Nabi yang dilihat dari namanya saja sudah bermakna kesedihan adalah

 Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang kisah Nabi yang sangat mulia, yaitu Nabi Nuh ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut kisah beliau pada banyak surah di dalam Al-Quran. Di antaranya Allah sebutkan dalam surah Al-A’raf, Hud, Al-Mu’minun, Al-Qamar, Nuh dan lain-lain. Dalam surah-surah tersebut, Allah mengulang-ulang penyebutan kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, tentunya karena ada faedah yang besar dari kisah tersebut. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS. Al-A’raf: 176)

Hal ini menunjukkan bahwa dalam kisah-kisah tersebut ada pelajaran yang bisa diambil oleh orang-orang yang berpikir. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat yang lain,

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat.” (QS. Yusuf: 111)

Seluruh kisah yang Allah sebutkan di dalam Al-Quran bukanlah kisah fiktif, akan tetapi merupakan kisah nyata yang pernah terjadi.

Oleh karena itu Allah mengulang-ulang kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau dapat mengambil pelajaran dari kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam tentang kesabaran. Sebagaimana kita ketahui bahwa surah Nuh merupakan surah Makkiyah, yaitu surah yang turun sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah. Dan kondisi dakwah Nabi sebelum berhijrah itu penuh dengan penindasan dari orang-orang musyrikin Arab, di mana banyak sahabat disiksa bahkan dibunuh. Di saat kaum mukminin merasakan kondisi yang amat berat tatkala itu, maka Allah menurunkan kisah tentang Nabi Nuh ‘alaihissalam yang sangat penyabar. Dari kisah tersebut, Allah seakan-akan ingin mengingatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa apa yang beliau alami tatkala itu, telah pernah dilalui oleh Nabi-Nabi sebelum beliau yaitu Nabi Nuh ‘alaihissalam agar hatinya tetap kokoh. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud: 120)

Dengan kisah para Nabi, Allah juga hendak mengingatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau bersabar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ

“Maka bersabarlah kamu (Muhammad) seperti kesabaran rasul-rasul yang mempunyai keteguhan hati.” (QS. Al-Ahqaf: 35)

Inilah beberapa hikmah alasan Allah menceritakan kisah Nabi Nuh ‘alaihis salam berulang-ulang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berdakwah di kota Mekkah. Dan bagi umatnya, hendaknya bisa mengambil pelajaran dari kisah Nabi Nuh ‘alaihis salam.

Sebelum kita membahasa tentang kisah Nabi Nuh ‘alaihis salam, perlu Penulis ingatkan bahwa ada sekelompok manusia dari kelompok liberal yang mengingkari kisah Nabi Nuh ‘alaihis salam dan juga kisah-kisah Nabi lain yang tidak masuk dalam akal mereka. Orang-orang liberal menganggap dan meyakini bahwa semua agama benar, sehingga tidak boleh seseorang mendakwahi orang lain dalam urusan agama karena agama adalah privasi masing-masing orang. Maka alasan utama mereka mengingkari kisah-kisah para Nabi karena kisah-kisah tersebut menghantam hal yang mendasar dari akidah mereka yaitu liberal (kebebasan). Sehingga mereka mengatakan bahwa kisah Nabi Nuh ‘alaihis salam adalah cerita fiktif semata dan tidak pernah terjadi, dan Allah sengaja mengarangnya agar sekedar kita dapat mengambil pelajaran. Ketahuilah bahwa anggapan mereka ini adalah kekufuran, sebagaimana pernyataan orang-orang kafir terdahulu yang mengingkari Al-Quran. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ

“Orang-orang kafir itu berkata: “Al-Quran ini tidak lain hanyalah dongeng orang-orang dahulu“. (QS. Al-An’am: 25)

Keyakinan orang-orang liberal yang menganggap bahwa kisah-kisah para Nabi itu adalah fiktif dan hanya dongeng belaka, secara tidak langsung berarti mereka telah menuduh Allah berdusta di dalam Al-Quran. Salah seorang dari kaum liberal Indonesia pernah menulis artikel yang dia beri judul “Al-Quran dan Spiderman“. Inti dari tulisan tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa Al-Quran itu adalah kumpulan kisah dongeng sebagaimana film spiderman yang juga dongeng. Kemudian dia berkata tentang kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam,

“Kalau kita telaah kisah-kisah di dalam Alquran, ada pola demikian, “Nabi datang berdakwah, kemudian masyarakat menolak, kemudian Tuhan marah dan menurunkan azab”. Azab yang paling mengerikan buat saya adalah banjir Nuh. Azab ini secara nurani dan akal sehat sangat mengganggu. Apakah benar hanya karena masyarakat menolak dakwah Nabi Nuh membuat Tuhan marah besar dan mengirim banjir yang melanda seluruh bumi, semua orang tewas kecuali orang yang beriman tinggal di perahu? Ini merupakan konsep Tuhan pendendam. Dan lihatlah konsep ketuhanan yang berbau Yahudi ini.”

Lihatlah betapa buruknya adab mereka kepada Allah yang mereka sifati dengan sifat pendendam. Ketahuilah bahwa satu-satunya alasan terkuat mereka menolak kisah-kisah tersebut adalah kisah-kisah yang Allah kabarkan sangat bertentangan dengan akidah orang liberal yang meyakini bahwa semua agama adalah benar.

Inilah pendahuluan yang kita sebutkan sebelum menceritakan tentang kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, agar kita tahu bahwa ada sekelompok orang di zaman sekarang yang hati dan akal mereka tidak bisa menerima bahwa kisah tentang Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah fakta dan bukan fiktif. Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya, sedangkan kita dalam keadaan berbahagia dalam mempelajari kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam (lihat lampiran di akhir kisah Nabi Nuh ‘alaihis salam).

Keistimewaan Nabi Nuh álaihis salam

Nabi Nuh ‘alaihissalam memiliki beberapa keistimewaan yang disebutkan dalam ayat-ayat Alquran dan dalam hadit-hadits Rasulullah ﷺ, di antaranya:

Pertama : Nabi Nuh ‘alaihissalam memiliki usia yang panjang

Para Nabi-Nabi yang lain tentunya memiliki usia yang juga panjang, akan tetapi tidak disebutkan angkanya secara spesifik. Sedangkan yang Allah sebutkan usianya secara tegas di dalam Alquran adalah usia Nabi Nuh ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ankabut: 14)

Para ulama sepakat bahwa usia yang disebutkan dalam ayat ini adalah usia yang digunakan Nabi Nuh ‘alaihissalam untuk berdakwah kepada kaumnya, sehingga ini bukanlah total usia Nabi Nuh ‘alaihissalam. Terdapat khilaf para ulama dalam dua sisi tentang hal ini. Dari sisi yang pertama mereka khilaf tentang berapa usia Nabi Nuh ‘alaihissalam sebelum diangkat menjadi Nabi. Di sisi yang kedua adalah khilaf tentang berapa tahun Nabi Nuh ‘alaihissalam hidup setelah banjir bandang tersebut datang.

Sebagian ulama berpendapat bahwa umur Nabi Nuh ‘alaihissalam tatkala diangkat menjadi Nabi adalah pada umur 40 tahun dan meninggal 60 tahun setelah datangnya banjir bandang, sehingga umur keseluruhan Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah 1050 tahun. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kecil dalam menyebutkan usia Nabi Nuh ‘alaihissalam. Pendapat yang lain menyebutkan bahwa umur Nabi Nuh ‘alaihissalam tatkala diangkat menjadi Nabi adalah berusia 350 tahun, dan hidup selama 300 tahun setelah kaumnya dibinasakan, sehingga umur keseluruhan Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah 1600 tahun. ([1])

Maka bandingkanlah rata-rata usia kita saat ini dengan usia Nabi Nuh ‘alaihissalam. Bahkan ketika kita membandingkan usia kita dengan bangsa yang lain seperti orang-orang Eropa dan Arab pun sepertinya berbeda. Kebanyakan mereka memiliki usia yang cukup panjang. ([2])

Memang ada orang-orang yang Allah lebihkan mereka dengan usia yang panjang. Akan tetapi yang menjadi patokan bukanlah usia yang panjang, melainkan bagaimana seseorang beramal saleh dengan umur yang Allah berikan kepadanya. Ketahuilah bahwa Sa’ad bin Mu’adz radhiallahu ‘anhu masuk Islam di usia sekitar 30 tahun dan meninggal sekitar usia 38 tahun, sehingga hanya sekitar delapan tahun dia beragama Islam. Akan tetapi tatkala Sa’ad bin Mu’adz meninggal dunia, ‘Arsy Allah bergetar karena kematiannya([3]). Maka umur panjang atau pendek bukanlah sebuah tolak ukur, yang penting seseorang benar-benar bertakwa dalam usia yang Allah berikan kepadanya.

