Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan ideologi

Selain Partai Nasional Indonesia (PNI), PKI merupakan partai politik pertama yang didirikan sesudah proklamasi. Meski demikian, PKI bukanlah partai baru, karena telah ada sejak jaman pergerakan nasional sebelum dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda akibat memberontak pada tahun 1926.

Sejak merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih bersikap mendukung pemerintah, yang kebetulan memang dikuasai oleh golongan kiri. Namun ketika golongan kiri terlempar dari pemerintahan, PKI menjadi partai oposisi dan bergabung dengan partai serta organisasi kiri lainnya dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan Amir Syarifuddin pada bulan Februari 1948. Pada awal September 1948 pimpinan PKI dipegang Muso. Ia membawa PKI ke dalam pemberontakan bersenjata yang dicetuskan di Madiun pada tanggal 18 September 1948 (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012).

Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan ideologi

Mengapa PKI memberontak? Alasan utamanya tentu bersifat ideologis, dimana mereka memiliki cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Berbagai upaya dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di bawah pimpinan Musso, PKI berhasil menarik partai dan organisasi kiri dalam FDR bergabung ke dalam PKI. Partai ini lalu mendorong dilakukannya berbagai demonstrasi dan pemogokan kaum buruh dan petani. Sebagian kekuatan- kekuatan bersenjata juga berhasil masuk dalam pengaruh mereka. Muso juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam pemerintah dan membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan Belanda yang ditengahi Amerika Serikat (AS). Pernyataan Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada Uni Sovyet yang komunis. Padahal saat itu AS dan Uni Sovyet tengah mengalami Perang Dingin.

Pemerintah Indonesia   telah   melakukan upaya-upaya diplomasi dengan Muso,   bahkan sampai mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan  Malaka,  untuk  meredam  gerak  ofensif  PKI  Muso.  Namun  kondisi politik sudah terlampau panas, sehingga pada pertengahan September 1948, pertempuran  antara  kekuatan-kekuatan  bersenjata  yang  memihak  PKI dengan TNI   mulai meletus. PKI dan kelompok pendukungnya kemudian memusatkan diri di Madiun. Muso pun kemudian pada tanggal 18 September 1948 memproklamirkan Republik Soviet Indonesia.

Presiden Soekarno segera bereaksi, dan berpidato di RRI Yogjakarta :

“…Saudara-saudara ! camkan benar apa artinja itu : Negara Republik Indonesia jang kita tjintai, hendak direbut oleh PKI Muso. Kemarin pagi PKI Muso, mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana suatu pemerintahan Sovyet, di bawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh Pemerintahan Republik Indonesia.

…Saudara-saudara, camkanlah benar-benar apa artinja jang telah terdjadi itu. Negara Republik Indonesia hendak direbut oleh PKI Muso !

Rakjat jang kutjinta ! Atas nama perdjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru kepadamu : “Pada saat jang begini genting, dimana engkau dan kita sekalian mengalami percobaan jang sebesar-besarnja dalam menentukan nasib kita sendiri, bagimu adalah pilihan antara dua : ikut Muso dengan PKI- nja jang akan membawa bangkrutnja cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta, jang Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia jang merdeka, tidak didjadjah oleh negeri apa pun djuga.

…Buruh jang djudjur, tani jang djudjur, pemuda jang djudjur, rakyat jang djudjur,djanganlah memberikan bantuan kepada kaum pengatjau itu. Djangan tertarik siulan mereka ! …Dengarlah, betapa djahatnja rentjana mereka itu ! (Daud Sinyal, 1996).

Di awal pemberontakan, pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan para pemimpin partai yang anti komunis terjadi. Kaum santri juga menjadi korban. Tetapi pasukan pemerintah yang dipelopori Divisi Siliwangi kemudian berhasil mendesak mundur pemberontak. Puncaknya adalah ketika Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin juga tertangkap. Ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Tokoh-tokoh muda PKI seperti Aidit dan Lukman berhasil melarikan diri. Merekalah yang kelak di tahun 1965, berhasil menjadikan PKI kembali menjadi partai besar di Indonesia sebelum terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ribuan orang tewas dan ditangkap pemerintah akibat pemberontakan Madiun ini. PKI gagal mengambil alih kekuasaan.

