Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk

وَمَا كَانَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ لِيَنۡفِرُوۡا كَآفَّةً‌ ؕ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِنۡ كُلِّ فِرۡقَةٍ مِّنۡهُمۡ طَآٮِٕفَةٌ لِّيَـتَفَقَّهُوۡا فِى الدِّيۡنِ وَ لِيُنۡذِرُوۡا قَوۡمَهُمۡ اِذَا رَجَعُوۡۤا اِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُوۡنَ

Wa maa kaanal mu'minuuna liyanfiruu kaaaffah; falaw laa nafara min kulli firqatim minhum taaa'ifatul liyatafaqqahuu fiddiini wa liyunziruu qawmahum izaa raja'uuu ilaihim la'allahum yahzaruun

Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.

Pada ayat sebelumnya dijelaskan tentang pahala yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang berbuat baik. Pada ayat ini dijelaskan tentang pentingnya pembagian tugas kerja dalam kehidupan bersama dengan penegasan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang sehingga hal yang lainnya terabaikan. Mengapa tidak ada sebagian dari setiap golongan di antara mereka yang pergi untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan dengan menyebarluaskan pengetahuan tersebut kepada kaumnya apabila mereka telah kembali dari berperang atau tugas apa pun, pengetahuan agama ini penting agar mereka dapat menjaga dirinya dan berhati-hati agar tidak melakukan pelanggaran.

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi harus menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan. Perang bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam serta mengamankan jalan dakwah Islamiyah. Sedang menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh semua macam lapisan masyarakat. Dengan demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan ayat-ayat yang lalu, karena sama-sama menerangkan hukum berjihad, akan tetapi dalam bidang dan cara yang berlainan. Tugas ulama dalam Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut merupakan tugas umat dan setiap pribadi muslim, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah saw telah bersabda: Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) dari padaku, walaupun hanya satu ayat Al-Qur'an saja. (Riwayat al-Bukhari) Akan tetapi, tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama, agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islamiyah dengan cara dan metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula. Apabila umat Islam telah memahami ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat. Di samping itu perlu diingat, bahwa apabila umat Islam menghadapi peperangan yang memerlukan tenaga manusia yang banyak, maka dalam hal ini seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus kembali kepada tugas semula, kecuali sejumlah orang yang diberi tugas khusus untuk menjaga keamanan dan ketertiban, dalam dinas kemiliteran dan kepolisian. Oleh karena ayat ini telah menetapkan bahwa fungsi ilmu adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidak dapat dibenarkan bila ada orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apalagi untuk menggunakan ilmu pengetahuan sebagai kebanggaan dan kesombongan diri terhadap golongan yang belum menerima pengetahuan. Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan harus menjadi pelita dan pembimbing bagi umatnya. Ia harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama. Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain. Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini, kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban, adalah wajib pula hukumnya. Dalam hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi: Sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya.

Karena pentingnya fungsi ilmu dan para sarjana, maka beberapa negara Islam membebaskan para ulama (sarjana) dan mahasiswa pada perguruan agama, dari wajib militer, agar pengajaran dan pengembangan ilmu senantiasa dapat berjalan dengan lancar, kecuali bila negara sedang menghadapi bahaya besar, yang harus dihadapi oleh segala lapisan masyarakat.

