Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain diatur dalam Pasal

sebutkan 5 kalimat intranssitif​

tolong bantu jawab kalau betul aku jadikan yang terbaik ​

kita harus menunjukkan sikap yang​

Pemberhentian sebuah perkara yang terbukti melanggar aturan hukum dan sudah diproses peradilan dinamakan....

18. pada saat mengendarai kendaraan bermotor, seorang remaja tidak mengenakan helm, jaket, sepatu, dan tidak memiliki sim karena belum cukup umur. tin … dakan remaja tersebut telah melanggar norma …

Latihan 1 Perhatikan gambar berikut. Jelaskan objek gambar yang kamu lihat dari gambar cerita. Kemudian, ceritakan di depan kelas. 1 2 4​

Hubungan formal dan material pancasila dengan pembukaan uud 1945

tolong di jawab plis​

Contoh soal pkn memahami makna keberagaman karakteristik individu di rumah dan di madrasah.

pliss beneran ni jawab langsung plissssss tolong dong​

Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain diatur dalam Pasal

Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain diatur dalam Pasal
Lihat Foto

KOMPAS.com/Gischa Prameswari

Ilustrasi kerja presiden dan DPR menurut UUD

KOMPAS.com – Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden tidak bekerja sendiri melainkan dibantu oleh lembaga legislatif dan yudikatif.

Salah satu lembaga legislatif adalah DPR. Hubungan kerja antara presiden dan DPR menurut UUD 1945 pasal 11, yaitu:

  1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  2. Preside dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Artinya Presiden dan Wakil Presiden sebagai lembaga eksekutif memiliki hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.

Makna UUD 1945 Pasal 11

Dari 3 butir pasal di atas, maka dapat disimpulkan hubungan Presiden dan DPR adalah sebagai berikut:

  • Presiden bisa menyatakan perang dengan persetujuan DPR.
  • Presiden bisa menyatakan damai dengan persetujuan DPR.
  • Presiden bisa membuat perjanjian internasional yang berdampak besar bagi negara dengan persetujuan DPR berdasarkan peraturan undang-undang dan konstitusi.
  • Presiden bisa mengubah atau membuat undang-undang dengan persetujuan DPR.

Artinya Presiden memiliki kewenangan yang sifatnya terbatas dan harus mengajukan persetujuan terlebih dahulu kepada DPR sebelum melakukan perjanjian internasional yang berdampak luas bagi rakyat juga negara.

Namun, apakah semua perjanjian yang dibuat pemerintah harus berdasarkan keputusan DPR?

Dedi Soemardi dalam jurnal Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 dalam Hubunganya dengan Loan Greement (2017) menyebutkan perjanjian penting yang memengaruhi haluan politik luar negeri memerlukan persetujuan DPR.

Namun, perjanjian yang tidak memengaruhi haluan politik luar negeri, tidak perlu persetujuan DPR. Sebagai gantinya, DPR cukup mengetahui perjanjian tersebut dan Presiden tidak memerlukan persetujuan DPR.

Mantan ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan dalam majalah Konstitusi: Lingkup Perjanjian Internasional Diperluas (Desember 2018) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, menyebutkan bahwa persetujuan DPR hanya sebagai bentuk checks and balances dan tidak semua hak DPR sebagai kekuasaan legislatif melekat dalam pembuatan perjanjian internasional.

Artinya persetujuan DPR merupakan bentuk pengecekan untuk menjaga keseimbangan negara. Dan hak inisiatif juga amendemen dalam perjanjian internasional tetap dipegang oleh Presiden sebagai lembaga eksekutif.

Sehingga hubungan kedua lembaga eksekutif dan legislatif tersebut didasari oleh kepentingan rakyat. Menurut Saldi Isra dalam jurnal Hubungan Presiden dan DPR (2013), pola hubungan Presiden dan DPR harus dibangun dalam bingkai etika yang kokoh karena menyangkut hubungan antarlembaga.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Peran DPR seharusnya menyetujui atau menolak tindakan pemerintah yang akan mengikatkan diri dalam kesepakatan/perjanjian internasional sesuai maksud Pasal 11 UUD 1945.