Dari kisah di atas, apa hal terpenting dari peristiwa pemberontakan PKI di Madiun ini bagi sejarah Indonesia kemudian ?

Pertama, upaya membentuk tentara Indonesia yang lebih profesional menguat sejak pemberontakan tersebut. Berbagai laskar dan kekuatan bersenjata “liar” berhasil didemobilisasi (dibubarkan). Dari sisi perjuangan diplomasi, simpati AS sebagai penengah dalam konflik dan perundingan antara Indonesia dengan Belanda perlahan berubah menjadi dukungan terhadap Indonesia, meskipun hal ini tidak juga bisa dilepaskan dari strategi global AS dalam menghadapi ancaman komunisme.

Tetapi hal terpenting lain juga perlu dicatat. Bahwasannya konflik yang terjadi berdampak pula pada banyaknya korban yang timbul. Ketidakbersatuan bangsa Indonesia yang tampak dalam peristiwa ini juga dimanfaatkan oleh Belanda yang mengira Indonesia lemah, untuk kemudian melancarkan agresi militernya yang kedua pada Desember 1948.

Pemberontakan DI/TII

Cikal bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa wilayah Indonesia bermula dari sebuah gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo. Ia dulu adalah salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Adalah perjanjian Renville yang membuka peluang bagi Kartosuwiryo untuk lebih mendekatkan cita-cita lamanya untuk mendirikan negara Islam.

Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan ideologi

Salah satu keputusan Renville adalah harus pindahnya pasukan RI dari daerah- daerah yang diklaim dan diduduki Belanda ke daerah yang dikuasai RI. Di Jawa Barat, Divisi Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun dipindahkan ke Jawa Tengah karena Jawa Barat dijadikan negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan Sabilillah yang telah berada di bawah pengaruh Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Vakum (kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa Barat segera dimanfaatkan Kartosuwiryo. Meski awalnya ia memimpin perjuangan melawan Belanda dalam rangka menunjang perjuangan RI, namun akhirnya perjuangan tersebut beralih menjadi perjuangan untuk merealisasikan cita-citanya. Ia lalu menyatakan pembentukan Darul Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan TII, di Jawa Barat pada Agustus 1948.

Persoalan timbul ketika pasukan Siliwangi kembali balik ke Jawa Barat. Kartosuwiryo tidak mau mengakui tentara RI tersebut kecuali mereka mau bergabung dengan DI/TII. Ini sama saja Kartosuwiryo dengan DI/TII nya tidak mau mengakui pemerintah RI di Jawa Barat. Maka pemerintahpun bersikap tegas. Meski upaya menanggulangi DI/TII Jawa Barat pada awalnya terlihat belum dilakukan secara terarah, namun sejak tahun 1959, pemerintah mulai melakukan operasi militer.

Operasi terpadu “Pagar Betis” digelar, dimana tentara pemerintah menyertakan juga masyarakat untuk mengepung tempat-tempat pasukan DI/TII berada. Tujuan taktik ini adalah untuk mempersempit ruang gerak dan memotong arus perbekalan pasukan lawan. Selain itu diadakan pula operasi tempur dengan sasaran langsung basis-basis pasukan DI/TII. Melalui operasi ini pula Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962. Ia lalu dijatuhi hukuman mati, yang menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo.

Di Jawa Tengah, awal kasusnya juga mirip, dimana akibat persetujuan Renville daerah Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan aparat pemerintahan. Terjadi kevakuman di wilayah ini dan Amir Fatah beserta pasukan Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan segera mengambil alih.

Saat pasukan TNI kemudian balik kembali ke wilayah tersebut setelah Belanda melakukan agresi militernya yang kedua, sebenarnya telah terjadi kesepakatan antara Amir Fatah dan pasukannya dengan pasukan TNI. Amir Fatah bahkan diangkat sebagai koordinator pasukan di daerah operasi Tegal dan Brebes. Namun ketegangan karena berbagai persoalan antara pasukan Amir Fatah dengan TNI sering timbul kembali. Amir Fatah pun semakin berubah pikiran setelah utusan Kartosuwiryo datang menemuinya lalu mengangkatnya sebagai Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan kemudian ikut memproklamirkan berdirinya Negara Islam di Jawa Tengah. Sejak itu terjadi kekacauan dan konflik terbuka antara pasukan Amir Fatah dengan pasukan TNI.