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. Hal ini merupakan penjelasan dari Allah ﷻ mengenai apa yang dikehendaki-Nya, yaitu berkenaan dengan keberangkatan semua kabilah bersama Rasulullah ﷺ ke medan Tabuk. Segolongan ulama Salaf ada yang berpendapat bahwa setiap muslim diwajibkan berangkat dengan Rasulullah ﷺ apabila beliau keluar (berangkat ke medan perang). Untuk itulah dalam firman yang lain disebutkan: Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat. (At-Taubah: 41) Kemudian dalam ayat berikutnya disebutkan oleh firman-Nya: Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka. (At-Taubah: 120), hingga akhir ayat. Selanjutnya ayat-ayat di atas di-mansukh oleh ayat ini (At-Taubah: 122). Dapat pula ditakwilkan bahwa ayat ini merupakan penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah ﷻ sehubungan dengan keberangkatan semua kabilah, dan sejumlah kecil dari tiap-tiap kabilah apabila mereka tidak keluar semuanya (boleh tidak berangkat). Dimaksudkan agar mereka yang berangkat bersama Rasul ﷺ memperdalam agamanya melalui wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Rasul. Selanjutnya apabila mereka kembali kepada kaumnya memberikan peringatan kepada kaumnya tentang segala sesuatu yang menyangkut musuh mereka (agar mereka waspada). Dengan demikian, maka golongan yang tertentu ini memikul dua tugas sekaligus. Tetapi sesudah masa Nabi ﷺ, maka tugas mereka yang berangkat dari kabilah-kabilah itu tiada lain adakalanya untuk belajar agama atau untuk berjihad, karena sesungguhnya hal tersebut fardu kifayah bagi mereka. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). (At-Taubah: 122) Yakni tidaklah sepatutnya orang-orang mukmin berangkat semuanya ke medan perang dan meninggalkan Nabi ﷺ sendirian. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) Yaitu suatu golongan. Makna yang dimaksud ialah sepasukan Sariyyah (pasukan khusus) yang mereka tidak berangkat kecuali dengan seizin Nabi ﷺ Apabila pasukan Sariyyah itu kembali kepada kaumnya, sedangkan setelah keberangkatan mereka diturunkan ayat-ayat Al-Qur'an yang telah dipelajari oleh mereka yang tinggal bersama Nabi ﷺ Maka mereka yang bersama Nabi ﷺ akan mengatakan kepada Sariyyah, "Sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat-ayat Al-Qur'an kepada Nabi kalian dan telah kami pelajari." Selanjutnya Sariyyah itu tinggal untuk mempelajari apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi mereka, sesudah keberangkatan mereka; dan Nabi pun mengirimkan Sariyyah lainnya. Yang demikian itulah pengertian firman Allah ﷻ: untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (At-Taubah: 122) Yakni agar mereka mempelajari apa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi mereka. Selanjutnya mereka akan mengajarkannya kepada Sariyyah apabila telah kembali kepada mereka. supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122) Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan sehubungan dengan sejumlah orang dari kalangan sahabat Nabi ﷺ yang pergi ke daerah-daerah pedalaman, lalu mereka beroleh kebajikan dari para penduduknya dan beroleh manfaat dari kesuburannya, serta menyeru orang-orang yang mereka jumpai ke jalan petunjuk (hidayah). Maka orang-orang pedalaman berkata kepada mereka, "Tiada yang kami lihat dari kalian melainkan kalian telah meninggalkan teman kalian (Nabi ﷺ) dan kalian datang kepada kami." Maka timbullah rasa berdosa dalam hati mereka, lalu mereka pergi dari daerah pedalaman seluruhnya dan menghadap Nabi ﷺ Maka Allah ﷻ berfirman: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) untuk mencari kebaikan. untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (At-Taubah: 122) dan untuk mendengarkan apa yang terjadi di kalangan orang-orang serta apa yang telah diturunkan oleh Allah. Allah memaafkan mereka. dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya. (At-Taubah: 122) Yakni semua orang apabila mereka kembali kepada kaumnya masing-masing. supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122) Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa apabila Rasulullah ﷺ mengirimkan pasukan, Allah memerintahkan kepada kaum muslim agar pergi berperang, tetapi sebagian dari mereka harus tinggal bersama Rasul ﷺ untuk memperdalam pengetahuan agama: sedangkan segolongan yang lainnya menyeru kaumnya dan memperingatkan mereka akan azab-azab Allah yang telah menimpa umat-umat sebelum mereka. Ad-Dahhak mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila ikut dalam peperangan, maka beliau tidak mengizinkan seorang pun dari kalangan kaum muslim untuk tidak ikut bersamanya, kecuali orang-orang yang berhalangan. Dan Rasulullah ﷺ apabila mempersiapkan suatu pasukan Sariyyah, beliau tidak membolehkan mereka langsung berangkat melainkan dengan seizinnya. Dan apabila mereka sudah berangkat, lalu diturunkan kepada Nabi-Nya ayat-ayat Al-Qur'an, maka Nabi ﷺ Membacakannya kepada sahabat-sahabatnya yang tinggal bersamanya. Apabila pasukan Sariyyah itu kembali, maka mereka yang tinggal bersama Nabi ﷺ berkata, "Sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat-ayat Al-Qur'an kepada Nabi-Nya sesudah kalian berangkat." Lalu mereka yang tinggal mengajarkan ayat-ayat itu kepada mereka yang baru tiba dan memperdalam pengetahuan agama mereka. Hal inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah ﷻ: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). (At-Taubah: 122) Yaitu apabila Rasulullah ﷺ tidak ikut berangkat dalam pasukan tersebut. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) Dengan kata lain, tidak sepatutnya kaum muslim berangkat seluruhnya bila Nabi ﷺ tinggal di tempat. Apabila Nabi ﷺ tinggal di tempat, hendaklah yang berangkat hanyalah Sariyyah (pasukan khusus)nya saja, sedangkan sebagian besar orang-orang harus tetap ada bersama Nabi ﷺ Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). (At-Taubah: 122) Ayat ini bukan berkenaan dengan masalah jihad, tetapi ketika Rasulullah ﷺ mendoakan musim paceklik bagi orang-orang Mudar, maka negeri mereka menjadi kekeringan dan paceklik. Dan tersebutlah bahwa ada salah satu kabilah dari mereka berikut semua keluarganya datang ke Madinah dan tinggal padanya karena kelaparan yang mereka derita, lalu mereka berpura-pura masuk Islam, padahal mereka dusta. Keadaan itu membuat sahabat-sahabat Rasul ﷺ menjadi terganggu dan membuat mereka kewalahan. Maka Allah menurunkan kepada Rasul ﷺ wahyu-Nya yang mengabarkan bahwa mereka bukanlah orang-orang mukmin. Lalu Rasulullah ﷺ memulangkan mereka kepada induk kabilahnya dan memperingatkan kepada kaumnya agar jangan melakukan perbuatan yang sama. Yang demikian itulah maksud dari firman Allah ﷻ: dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya. (At-Taubah: 122). hingga akhir ayat. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa segolongan orang dari tiap-tiap kabilah Arab Badui berangkat meninggalkan daerahnya, lalu menghadap Nabi ﷺ Mereka menanyakan kepada Nabi ﷺ banyak hal yang mereka kehendaki menyangkut urusan agama mereka. Dengan demikian, mereka memperdalam pengetahuan agamanya. Dan mereka bertanya kepada Nabi ﷺ, "Apakah yang akan engkau perintahkan kepada kami untuk mengerjakannya? Dan perintahkanlah kepada kami apa yang harus kami lakukan kepada keluarga dan kaum kami apabila kami kembali kepada mereka!" Maka Nabi ﷺ memerintahkan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi ﷺ juga mengutus mereka kepada kaumnya untuk menyeru mereka agar mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan tersebutlah bahwa apabila mereka telah kembali kepada kaumnya, maka mereka mengatakan, "Barang siapa yang mau masuk Islam, sesungguhnya dia termasuk golongan kami." Lalu mereka memberikan peringatan kepada kaumnya, sehingga seseorang (dari kaumnya) yang masuk Islam benar-benar rela berpisah dari ayah dan ibunya (yang tidak mau masuk) Islam. Sebelum itu Nabi ﷺ telah berpesan dan memperingatkan mereka akan kaumnya, bahwa apabila mereka kembali kepada kaumnya, hendaklah mereka menyeru kaumnya untuk masuk Islam dan memperingatkan kaumnya akan neraka serta menyampaikan berita gembira kepada mereka akan surga (bila mereka mau masuk Islam). Ikrimah mengatakan ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman Allah ﷻ: Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang pedih. (At-Taubah: 39) Dan firman Allah ﷻ: Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah. (At-Taubah: 120), hingga akhir ayat. Orang-orang munafik mengatakan, "Binasalah orang-orang Badui yang tidak ikut berperang dengan Muhammad dan tidak ikut berangkat bersamanya." Dikatakan demikian karena ada sejumlah sahabat Nabi ﷺ yang pergi ke daerah pedalaman, pulang kepada kaumnya masing-masing dalam rangka memperdalam pegetahuan agama buat kaumnya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). (At-Taubah: 122), hingga akhir ayat. Turun pula firman Allah ﷻ yang mengatakan: Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima, maka bantahan mereka itu sia-sia saja, di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras. (Asy-Syura: 16) Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat. bahwa makna yang dimaksud ialah agar orang-orang yang berangkat ke medan perang belajar melalui apa yang telah diperlihatkan oleh Allah kepada mereka, yaitu menguasai musuh dan dapat mengalahkan mereka. Kemudian bila mereka kembali kepada kaumnya, maka mereka memperingatkan kaumnya untuk bersikap waspada."

