Bab wikifisasi dan cetak tebal yang berlebihan ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. Gaya atau nada penulisan artikel ini tidak mengikuti gaya dan nada penulisan ensiklopedis yang diberlakukan di Wikipedia. Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Dikatakan hampir sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai.
Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilalui lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu boleh dikatakan hanya bisa diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil, itupun letaknya tersebar dalam berbagai jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berbeda dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai susunan dan kedudukan lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut. Oleh sebab itu,lembaga kepresidenan sebagian besar diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas dari kesulitan dan mempunyai dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku secara bersamaan. Kedua, antara 1999–2002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang masih terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009. Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara bagian dari negara federasi Republik Indonesia Serikat. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal,[1] terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini bersumpah di hadapan MPR atau DPR. Menurut UUD 1945
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950 Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat besar karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan UUD 1945. Hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA meminta kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden berkurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika keadaan darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab kepada presiden). Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat menjalankan tugasnya saat Agresi Militer Belanda II. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatra (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat. Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibu kota tertawan musuh. Oleh karena itu kedudukannya tidak bisa diabaikan. Apalagi pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Apalagi perundingan-perundingan, seperti Perjanjian Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat. Periode 1949–1950Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950 Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan kedudukan sebagai negara bagian. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara bagian RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara bagian dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum menjalankan tugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berbeda dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler,[3] presiden, menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di hadapan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Periode 1950–1959Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956 Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya UUDS 1950 yang kelak kemudian disebut dengan UUDS 1950. UUDS 1950 ini sebenarnya merupakan perubahan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat (konstitusi federal - UUDS RIS). Dari segi materi, UUDS 1950 ini merupakan perpaduan antara UUDS RIS milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Menurut UUDS 1950, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa jabatan yang jelas bagi lembaga ini, tetapi dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], jabatan ini dipertahankan hingga ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum menjalankan tugasnya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti UUDS RIS, UUDS 1950 mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[2]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler,[3] presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, antara lain:
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku jabatan presiden pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya diangkat oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan berakhir dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dibuat. Dalam perjalanannya jabatan wakil presiden mengalami kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Aturan pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan digantikan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis berakhir seiring munculnya dekret presiden 5 Juli 1959 dan digantikan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Periode 1959–1999Jend Besar TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998 Masa republik keempat adalah periode diberlakukannya kembali UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini maka semua kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detailnya dipersilakan melihat kembali masa republik I. Ada beberapa hal yang menarik dari segi peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekret presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, bagian penjelasan konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan hadirnya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut Ketetapan MPR/MPRS. Melalui produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, antara lain melalui:
Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, antara lain dengan:
Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999 Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, menjadi lembaga tertinggi bila dibandingkan dengan lembaga tinggi lainnya. Ada beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku jabatan dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya jabatan Pejabat Presiden ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan Pejabat Presiden menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan UUD 1945 baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun setelah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung saat presiden mundur dari jabatannya pada tahun 1998. Sebenarnya masih banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang dikemukakan. Gelombang people power yang dikenal dengan gerakan reformasi 1998 yang muncul pada tahun 1998 akhirnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berubah secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketetapan MPR No. V/MPR/1998[4] dengan Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998.[5] Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun berakhir sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power. Periode 1999–2002K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001 Masa republik kelima adalah periode transisi ketatanegaraan akibat proses perubahan konstitusi UUD 1945 secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai akibat dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi.[6] Pada tahun 1999 sebagai akibat perubahan I konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2000 sebagai akibat perubahan II konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2001 sebagai akibat perubahan III konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2002 sebagai akibat perubahan IV konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Beberapa hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain, adalah, pertama, untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh MPR dari calon yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berakibat dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak berakhir pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya adalah konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada bagian republik VI. Sejak 2002Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004 Masa republik keenam adalah periode diberlakukannya UUD 1945 setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi. Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari segi ketatanegaraan. Dan dapat dikatakan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut konstitusi yang baru. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan tata cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa jabatan selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode jabatan [pasal 7]. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di hadapan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)]. Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari UUD 1945. Namun terdapat pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab yang lain dari konstitusi. Menurut konstitusi:
Periode transisi masih mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun 2002 – 2004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketetapan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu aturan peralihan pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula dibuat peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur melalui UUD 1945, Undang-Undang, PP, maupun Perpres. Namun, berbeda dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan akhir, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, diadakan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat. Soekarno atau lebih umum disebut Bung Karno, adalah tokoh presiden pertama dari Indonesia. Jabatan pertama ini dimulai sejak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Ia didampingi oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut aturan yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat besar. Seiring berjalannya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi keadaan darurat.[7] Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil.[8] Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dilihat bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi militer menyerang ibu kota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak bubar secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatra untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang berada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin berhasil membentuk pemerintahan darurat di Sumatra pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih memilih berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan keadaan pemerintahan ganda. Sampai akhirnya pada 13 Juli 1949, setelah melalui proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat.[9] Pada saat yang hampir bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi.[10] UUDS RIS yang melarang rangkap jabatan bagi kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan jabatan apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletakkan jabatan bersama-sama. Keadaan ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama maka ketua parlemen diangkat menjadi Pemangku Jabatan Presiden. Akhirnya pada 27 Desember 1949 Sukarno berhenti sebagai presiden dan menyerahkan jabatan lembaga kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa jabatannya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam jabatan presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara bagian yang tersisa, pemerintah negara bagian Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara bagian Negara Sumatra Timur) dan pemerintah negara bagian Republik Indonesia (yang beribu kota di Yogyakarta) memilih Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan dibentuk dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Jabatan presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua bagi Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk membubarkan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Jabatan Presiden. Setelah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS. ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978 Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi presiden negara kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai UUDS 1950, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Bagi Hatta jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua. Sesuai UUDS 1950 pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada akhir tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Mulai saat itu, lembaga kepresidenan hanya dipegang oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUDS 1950 tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Keadaan yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957.[11] Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Angkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekret untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta membubarkan konstituante yang tak kunjung selesai menyusun konstitusi tetap. Sukarno tetap menjabat presiden berdasar aturan peralihan pasal II UUD 1945. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berubah fungsi menjadi DPR Peralihan[12] sampai ditetapkan DPR yang baru menurut UUD 1945. Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan presiden peralihan atau dapat dihitung sebagai masa jabatan keempat bagi Sukarno. Sementara itu, aturan peralihan pasal III dan IV UUD 1945 sudah tidak dapat digunakan lagi. Presiden tidak didampingi oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang dapat bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dibubarkan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno.[13] Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong.[14] Sesuai Penpres No 14 tahun 1960, Presiden dapat membuat produk legislatif jika tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melaksanakan ketentuan dalam UUD 1945. Peranan Sukarno semakin besar dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang berisi DPR-GR merupakan pembantu Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dalam bidang legislatif. Melalui UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan. MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan sebuah produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pemimpin Besar Revolusi dan akhirnya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa jabatan seumur hidup pada 1963 tanpa didampingi wakil presiden.[15] Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara.[16] Periode ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kelima bagi Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap "Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS" lebih banyak dari gelar yang diberikan konstitusi "Presiden". Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai akibat badai politik tahun 1965. Periode ini merupakan kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 berbagai atribut masa kejayaan mulai ditanggalkan oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pemimpin Besar Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Akhirnya pada 22 Februari 1967 Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967.[17] SoehartoJend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988 Jenderal TNI Suharto atau yang akrab disapa Pak Harto merupakan tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai sejak 27 Maret 1968. Pak Harto diangkat oleh MPR Sementara dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Ia adalah presiden kedua yang ditetapkan oleh MPR Sementara. Dalam masa jabatannya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak didampingi oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut UUD 1945. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden adalah pelaksana kebijakan lembaga tertinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang diangkat oleh MPR hasil pemilu. Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini diangkat oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari calon tunggal pada 24 Maret 1973.[18] Dalam masa jabatannya yang kedua Pak Harto didampingi oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.[19] Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berjalan dengan urutan yang mudah diikuti relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi jabatan. Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali diangkat oleh MPR dari calon tunggal.[20] Dalam masa jabatan yang ketiga kalinya, Pak Harto didampingi oleh Adam Malik sebagai wakil presiden.[21] Secara matematis, Suharto diangkat sehari lebih cepat dari jatah masa jabatannya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali diangkat oleh MPR untuk menduduki kursi kepresidenannya yang keempat dari calon tunggal.[22] Menurut hitung-hitungan angka ia diangkat tiga belas hari lebih cepat dari masa jabatannya yang seharusnya berakhir pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto didampingi oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden.[23] Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal kelahiran desa Kemusuk diterima. Setelah genap lima tahun menduduki kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988.[24] Dalam masa jabatan kelimanya bapak pembangunan ini didampingi wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH.[25] Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, setelah menggenapi masa jabatannya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto diangkat untuk menduduki jabatan presiden keenam.[26] Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari calon tunggal. Kini ia didampingi oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden.[27] Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993 Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini adalah terakhir kalinya ia menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa jabatan yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Besar TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, diangkat dari calon tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997.[28] Untuk kedua kalinya ia didampingi oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden.[29] Berbagai tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya ia bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, tetapi hal itu tidak ia lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada waktu itu sempat meminta mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, sebuah sidang khusus yang dapat berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya akibat gelombang "kekuasaan rakyat" Gerakan Reformasi 1998. Baharuddin Jusuf HabibieBaharuddin Jusuf Habibie adalah tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi menggantikan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah prosedur formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen diduduki oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah jabatan kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Beberapa bulan setelahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan kepada dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto (1968, 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga tertinggi negara tersebut hanya mengakui melalui kedudukan Habibi di dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan ia tidak didampingi oleh wakil presiden. Catatan yang diraih oleh presiden kelahiran Provinsi Sulawesi Selatan adalah penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang dipilih melalui pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden setelah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab kepada parlemen.[30] Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998 Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa jabatannya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang dipilih oleh MPR. Ia diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Ia mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR memilih rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang beralih dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekret tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekret itu dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa jabatannya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Megawati SoekarnoputriMegawati Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Ia adalah wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika berhenti dalam masa jabatannya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan R Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa jabatannya kurang dari 5 tahun sebab ia hanya mewarisi masa jabatan Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini didampingi oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR diangkat sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa jabatannya adalah Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah melalui dua putaran pemilihan. Ia mengakhiri masa jabatan pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa jabatan Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya. Susilo Bambang YudhoyonoSusilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014 Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Ia bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa jabatannya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan presiden untuk kedua kalinya di hadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini ia didampingi oleh Boediono sebagai wakil presiden. Pejabat sementaraSyafruddin PrawiranegaraSyafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949 Syafruddin Prawiranegara adalah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Ia ditunjuk dengan radiogram yang berisi mandat dari Presiden Soekarno yang saat itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang menjadi tempat kedudukannya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada waktunya. PDRI tidak berkedudukan di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatra Barat ia pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatra Barat. Pada bulan Mei 1949, ia membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Ia berselisih paham dengan Soekarno karena mengirim utusan kepada Belanda dalam Perjanjian Roem-Royen. Setelah melalui berbagai proses berliku akhirnya Syafruddin bersedia mengembalikan mandat yang telah diberikan presiden kepada Hatta. Kedudukan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, baik secara de facto maupun de jure, masih diperdebatkan apakah sah atau tidak. AssaatAssaat, Pemangku Jabatan Presiden Indonesia 1949–1950 Assaat adalah Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia. Jabatannya dimulai pada 27 Desember 1949 saat Soekarno secara resmi menyerahkan jabatan Presiden RI kepadanya. Assaat sebelumnya adalah Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Ia menjabat sebagai pemangku jabatan presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan jika presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak dapat melakukan kewajibannya maka Ketua DPR menjadi Pemangku Jabatan Presiden. Jabatan tersebut diembannya hingga 15 Agustus 1950 saat ia menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950. SartonoSartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang diketahui mengenai tokoh ini. Satu-satunya petunjuk yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal antara 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya adalah UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara perhitungan tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, setelah mendapat keterangan yang jelas mengenai kedudukannya, tokoh ini akan dimasukkan.[31] SoehartoSoeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Jabatannya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Ia menjadi pejabat presiden sebagai ketentuan dari Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan adanya presiden yang dipilih oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena keadaan politik saat itu, ia mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena ditetapkan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Periodisasi jabatan lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu diperhatikan beberapa hal yang boleh jadi bersifat mendasar.
Sebagai ilustrasi, dapat dilihat pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo waktu menjelaskan UUD 1945 ia membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina.[32] Diosdado Pangan Macapagal adalah Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang dapat dilihat disini bahwa ia menduduki dua buah daftar dengan nomor urut yang berbeda. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga menjadi peringatan kemerdekaan AS) menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Ia juga mengakui Jose P. Laurel yang dijadikan Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina setelah Perang Dunia II, karena dianggap tidak mempunyai status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang berada dalam pengasingan di Amerika. Di sini dapat dilihat bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi mengenai pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas. Periodisasi masa jabatan maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh saat memangku jabatan untuk yang pertama kalinya. Soekarno memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan presiden, antara lain:
Mohammad Hatta memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan wakil presiden, yaitu:
Syafruddin Prawiranegara memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan, yaitu:
Assaat memiliki 2 kemungkinan periodisasi jabatan, yaitu:
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009 Soeharto memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan, antara lain:
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978. Adam Malik memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983. Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1983 hingga 1988. Sudharmono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1988 hingga 1993. Try Sutrisno memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1993 hingga 1998. Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode jabatan presiden yaitu sejak 19 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
Hamzah Haz memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 26 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004. Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode jabatan presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 hingga 2009 dan sejak 20 Oktober 2009 hingga 2014. Muhammad Jusuf Kalla memiliki 2 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 hingga 2009 dan sejak 20 Oktober 2014 hingga 2019. Boediono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2009 hingga 2014. Joko Widodo memiliki 2 periode jabatan presiden yaitu sejak 20 Oktober 2014 hingga 2019 dan sejak 20 Oktober 2019 hingga sekarang. Ma'ruf Amin memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2019 hingga sekarang. Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa jabatan lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat maka tinggal merangkai masing-masing masa jabatan tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai beberapa tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berbeda. Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014 Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
|