Tetapi berbeda dengan DI/TII di Jawa Barat, perlawanan Amir Fatah tidak terlalu lama. Kurangnya dukungan dari penduduk membuat perlawanannya cepat berakhir. Desember 1951, ia menyerah.

Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin oleh Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu. Ia didukung oleh laskar bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak didirikan memang berkeinginan menciptakan suatu negara Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Meski demikian, dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya AUI bahu membahu dengan Tentara Republik dalam menghadapi Belanda. Wilayah operasional AUI berada daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan Jawa Tengah.

Namun kerjasama antara AUI dengan Tentara RI mulai pecah ketika pemerintah hendak melakukan demobilisasi AUI. Ajakan pemerintah untuk berunding ditolak Kyai Sumolangu. Pada akhir Juli 1950 Kyai Sumolangu melakukan pemberontakan. Sesudah sebulan bertempur, tentara RI berhasil menumpas pemberontakan ini. Ratusan pemberontak dinyatakan tewas dan sebagianbesar berhasil ditawan. Sebagian lainnya melarikan diri dan bergabung dengan pasukan TII di Brebes dan Tegal. Akibat pemberontakan ini kehancuran yang diderita di Kebumen besar sekali. Ribuan rakyat mengungsi dan ratusan orang ikut terbunuh. Selain itu desa-desa juga mengalami kerusakan berat.

Pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426 dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah tentara Indonesia yang anggota-anggotanya berasal dari laskar Hizbullah. Simpati dan kerjasama mereka dengan Darul Islam pun jadinya tampak karena DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah. Cakupan wilayah gerakan Batalyon 426 dalam pertempuran dengan pasukan RI adalah Kudus, Klaten hingga Surakarta.Walaupun dianggap kuat dan membahayakan, namun hanya dalam beberapa bulan saja, pemberontakan Batalyon 426 ini juga berhasil ditumpas.

Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar. Pada tahap awal, pemberontakan ini lebih disebabkan akibat ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Namun beberapa tahun kemudian pemberontakan malah beralih dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo.

Tokoh Kahar Muzakkar sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah berjuang di Jawa bahkan menjadi komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang bermarkas di Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu ditugaskan ke daerah asalnya untuk membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) di sana. KGSS dibentuk sewaktu perang kemerdekaan dan berkekuatan 16 batalyon atau satu divisi. Pemerintah ingin agar kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk kemudian dilakukan re-organisasi tentara kembali. Semua itu dalam rangka penataan ketentaraan. Namun anggota KGSS menolaknya.

Begitu tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia Timur menjadi koordinator KGSS, agar mudah menyelesaikan persoalan. Namun Kahar Muzakkar malah menuntut kepada Panglimanya agar KGSS bukan dibubarkan, melainkan minta agar seluruh anggota KGSS dijadikan tentara dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ini langsung ditolak karena pemerintah berkebijakan hanya akan menerima anggota KGSS yang memenuhi syarat sebagai tentara dan lulus seleksi. Kahar Muzakkar tidak menerima kebijakan ini dan memilih berontak diikuti oleh pasukan pengikutnya.

Selama masa pemberontakan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo.

Pemberontakan yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu lama untuk menumpasnya. Pemberontakan baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar tewas tertembak dalam suatu penyergapan.

Pemberontakan yang berkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan. Namun dibandingkan dengan gerakan DI/TII yang lain, ini adalah pemberontakan yang relatif kecil, dimana pemberontak tidak menguasai daerah yang luas dan pergerakan pasukan yang besar. Meski begitu, pemberontakan berlangsung lama dan berlarut-larut hingga tahun 1963 saat Ibnu Hajar, pemimpinnya, tertangkap.

Timbulnya pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sesungguhnya bisa ditelusuri hingga tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV, sebagai pasukan utama Indonesia dalam menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan, telah tumbuh menjadi tentara yang kuat dan berpengaruh di wilayah tersebut. Namun ketika penataan ketentaraan mulai dilakukan di Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat di Jawa, tidak sedikit anggota ALRI Divisi IV yang merasa kecewa karena diantara mereka ada yang harus didemobilisasi atau mendapatkan posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Suasana mulai resah dan keamanan di Kalimantan Selatan mulai terganggu. Penangkapan-penangkapan terhadap mantan anggota ALRI Divisi IV terjadi. Salah satu alasannya adalah karena diantara mereka ada yang mencoba menghasut mantan anggota ALRI yang lain untuk memberontak.