Pada ayat sebelumnya dijelaskan tentang pahala yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang berbuat baik. Pada ayat ini dijelaskan tentang pentingnya pembagian tugas kerja dalam kehidupan bersama dengan penegasan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang sehingga hal yang lainnya terabaikan. Mengapa tidak ada sebagian dari setiap golongan di antara mereka yang pergi untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan dengan menyebarluaskan pengetahuan tersebut kepada kaumnya apabila mereka telah kembali dari berperang atau tugas apa pun, pengetahuan agama ini penting agar mereka dapat menjaga dirinya dan berhati-hati agar tidak melakukan pelanggaran. Setelah dijelaskan pentingnya memperdalam pengetahuan agama dan menyebarluaskannya kepada masyarakat luas, lalu dijelaskan sikap ketika menghadapi orang kafir yang memusuhi orang mukmin. Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu apabila mereka memerangi kamu, dan hendaklah mereka merasakan, mengetahui dan menyaksikan sikap tegas dan semangat juang yang tinggi darimu, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu jangan pernah putus asa apalagi menyerah.

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi harus menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan. Perang bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam serta mengamankan jalan dakwah Islamiyah. Sedang menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh semua macam lapisan masyarakat. Dengan demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan ayat-ayat yang lalu, karena sama-sama menerangkan hukum berjihad, akan tetapi dalam bidang dan cara yang berlainan. Tugas ulama dalam Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut merupakan tugas umat dan setiap pribadi muslim, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah ﷺ telah bersabda: Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) dari padaku, walaupun hanya satu ayat Al-Qur'an saja. (Riwayat al-Bukhari) Akan tetapi, tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama, agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islamiyah dengan cara dan metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula. Apabila umat Islam telah memahami ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat. Di samping itu perlu diingat, bahwa apabila umat Islam menghadapi peperangan yang memerlukan tenaga manusia yang banyak, maka dalam hal ini seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus kembali kepada tugas semula, kecuali sejumlah orang yang diberi tugas khusus untuk menjaga keamanan dan ketertiban, dalam dinas kemiliteran dan kepolisian. Oleh karena ayat ini telah menetapkan bahwa fungsi ilmu adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidak dapat dibenarkan bila ada orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apalagi untuk menggunakan ilmu pengetahuan sebagai kebanggaan dan kesombongan diri terhadap golongan yang belum menerima pengetahuan. Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan harus menjadi pelita dan pembimbing bagi umatnya. Ia harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama. Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain. Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini, kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban, adalah wajib pula hukumnya. Dalam hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi: Sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya. Karena pentingnya fungsi ilmu dan para sarjana, maka beberapa negara Islam membebaskan para ulama (sarjana) dan mahasiswa pada perguruan agama, dari wajib militer, agar pengajaran dan pengembangan ilmu senantiasa dapat berjalan dengan lancar, kecuali bila negara sedang menghadapi bahaya besar, yang harus dihadapi oleh segala lapisan masyarakat. .

PEMBAGIAN TUGAS

Pada ayat 38 (Juz 10) sudah datang teguran Allah kepada seluruh orang yang beriman bahwa kalau nafir atau seruan berperang telah datang, apakah mereka akan memberatkan diri ke bumi? Apakah mereka lebih ridha akan hidup di dunia, padahal hidup di dunia itu dibandingkan dengan akhirat, hanya sedikit saja, tidak ada artinya! Ayat 43 memberi per-ingatan bertambah jelas lagi, yaitu kalau nafir peperangan telah tiba, segeralah bersiap, baik secara ringan maupun secara berat. Tidak ada yang boleh ketinggalan. Setelah itu datanglah perintah khusus pada ayat 120 terhadap penduduk Madinah dan Arab yang tinggal sekelilingnya bahwa mereka tidak pantas berpangku tangan dan mencecerkan diri, acuh tak acuh, untuk pergi bersama Rasulullah ﷺ

Sekarang datang ayat 122 yang berbunyi begini,


Ayat 122

“Dan tidaklah (boleh) orang-orang yang beriman ikut semuanya."

Seperti juga ayat-ayat 113 dan 120, di sini sama bunyi pangkal ayat. Yaitu orang beriman sejati tidaklah semuanya turut bertempur berjihad dengan senjata ke medan perang."Tetapi alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, di antara mereka, satu kelompok supaya mereka memperdalam pengertian tentang agama."

Dengan susun kalimat faiaulaa, yang berarti diangkat naiknya, maka Allah telah menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi berperang menurut kesanggupan masing-masing, baik secara ringan maupun secara berat. Maka dengan ayat ini, Allah pun menuntun hendaklah jihad itu dibagi kepada jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama. Jika yang pergi ke medan perang itu bertarung nyawa dengan musuh, maka yang tinggal di garis belakang memperdalam pengertian (fiqih) tentang agama, sebab tidaklah pula kurang penting jihad yang mereka hadapi. Ilmu agama wajib diperdalam. Dan tidak semua orang akan sanggup mempelajari seluruh agama itu secara ilmiah. Ada pahlawan di medan perang, dengan pedang di tangan dan ada pula pahlawan di garis belakang merenung kitab. Keduanya penting dan keduanya isi-mengisi. Apa yang diperjuangkan di garis muka, kalau tidak ada di belakang yang mengisi ruhani?

Suatu hal yang terkandung dalam ayat ini yang mesti kita perhatikan, yaitu alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, di antara mereka ada satu kelompok, supaya mereka memperdalam pengertian tentang agama.

Di ayat 42 telah tersebut bahwa kalau seruan peperangan (nafir) telah datang, hendaklah pergi berperang, biar ringan atau berat, muda ataupun tua, bujang belum berumah tangga atau sudah berkeluarga. (Lihat kembali pada Juz 10 ketika menafsirkan ayat 42). Jika dilihat sepintas lalu seakan-akan ada perlawanan di antara ayat 42 tersebut dengan ayat 122 ini. Sebab di ayat 122 ini dijelaskan bahwa tidaklah baik jika orang yang beriman itu turut semuanya. Padahal tidaklah kedua ayat ini bertentangan atau berlawan dan tidak pula terjadi nasikh mansukh. Sebab di ayat 122 ini masih jelas diterangkan bahwa golongan-golongan itu keluar jika panggilan sudah datang. Mereka semuanya datang kepada Rasulullah ﷺ mendaftarkan dirinya, ringan maupun berat, muda ataupun tua. Namun hendaklah dari golongan-golongan yang banyak itu, yang pada waktu itu datang berbondong kepada Rasulullah ﷺ, ada satu kelompok (thaifaturi), yang bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya dalam hal agama.