Kedua : Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah nenek moyang manusia saat ini.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam adalah Abul Basyar (nenek moyang manusia), ternyata Nabi Nuh ‘alaihissalam juga disebut sebagai Abul Basyar Ats-tsany (nenek moyang kedua) dari seluruh manusia saat ini([4]). Hal ini disebabkan ketika Allah mendatangkan azab berupa thufaan (banjir) kepada kaum Nabi Nuh ‘alaihissaam membuat seluruh manusia meninggal dunia kecuali orang-orang yang ikut naik ke bahtera Nabi Nuh ‘alaihissalam. Bahkan disebutkan hewan-hewan pun diikutkan secara berpasang-pasangan karena banjir tersebut akan membinasakan seluruh hewan waktu itu. Sehingga keturunan yang tersisa adalah keturunannya Nabi Nuh ‘alaihissalam dan orang-orang yang ikut dengan beliau. Akan keturunan yang berlangsung setelah itu hanyalah keturunan dari Nabi Nuh ‘alaihissalam, sedangkan orang beriman lainnya yang jumlahnya sekitar 80 orang([5]), keturunan mereka tidak berlanjut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلَّا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلًا، ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا

“Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): “Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, (wahai) keturunan orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Al-Isra’: 2-3)

Ayat ini menunjukan bahwa bani Israil adalah keturunan dari orang-orang yang bersama Nuh di kapal. Dan yang dimaksud adalah anak-anak Nabi Nuh. Hal ini berdasarkan firman Allah :

وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ

“Dan Kami jadikan anak cucunya (Nuh) orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (QS. Ash-Shaffat: 77)

Artinya bani Israil semuanya keturunan Nabi Nuh, dan bukan hanya Bani Israil akan tetapi semua manusia. Berdasarkan ayat ini, jumhur mufassirin mengatakan bahwa manusia yang tersisa hingga saat ini adalah keturunan Nabi Nuh ‘alaihissalam([6]). Sehingga dari sinilah Nabi Nuh ‘alaihissalam dikatakan sebagai Abul Basyar Ats-tsany (nenek moyang kedua).

Ahli sejarah dan tafsir menyebutkan bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam mempunyai empat orang anak laki-laki yang bernama سَام Sam, حَام Ham, يَافِث Yafits, dan يَام Yaam (atau Kan’an). Adapun Yaam atau Kan’an, dialah anak Nabi Nuh ‘alaihissalam yang kafir dan meninggal tatkala banjir menimpa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam([7]). Adapun tiga anak Nabi Nuh ‘alaihissalam lainnya yaitu Sam, Ham, dan Yafits adalah muslim dan mereka selamat dari banjir bandang tersebut, sehingga merekalah yang selanjutnya mempunyai keturunan.

Para ulama juga khilaf tentang berapa jumlah istri Nabi Nuh ‘alaihissalam. sebagian ulama mengatakan bahwa istri Nabi Nuh ‘alaihissalam hanya satu, dan empat anak laki-laki tersebut merupakan anaknya. Sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam memiliki istri lain yang salihah([8]). Wallahu a’lam bisshawab, karena tentang jumlah istri Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak Allah jelaskan.

Yang selamat dari anak-anak Nabi Nuh ada tiga orang, yaitu سَامٌ Saam, حَامٌ Haam, dan يَافِثُ Yafits. Seluruh manusia merupakan keturunan dari tiga anak tersebut.

  • Saam adalah nenek moyang kaum Arab, Persia, Romawi, Yahudi, dan Nashoro.
  • Haam adalah nenek moyang kaum Sudan, As-Sind, India, Habasyah, Al-Qibth, dan Barbar.
  • Yaafits maka nenek moyang orang Turki, Cina, Mongol, dan Ya’juj dan Ma’juuj.([9])

Ketiga : Nabi Nuh ‘alaihissalam diberi gelar oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan sebutan Hamba yang Pandai Bersyukur

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا

“Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.”(QS.Al-Isra’: 3)

Dalam hadits masyhur tentang syafaat juga disebutkan, bahwa tatkala manusia kelak berada di padang mahsyar dengan kondisi matahari yang berjarak hanya satu mil dari ubun-ubun, keringat mereka bercucuran dan mereka dalam kesusahan saat menanti kedatangan Allah untuk menghisab mereka, maka ketika itu mereka mendatangi para Nabi untuk meminta syafaat agar persidangan bisa disegerakan. Maka mulailah mereka mendatangi Nabi Adam ‘alaihissalam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُونَ: يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُو البَشَرِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ، وَأَمَرَ المَلاَئِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ، وَأَسْكَنَكَ الجَنَّةَ، أَلاَ تَشْفَعُ لَنَا إِلَى رَبِّكَ، أَلاَ تَرَى مَا نَحْنُ فِيهِ وَمَا بَلَغَنَا؟ فَيَقُولُ: رَبِّي غَضِبَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، وَلاَ يَغْضَبُ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، وَنَهَانِي عَنِ الشَّجَرَةِ فَعَصَيْتُهُ، نَفْسِي نَفْسِي، اذْهَبُوا إِلَى غَيْرِي، اذْهَبُوا إِلَى نُوحٍ، فَيَأْتُونَ نُوحًا، فَيَقُولُونَ: يَا نُوحُ، أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ، وَسَمَّاكَ اللَّهُ عَبْدًا شَكُورًا، أَمَا تَرَى إِلَى مَا نَحْنُ فِيهِ، أَلاَ تَرَى إِلَى مَا بَلَغَنَا، أَلاَ تَشْفَعُ لَنَا إِلَى رَبِّكَ؟ فَيَقُولُ: رَبِّي غَضِبَ اليَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، وَلاَ يَغْضَبُ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، نَفْسِي نَفْسِي، ائْتُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَأْتُونِي فَأَسْجُدُ تَحْتَ العَرْشِ، فَيُقَالُ يَا مُحَمَّدُ ارْفَعْ رَأْسَكَ، وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ، وَسَلْ تُعْطَهْ

“Maka mereka menemui Adam Alaihissalam dan berkata; “Wahai Adam, kamu adalah bapak seluruh manusia. Allah menciptakan kamu langsung dengan tangan-Nya dan meniupkan langsung ruh-Nya kepadamu dan memerintahkan para malaikat untuk sujud kepadamu dan menempatkan kamu tinggal di surga, tidakkah sebaiknya kamu memohon syafaat kepada Rabbmu untuk kami? Tidakkah kamu melihat apa yang sedang kami hadapi?”. Adam Alaihissalam menjawab; “Rabbku pernah marah kepadaku dengan suatu kemarahan yang belum pernah Dia marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pula marah seperti itu sesudahnya. Dia melarang aku mendekati pohon namun aku mendurhakai-Nya. diriku, diriku. Pergilah kalian kepada orang selain aku. Pergilah kepada Nuh”. Maka mereka menemui Nuh Alaihissalam dan berkata; “Wahai Nuh, kamulah Rasul pertama kepada penduduk bumi ini dan Allah menamakan dirimu sebagai ‘Abdan syakuura (hamba yang bersyukur). Tidakkah kamu melihat apa yang sedang kami hadapi? Tidakkah sebaiknya kamu memohon syafaat kepada Rabbmu untuk kami?. Maka Nuh Alaihissalam berkata; “Pada suatu hari Rabbku pernah marah kepadaku dengan suatu kemarahan yang belum pernah Dia marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pula marah seperti itu sesudahnya. diriku, diriku. Pergilah kalian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Maka mereka menemui aku. Kemudian aku sujud di bawah al-‘Arsy lalu dikatakan; “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu dan mohonkanlah syafa’at serta mintalah karena permintaan kamu akan dikabulkan“. ([10])

Dari ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa Allah memberikan gelar kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagai hamba yang pandai bersyukur. Dalam hadits pun manusia kelak di padang mahsyar mengenali Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagai hamba yang bersyukur.