Setiap perjanjian internasional seharusnya membutuhkan persetujuan DPR terutama ketika substansi perjanjiannya berdampak terhadap masyarakat luas. Hal ini wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dimanatkan Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945 agar tercipta partisipasi, transparansi dan akutanbilitas dalam alam demokrasi.

Pandangan ini disampaikan pengajar hukum ekonomi Universitas Lancang Kuning Pekanbaru Cenuk Widiyastrisna Sayekti saat memberi keterangan sebagai ahli di sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional di Gedung MK Jakarta.

“Persetujuan DPR dalam perjanjian internasional sesuai prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat melalui pelaksananya (DPR),” kata Cenuk yang sengaja dihadirkan pemohon ini.

Sebelumnya, Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesian Human Rights and Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Solidaritas Perempuan (SP) dan KIARA. Lima pemohon perorangan yakni Amin Abdullah, Mukmin, Fauziah, Baiq Farihun dan Budiman.

Para Pemohon memohon pengujian Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional. Keempat pasal tersebut dinilai telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat lantaran hilangnya atau lemahnya kontrol dan keterlibatan rakyat (DPR) dalam proses perundingan perjanjian internasional. Padahal, sesuai Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945 setiap perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR.

Pasal 11 ayat (2)  UUD 1945 yang menyebut, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Mereka meminta MK agar Pasal 2 dan 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional dihapus/dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945. Dan, Pasal 9 ayat (2) UU No. 24 Tahun 200 tentang Perjanjian Internasional sepanjang frasa ”dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden” bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

Sementara Pasal 10 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait beban keuangan Negara hanya terbatas pada: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.”

Cenuk melanjutkan prinsip kedaulatan rakyat termuat dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Menurutnya, di beberapa negara perjanjian internasional membutuhkan persetujuan parlemen (DPR), terutama di negara-negara Uni Eropa.

Ia mencontohkan konstitusi Prancis, kewenangan berunding, meratifikasi traktat (perjanjian internasional) berada di tangan presiden. Akan tetapi, mengenai traktat yang dianggap penting harus disetujui dan diratifikasi melalui parlemen. Misalnya, traktat perdamaian, traktat perdagangan, traktat perjanjian organisasi internasional atau traktat yang berhubungan dengan komitmen finansial Prancis, perubahan wilayah negara, amandemen UU, hingga status perorangan berlaku hanya jika disetujui dan diratifikasi oleh parlemen. (Baca Juga: Pemerintah Klaim DPR Sudah Dilibatkan dalam Proses Perjanjian Internasional)

Ahli pemohon lain, Irfan R. Hutagalung mengatakan praktik pengesahan perjanjian internasional oleh DPR sesuai Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional menimbulkan persoalan. Sebab, sesungguhnya persetujuan DPR adalah tindakan sepihak DPR kepada pemerintah agar DPR setuju untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional. “Tetapi berlakunya UU No. 24 Tahun 2000, bukan lagi persetujuan, tetapi pengesahan antara presiden dengan DPR. Ini tentu aneh (berbeda maknanya),” kata Irfan. yang juga dosen Hukum Internasional FISIP UIN Jakarta.

Dosen Hukum Internasional FISIP UIN Jakarta ini menilai praktik pengesahan perjanjian internasional bermasalah jika merujuk Pasal 1 butir (2) UU Perjanjian Internasional sebagai perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan, dan persetujuan.

Lalu, dalam Pasal 9 ayat (1) menyebut “Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.” Ayat (2)-nya berbunyi, “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”

Menurutnya, pasal tersebut tidak mungkin bisa dilaksanakan karena tidak mungkin pemerintah menggunakan keppres atau perpres sebagai bentuk perbuatan hukum mengikat diri dalam perjanjian internasional. “Karena itu, peran DPR seharusnya menyetujui atau menolak tindakan pemerintah yang akan mengikatkan diri dalam kesepakatan/perjanjian internasional sesuai maksud Pasal 11 UUD 1945, sehingga praktiknya berubah dan menjadi tidak masuk akal,” katanya.

Sumber >>>http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5aec49d9b6b1a/ahli-tekankan-pentingnya-persetujuan-dpr-dalam-perjanjian-internasional