Tegasnya adalah bahwa semua golongan itu harus berjihad, turut berjuang. Tetapi Rasulullah ﷺ kelak membagi tugas mereka masing-masing. Ada yang berjihad ke garis muka dan ada yang berjihad di garis belakang. Sebab itu, kelompok kecil yang memperdalam pengetahuannya tentang agama itu adalah sebagian dari jihad juga.

Terdapatlah hadits-hadits yang memberi kedudukan seorang yang alim dalam hal agama sama atau tinggi setingkat dari orang yang berjihad fi sabilillah.

Bersabda Rasulullah ﷺ,

“Manusia yang paling dekat kepada derajat nubuwwat ialah ahli ilmu dan ahli jihad. Adapun ahli ilmu, merekalah yang menunjukkan kepada manusia apa yang dibawa oleh rasul-rasul. Dan adapun ahli jihad, maka merekalah yang berjuang dengan pedang-pedang mereka, membawa apa yang dibawa oleh rasul-rasul itu." (HR Abu Nu'aim dari Ibnu Abbas)

Dan sabda Rasulullah ﷺ pula,

“Ditimbang di hari Kiamat tinta orang-orang yang aJim dengan darah orang-orang yang mati syahid." (HR Ibnu Abdil Bar dari Abu Darda')

Kedua hadits ini, meskipun sanadnya lemah, telah disalinkan oleh Imam Ghazali di dalam Ihya Ulumiddin. Meskipun kedua hadits ini dhaif. Oleh karena di dalam ayat Al-Qur'an, baik ayat 42, yang menyuruhkan semua wajib tampil ke medan perang, atau ayat 122 yang tengah kita tafsirkan menyuruh adakan pembagian tugas di antara setiap Mujahidin, maka kedua hadits ini tidaklah perlu disingkirkan lagi karena terdapat dha'if sanadnya. Sebab dia telah kembali bernilai tinggi karena sudah asal ayat Al-Qur'an yang memberikan keterangan tegas. Malahan di ayat ini sudah jelas bahwa orang-orang yang beriman itu tidaklah semua berbondong ke garis depan, bahkan mesti ada yang menjaga garis belakang, garis benteng ilmu pengetahuan.

Bolehlah kita perhatikan di dalam sejarah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ sendiri setelah beliau wafat. Khalifah-khalifah yang besar yang berempat, meskipun mereka mempunyai pengetahuan agama yang dalam, tetapi mereka menjadi pimpinan umum dalam kenegaraan dan peperangan. Apabila terdesak dalam soal-soal yang pelik, mereka memanggil ahli-ahli untuk bermusyawarah. Sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang pada tingkat kedua, meskipun mereka itu ahli juga dalam peperangan, tetapi mereka menjuruskan perhatian kepada soal-soal ilmu agama. Sebab itu sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, lebih mendalam penyelidikan mereka dan diberi waktu yang luas memahamkan agama. Abdullah bin Mas'ud yang membunuh dalam Perang Badar, adalah ulama! Demikian juga Zaid bin Tsabit dan Hassan bin Tsabit. Zaid bin Tsabit terkenal sebagai sahabat Rasulullah ﷺ yang ahli dalam ilmu faraidh (pembagian harta pusaka). Ibnu Abbas didoakan Rasulullah ﷺ agar diberi Allah pengertian yang mendalam dari hal agama.

Ayat ini adalah tuntunan yang jelas sekali tentang pembagian pekerjaan di dalam melaksanakan seruan perang. Alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, yaitu golongan kaum beriman yang besar bilangannya, yang berintikan penduduk kota Madinah dan kampung-kampung sekelilingnya. Dan golongan yang besar itu adakan satu kelom-pok; cara sekarangnya suatu panitia, atau suatu komisi, atau satu dan khusu', yang tidak terlepas dari ikatan golongan besar itu, dalam rangka berperang. Tugas mereka ialah memperdalam pengertian, penyelidikan dalam soal-soal keagamaan belaka.

Boleh dikatakan, selama Rasulullah ﷺ masih hidup, keadaan selalu di dalam keadaan perang. Cara sekarangnya ialah selalu berevolusi. Musuh-musuh mengepung dari segala penjuru. Maka ayat ini memberi tuntunan jangan lengah tentang nilai apa yang sebenarnya diperjuangkan.

Yang diperjuangkan adalah agama. Oleh sebab itu, semua orang harus ada pengertian tentang itu. Cara sekarangnya mesti ada indoktrinasi ideologi. Oleh karena itu, diperlukan kader-kader yang selalu siap sedia.

“Supaya mereka memberi ancaman kaum mereka apabila mereka kembali kepada kaum mereka itu, supaya mereka berhati-hati"

Itulah inti kewajiban dari kelompok yang tertentu memperdalam paham agama itu, yaitu supaya dengan pengetahuan mereka yang lebih dalam, mereka dapat memberikan peringatan dan ancaman kepada kaum mereka sendiri apabila mereka kembali pulang.

Ayat inilah yang telah menjadi pokok pedoman di dalam masyarakat Islam, yang telah digariskan oleh Rasul sendiri, diteruskan oleh khalifah-khalifah yang datang di belakang, baik Khulafaur Rasyidin, atau Bani Umaiyah atau Bani Abbas, dan menjadi pegangan terus-menerus dari zaman ke zaman. Yaitu tentang adanya tenaga-tenaga yang dikhususkan untuk memperdalam pengertian tentang agama. Kadang-kadang terjadi pergolakan politik, perang saudara, perebutan kekuasaan, pergelaran Bani Umaiyah kepada Bani Abbas. Namun seluruh yang berkuasa itu mengkhususkan dan menganjurkan ahli-ahli penyelidik agama. Itu sebabnya maka kita mendapati nama-nama ulama besar seperti Atha dan Mujahid. Said bin jubair, Said bin al-Musayyab, dan Hasan al-Bishri, di samping nama-nama raja-raja Bani Umaiyah sebagai Mu'awiyah, Abdul Malik bin Marwan, dan lain-lain. Itu sebabnya kita melihat nama Imam Malik bin Anas di samping kekuasaan besar dari Khalifah al-Manshur dari Bani Abbas. Demikian juga nama Imam Abu Hanifah di zaman itu juga. Dan nama Imam Syafi'i di samping nama Khalifah Harun al-Rasyid, dan nama Imam Ahmad bin Hanbal di samping nama Khalifah al-Ma'mun dan al-Mu'tashim