Diantara para pembelot mantan anggota ALRI Divisi IV adalah Letnan Dua Ibnu Hajar. Dikenal sebagai figur berwatak keras, dengan cepat ia berhasil mengumpulkan pengikut, terutama di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang kecewa terhadap pemerintah. Ibnu Hajar bahkan menamai pasukan barunya sebagai Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT). Kerusuhan segera saja terjadi. Berbagai penyelesaian damai coba dilakukan pemerintah, namun upaya ini terus mengalami kegagalan. Pemberontakan pun pecah.

Akhir tahun 1954, Ibnu Hajar memilih untuk bergabung dengan pemerintahan DI/TII Kartosuwiryo, yang menawarkan kepadanya jabatan dalam pemerintahan DI/TII sekaligus Panglima TII Kalimantan. Konflik dengan tentara Republik pun tetap terus berlangsung bertahun-tahun. Baru pada tahun1963, Ibnu Hajar menyerah. Ia berharap mendapat pengampunan. Namun pengadilan militer menjatuhinya hukuman mati.

Daerah pemberontakan DI/TII berikutnya adalah Aceh. Ada sebab dan akhir yang berbeda antara pemberontakan di daerah ini dengan daerah-daerah DI/ TII lainnya.

Di Aceh, pemicu langsung pecahnya pemberontakan adalah ketika pada tahun 1950 pemerintah menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari propinsi Sumatera Utara. Para ulama Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal ini. Bagi mereka, pemerintah terlihat tidak menghargai masyarakat Aceh yang telah berjuang membela republik. Mereka menuntut agar Aceh memiliki otonomi sendiri dan mengancam akan bertindak bila tuntutan mereka tak dipenuhi. Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah Daud Beureuh.

Pemerintah pusat kemudian berupaya menempuh jalan pertemuan. Wakil Presiden M. Hatta (1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951), bahkan Soekarno (1953?) menyempatkan diri ke Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini, namun mengalami kegagalan. Akhirnya pada tahun 1953, setelah Daud Beureuh melakukan kontak dengan Kartosuwiryo, ia menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang dipimpin Kartosuwiryo.

Konflik antara pengikut Daud Beureuh dengan tentara RI pun berkecamuk dan tak menentu selama beberapa tahun, sebelum akhirnya pemerintah mengakomodasi dan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa pada tahun Tiga tahun setelah itu Daud Beureuh kembali dari pertempuran yang telah selesai. Ia mendapat pengampunan.

Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)

Inilah peristiwa yang hingga kini masih menyimpan kontroversi. Utamanya adalah yang  berhubungan dengan pertanyaan “Siapa dalang Gerakan 30 September 1965 sebenarnya?”

Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan ideologi

Setidaknya terdapat enam teori mengenai peristiwa kudeta G30S tahun 1965 ini :

  1. Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD).

Dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F.Wertheim, dan Coen Hotsapel, teori ini menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya persoalan di kalangan AD sendiri. Hal ini misalnya didasarkan pada pernyataan pemimpin Gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang menyatakan bahwa para pemimpin AD hidup bermewah- mewahan dan memperkaya diri sehingga mencemarkan nama baik AD. Pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya, Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya sederhana.

  1. Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA).

Teori ini berasal antara lain dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson. Menurut teori ini AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. PKI pada masa itu memang tengah kuat-kuatnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Karena itu CIA kemudian bekerjasama dengan suatu kelompok dalam tubuh AD untuk memprovokasi PKI agar melakukan gerakan kudeta. Setelah itu, ganti PKI yang dihancurkan. Tujuan akhir skenario CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan Soekarno.

  1. Gerakan 30 September merupakan pertemuan antara kepentingan Inggris-AS.

Menurut teori ini G30S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui penggulingan kekuasaan Soekarno, dengan keinginan AS agar Indonesia terbebas dari komunisme. Dimasa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi menyerang Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori dikemukakan antara lain oleh Greg Poulgrain.