Maka timbul pertanyaan apakah yang menyebabkan Nabi Nuh ‘alaihissalam diberi gelar oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai ‘Abdan Syakuura? Sedangkan Nabi Nuh ‘alaihissalam bukanlah orang yang kaya di tengah-tengah kaumnya, sehingga Nabi Nuh ‘alaihissalam diremehkan. Seandainya Allah menamakan Nabi Nuh ‘alaihissalam dengan sebutan عَبْدًا صَبُوْرًا ‘Abdan Shabuura (Hamba yang pandai bersabar), maka akan sangat tepat karena Nabi Nuh ‘alaihissalam diuji dengan banyak ujian. Di antara ujian Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah dengan kafirnya istri dan anaknya. Ini merupakan ujian yang berat bagi Nabi Nuh ‘alaihissalam yang harus mendakwahi kaumnya sedangkan keluarganya sendiri mengingkarinya.

Kemudian Nabi Nuh ‘alaihissalam juga diuji dengan sifat kaumnya yang suka mengolok-olok dirinya. Sampai-sampai Nabi Nuh ‘alaihissalam mengadukan hal tersebut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا، فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا، وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا

“Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.” (QS. Nuh: 5-7)

Tentunya hal ini membuat hati Nabi Nuh ‘alaihissalam merasa sedih. Beliau mendakwahi kaumnya selama 950 tahun, akan tetapi kaumnya tetap tidak mau beriman kepadanya. Bayangkan yang beriman dari kaumnya adalah sekitar 80 orang, setelah Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun. Kalau kita rata-ratakan yaitu sekitar 12 tahun hanya satu orang yang beriman. Dai siapakah kira-kira yang mampu bersabar untuk berdakwah selama 12 tahun hanya agar 1 orang yang dapat hidayah?. Maka ini menunjukan kesabaran Nabi Nuh yang luar biasa.

Maka semua ujian yang dilalui oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam sudah mampu menjadikannya sebagai ‘Abdan Shabuura, akan tetapi yang dilakukan Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak hanya bersabar, melainkan melakukan sesuatu yang derajatnya lebih tinggi yaitu bersyukur. Dalam kondisi sulit dan kepayahan hidup yang beliau rasakan, beliau mampu untuk bersyukur kepada Allah. Sebagian ulama menyebutkan bahwa alasan Allah menyebut Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagai ‘Abdan Syakuura adalah karena kebiasaan lisan Nabi Nuh ‘alaihissalam selalu basah memuji Allah Subhanahu wa ta’ala dalam segala kondisi([11]).

Oleh karenanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk bersabar sebagaimana sabarnya Nabi Nuh ‘alaihissalam([12]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ

“Maka bersabarlah (sebagaimana sabarnya Nuh); sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Hud: 49)

Kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam Allah jadikan sebagai contoh sifat kesabaran yang luar biasa. Oleh karenanya tatkala Allah menyebutkan tentang orang-orang yang beriman itu pasti diuji, Allah memberikan contoh kisah yang berkaitan dengan hal tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

الم، أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ، وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 1-3)

Maka setelah Allah menyebutkan tentang ujian bagi orang-orang yang beriman, maka kisah yang pertama Allah sebutkan setelah itu sebagai contoh adalah kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman di surah yang sama,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ankabut: 14)

Maka dari itu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga senantiasa memuji Allah Subhanahu wa ta’ala dalam setiap keadaan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengatakan,

اَلْحَمْدُ الِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالْ

“Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan.”

Maka jangan sampai seseorang di antara kita menjadi orang yang Allah sebutkan di dalam Alquran,

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya.” (QS. Al-‘Adiyat: 6)

Maksud ingkar adalah seseorang itu suka mengeluh. Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ingkar maksudnya adalah dia melupakan nikmat yang diberikan kepadanya([13]), dan hanya mengingat musibah yang dia hadapi. Sebagian orang diberikan Allah kesusahan yang lebih sebentar dari kenikmatan yang telah lama dia nikmati, akan tetapi dia lebih banyak mengeluhkan kesusahannya yang sebentar dibandingkan dengan mensyukuri kenikmatan yang telah lama dia dapatkan.

Maka Nabi Nuh ‘alaihissalam tatkala diuji dengan ujian yang luar biasa beratnya, akan tetapi beliau menghadapi ujian tersebut sampai pada wujud syukur atas apa yang Allah timpakan kepadanya, sampai Allah menyebutnya sebagai ‘Abdan Syakuura (Hamba yang pandai bersyukur).

Keempat : Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah Rasul yang pertama diutus di muka bumi.

Dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah rasul yang pertama yaitu pada hadits masyhur tentang syafaat ketika manusia berkata kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam,

يَا نُوحُ، أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ

“Wahai Nuh, kamulah Rasul pertama kepada penduduk bumi ini.” ([14])

Kemudian sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa rasul yang pertama bukanlah Nabi Nuh ‘alaihissalam melainkan Nabi Idris ‘alaihissalam. Mereka menyebutkan bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah keturunan Nabi Idris ‘alaihissalam. Akan tetapi para ahli nasab tidak memiliki dalil tatkala menyebutkan nasab tersebut.

Pendapat tersebut kemudian dibantah oleh sebagian ahli tafsir, di antaranya adalah Ibnul ‘Arabi, seorang ulama dari mazhab malikiyah. Beliau mengatakan bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah rasul yang pertama dan bukan merupakan keturunan Nabi Idris ‘alaihissalam.

Bantahan pertama beliau mengatakan bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah rasul yang pertama berdasarkan lafal hadits yang sahih,

يَا نُوحُ، أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ

“Wahai Nuh, kamulah Rasul pertama kepada penduduk bumi ini.”

Bantahan kedua, yang membuktikan bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam bukanlah keturunan Nabi Idris ‘alaihissalam adalah kisah pertemuan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para Nabi ketika peristiwa Isra’ Mikraj. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah keturunan dari empat orang Nabi yaitu Nabi Ismail, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, dan Nabi Adam ‘alaihimassalam. Maka ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan Nabi Adam dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pada peristiwa tersebut, mereka berdua berkata kepada Nabi Muhammad ﷺ,

مَرْحَبًا بِالنَّبِيِّ الصَّالِحِ وَالِابْنِ الصَّالِحِ

“Selamat datang Nabi yang Shaleh dan anak yang Shaleh.” ([15])

Akan tetapi ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan selain dari Nabi yang menjadi nasabnya, seperti Nabi Isa, Nabi Musa, dan Nabi Idris ‘alaihimussalam, mereka berkata kepada Nabi Muhammad ﷺ,

مَرْحَبًا بِالنَّبِيِّ الصَّالِحِ وَالأَخِ الصَّالِحِ

“Selamat datang Nabi yang saleh dan saudara yang saleh.” ([16])

Maka seandainya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan keturunan Nabi Nuh ‘alaihissalam juga keturunan dari Nabi Idris ‘alaihissalam, maka pasti Nabi Idris akan mengatakan perkataan yang sama dengan Nabi Adam dan Nabi Ibrahim ‘alaihimassalam. Akan tetapi Nabi Idris ‘alaihissalam tidak berkata demikian melainkan berkata seperti perkataan Nabi Musa dan Nabi Isa ‘alaihissalam. Maka inilah dalil bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah keturunan Nabi Idris ‘alaihissalam, sehingga menjadikan Nabi Nuh ‘alaihissalam juga bukan keturunan Nabi Idris ‘alaihissalam. ([17])

Akan tetapi hal ini merupakan khilaf di kalangan para ulama, namun penulis lebih condong kepada pendapat ini, karena Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah rasul pertama yang di utus di muka bumi.

Inilah beberapa keistimewaan dari Nabi Nuh ‘alaihissalam.

