainnya adalah dalam berpolitik. Politik diartikan sebagai cara manusia untuk meraih kesejahteraan bersama. Tujuan itu lagi-lagi akan gagal manakala tidak didasari oleh suasana kasih sayang atau saling mencintai. Berebut pengaruh atau kekuasaan, dan apalagi dilakukan dengan menggunakan segala cara, seperti suap menyuap, sogok menyogok, memanipulasi, membeli suara, dan seterusnya, maka justru akan menjadi perusak kehidupan bersama. Sekalipun politik itu berlabel Islam, tetapi manakala dijalankan atas dasar nilai-niali yang jauh dari kasih sayang dan atau saling mencintai, maka sebenarnya hal itu bukanlah cara Islam. Keber-Islaman seharusnya diukur dari adanya kasih sayang atau saling mencintai sesama. Wallahu a'lam.