Di dalam Islam tidak ada kependetaan, yang ada ialah orang yang mengambil lapangan keahlian dalam hal agama. Mereka menjaga hukum agar tegak. Khalifah sendiri datang bertanya kepada mereka. Mereka bukanlah advisur, pemberi nasihat raja dalam satu hal, dan diikuti advisnya kalau raja suka mendalam sehingga berhak diberi gelar ulama, sesudah mendapat tugas belajar secara mendalam, mendapat tugas lanjutan, yaitu memim-pin kaumnya, sarjana belum tentu pemimpin. Tetapi ulama berkewajiban memimpin.

Ajaran Islam itu mengutamakan akhlak bersamaan dengan ilmu. Bagi seorang ulama Islam, ilmu bukan semata-mata untuk diri sendiri, tetapi juga buat dipimpinkan.

Setelah diterangkan pembagian tugas itu, sehingga ilmu dan pengertian agama bertambah mendalam, datanglah lanjutan ayat,

Ayat 123

“Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang yang sekeliling kamu dari kafir-kafir itu, dan hendaklah mereka dapati pada kamu ada kekerasan sikap."

Setelah ada pembagian tugas, garis belakang dan garis depan, yang memperdalam pengertian agama dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu perang, maka hendaklah seluruh kekuatan itu dibulatkan untuk menghadapi musuh. Dalam ayat ini, sebagai sebab turun ayat, diterangkan bahwa yang wajib diperangi oleh kaum beriman penduduk Ma-dinah dan kampung-kampung sekelilingnya di bawah pimpinan Nabi ﷺ itu ialah kafir-kafir yang mengelilingi mereka.

Menurut riwayat ibnu Abi Hitam dari Ibnu Zaid, yang dimaksud dengan kafir-kafir yang di sekeliling mereka itu ialah seluruh Arab, sampai mereka takluk semua kepada satu hukum, yaitu Hukum Allah. Menurut riwayat yang diterima dari Qatadah, yang dimaksud ialah setapak demi setapak dari yang lebih dekat sampai meluas. Menurut Ibnu Mardawaihi dari riwayat yang diterimanya dari Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar pernah menanyakan kepada Rasulullah ﷺ, siapa yang dimaksud dengan kafir-kafir yang di sekeliling ini. Rasululllah menjawab, ialah orang Rum! Ini pun dapat dipahamkan, sebab ayat ini turun ialah setelah selesai menghadapi Yahudi Tanah Arab yang telah selesai menundukkan mereka dengan Perang Khaibar, dan telah selesai pula mematahkan kekuatan musyrikin Arab dengan jatuhnya Mekah dan Hawazin dan Thad. Ayat ini turun setelah mulai berhadapan dengan bangsa Rum. Dan kekuatan Rum baru dapat dipatahkan di zaman pemerintahan Sayyidina Abu Bakar Shiddiq, dengan kekalahan mereka di Yarmuk. Dan Persia dihancurkan dengan kekalahan mereka di Qadisiyah dan jatuhnya pusat pemerintahan mereka di Madain.

Di dalam ayat ditunjukkan sikap dalam berperang, yaitu sikap keras dan bengis, kelihatan kejam, menakutkan dan menggentarkan musuh. Suasana perang tidaklah mengizinkan orang hidup seakan-akan dalam damai. Tetapi kekerasan sikap di dalam suasana perang, dalam peraturan Islam bukanlah berarti berlaku aniaya dengan semena-mena. Sayyidina Abu Bakar ketika melepas tentara ke medan perang memberikan perintah bahwa gereja dan orang yang tengah beribadah jangan diganggu. Perempuan dan kanak-kanak jangan dibunuh. Dan orang yang menyatakan mau berdamai, wajib segera disambut dan diselenggarakan. Oleh karena itu, kekerasan sikap yang dikehendaki Islam, bukanlah se-bagai kekerasan sikap bangsa-bangsa di zaman perang modern sekarang ini. Bukan menja-tuhkan bom atom sehingga akan hancurlah seluruh peradaban manusia bila perang nuklir terjadi.

“Dan ketahuilah bahwasanya Allah adalah beserta orang-orang yang bertakwa."

Di dalam perang berkecamuk betapa hebatnya sekalipun, namun Muslim di medan perang wajib terus memegang ketakwaan. Takwa berarti memelihara, awas, dan waspada, baik dalam menjaga hubungan dengan Allah, ataupun di dalam memelihara disiplin, atau persediaan senjata dan perbekalan. Sehingga telah kita ketahui pada surah an-Nisaa' ayat 102 bagaimana memelihara kedua ketakwaan itu. Jika perang terjadi, takwa kepada Allah dilakukan terus dengan mengerjakan shalat dalam caranya sendiri, berbeda dengan shalat di waktu damai dan di luar medan perang, dan senjata tidakboleh lepas dari tangan, walaupun sedang mengerjakan shalat. Takwa yang lain lagi ialah kepatuhan kepada pimpinan, supaya kemenangan tercapai. Jangan terulang lagi kekalahan yang terjadi di Perang Uhud, sebab ada yang tidak patuh kepada pimpinan, lalu meninggalkan pos penjagaan, karena loba akan harta rampasan. Dan ketakwaan yang lain lagi menjaga tujuan berperang, yaitu tidak lain dari menegakkan jalan Allah, bukan karena maksud memperkaya diri sendiri.

• Dan apabila diturunkan satu surah, maka di antara mereka itu ada yang akan berkata, “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya oleh surah ini?' Maka adapun orang-orang yang telah beriman, bertambah-tambahlah iman mereka dan mereka pun merasa gembira.

• Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka berpenyakit maka bertambahlah atas mereka sesuatu kekotoran di atas kekotoran mereka, padahal mereka di dalam kafir.

• Dan tidaklah mereka perhatikan bahwa mereka dicoba pada tiap-tiap tahun sekali atau dua kali, kemudian tidak juga mereka tobat, dan tidak juga mereka ingat.