Kapan zaman Nabi Nuh

Jarak waktu antara Nabi Adam ‘alaihissalam dan Nabi Nuh ‘alaihissalam terdapat 10 generasi. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu,

كَانَ بَيْنَ آدَمَ وَنُوحٍ عَشَرَةُ قُرُونٍ، كُلُّهُمْ عَلَى الْإِسْلَامِ

“Sesungguhnya antara Nabi Adam dan Nabi Nuh terdapat sepuluh generasi, semuanya di atas Islam.” ([18])

Tidak diketahui berapa tahun jarak tersebut, akan tetapi masing-masing generasi memiliki usia yang panjang sebagaimana usia Nabi Nuh ‘alaihissalam. Pada seluruh masa tersebut, belum terjadi kesyirikan. Adapun yang telah terjadi pada seluruh masa tersebut adalah kemaksiatan yaitu pembunuhan, sebagaimana kisah tentang anak Nabi Adam yang membunuh seorang anak lainnya (saudaranya) yang Allah sebutkan dalam Alquran,

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ، لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa”. “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam“. (QS. Al-Maidah: 27-28)

Nabi Nuh ‘alaihissalam kemudian diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala setelah Nabi Adam ‘alaihissalam sebagai rasul yang pertama, yaitu tatkala terjadi praktik kesyirikan pertama kali di zaman beliau. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr“. (QS. Nuh: 23)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata tentang asal mula kelima orang yang disebutkan oleh Allah di dalam ayat tersebut, yang kemudian orang tersebut disembah oleh kaumnya Nabi Nuh ‘alaihissalam. Beliau mengatakan,

أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ، فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ، أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ، فَفَعَلُوا، فَلَمْ تُعْبَدْ، حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ العِلْمُ عُبِدَتْ

“Itulah nama-nama orang Salih dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada kaum mereka untuk mendirikan berhala pada majelis mereka dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan saat itu berhala-berhala itu belum disembah hingga mereka wafat, sesudah itu, setelah ilmu tiada, maka berhala-berhala itu pun disembah.” ([19])

Oleh karena itu Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa asal dari kesyirikan di muka bumi ini adalah karena sifat ghuluw terhadap orang-orang saleh, sebagaimana kesyirikan yang pertama kali terjadi di alam semesta ini dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh ‘alaihissalam, yang disebabkan oleh pengkultusan terhadap orang-orang saleh yaitu Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasra. ([20])

Ketahuilah bahwa sebab ghuluw terhadap orang-orang saleh pulalah yang menyebabkan terjadinya kesyirikan-kesyirikan pada kaum-kaum yang lain. Contohnya adalah kesyirikan yang terjadi di zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebabkan karena pengkultusan terhadap orang saleh, di antaranya adalah Latta yang disembah di Thoif oleh kabilah Tsaqif. Latta adalah orang yang membuat adonan makanan, yang kemudian dibagi-bagikan kepada para jamaah haji. Kemudian tatkala dia meninggal dunia, maka dibangun patung di atas kuburannya dan disembah([21]). Contoh lain adalah kesyirikan kaum Nasrani yang terlalu mengkultuskan Nabi Isa ‘alaihissalam sehingga menyembahnya. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

لاَ تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nasrani mengkultuskan ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu katakanlah ‘Abdullah wa Rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya”).” ([22])

Contoh lain adalah orang Yahudi yang mengkultuskan ‘Uzair sampai mereka mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah. Contoh lain dari selain Ahli Kitab, yaitu orang Budha yang mereka mengkultuskan Sidharta Gautama, seorang baik dan bijak yang tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan, akan tetapi disembah. Semua orang-orang yang disembah adalah orang saleh, dan yang menakjubkan adalah rata-rata mereka disembah setelah mereka telah meninggal dunia. Dan orang-orang saleh tersebut tidak pernah disembah semasa mereka hidup, sebagaimana Nabi Isa ‘alaihissalam yang semasa hidupnya tidak pernah disembah, setelah beliau diangkat ke langit baru beliau disembah. Oleh karenanya Allah berkata kepada Nabi Isa ‘alaihissalam dalam firmannya,

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ، مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?”. Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah: 116-117)

Maka dari seluruh kejadian-kejadian inilah yang membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tegas terhadap kuburan, sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ

“Ya Allah, Jangan jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.”([23])

Doa ini menunjukkan kekhawatiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan kesyirikan yang terjadi sepeninggalnya. Maka tidak benar anggapan orang-orang yang menyatakan bahwa kuburan tidak akan mungkin disembah. Padahal penulis melihat sendiri dengan mata kepala penulis, bahwa ada orang yang sujud kepada kuburan Nabi ﷺ, dimana orang tersebut sujud ke arah kuburan Nabi ﷺ, dan bukan ke arah kiblat. Dan penulis juga pernah melihat ada seorang wanita dari yang sujud kepada kuburan para syuhada yang berlawanan dengan arah kiblat, karena letak kuburan para syuhada berada di sebelah utara kota Madinah, sedangkan kiblat berada di sebelah selatan. Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan aturan yang sangat ketat, seperti tidak boleh ditinggikan, tidak boleh ditulis, tidak boleh diberikan penerangan, tidak boleh Shalat ke arah kuburan. Akan tetapi saat ini banyak masyarakat yang melanggar perintah Rasulullah ﷺ.

Saat ini kita juga sangat perlu untuk tetap serius mengingatkan umat dari bahaya kesyirikan. Di antara alasannya adalah karena kesyirikan merupakan dosa yang paling besar. Alasan yang lain adalah karena banyak orang-orang terjerumus ke dalam kesyirikan, akan tetapi dia tidak tahu bahwa yang dilakukannya adalah dosa. Berbeda dengan maksiat yang lain seperti zina, mencuri, dan meminum khamar, pelakunya mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah perbuatan maksiat. Akan tetapi banyak orang melakukan kesyirikan, akan tetapi tidak menyadari bahwa itu adalah kesyirikan. Sehingga kita mendapati bahwa betapa banyak orang banyak menggunakan jimat dan mendatangi dukun, akan tetapi mereka menganggap itu adalah sebuah ikhtiar, padahal itu adalah bentuk kesyirikan.

Metode dakwah Nabi Nuh

Berikut ini metode-metode yang ditempuh oleh Nabi Nuh álaihis salam dalam berdakwah ;

Pertama : Fokus dakwah Nabi Nuh adalah dakwah tauhid

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ

“(yaitu) sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku.” (QS. Nuh : 3)

Inilah isi dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam, yaitu agar kaumnya mentauhidkan Allah([24]). Karena pada dasarnya kaumnya adalah kaum yang terjerumus ke dalam kesyirikan. ([25])

At-Thobari berkata :

فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا يَدْعُوهُمْ إِلَى التَّوْحِيدِ، وَفِرَاقِ الْآلِهَةِ وَالْأَوْثَانِ

“Maka Nabi Nuh menetap di kaumnya selama 950 tahun menyeru mereka kepada tauhid dan meninggalkan sesembahan-sesembahan selain Allah dan berhala-berhala” ([26])

Bahkan ulama menyatakan bahwa belum ada syariát di zaman Nabi Nuh kecuali tauhid. Ibnu Ásyur berkata :

وَقَدْ قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: لَمْ يَكُنْ فِي شَرِيعَةِ نُوحٍ إِلَّا الدَّعْوَةُ إِلَى التَّوْحِيدِ فَلَيْسَ فِي شَرِيعَتِهِ أَعْمَالٌ تُطْلَبُ الطَّاعَةُ فِيهَا، لَكِنْ لَمْ تَخْلُ شَرِيعَةٌ إِلَهِيَّةٌ مِنْ تَحْرِيمِ الْفَوَاحِشِ مِثْلَ قَتْلِ الْأَنْفُسِ وَسَلْبِ الْأَمْوَالِ

“Para ahli tafsir berkata : Tidak ada di syariát Nabi Nuh kecuali berdakwah kepada tauhid. Tidak ada pada syariát beliau amal ibadah yang dituntut untuk dikerjakan. Akan tetapi tentu dalam syariát Allah pasti ada pengharaman perbuatan-perbuatan yang kecil seperti membunuh jiwa dan mencuri harta” ([27])

Kedua : Memberi peringatan (tarhib) kepada kaumnya akan adzab yang pedih jika mereka tidak beriman

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُّبِينٌ

“Dia (Nuh) berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku ini bagi kalian seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.” (QS. Nuh : 2)

Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk Nabi Nuh ‘alaihissalam memberikan peringatan, maka dia pun melakukan perintah tersebut. Nabi Nuh ‘alaihissalam mendatangi kaumnya dengan perkataan yang lembut dengan menggunakan panggilan “kaumku” ([28]). Lalu kemudian Nabi Nuh ‘alaihissalam juga mendahulukan kata “lakum” pada kalimat إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُّبِينٌ (Sesungguhnya aku ini bagi kalian pemberi peringatan) untuk menunjukkan bahwasanya dia diutus hanya untuk kaumnya sendiri bukan kepada yang lainnya. Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak berkata dengan kalimat  إِنِّي نَذِيرٌ مُّبِينٌ لَكُمْ, “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian”, karena kalimat ini akan menunjukkan bahwa beliau juga diutus kepada selain kaumnya. Padahal Nabi Nuh ‘alaihissalam diutus secara khusus kepada kaumnya. ([29])

