Nabi dan rasul adalah manusia yang dipilih secara langsung oleh Allah untuk mengajarkan tauhid kepada umat manusia melalui penerimaan wahyu.[1] Dalam Islam, nabi (نبي, nabī; jamak: أنبياء, anbiyāʾ) adalah seorang yang mendapat wahyu dari Allah. Di antara para nabi, ada juga yang merupakan rasul (رسول, rasūl; jamak: رسل, rusul), yakni seorang yang mendapat wahyu Allah dan wajib menyebarkan ajarannya.
Mengimani nabi dan rasul merupakan rukun iman keempat. Di antara para nabi, Adam merupakan nabi pertama, sedangkan Muhammad merupakan nabi terakhir. Di antara para rasul, ada lima orang yang mendapat gelar ulul 'azmi, yakni para rasul yang memiliki ketabahan luar biasa. Mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, 'Isa, dan Muhammad.
Sebelum Nabi Muhammad diutus, Allah telah mengutus rasul-rasul pada tiap-tiap umat. Ajaran atau syari'at para rasul ini berbeda-beda dan hanya ditujukan khusus untuk umatnya saja. Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir dan diutus untuk seluruh umat manusia. Syari'atnya menyempurnakan ajaran para rasul terdahulu. Meski terdapat perbedaan, inti semua ajaran nabi dan rasul adalah tauhid atau pengesaan Allah.
Tidak semua nabi dan rasul disebutkan nama dan kisahnya dalam Al-Qur'an maupun hadits. Selain itu, ada beberapa tokoh yang dikenal dalam literatur Islam, tetapi status kenabiannya diperdebatkan, seperti Khidir, Luqman al-Hakim, Dzulqarnain, dan Maryam.
"Katakanlah, 'Kami beriman kepada Allah dan kepada yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anak cucunya, dan yang diberikan kepada Musa dan 'Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.'" — Ali 'Imran (3): 84 Kata "nabi" berasal dari kata naba yang berarti "dari tempat yang tinggi", atau na-ba-a artinya berita. Jadi nabi adalah seorang yang ditinggikan derajatnya dengan diberikan berita (wahyu) dari Allah.
Rasul berasal dari kata ar-sa-la artinya mengutus. Dengan demikian, rasul adalah seorang yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan pesan (ar-risalah) kepada manusia.
Para ulama menyebutkan banyak perbedaan antara nabi dan rasul, di antaranya:
"Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya." — [Qur'an Al-Mu’minun:044] "Dulu Bani Israil diurus (dipimpin) oleh banyak nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, maka digantikan oleh nabi setelahnya." — HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang." — [Qur'an Al-Ma’idah:048] "...dan untuk menghalalkan bagi kalian sebagian yang dulu diharamkan untuk kalian." — [Qur'an Ali Imran:050] "Dihalalkan untukku ghonimah dan dijadikan untukku bumi sebagai mesjid (tempat sholat) dan alat bersuci (tayammum)." — HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir "...dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan”. — [Qur'an Al-Baqarah:061]
Al Quran juga secara eksplisit mendefinisikan mana yang termasuk ke dalam golongan Rasul dan mana yang termasuk ke dalam golongan Nabi. Sebagai contoh, Musa adalah nabi dan Rasul, berdasarkan ayat ini :
Sedangkan Harun adalah nabi :
Ulul 'AzmiDi antara para nabi, ada yang berstatus sebagai rasul. Di antara para rasul, ada yang menerima gelar ulul 'azmi (أولوالعزم), yakni gelar khusus bagi golongan rasul pilihan yang mempunyai ketabahan luar biasa. Mereka yang bergelar ulul 'azmi adalah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, 'Isa, dan Muhammad. Semua inti ajaran nabi dan rasul adalah tauhid atau mengesakan Allah.
Dalam berdakwah, seorang rasul berperan sebagai basyir (pembawa kabar gembira) dan nadzir (pemberi peringatan).