• Dan apabila diturunkan suatu surah, memandanglah yang sebagian mereka kepada yang yang sebagian, “Adakah seseorang yang melihat kamu?" Kemudian itu merekapun berpaling pergi. Allah pun memalingkan hati mereka karena sesungguhnya mereka itu kaum yang tidak mau mengerti.

Telah banyak ayat terlebih dahulu menyebut perangai, kelakuan dan sikap jiwa dan orang munafik, dengan berbagai tingkatnya. Maka sekarang datanglah peringatan penghabisan dalam surah al-Bara'ah ini tentang suatu sikap jiwa mereka lagi, yang dapat kita jadikan alat untuk penyelidikan diri sendiri kalau-kalau ada pula terdapat perangai demikian pada kita, agar kita jauhi.


Ayat 124

“Dan apabila diturunkan satu sunah, maka diantara mereka itu ada yang akan berkata, ‘Siapakah diantara kamu yang bertambah imannya oleh sunah ini?'"

Ayat ini memberi pengertian bahwa orang yang munafik itu selalu turut hadir di dalam majelis Rasulullah ﷺ, selalu mendengar ucapan-ucapan dan sabda beliau dan selalu pula mendengar ketika suatu surah atau ayat-ayat diturunkan.

Tetapi karena jiwa mereka munafik, mereka mendengar bukanlah buat mematuhinya, melainkan untuk mencari lubang-lubang untuk melepaskan diri darinya. Sebab itu kalau suatu ayat turun, adalah di antara orang yang munafik itu yang bertanya sehabis pertemu-an kepada temannya, “Adakah di antara kamu yang percaya akan ayat itu? Apakah itu sebenarnya? Apakah itu semua cuma omong kosong Muhammad ﷺ saja?" Dan lain-lain pertanyaan menunjukkan keraguan hati, atau untuk menimbulkan ragu dalam hati orang lain,

“Maka adapun orang-orang yang, telah beriman, bertambah-tambahlah iman mereka dan mereka pun merasa gembira."

Munafik dengan Mukmin sama-sama mendengar ketika suatu surah diturunkan. Tetapi kesan pada munafik adalah bertambah bangkitnya keraguan, dan kesan pada orang yang beriman, ialah bila ayat turun, iman mereka bertambah. Tiap-tiap suatu surah turun, tiap bertambah pula pengertian iman mereka. Apa sebab jadi demikian? Apakah yang dikatakan Rasul itu, atau surah yang turun itu tidak benar? Sehingga si munafik itu tidak mau menerima, atau mengajak orang lain supaya ragu, sebagai mereka ragu pula?

Di dalam surah al-An'aam ayat 33 (juz 7) yang diturunkan di Mekah, Allah sudah men-jelaskan kepada Rasul-Nya bahwa musyrikin Mekah itu bukanlah mendustakan engkau. Tetapi, orang-orang yang zalim itu memangnya telah ingkar pada ayat-ayat Allah. Demikian juga setelah Nabi Muhammad ﷺ pindah ke Madinah, dan di Madinah beliau bertemu dengan orang-orang munafik. Mereka pun tidak mendapat alasan yang teguh buat mengatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ itu seorang yang berdusta. Tidak bertemu tanda-tanda bahwa dia pembohong. Pernah kita salinkan pengakuan dari Abdullah bin Salam, yang dahulunya seorang Yahudi, maka setelah Rasulullah ﷺ pindah ke Madinah dan dilihatnya wajah beliau dan didengarnya dia bercakap, dia tertarik. Yang amat menarik hatinya ialah sikap Nabi ﷺ sendiri. Dia mendapat kesan bahwa orang ini tidak mungkin berdusta. Adapun munafik-munafik itu lain halnya. Mereka bertanya kepada teman mereka, siapa di antara kalian yang bertambah iman karena mendengar surah ini. Bukanlah karena Muhammad bohong, melainkan me

reka sendinlah yang ingkar, atau juhud kepada ayat itu. Terutama apabila Al-Qur'an mem-beberkan rahasia kebusukan mereka, sakitlah telinga mereka mendengar, sebab tepat-tepat saja pukulan terhadap diri mereka. Jauh bedanya dengan orang yang memang telah tertanam iman. Setiap surah bagi mereka adalah satu kegembiraan hati, sebab jiwa yang sepi menjadi ramai karena mendengar suara kalimat Allah, dan hati yang menderita menjadi terobat.

Lantaran itu hendaklah iman yang telah mulai tumbuh itu dipupuk, sehinga bila suatu ayat terdengar dibaca orang, atau suatu surah, menghunjam hendaknya pengaruhnya ke dalam jiwa raga kita, ke dalam hati sanubari kita.


Ayat 125

“Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka berpenyakit"

Kemajuan penyelidikan tentang ilmu jiwa telah membuktikan bahwa hati atau jiwa itu memang bisa ditumbuhi penyakit. Kalau ada orang sakit jantung, atau sakit paru-paru (TBC), atau penyakit limpa (lever), penyakit buah punggung, usus buntu (blindedarm), maka ada lagi sakit jiwa. Maka tumbuhlah ilmu-ilmu yang dinamai psikoanalisa (menurut teori Freud) atau psikoterapi atau psikosomatik, Karena jiwa yang ditimpa suatu penyakit, yang soalnya misalnya dari sedih hati, kecewa, atau terkejut oleh suatu kejadian yang mengerikan, membekaslah dia kepada jiwa itu, dan kerap kali sakit jiwa itu membekas pula kepada badan. Ada orang yang ditimpa sakit merana, padahal setelah diperiksa seluruh tubuh jasmaninya oleh dokter, dan kadang-kadang diselidiki bahagian dalam badannya dengan sinar X (rontgen), dokter tidak menemukan penyakit itu. Tetapi setelah si pasien dibawa kepada dokter ahli jiwa, barulah ternyata bahwa badan jasmaninya tidak ada penyakit, tetapi penyakit telah mengenai jiwanya sendiri.