Allah juga berfirman :

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya”. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat) (QS AlA’raf : 59)

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ، أَنْ لَا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيمٍ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih” (QS Hud : 25-26)

Ketiga : Dengan mentarghiib (memotivasi) dengan ganjaran dunia dan akhirat

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang perkataan Nuh kepada kaumnya :

يَغْفِرْ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى

“Niscaya Dia mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu (memanjangkan umurmu) sampai pada batas waktu yang ditentukan”  (QS. Nuh : 4)

Para ulama berbeda pendapat tentang makna kata “مِنْ” di dalam ayat ini.  Karena dalam bahasa Indonesia, kata “مِنْ” artinya adalah “dari”. Adapun para ulama menjelaskan bahwasanya jika maknanya min bayaniyah maka maksudnya adalah Allah mengampuni segala dosanya, sedangkan jika maknanya adalah min tab’idhiyah maka maksudnya adalah Allah mengampuni sebagian dari dosanya saja. Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa min dalam ayat ini adalah min tab’dhiyah, bermakna sebagian([30]). Mengapa Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mengampuni dosa sebagian saja? Sebagian ulama mengatakan, karena Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengampuni dosa kezaliman di antara mereka satu sama lain, sehingga mereka harus saling meminta maaf  di antara mereka([31]). Sebagian ulama yang lain mengatakan, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengampuni dosa mereka seluruhnya karena mereka tidak meminta ampun kepada Allah terhadap kecuali pada sebagian dosa saja, sehingga yang diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala hanya sebagian saja. ([32])

Kemudian dalam ayat ini disebutkan bahwa apabila mereka bertakwa dan beriman, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan memanjangkan umur mereka([33]). Hal ini sama seperti dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa umur orang yang menyambung silaturahmi bisa dipanjangkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturahmi.”([34])

Maka jika mereka tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala maka ketetapan Allah tetap akan mendatangi mereka yaitu kematian. Apakah mereka mati karena azab yang menimpanya, atau mereka meninggal karena umurnya yang sudah tua dan ajalnya telah tiba. ([35])

Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman tentang perkataan Nabi Nuh kepada kaumnya,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا

“Maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun’.” (QS. Nuh : 10)

Nabi Nuh ‘alaihissalam kemudian mengajak kaumnya untuk memohon ampun kepada Rabb-Nya, karena semua dosa bisa diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sebanyak apapun dan sebesar apapun. ([36])

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا، وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

“Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” (QS. Nuh : 11-12)

Setelah Nabi Nuh ‘alaihissalam menjelaskan kepada tentang keutamaan istighfar dari sisi duniawi. Nabi Nuh ‘alaihissalam mengiming-imingi ganjaran dunia karena kaumnya menginginkan ganjaran yang disegerakan, terutama kaum Nabi Nuh saat itu banyak yang tidak dikarunia anak, ditambah mereka ditimpa oleh kekeringan. Dan kaumnya tidak dijanjikan surga karena kita telah sama-sama tahu bahwa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak yakin dengan surga. ([37])

Ayat ini juga menjadi dalil bahwa dengan beristighfar kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, seseorang tidak hanya mendapatkan ganjaran ukhrawi, akan tetapi juga mendapatkan ganjaran duniawi. Dan secara umum, semua bentuk ketakwaan itu tidak hanya dijanjikan dengan ganjaran ukhrawi tetapi juga ganjaran duniawi([38]).

Keempat : Nabi Nuh berdakwah siang dan malam

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا

“Dia (Nuh) berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang’.” (QS. Nuh : 5)

Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam banyak surah, bahkan terkadang kisahnya disebutkan lebih panjang daripada surah Nuh ini, di antaranya adalah surah Al-A’raf, surah Hud, dan lainnya. Kisah Nabi Nuh di surah Huud lebih panjang daripada kisahnya di surah Nuh. Namun kata para ulama, surah Nuh ini adalah kesimpulan (ringkasan) dari kisah panjang perjalanan dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Di surah ini dijelaskan bagaimana Nabi Nuh ‘alaihissalam mengadu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala setelah sekian lama berdakwah tetapi kaumnya tak kunjung beriman kepadanya kecuali hanya sedikit. Oleh karenanya dalam ayat ini Nabi Nuh ‘alaihissalam mengadu kepada Rabb-Nya bahwasanya dia telah menyeru kepada kaumnya siang dan malam. ([39])

Sesungguhnya surah ini penting untuk diperhatikan oleh para da’i, bahwa Lihatlah bagaimana perjuangan Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam berdakwah. Dia mendakwahi kaumnya siang dan malam tak pernah lelah, bukan cuma sepekan sekali, atau satu bulan sekali seperti kebanyakan Da’i saat ini. Tidak ada waktu Nabi Nuh ‘alaihissalam yang tersisa kecuali digunakan untuk berdakwah kepada kaumnya.

Adapun penyebutan malam didahulukan daripada siang dalam ayat ini karena siang adalah waktu untuk bekerja. Sehingga waktu utama untuk Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah adalah pada malam hari. Pada siang hari Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah, akan tetapi tidak semudah beliau berdakwah ketika malam hari. ([40])

Kelima : Nabi Nuh berdakwah terang-terangan dan juga secara diam-diam, baik di hadapan banyak orang maupun dakwah person ke person.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا

“Kemudian sesungguhnya aku menyeru mereka dengan cara terang-terangan.” (QS. Nuh : 8)

ثُمَّ merupakan kata gandeng yang menunjukkan jarak. Sehingga dari sini kita pahami bahwasanya setelah beberapa lama (pada waktu yang lain), Nabi Nuh ‘alaihissalam kembali mengadu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa dia juga telah menempuh berbagai macam metode dalam mendakwahi mereka. Di antaranya Nabi Nuh ‘alaihissalam telah mendakwahi mereka secara terang-terangan. Demikianlah dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam yang dilakukan senantiasa secara terang-terangan dalam menyeru kepada tauhid. ([41])

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا

“Kemudian aku menyeru mereka secara terbuka dan dengan diam-diam.” (QS. Nuh : 9)

Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam ayat ini menyebutkan bahwa dia berdakwah secara terang-terangan dan juga secara diam-diam. Maksudnya adalah, dakwah terang-terangan itu seperti ketika kaumnya sedang berkumpul maka Nabi Nuh ‘alaihissalam mendatanginya lalu kemudian mendakwahi mereka. Sedangkan dakwah secara diam-diam maksudnya adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam terkadang mendatangi rumah satu per satu untuk mendakwahi kaumnya. ([42])

Artinya Nabi Nuh ‘alaihissalam telah menempuh semua metode dalam berdakwah, baik dakwah secara umum maupun dakwah fardhiyah([43]). Dan demikianlah dalam dakwah, terkadang sebagian orang lebih tertarik menghadiri pengajian jika dihadiri oleh banyak orang lain, namun terkadang ada pula orang yang lebih suka apabila dia mendengarkan pengajian di tempat yang sepi seperti di rumahnya sendiri bersama keluarganya. Oleh karena itu, hendaknya para Da’i menempuh berbagai macam metode karena mad’u (objek dakwah/audience) juga bermacam-macam tipenya. Tetapi jangan kemudian seorang Da’i membatasi objek dakwah pada golongan tertentu, sehingga yang di sini didakwahi dan yang di sana tidak. Karena dakwah para Nabi adalah dakwah yang semua golongan tanpa terkecuali bisa merasakannya. Oleh karena itu segala potensi yang bisa kita tempuh untuk berdakwah maka hendaknya kita tempuh hal tersebut.  Selama seorang Da’i bisa melihat tempat-tempat kondusif untuk berdakwah maka berdakwahlah. Baik itu mendatangi mereka ke masjid, ke rumahnya, atau lewat media massa, media sosial, atau televisi, dan radio, dan yang lainnya. Lihatlah Nabi Nuh ‘alaihissalam yang menempuh berbagai metode dalam menyampaikan dakwahnya.