Ma'shumPara nabi dan rasul memiliki sifat ma'shum, yakni terjaga dari dosa. Ma’shum adalah terjemahan dari kata ‘ish-mah dalam bahasa Arab, berasal dari kata ‘ashama (عَصَمَ). Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, “’Ashama (عَصَمَ) artinya mana’a, darinya muncul kata ‘ish-mah (اَلْعِصْمَةُ) dalam agama, yaitu: terjaga dari kemaksiatan.[3] Menurut Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah, ma'shum adalah sifat para nabi, yakni terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan agama, juga dari dosa-dosa besar. Adapun dosa-dosa kecil, atau lupa dan keliru, maka para nabi terkadang mengalaminya. Jika para nabi melakukan kesalahan, maka Allâh segera meluruskannya. Lembaga fatwa Kerajaan Arab Saudi, al-Lajnah ad-Dâimah, menyatakan, “Para nabi dan rasul terkadang berbuat kesalahan, tetapi Allah Azza wa Jalla tidak membiarkan mereka dalam kesalahan mereka, bahkan Allah menjelaskan kesalahan mereka kepada mereka, karena kasih sayang (Nya) kepada mereka dan umatnya, dan Allah memaafkan ketergelinciran mereka serta menerima taubat mereka, karena karunia dan rahmat dari-Nya, dan Allâh Maha Pengampun dan Pengasih.”[4] MukjizatDalam menjalankan misi kenabian dan kerasulan, sebagian nabi dan rasul dikaruniai mukjizat. Mukjizat merupakan suatu hal yang terjadi di luar kebiasaan yang digunakan untuk mendukung kebenaran kenabian seorang nabi dan/atau kerasulan seorang rasul, sekaligus melemahkan lawan-lawan/musuh-musuh yang meragukan kebenarannya. Mukjizat yang ditampilkan para nabi dan rasul tidak lepas dari bentuk-bentuk berikut:
Diutus pada tiap umatAl-Qur'an menyebutkan bahwa telah ada tiap rasul pada tiap umat.
Dalam ayat lain, ditegaskan pula bahwa memang ada para rasul yang tidak dikisahkan dalam Al-Qur'an.
Mengenai hal ini, beberapa ulama seperti Jamaluddin al-Qasimi berpendapat bahwa ada kemungkinan tokoh-tokoh terkenal di masa lampau sebenarnya adalah seorang nabi, seperti Siddhartha Gautama.[5] Kisah para nabi dalam Islam diperkirakan pertama kali ditulis menjadi sebuah kitab pada awal abad ke-2 Hijriyah. Penulisnya adalah seorang sejarawan dan penulis kitab-kitab kuno khususnya kisah-kisah Israiliyat. Namanya adalah Wahhab bin Munabbih yang wafat pada tahun 114 Hijriyah. Penulisan kisah para nabi juga dilakukan oleh 'Ali bin Hamzah al-Kasa'i an-Nahwi (wafat tahun189 H), Sahl bin Abdullah At-Tustari (wafat tahun 283 H), 'Izzul Malik Muhammad bin Abdul Malik al-Musabbihi dan Ibnu Katsir.[6] Ada beberapa tokoh yang dikenal baik dalam literatur Islam, tetapi status kenabian mereka masih diperdebatkan.