  1. Soekarno adalah dalang Gerakan 30 September.

Teori yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang”.

Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok harinya.

Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.

  1. Tidak ada  pemeran  tunggal  dan  skenario besar  dalam  peristiwa Gerakan 30 September (teori chaos).

Dikemukakan antara lain oleh John D. Legge, teori ini menyatakan bahwa tidak ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya merupakan hasil dari perpaduan antara, seperti yang disebut Soekarno : “unsur-unsur Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar”. Semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan.

  1. Dalang Gerakan 30 September adalah PKI

Menurut teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya adalah serangkaian  kejadian  dan  aksi  yang  telah  dilancarkan  PKI  antara tahun 1959-1965. Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan, dan Klaten.

Teori yang dikemukakan antara lain oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai kudeta tanggal 30 September 1965.

Namun terlepas dari teori mana yang benar mengenai peristiwa G30S, yang pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan penengah diantara dua kelompok politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan saat itu : AD dengan PKI.

Juli 1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap kabinet dan tentara. Ketika tentara bereaksi, Soekarno segera turun tangan hingga persoalan ini sementara selesai. Hal ini kemudian malah membuat hubungan Soekarno dengan PKI kian dekat (Crouch, 1999 dan Ricklefs, 2010 ).

Bulan Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan partai pesaing PKI, dibubarkan pemerintah. PKI pun semakin giat melakukan mobilisasi massa untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak anggota. Partai-partai lain seperti NU dan PNI hingga saat itu praktis telah dilumpuhkan (Feith, 1998).

Tahun 1963, situasi persaingan semakin sengit, baik di kota maupun di desa. PKI berusaha mendesak untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Oleh karena itu, strategi ofensif yang dipilih untuk memenuhi harapannya.

Di tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk  dalam  kabinet.  Mungkin  PKI  merasa  kedudukannya  sudah cukup kuat. Pada tahun-tahun sebelumnya partai ini umumnya hanya melancarkan kritik terhadap pemerintah khususnya para menteri yang memiliki pandangan politik berbeda dengan mereka.

Di bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti PKI memproklamasikan Manifesto Kebudayaan (“Manikebu”) yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi oleh suatu ideologi politik tertentu (misalnya komunis), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang pro PKI segera mengecam keras. Soekarno ternyata menyepakati kecaman itu. Tidak sampai satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah.

Sedangkan  di  daerah,  persoalan-persoalan  yang  muncul  tampaknya malah lebih pelik lagi karena bersinggungan dengan konflik yang lebih radikal. Hal ini sebagian merupakan akibat dari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh program di bidang agraria (landreform/UU Pokok Agraria 1960), dimana PKI segera melancarkan apa yang disebut sebagai kampanye aksi sepihak. Aksi ini merupakan upaya mengambilalih tanah milik pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi hasil yang lama. “Tujuh Setan Desa” karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat desa jahat dan bandit desa. “Setan Desa”menurut versi PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya merujuk pada para pemilik tanah (Tornquist, 2011).

Adegan-adegan protespun berlangsung bahkan radikalisme dipraktikkan hingga upaya menurunkan lurah serta aksi protes terhadap para sesepuh desa. Dalam aksi pengambilalihan tanah –terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga Bali, Jawa Barat dan Sumatera Utara– massa PKI-pun terlibat dalam pertentangan yang sengit dengan, tentu saja, para tuan tanah, juga kaum birokrat dan para pengelola yang berasal dari kalangan tentara. Para tuan tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari kalangan muslim yang taat dan pendukung PNI. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan PKI, khususnya di Jawa Timur, segera saja berhadapan muka dengan para santri NU.

Di kota-kota tindakan liar juga bukan tidak terjadi. Ini misalnya tergambar dalam cerita mengenai istri seorang dokter terkenal di Solo, yang akan pergi ke suatu resepsi. Ia, yang mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul besar dan sepatu hak tinggi, digiring oleh ratusan tukang becakdi tengah terik matahari ke kantor polisi untuk menyelesaikan pertikaian harga becak. Adegan serupa pernah juga terjadi di berbagai kota. Ada pula para kepala desa yang sudah tua disidangkan di depan pengadilan rakyat (Ong Hok Ham,1999).