Di dalam bahasa yang kita pakai sehari-hari terdapat “Sakit hatiku", atau “si anu sakit hati kepada si anu" atau “makan hati berulam jantung" Teranglah bahwa yang disebut sakit hati itu, bukanlah hati sebagai segumpal darah yang ada dalam dada itu ditimpa oleh suatu penyakit, melainkan jiwalah yang sakit. Maka di ayat ini disebutkanlah bahwa orang-orang yang munafik adalah orang yang di dalam hatinya ada sakit. Munafik itu adalah kumpulan dari orang-orang yang sakit hati. Sakit hati karena dendam, dengki, iri hati, rasa tidak puas. Sebab itu perjalanan hidup mereka tidak normal lagi. Yang benar mereka anggap salah, yang salah mereka pandang benar."Maka bertambahlah atas mereka sesuatu kekotoran di atas kekotoran mereka." Artinya, kalau orangnya memang telah sakit hati, atau jiwa berpenyakit, datangnya suatu surah dari Al-Qur'an bukanlah akan menambah sembuh mereka, melainkan menambah sakit. Kekotoran lama yang telah ada, akan bertambah lagi dengan suatu kekotoran baru. Suatu surah bagi mereka bukanlah akan menyembuhkan, melainkan menambah sakitnya,

“Dan mereka pun mati, padahal mereku di dalam kafir."

Di dalam ayat ini kita teringat kembali beberapa pengajaran di dalam Al-Qur'an, tentang bagaimana memelihara iman yang telah ada, supaya hati jangan ditumbuhi penyakit Di dalam surah al-Muthaffifin ayat 14 kita bertemu kalimat yang disebut ji; (…), yang berarti suatu selaput halus yang menutup hati. Selaput atau kerut halus ini, atau boleh juga disebut lendir, selalu mengelilingi dan mencoba menyelubungi hati atau jiwa kita. Maka raana ini wajiblah selalu kita bersihkan. Setiap waktu diwajibkan menyervis jiwa kita, menggosok selalu sehingga jangan sampai raana itu menyelubungi hati, dan janganlah dibiarkan berlarut-larut sehingga raana itu jadi tebal, dan payah untuk membersihkannya. Shalat lima waktu yang dimulai dengan wudhu, adalah salah satu ikhtiar yang pokok untuk membersihkan raana itu. Puasa pun untuk membersihkan raana yang datang dari syahwat perut dan faraj. Zakat pun adalah untuk membersihkan raana yang datang dari sudut harta dari kelobaan. Kalau pembersihan ini dilalaikan, raana bisa bertumpuk membalut dan menyelubungi hati, sehingga dengan tidak disadari kita menjadi munafik atau fasik sama sekali. Kalau munafik telah datang artinya penyakit telah mendalam. Walaupun telah diminumkan obat yang baru atau disuntikkan, tidaklah dia akan menyembuhkan, melainkan menambah parah penyakit. Kadang-kadang dokter berani mengatakan bahwa ini bukan obat minuman lagi, melainkan dipotong (operasi).

Tetapi kalau pembersihan selalu dijalankan, dan kalau datang penyakit menimpa dengan tiba-tiba berani meminum obat betapa pun pahitnya, akan tercapailah kesehatan hati yang tinggi mutunya, iman yang diridhai di sisi Allah.

Coba perhatikan kembali salinan hadits Ka'ab bin Malik salah seorang dari yang bertiga. Di hadits itu diakuinya sendiri bahwa penyakit telah menimpa dirinya, yaitu malas pergi berperang menurutkan Rasulullah ﷺ ke Tabuk. Tetapi, setelah Rasulullah ﷺ pulang, insaflah dia bahwa penyakit atau raana yang telah menimpa hatinya itu dia sendirilah yang wajib mengobatinya. Sebab itu dia bercakap yang benar dan jujur di hadapan Rasulullah ﷺ walaupun dia tahu beliau akan murka karena kesalahannya itu. Dan memang dia pun dihukum, 50 hari lamanya dikucilkan dan masyarakat, tidak ditegur sapa orang ke mana pergi. Tengah dia menderita puncak hukuman kucil itu, datang pula cobaan hebat, yaitu rayuan dari Raja Ghassan supaya berkhianat dan meninggalkan Nabi ﷺ. Dia tidak mau! Dia yakin bahwa dia tengah menjalankan pengobatan atas dirinya, dan dia yakin bahwa telah Rasul ﷺ datang membawa keterangan Al-Qur'an yang jelas itu, dia pun dengan hati terbuka memeluk Islam, dan menjadi orang Islam yang baik.

Setelah ayat itu dibacakan Rasulullah ﷺ, Ubay bin Ka'ab bertanya, “Dan Allah pun menyebut namaku?"

Rasul ﷺ menjawab, “Ya! Namamu disebut Allah."

Menurut satu riwayat lagi, Ubay bertanya lagi, “Allah menyebut namaku kepada engkau, ya Rasulullah ﷺ?" Nabi jawab sekali lagi, “Ya!"

“Dan namaku telah menjadi sebutan di sisi Rabbul ‘Alamin?"

Sekali lagi Nabi ﷺ menjawab, “Ya!" Tidak dapat Ubay bin Ka'ab menahan hatinya, air matanya pun bercucuran. Demikianlah kegembiraan orang beriman apabila ayat turun, kadang-kadang disertai oleh air mata.

Mengingat ayat ini terasalah betapa pentingnya kita sebagai Muslim yang telah jauh dari zaman Rasul ﷺ dan bahasa Arab bukan bahasa kita. Sedangkan orang Arab sendiri, yang mengerti bahasa itu, sebab Rasul dilahirkan di kalangan mereka, kalau di dalam hati ada penyakit, namun bahasa Arab wahyu yang begitu tinggi mutunya, hanyalah akan menambah penyakit mereka yang telah ada saja. Tetapi kita yang datang di belakang ini, asal iman kita pupuk, dan rasa bacaan Al-Qur'an kita resapkan ke dalam hati sejak kecil, in syaa Allah akan dapatlah kita memelihara iman kita yang telah ada dan mempertinggi mutunya. Benarlah bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, tetapi ketahuilah bahwa petunjuk Al-Qur'an itu telah merata kepada seluruh umat manusia yang percaya.