Keenam : Mengingatkan keagungan Allah dan karunia Allah

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا، وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا

“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian).” (QS. Nuh : 13-14)

Nabi Nuh ‘alaihissalam berusaha memperingatkan kaumnya untuk mengagungkan Allah dengan mengingatkan nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka([44]). Di antara kenikmatan yang pertama Nabi Nuh ‘alaihissalam sebutkan adalah tentang penciptaan mereka yang terdiri atas beberapa fase tingkatan, dan kaumnya tahu akan akan hal tersebut. Penciptaan mereka dari air mani, kemudian tahapan-demi tahapan hingga menjadi anak kecil, lalu kemudian menjadi dewasa dan diberi umur yang panjang, itu semua adalah nikmat dari Allah, lantas mengapa mereka diperingati mengapa tidak mengagungkan kebesaran Allah Subhanahu wa ta’ala. ([45])

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللَّهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis?” (QS. Nuh : 15)

Nikmat yang selanjutnya Nabi Nuh ‘alaihissalam sebutkan adalah Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan langit dengan tujuh lapis. Bahkan langit yang mereka (kaumnya) lihat hanyalah langit yang pertama, dan masih ada enam lapis langit lagi di atasnya. Dan tidak ada yang tahu berapa jauh jarak antara satu langit dengan langit yang lain. Itu semua adalah ciptaan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka Nabi Nuh ‘alaihissalam memperingatkan mengapa mereka tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala? ([46])

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا

“Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)?” (QS. Nuh : 16)

Kehadiran matahari dan bulan merupakan kenikmatan yang selanjutnya Nabi Nuh ‘alaihissalam ingatkan kepada kaumnya. Mereka diingatkan akan matahari yang setiap hari mereka rasakan.  Jika sekiranya matahari ditiadakan, atau paling minimal dijauhkan lebih jauh lagi dari bumi, mungkin mereka akan mati kedingingan. Demikian pula bulan yang merupakan bagian dari nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka Nabi Nuh ‘alaihissalam mengingatkan mereka, bahwa dengan semua nikmat ini, mengapa mereka tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala? ([47])

Intinya seluruh nikmat-nikmat ini, adalah dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ

“Dan dia telah memberikan kepadamu apa yang kamu minta kepada kepada-Nya.” (QS. Ibrahim : 34)

Dalam sebagian qira’ah, kata مِنْ كُلِّ dalam ayat ini dibaca مِنْ كُلٍّ (dengan mentanwin huruf laam), sehingga jika demikian makna ayat ini menjadi, “Dan dia telah memberikan kepada apa yang tidak kamu minta kepada-Nya” ([48]). Maka langit yang berlapis-lapis, matahari, dan bulan adalah nikmat yang tidak mereka minta, akan tetapi hakikatnya sangat mereka butuhkan. Akan tetapi meskipun demikian, mereka (kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam) tetap tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ أَنبَتَكُم مِّنَ الْأَرْضِ نَبَاتًا، ثُمَّ يُعِيدُكُمْ فِيهَا وَيُخْرِجُكُمْ إِخْرَاجًا

“Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur), kemudian Dia akan mengembalikan kamu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkan kamu (pada hari Kiamat) dengan pasti.” (QS. Nuh : 17-18)

Nabi Nuh ‘alaihissalam mengingatkan kaumnya bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan mereka dari tanah, lalu tumbuh dengan baik, akan tetapi mereka juga akan dikembalikan lagi ke asal penciptaannya (kubur). Kemudian mereka kelak akan dibangkitkan lagi ketika hari kiamat telah tiba dari liang lahad tersebut. ([49])

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ بِسَاطًا، لِّتَسْلُكُوا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا

“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas.” (QS. Nuh : 19-20)

Nabi Nuh ‘alaihissalam mengingatkan lagi akan nikmat bumi yang dijadikan sebagai hamparan, sehingga mereka bisa tinggal dengan nyaman di atas muka bumi. Mereka bisa tenang membangun rumah tinggal, mereka bisa bercocok tanam, memelihara hewan ternak, berjalan kemana pun tanpa kesusahan. Dan bumi secara keseluruhan mudah untuk dipijaki. Maka Nabi Nuh ‘alaihissalam seakan-akan mengingatkan mereka bahwa apakah semua kenikmatan-kenikmatan itu terjadi begitu saja tanpa ada yang menciptakannya? Tentu tidak. Allah Subhanahu wa ta’ala adalah yang menciptakan itu semua. Maka mengapa mereka tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala? ([50])

Sikap Kaum Nabi Nuh

Berikut ini sikap-sikap Kaum Nabi Nuh melawan dakwah Nabi Nuh álaihis salam

Pertama : Menjauh dari Nuh, dan menutup telinga serta menutup kepala mereka

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, tentang perkataan Nabi Nuh

فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا

“Tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran).” (QS. Nuh : 6)

Artinya tidaklah Nabi Nuh ‘alaihissalam semakin mendakwahi kaumnya kecuali mereka semakin berlari dari dakwah tersebut. Oleh karenanya Nabi Nuh ‘alaihissalam mengeluhkan hal tersebut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. ([51])

Tentunya hati seorang da’i akan sangat sedih jika dalam dakwahnya ternyata membuat orang-orang semakin jauh. Sehingga keadaan seperti ini membuat sebagian da’i pindah dari tempat dakwah tersebut ke tempat yang lain. Akan tetapi ada sebagian da’i tidak bisa menghadapi hal yang seperti itu, sehingga dia memutuskan untuk berhenti berdakwah sama sekali.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, tentang perkataan Nabi Nuh

وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا

“Dan sesungguhnya aku setiap kali menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan jari-jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.” (QS. Nuh : 7)

Nabi Nuh ‘alaihissalam kembali mengadu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa dakwah yang dia lakukan bukan semata untuk kepentingan dirinya, melainkan untuk kepentingan kaumnya, agar Allah mengampuni mereka([52]). Namun apa yang mereka lakukan? Mereka menutup telinga mereka dengan jari-jari mereka. ([53])

Sebagian ulama menafsirkan maksud “jari-jari mereka” (dengan bentuk jamak) yaitu mereka semua masing-masing menutup telinga dengan kedua jari mereka sendiri, karena yang bisa menutup lubang telinga hanya satu jari. Sebagian ulama yang lain menafsirkan maksudnya Allah Subhanahu wa ta’ala mendatangkan dengan kalimat jamak untuk menunjukkan hiperbola, yaitu seandainya mereka bisa memasukkan semua jari-jari mereka ke dalam telinganya niscaya mereka akan melakukannya agar tidak mendengarkan dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam. ([54])

Kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam bukan hanya menutup telinga-telinga mereka, bahkan mereka menutupi wajah mereka dengan baju-bajunya. Dan ini tidak hanya sekali dua kali, tetapi setiap kali Nabi Nuh ‘alaihissalam mendatangi kaumnya, mereka meresponnya dengan menutup telinga dan menutup wajah mereka([55]). Bayangkan bagaimana perasaan Nabi Nuh ‘alaihissalam yang diperlakukan seperti itu selama 950 tahun. Siapa kira-kira yang sanggup berdakwah dengan dakwah seperti Nabi Nuh ‘alaihissalam? Sungguh perkara yang sangat berat bagi Nabi Nuh ‘alaihissalam, akan tetapi beliau tetap bersabar.

Demikianlah kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam yang disebutkan mereka tetap teguh dalam kekafiran mereka, dan mereka sombong dengan sebenar-benar kesombongan. Ini di antara yang dilaporkan Nabi Nuh ‘alaihissalam tentang kaumnya. ([56])

Kedua : Menuduh Nabi Nuh dengan tuduhan-tuduhan yang tidak benar.

Diantara tuduhan-tuduhan tersebut adalah :

Pertama : Menuduh Nabi Nuh dalam kesesatan bahkan kesesatan yang nyata

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya”. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (QS. Al-A’raf: 59)

قَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata“. (QS. Al-A’raf: 60)

Nabi Nuh membantah tuduhan mereka tersebut. Allah berfirman :

قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلَالَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنْصَحُ لَكُمْ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Nuh menjawab: “Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui“. (QS. Al-A’raf: 61-62)

Lihatlah betapa Nabi Nuh ‘alaihissalam menginginkan keselamatan bagi umatnya, dan ini merupakan bentuk rasa cinta Nabi Nuh ‘alaihissalam kepada kaumnya. Nabi Nuh ‘alaihissalam, ketika dituduh sesat oleh kaumnya, beliau tidak membalasnya dengan jawaban yang kasar pula, akan tetapi beliau menjawab dengan Hujjah.