Selama tahun 1964, perlawanan terhadap aksi sepihak semakin lama semakin kuat. Kekerasan jadinya semakin kerap terjadi. Di Jawa Timur tindak balasan anti PKI dipelopori oleh kelompok pemuda NU, yaitu Ansor.

Hubungan angkatan darat dengan PKI sendiri pada masa itu juga kian memanas. Sindiran dan kritik kerap dilontarkan para petinggi PKI terhadap AD.

Pada  bulan-bulan  awal  tahun  1965  PKI  “menyerang”  para  pejabat anti PKI dengan menuduhnya sebagai kapitalis birokrat yang korup. Demonstrasi-demonstrasi juga dilakukan untuk menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Maka hingga pertengahan tahun 1965 atau sebelum pecah kudeta di awal Oktober, kekuatan politik di ibukota tampaknya sudah semakin bergeser ke kiri. PKI kian berada di atas angin dengan perjuangan partai yang semakin intensif.

Usul pembentukan angkatan ke-5 selain AD-AU- AL-Polisi yang dikemukakan oleh PKI pada Januari 1965, diakui memang semakin memperkeruh suasana terutama dalam hubungan antara PKI dan AD. Tentara telah membayangkan bagaimana 21 juta petani dan buruh bersenjata, bebas dari pengawasan mereka. Bagi para petinggi militer gagasan ini bisa berarti pengukuhan aksi politik yang matang, bermuara pada dominasi PKI yang hendak mendirikan pemerintahan komunis  yang  pro  RRC  (Republik  Rakyat  Cina yang komunis) di Indonesia (Southwood dan Flanagan, 2013). Usulan ini akhirnya memang gagal direalisasikan.

PKI lalu meniupkan isu tentang adanya Dewan Jenderal di tubuh AD yang tengah mempersiapkan suatu kudeta. Di sini, PKI menyodorkan “Dokumen Gilchrist” yang ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia. Isi dokumen ditafsirkan sebagai isyarat 1965 mengenai usulan PKI untuk mempersenjatai buruh dan petani adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our local army friend (kawan-kawan kita dari tentara setempat) untuk melakukan kudeta. Meski kebenaran isi dokumen ini diragukan danJenderal Ahmad Yani kemudian menyanggah keberadaan Dewan Jenderal ini saat Presiden Soekarno bertanya kepadanya, namun pertentangan PKI dengan angkatan darat kini tampaknya telah mencapai level yang akut. Bulan itu juga, Pelda Sujono yang berusaha menghentikan penyerobotan tanah perkebunan tewas dibunuh sekelompok orang dari BTI dalam peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara. Jenderal Yani segera menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy diadili. Sikap tegasnya didukung penuh oleh organisasi-organisasi Islam, Protestan dan Katolik.

Sementara  itu  di  Mantingan,  PKI  berusaha  mengambil  paksa  tanah wakaf  Pondok  Modern  Gontor  seluas  160  hektar  (Ambarwulan dan Kasdi dalam Taufik Abdullah, ed., 2012 : 139). Sebuah tindakan yang tentu saja semakin membuat marah kalangan Islam. Apalagi empat bulan sebelumnya telah terjadi peristiwa Kanigoro Kediri, dimana BTI telah membuat kacau peserta mental Training Pelajar Islam Indonesia dan memasuki tempat ibadah saat subuh tanpa melepas alas kaki yang penuh lumpur lalu melecehkan Al Quran.

Suasana pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan lain non PKI pun telah sedemikian panasnya menjelang tanggal 30 September 1965. Apalagi  pada bulan Juli sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim dokter Cina yang didatangkan DN Aidit untuk memeriksa Soekarno menyimpulkan bahwa presiden RI tersebut kemungkinan akan meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI tanggal 28 September 1965, pimpinan PKI pun memutuskan untuk bergerak.

Dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan “Gerakan 30 September” dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta. Mereka adalah : Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean. Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu : Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono.

Pada berita RRI pagi harinya, Letkol Untung lalu menyatakan pembentukan “Dewan Revolusi”, sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat.

Dalam situasi tak menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil  alih  pimpinan  Angkatan  Darat,  karena  Jenderal  Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran terhadap pimpinan dan pendukung PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas, menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.