Ayat 126

“Dan tidaklah mereka perhatikan bahwa mereka dicoba pada tiap-tiap tahun sekali atau dua kali, kemudian tidak juga mereka tobat, dan tidak juga mereka ingat"

Peringatan lagi kepada orang yang munafik sebenarnya di dalam kemunafikan itu tidaklah mereka sunyi dari percobaan. Mentang-mentang mereka munafik yang bermaksud hendak mengelakkan diri dan tanggung jawab, namun mereka tidaklah sunyi dari percobaan Allah. Sebab tidaklah hidup di dunia itu senang saja. Kalau kiranya pada pagi hari kelihatan langit cerah, ingatlah mungkin tengah hari nanti akan turun hujan lebat, jika pelayaran tenang saja, pada permulaan pelayaran, mungkin nanti akan datang badai besar. Dan khusus dalam hal kaum munafik ini, tidaklah mereka perhatikan bahwa dalam sekali atau dua kali ada saja perubahan baru dan kemajuan baru dalam perjuangan Nabi Muhammad ﷺ dan kebesaran Islam. Si munafik telah mengharapkan beliau akan kalah, rupanya menang juga. Demikian terjadi semasih sekali atau dua kali tiap tahun, selama tahun-tahun yang dilalui. Namun mereka masih saja berdiri di tepi jalan, mencemooh, mengolok-olok. Segala usaha mereka menghalangi telah gagal, setiap rencana tidak ada yang jadi, melainkan kekalahan bagi mereka juga, sebab di dalam hati mereka ada penyakit. “Kemudian tidak juga mereka tobat." Agar kembali ke dalam jalan yang benar, lalu kepada Rasul dengan sebenar-benarnya taat."Dan tidak juga mereka ingat." Bahwa kalau kemunafikan ini mereka lanjutkan juga, mereka jualah yang akan sengsara dan kehinaan akan menimpa mereka, dunia dan akhirat.


Ayat 127

“Dan apabila diturunkan suatu surah, memandanglah yang sebagian mereka kepada yang sebagian."

Bila suatu surah turun, terutama yang menyindir kecurangan mereka, membuka rahasia keburukan mereka, bersipandang-pandanglah satu dengan yang lain, karena merasa mereka pula yang kena, mereka lagi yang tersindir. Lalu mereka berbisik-bisiklah di belakang karena biasanya orang-orang munafik itu setengah hati saja, tidak berani duduk agak ke muka, karena datangnya bukan buat menampung pengajaran yang baik, melainkan membawa hati yang berpenyakit. Setengah tentu bercu-bit-cubitan dengan temannya, mengatakan kita telah kena celaan, dan setengah mungkin ada yang ngeluyur lari dengan diam-diam, menyelundup saja meninggalkan majelis. Setelah begitu timbullah pertanyaan di antara satu sama lain."Adakah seseorang yang melihat kamu?" Mereka bertanya demikian karena merasa bahwa sikap mereka yang tidak jujur dan munafik itu telah diketahui orang. Seakan-akan ada saja mereka rasakan orang melihat dan mengintip mereka. Sebab hati yang berpenyakit itu lekas cemburu."Kemudian itu mereka pun berpaling pergi." Mereka tinggalkan majelis sambil menggerutu. Lantaran mereka pergi itu, tentu ujung surah tidak mereka dengar lagi, sehingga keadaan mereka bukan semakin terang, melainkan semakin gelap. Dan sebagaimana disebutkan tadi, mereka bertanya sesama kawan, adakah orang yang melihat kamu? Kalau kawannya menjawab tidak ada yang melihat, maka dengan diam-diam mereka pun berpaling meninggalkan majelis. Inilah perangai orang munafik. Maka selanjutnya berfirmanlah Allah, “Allah pun memalingkan hati mereka." Artinya, dipalingkan Allah-lah mereka dari tujuan hidup, yaitu iman yang sempurna, Islam yang hanya tinggal nama. Oleh sebab mereka sendiri yang membelokkan yang mereka tuju kemudian itulah mereka akan sampai.

“Kanena sesungguhnya mereka itu kaum yang tidak mau mengerti."

Artinya, mereka telah kehilangan sifat pengertian, tidak mau mengerti bahwa nilai hidup ditentukan amal yang diperbuat. Akal sehat tidak mereka pakai. Adakah patut Rasulullah ﷺ dimusuhi, padahal Rasul ﷺ datang memberi pengajara'n yang baik, bagi keselamatan me

reka di dunia dan kebahagiaan mereka di akhirat. Lantaran mereka sendiri yang telah menyelubungi hati mereka dengan benci, dendam, sakit hati, dan sebagainya itu, walau ayat apa pun yang turun, surah panjang atau surah pendek, tidaklah ada yang masuk ke dalam.

Sama juga dengan pemeluk agama lain di zaman sekarang, yang telah berurat berakar rasa kebencian kepada Islam, karena diajarkan nenek moyang turun-temurun, bagaimanapun diberikan kepada mereka keterangan yang masuk akal tentang pokok ajaran tauhid Islam, mereka tidak mau menerima. Misalnya, pendeta-pendeta mereka mengajarkan bawa Muhammad ﷺ itu Nabi yang gila perempuan, sebab istrinya sampai sembilan. Lalu kita berikan keterangan, baik dari segi sejarah, atau segi diri Nabi Muhammad ﷺ sendiri, atau dari segi susunan masyarakat di zaman itu, mereka tidak juga mau menerima. Terkadang ketika berhadapan kalah dan jatuhlah segala tuduhannya yang rendah itu, dan tunduklah dia. Tetapi, dia telah berpaling ke tempat lain, plat atau kaset lama yang dipusakakan nenek moyang mereka itu, mereka putar pula kembali. Sehingga tuduhan kepada Islam tentang istri Nabi ﷺ sembilan, tentang orang Islam boleh beristri sampai empat orang, atau tuduhan bahwa Islam dimajukan dengan pedang dan sebagainya, telah dibantah 100 tahun yang lalu, timbul lagi pada zaman sekarang. Dan dibantah 50 tahun yang lalu, timbul lagi pada zaman sekarang. Dan dibantah pada zaman sekarang, nanti 20 tahun yang akan datang timbul pula. Sebab kebencian itu telah ditanamkan berurat ber-akar sehingga keterangan yang masuk akal buat membantahnya, namun ke dalam akal mereka tidaklah akan masuk. Sebab akal itu benarlah yang mereka tutup dengan kebencian. Kebencian yang telah ditanam beratus bahkan beribu tahun.

Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi ﷺ mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: (Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi) ke medan perang (semuanya. Mengapa tidak) (pergi dari tiap-tiap golongan) suatu kabilah (di antara mereka beberapa orang) beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat (untuk memperdalam pengetahuan mereka) yakni tetap tinggal di tempat (mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya) dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya (supaya mereka itu dapat menjaga dirinya) dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyah lantaran Nabi ﷺ tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila Nabi ﷺ berangkat ke suatu ghazwah.