Nabi perempuanPara ulama sepakat bahwa semua rasul adalah laki-laki. Namun untuk jenjang kenabian, sebagian ulama menyatakan bahwa ada perempuan yang menjadi nabiah atau nabi perempuan. Dalam kitabnya, Ibnu Hajar menyampaikan, "Dinukil dari al-Asy’ari bahwa ada beberapa wanita yang diangkat jadi nabi. Mereka ada 6 orang:
Batasan menurut beliau, bahwa orang yang didatangi malaikat dari Allah, dengan membawa hukum: perintah, larangan, atau maklumat, maka dia nabi."[12] SanggahanMayoritas ulama berpendapat bahwa sebagaimana rasul, semua nabi adalah laki-laki, sehingga tidak ada nabiah. Landasan yang digunakan adalah:
DukunganBeberapa ulama yang mendukung adanya nabiah antara lain Ibnu Hazm, Al-Qurthubi, dan Abu al-Hasan al-Asy'ari.[12][15][16] Terkait ayat Al-Qur'an Surah Yusuf ayat 109, beberapa jawaban dari yang mendukung kenabian perempuan adalah:
Nabi yang masih hidupAda kepercayaan di sebagian kalangan Muslim bahwa ada empat orang nabi yang masih hidup sampai sekarang: dua hidup di bumi dan dua di langit. Dua nabi yang ada di bumi yang dimaksud adalah Nabi Khidir dan Nabi Ilyas, sementara dua yang ada di langit adalah Nabi Idris dan Nabi 'Isa. Banyak ulama yang menyatakan bahwa Nabi 'Isa masih hidup setelah diangkat ke langit dan akan turun kembali di akhir zaman. Ulama yang memegang pendapat ini di antaranya adalah Syekh Fakhruddin ar-Razi,[19] Ibnu Athiyah,[20] dan komisi Al-Lajnah ad-Dâimah.[21] Untuk nabi yang lain, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya terkait Khidir. Pada umumnya kalangan sufi masih menganggap Khidir masih hidup, seperti Yusuf an-Nabhani yang mengungkapkan, "Keterangan bahwa Nabi Khidhir masih hidup adalah sudah menjadi ketetapan para wali dan didukung oleh para ahli fiqh, ahli ushul dan hampir mayoritas ahli hadits, begitulah yang dikatakan oleh Syaikh Abu ‘Amr bin ash-Shalah yang dinukil oleh an-Nawawi dan menyetujuinya."[22] Beberapa ulama yang memegang pendapat pertama ini antara lain Imam Al-Qurthubi,[23] An-Nawawi,[24] Ibnu Ash-Sholah,[23] dan An-Naqqasy.[25] Di sisi lain, ulama yang berpandangan bahwa Khidir telah meninggal antara lain Imam Bukhari,[23][26] Ibrahim Al-Harbi,[26] Ibnu Taimiyah,[27] Ibnul Qayyim,[28] Ibnu Katsir,[29] dan Muhammad Amin As-Syinqithi.[30] Ibnu Hajar Al-'Asqalani membuat satu risalah khusus yang berjudul Az-Zahr An-Nadhr fi Naba-i Al-Khidr, yang dicetak dalam kumpulan risalah mimbariyah (2:195). Banyak nabi yang dikenal dalam Islam juga merupakan tokoh yang dikenal dalam tradisi lain, seringnya dalam literatur Yahudi dan Kristen. Meski demikian, ada beberapa perbedaan cerita dengan versi Islam. Perbedaan yang terjadi tidak hanya dalam narasi penceritaan, tetapi juga mengenai kema'shuman para nabi yang bersangkutan. Beberapa tokoh yang diimani sebagai nabi dalam Islam digambarkan melakukan dosa besar dalam sumber Yahudi dan Kristen, misalnya:
PadananTerlepas dari perbedaan versi cerita dan ejaan nama, beberapa nabi dalam Islam memang sudah diyakini merupakan orang yang sama dengan tokoh tertentu dalam Alkitab, seperti Ibrahim dalam Al-Qur'an adalah Abraham dalam Alkitab, Nabi Musa dan Harun yang juga sudah diketahui di pihak Islam juga merupakan Musa dan Harun yang dikenal Yahudi dan Kristen, dan seterusnya. Di sisi lain, ada beberapa nabi dalam Islam yang memang masih diperdebatkan kesamaannya dengan tokoh tertentu dalam tradisi di luar Islam. Nabi-nabi tersebut antara lain:
Nabi dalam sumber Yahudi dan KristenPara nabi yang dikenal dalam Alkitab juga dipandang sebagai nabi atau wali dalam Islam, meski nama dan kisah mereka tidak tercantum dalam Al-Qur'an. Beberapa di antaranya adalah Daniyal (Daniel), Asya'ya (Yesaya), dan Aramiya (Yeremia). Tabel ini berisikan:
Page 22 Esdras (disebut juga 4 Esdras, Esdras Latin, atau Ezra Latin) adalah nama dari salah satu kitab apokaliptik dalam banyak versi Alkitab bahasa Inggris[1] (lihat Konvensi penamaan di bawah).[2][3] Penulisan kitab ini dianggap berasal dari Ezra.[4] 2 Esdras digolongkan sebagai apokrifa oleh kalangan Kristen Katolik Roma, Protestan, dan kebanyakan Ortodoks Timur.[5] Kitab ini dipertahankan dalam teks Latin sebagai salah satu lampiran Vulgata dan diwariskan sebagai suatu kitab paduan, tetapi umumnya dianggap sebagai suatu karya tripartit.