Kedua : Menuduh Nuh adalah orang gila

Nabi Nuh ‘alaihissalam senantiasa diolok-olok oleh kaumnya, sampai dikatakan sebagai orang gila. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat yang lain,

كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ فَكَذَّبُوا عَبْدَنَا وَقَالُوا مَجْنُونٌ وَازْدُجِرَ

“Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kamu Nuh, maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: “Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman.” (QS. Al-Qamar: 9)

Tentu ini adalah kedustaan yang nyata, karena mereka telah puluhan tahun bahkan ratusan tahun mengenal Nabi Nuh, dan mereka tahu benar bahwa Nuh bukanlah orang yang terganggu akalnya.

Ketiga : Mereka mengatakan bahwa mengaku dirinya rasul karena menginginkan dunia, yaitu ingin diangkat sebagai pemimpin

Mereka mengatakan,

مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ

“Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu.” (QS. Al-Mu’minun: 24)

Tentu ini adalah tuduhan yang keji kepada seorang Nabi yang tulus ingin kebaikan bagi kaumnya, namun justru kaumnya menuduhnya berdakwah karena hanya mencari kedudukan. Kalau Nabi Nuh ingin menjadi pemimpin tentu Nabi Nuh akan merubah metode dakwahnya dan akan menuruti kemauan mereka agar meninggalkan orang-orang miskin, sehingga akhirnya Nabi Nuh akan menjadi pemimpin yang kaya. Akan tetapi itu semua tidak Nabi Nuh lakukan.

Ketiga : Mendebat Nabi Nuh dengan memberikan syubhat-syubhat

Diantara syubhat-syubhat tersebut adalah :

Pertama : Tidak ada bedanya antara Nabi Nuh dengan mereka karena sama-sama manusia. Seharusnya utusan Allah adalah malaikat dan bukan sederajat dengan mereka.

Allah berfirman,

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami”(QS. Hud: 27)

Mereka juga berkata :

مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

“Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu” (QS Al-Mukminun : 24)

Nabi Nuh membantah syubhat mereka dengan menjelaskan bahwa kesamaan dalam sifat manusia tidak menghalangi bahwa Nabi Nuh diberikan kelebihan berupa keNabian oleh Allah, meskipun mereka tidak bisa melihat kelebihan tersebut karena telah dibutakan oleh Allah.

Nani Nuh berkata :

يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَآتَانِي رَحْمَةً مِنْ عِنْدِهِ فَعُمِّيَتْ عَلَيْكُمْ أَنُلْزِمُكُمُوهَا وَأَنْتُمْ لَهَا كَارِهُونَ

“Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu, apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?” (QS Huud : 28)

Yaitu Nabi Nuh berkata, “Aku telah diberikan keNabian oleh Allah namun samar bagi kalian sehingga kalian tidak bisa mengenal kebenaran sebagai hukuman bagi kalian, akhirnya kalian tidak bisa mendapat petunjuk untuk menjadi pengikutku”

Kedua : Mereka mengatakan bahwa dakwah Nabi Nuh tidak benar karena yang mengikuti hanyalah orang-orang miskin yang lekas percaya dan tidak berfikir panjang terlebih dahulu.

Mereka berkata :

وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ

“Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina di antara kami yang lekas percaya saja “. (QS. Hud: 27)

Ibnu Katsir ketika membawakan ayat ini, beliau membantah perkataan kaum Nabi Nuh yang menganggap bahwa orang yang mengikuti Nabi Nuh adalah orang yang bodoh. Beliau mengatakan bahwa justru orang yang mengikuti Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah orang yang pintar. Karena kebenaran yang dibawakan oleh Nabi Nuh adalah sangat benar dan jelas, sebagaimana jelasnya matahari pada siang hari yang terik([57]). Oleh karenanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu dalam sebagian riwayat dengan mengatakan,

وما عرضتُ الإِسلام على أحد إِلا كانت له كَبْوَة، إِلا أبو بكر، فإنه لم يَتَلَعْثَم في قوله

“Dan tidaklah aku menawarkan Islam kepada seseorang kecuali dia ragu-ragu. Kecuali Abu Bakar, sesungguhnya dia tidak ragu dalam perkataannya.”([58])

Maka dari sini Ibnu Katsir menyebut orang-orang yang beriman kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah orang-orang yang mulia, bukan sebagaimana perkataan kaum Nabi Nuh yang menganggap mereka adalah orang hina lagi miskin dan lekas percaya.

Nabi Nuh membantah syubhat ini dengan menjelaskan bahwa beliau tidak mencari harta sehingga harus memilih pengikut yang kaya. Beliau berkata :

وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ، وَيَا قَوْمِ مَنْ يَنْصُرُنِي مِنَ اللَّهِ إِنْ طَرَدْتُهُمْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui. Hai kaumku, siapakah yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran” (QS Huud : 29-30)

Keempat : Memberikan persyaratan-persayaratan yang sulit agar dipenuhi oleh Nuh jika Nuh ingin mereka beriman.

Kemudian kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam memberikan syarat kepada Nabi Nuh jika Nabi Nuh ingin mereka beriman kepadanya. Adapun syarat yang mereka minta antara lain adalah Nabi Nuh harus datang bersama malaikat atau menjadi malaikat, kemudian beliau harus menjadi kaya raya, beliau harus mengetahui ilmu gaib, dan beliau harus mengusir orang miskin dari dakwahnya. Ketahuilah bahwa syarat yang mereka ajukan kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam, hanyalah omong kosong belaka, mereka membuat syarat tersebut hanya dalam rangka menolak dakwah Nabi Nuh álaihis salam, yaitu seakan-akan agar mereka terlihat memiliki argument untuk menolak dakwah Nabi Nuh. Karenanya syarat seperti ini disebut شُرُوْطٌ تَعْجِيْزِيَّةٌ “syarat-syarat yang mustahil untuk dipenuhi”. Lagi pula jika Nabi Nuh ‘alaihissalam memenuhi syarat tersebut, mereka pun tetap tidak akan beriman kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagaimana kaum-kaum yang lain yang mengingkari Nabi-Nabi mereka setelah persyaratan mereka dipenuhi.

Ingatlah ketika kaum Nabi Salih ‘alaihissalam yang ketika telah merasa capek dan bosan didakwahi oleh beliau, akhirnya mereka meminta syarat kepada beliau yang menurut mereka mustahil untuk dipenuhi oleh Nabi Shalih álaihis salama. Mereka meminta Nabi Salih untuk mengeluarkan unta dari batu dengan ciri-ciri telah hamil dan memiliki warna tertentu. Tatkala Nabi Salih berdoa kepada Allah dan dikabulkan, namun ketika keluar unta dari batu dengan ciri-ciri yang mereka syaratkan, ternyata merekapun tetap tidak beriman kepada Nabi Salih ‘alaihissalam. Hal yang sama juga dialami oleh Nabi Musa ‘alaihissalam dan Firaun, yaitu ketika Firaun menantang Nabi Musa untuk duel melawan para penyihirnya. Dan Firaun mengatakan bahwa dia akan beriman ketika Nabi Musa ‘alaihissalam bisa mengalahkan para penyihir yang ada di kota Mesir ketika itu. Maka tatkala Nabi Musa ‘alaihissalam benar-benar menang dalam pertandingan tersebut, ternyata Firaun tidak juga beriman kepada Nabi Musa, kemudian dengan mudahnya Firaun mengatakan,

إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ

“Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian.” (QS. Taha: 71)

Maka apa saja yang diberikan kepada mereka, pasti mereka tetap enggan untuk beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya.

Maka syarat yang diminta oleh kaum Nabi Nuh kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak Allah kabulkan karena akan percuma saja, sebab mereka pasti tetap tidak beriman. Maka Nabi Nuh ‘alaihissalaam membantah perkataan dan syarat yang diajukan oleh kaumnya dengan berkata,

وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ، وَيَا قَوْمِ مَنْ يَنْصُرُنِي مِنَ اللَّهِ إِنْ طَرَدْتُهُمْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ، وَلَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ إِنِّي مَلَكٌ وَلَا أَقُولُ لِلَّذِينَ تَزْدَرِي أَعْيُنُكُمْ لَنْ يُؤْتِيَهُمُ اللَّهُ خَيْرًا اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا فِي أَنْفُسِهِمْ إِنِّي إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan (Nuh berkata): “Wahai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui. Dan (dia berkata): “Wahai kaumku, siapakah yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran? Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): “Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui yang gaib”, dan tidak (pula) aku mengatakan: “Bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat”, dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: “Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka”. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka; sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Hud: 29-31)

Kelima : Mereka membuat makar untuk mencegah dakwah Nabi Nuh

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا

“Dan melakukan tipu-daya yang amat besar.” (QS. Nuh : 22)

Yaitu tipu daya untuk mencegah dan menghalangi dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam, agar dakwahnya tidak diterima oleh kaumnya([59]).

Kita ketahui bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam sangat tegar berdakwah selama 950 tahun terhadap kaumnya. Maka kaumnya harus membuat makar (tipu daya) terhadap Nabi Nuh ‘alaihissalam agar bisa menghadapi dakwahnya yang terus-menerus.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya‘uq dan Nasr’.” (QS. Nuh : 23)

Dari ayat ini juga kita pahami bahwa patung-patung tersebut jelas disembah. Karena ketika Nabi Nuh ‘alaihissalam mulai mengingatkan kaumnya agar tidak menyembah berhala-berhala tersebut, para pembesar-pembesar kaumnya berusaha menghalangi dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam([60]). Mereka ikut berdakwah sebagaimana Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah, hanya saja mereka mendakwahkan kebatilan. Adapun Nabi Nuh ‘alaihissalam mendakwahkan kebenaran. Ternyata sebagaimana Nabi Nuh ‘alaihissalam bersabar di atas dakwahnya, mereka juga bersabar terus berdakwah mengajak kepada penyembahan berhala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَانطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَىٰ آلِهَتِكُمْ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ

“Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), ‘Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki’.” (QS. Shad : 6)

Intinya kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam saling menasihati dalam kemaksiatan dan mewasiatkan agar bersabar di atas kemaksiatan tersebut. Hal ini juga dilakukan oleh kaum musyrikin Arab ketika menghadapi dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Satu sama lain saling menyuruh bersabar agar tidak mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam([61]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِن كَادَ لَيُضِلُّنَا عَنْ آلِهَتِنَا لَوْلَا أَن صَبَرْنَا عَلَيْهَا وَسَوْفَ يَعْلَمُونَ حِينَ يَرَوْنَ الْعَذَابَ مَنْ أَضَلُّ سَبِيلًا

“(mereka berkata) ‘Sungguh, hampir saja dia menyesatkan kita dari sesembahan kita, seandainya kita tidak tetap bersabar (menyembah)nya’. Dan kelak mereka akan mengetahui pada saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya.” (QS. Al-Furqan : 42)

Maka karena kaumnya yang demikian membangkang dari dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam

Keenam : Mengancam akan merajam Nabi Nuh (gangguan fisik)

Allah berfirman :

قَالُوا لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا نُوحُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمَرْجُومِينَ

“Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam” (QS Asy-Syuároo : 116)

Akan tetapi Nabi Nuh álaihis salam menghadapi ancaman mereka dengan tegar dan tawakkal yang tinggi kepada Allah. Bahkan Nuh menantang mereka untuk melakukan ancaman mereka. Allah berfirman :

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)” (QS Yunus : 71-72)

Nabi Nuh hanya bisa bertawakkal dan berdoa kepada Allah agar ia diselamatkan. Allah berfirman ;

قَالَ رَبِّ إِنَّ قَوْمِي كَذَّبُونِ، فَافْتَحْ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَنَجِّنِي وَمَنْ مَعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku, maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang yang mukmin besertaku” (QS Asy-Syuáro : 117-118)

Footnote:

______________

([1])  Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/332

([2])  Guru kami Syaikh Abdurrazzaq hafidzahullah sering bercerita bahwa ada muridnya dari Aljazair yang menceritakan kepadanya bahwa keluarganya memiliki usia yang panjang, di mana kebanyakannya meninggal di usia 120-130 tahun. Sampai ketika ada kerabat dari muridnya tersebut meninggal di usia 70 tahun, maka kerabatnya yang lain berkata “Kasihan, dia meninggal saat masih kecil.”

([3])  Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«إِنَّ هَذَا الْعَبْدَ الصَّالِحَ تَحَرَّكَ لَهُ الْعَرْشُ، وَفُتِّحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ»

“ini adalah hamba yang saleh yang Arsy bergetar untuknya, dan dibukakan baginya pintu-pintu langit.” HR. An-Nasai no. 8167. Dan Al-Albani mengatakan dalam Misykaatul Mashoobih no. 136 bahwa hadits ini shohih.

([4]) Lihat: Al-Bahrul Muhit 7/556

([5]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 15/326

([6]) Lihat: Tafsir At-Thobari 21/59

([7])  At-Thobari menyebut nama anaknya Nabi Nuh tersebut adalah Yaam (Lihat Tafsir at-Thbari 15/314, 15/331, dan 19/27), adapun Al-Qurthubi lebih memilih nama anak Nabi Nuh yang tenggelam adalah Kanáan (Lihat Tafsir al-Qurthubi 9/38)

([8])  Lihat: Tafsir Al-Baydhowy 3/135

([9])  Tafsir Al-Qurthubi 15/89

([10]) Sahih Bukhari 4/135 no. 3340

([11])Disebutkan oleh para salaf bahwasanya Nabi Nuh jika makan memuji Allah dan beliau berkata, “Jika Allah berkehendak maka Allah bisa membuatku lapar”. Jika minum beliau memuji Allah seraya berkata, “Jika Allah berkehendak Allah bisa membuatku kehausan”. Jika memakai baju memuji Allah seraya berkata, “Jika Allah berkehendak maka Allah menjadikan aku telanjang tanpa baju”,  jika memakai sendal memuji Allah, dan bahkan jika setelah buang hajat beliau memuji Allah seraya berkata, “Jika Allah berkehendak maka Allah akan menahan kotoran di tubuhku”. (Lihat: Tafsir Ath-Thobari 17/354 -355 tahqiq Ahmad Syakir).

([12])  Lihat: Tafsir Ath-Thobari 15/356

([13])  Lihat: Tafsir Ath-Thobari 24/566

([14]) Sahih Bukhari 4/135 no. 3340

([15]) Sahih Bukhari 1/79 no. 349

([16]) Sahih Bukhari 1/79 no. 349

([17]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 7/232

([18]) HR. Ibnu Hibban dalam shohihnya no. 6190. Dan dikatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth hadits ini shohih.

([19]) Sahih Bukhari 6/160 no. 4920

([20]) Lihat: Fathul Baari 8/669

([21]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 22/523

([22]) Sahih Bukhari 4/167 no. 3445

([23]) Kitab Muwattha’ Imam Malik 2/214 no. 593

([24])  Lihat: Tafsir At-Thobari 20/16

([25])  Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/188.

([26])  Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/299.

([27])  Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/189.

([28])  Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/227 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/299.

([29])  Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/188.

([30])  Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/372.

([31])  Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/299.

([32])  Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 6/99.

([33])  Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/299.

([34])  HR. Bukhari no. 5985

([35])  Lihat: Ma’aniy Al-Qur’an Li Az-Zajjaj 5/228 dan Ma’aniy Al-Qur’an Li Al-Farra’ 3/187.

([36])  Tafsir Ibnu Katsir 8/232.

([37])  Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/302.

([38])  Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 6/101.

([39])  Tafsir Ibnu Katsir 8/232.

([40])  At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/194.

([41])  Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/196.

([42])  Lihat: Tafsir Al-Mawardi 6/101 dan Tafsir Al-Baghawiy 8/230

([43])  Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/197.

([44])  Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 6/101.

([45])  Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/635.

([46])  Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/636.

([47])  Lihat: Tafsir As-Sa’diy hal:889 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/203.

([48])  Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 17/15.

([49])  Lihat: Tafsir Al-Mawardi 6/102.

([50])  Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/205 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/234.

([51])  Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/232 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/195.

([52])  Tafsir Ar-Razi 30/651.

([53])  Zaadul Masiir Li Ibnu Al-Jauziy 4/342.

([54])  At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/195.

([55])  Lihat: Tafsir Ar-raziy 30/651.

([56])  Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/196.

([57]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/316

([58]) HR. Tirmidzi no. 3661 dan dia mengatakan hadits ini hasan ghorib, dan Al-Albani juga mengatakan hadits ini shohih. (lihat: Jam’ul Fawaaid Min Jaami’il Ushuul wa Majma’iz Zawaaid no. 8603 3/492)

([59])  Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/619.

([60])  Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/619 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/206.

([61])  Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/53 dan 6/113.