Sebagaimana halnya 1 Esdras, terdapat beberapa kebingungan mengenai penomoran kitab ini. Vulgata dari St. Hieronimus mencakup 1, 2, 3 dan 4 Esdras. Para penulis Protestan, setelah Alkitab Jenewa, menyebut 1 dan 2 Esdras dari Vulgata dengan sebutan Ezra dan Nehemia, serta menyebut 3 dan 4 Esdras dari Vulgata dengan sebutan 1 dan 2 Esdras yang menjadi hal umum dalam berbagai Alkitab bahasa Inggris.[6] Hieronimus dan manuskrip-manuskrip Latin dari abad pertengahan menyebut kitab ini 4 Esdras, yang hingga saat ini menjadi nama yang digunakan dalam edisi-edisi kritis modern,[7][8] yang adalah hal umum dalam bahasa Latin, bahasa yang dipergunakan pada model-model terlengkapnya.[9] Kitab ini terdapat di Lampiran Perjanjian Lama dalam Alkitab Slavonik, dengan nama 3 Esdras, sementara Alkitab Ortodoks Georgia menamakannya 3 Ezra. Teks ini terkadang juga dikenal sebagai Apokalipsis Ezra (bab/pasal 3–14 dikenal sebagai "Apokalipsis Ezra Yahudi" atau 4 Ezra, bab 1–2 dikenal sebagai 5 Ezra, dan bab 15–16 dikenal sebagai 6 Ezra). Kitab ini dipandang sebagai salah satu literatur apokaliptik Yahudi yang sangat berharga. Meskipun terdapat dalam Alkitab Slavonik Ortodoks (Alkitab Ostrog, Alkitab Elisabet, dan kelak konsekuensinya Alkitab Sinodal Rusia), kitab ini tidak diterima dalam kanon-kanon Kristen Eropa. Bab-bab yang bersesuaian dengan 4 Ezra, yaitu 2 Esdras 3–14, membentuk Kitab II Izra, alias Izra Sutuel, dipandang kanonik dalam Gereja Ortodoks Ethiopia; bagian ini juga banyak dikutip oleh para Bapa Gereja awal, terutama St. Ambrosius. Selain itu juga ditemukan dalam banyak Alkitab bahasa Inggris yang lebih besar sebagai bagian dari Apokrifa Alkitab, misalnya versi Raja James, Revised Standard Version, dan edisi-edisi paling awal dari Alkitab Douay-Rheims Katolik.[1] Introitus dari Misa Requiem, sesuai tradisi dalam Gereja Katolik, secara bebas didasarkan pada 2:34–35: "Ya Tuhan, berilah mereka istirahat kekal, dan sinarilah mereka dengan cahaya abadi" (lih. Requiem Aeternam). Beberapa doa liturgis lainnya diambil dari kitab ini. Dalam Vulgata karyanya, Paus Klemens VIII menempatkan kitab ini pada lampiran setelah Perjanjian Baru bersama dengan Apokrifa Alkitab yang lain, "agar jangan musnah semuanya" (ne prorsus interirent).[10]
|