Jakarta (ANTARA) - Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI) menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menayangkan pemutaran film "Pengkhianatan G 30 S PKI" dan sikap tersebut diambil berdasarkan sejumlah hal. Pernyataan tersebut disampaikan TVRI menjawab pertanyaan yang diajukan sejumlah pihak kepada TVRI dan stasiun-stasiun televisi lain tentang penayangan film G 30 S PKI. Setiap kali memasuki tanggal 30 September selalu muncul kontroversi mengenai pemutaran film ini. Baca juga: Mahfud: Pemerintah tak larang pemutaran Film G30/S PKI TVRI harus menjadi alat perekat sosial dan pemersatu bangsa, sehingga tidak memutar tayangan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan dan perpecahan di antara masyarakat, kata Direktur Utama LPP TVRI Iman Brotoseno dalam pernyataan resmi, Kamis. "Tapi kami juga memberikan pencerahan dan informasi sehat sesuai fungsi kepublikan kami, sehingga pembelajaran masa silam akan selalu kami tampilkan dengan cara interaktif dan kekinian melalui program-program di TVRI," jelas Iman. Program-program pembelajaran sejarah yang tayang di TVRI dimaksud, menurut Iman, antara lain Forum Fristian pada 29 September 2021 dengan topik: Rekonsiliasi ’65, Berdamai Dengan Sejarah. Program Mengingat Jejak Sejarah yang tayang pada 30 September 2021 serta penayangan Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada Jumat, 1 Oktober 2021. Sementara itu, beberapa hal yang mendasari TVRI tidak menayangkan film "G 30S PKI" antara lain bahwa sejak tahun 1998 pada masa pemerintah Presiden Habibie, film tersebut sudah tidak ditayangkan di TVRI. Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan Menteri Penerangan RI saat itu Letnan Jenderal TNI (Purn) M Yunus Yosfiah bahwa pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh seperti film "Pengkhianatan G 30 S PKI", "Janur Kuning", dan "Serangan Fajar" tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi. Oleh karena itu, pada 30 September 1998, TVRI dan TV swasta tidak menayangkan pemutaran film G 30 S PKI seperti yang diungkapkan Yunus Yosfiah dalam harian Kompas, 24 September 1998. Menteri Pendidikan ketika itu, Juwono Sudarsono, juga membentuk tim khusus untuk mengevaluasi semua buku sejarah dalam versi G 30 S PKI. PP Nomor: 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI, pada Bagian Ketiga, Pasal 4 mengenai Tugas menyebutkan: TVRI mempunyai tugas memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Baca juga: Sukitman, Saksi Peristiwa G30/S PKI, Meninggal Dunia Baca juga: Pemerintah verifikasi laporan kuburan massal 1965 Baca juga: Hoaks! Istana Bolehkan PKI di Indonesia COPYRIGHT © ANTARA 2021
Ada stasiun TV pakai frekuensi publik menayangkan Pengkhianatan G30S/PKI, pertanyaan saya: Kita mau bilang apa? Walaupun dia menggunakan ranah frekuensi publik, tapi selama ini pengawasan terhadap pemanfaatan frekuensi publik lumayan longgar, kan. Padahal ada peraturan dalam P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran), frekuensi publik tidak boleh digunakan untuk kepentingan pemilik, partai, atau golongannya. Ada larangan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi. Kita tidak tahu penayangan (film Pengkhianatan G30S/PKI) ini ada kepentingan pribadi atau tidak. Tapi kalau orang melihat warna TV itu dan apa yang ditayangkannya, bisa muncul berbagai persepsi. Kemudian, tidak ada juga peraturan di P3SPS kalau bikin tayangan A ada kewajiban bikin tayangan B atau versi (dengan) cara pandang yang lain. Lalu, bila tayangan sudah dapat lolos sensor LSF, apa lagi yang bisa kita pakai untuk melarangnya? Sensor film yang ditayangkan di bioskop dan ketika akan tayang di TV tidak boleh sama. Karena orang nonton bioskop bayar, datang khusus, ada klasifikasi umur. Sedangkan tayangan TV bagaimana mengontrol siapa yang menontonnya? Jadi sensornya harus lebih ketat di TV. Jangan disamakan dengan di layar lebar. TV menggunakan frekuensi publik, masuk ke rumah-rumah dengan gratis. Kalau kita mencari pasal-pasal di P3SPS memang bingung cari peraturan yang bisa melarang pemutaran film ini. Namun dari segi etika politik, presiden sendiri telah mempersilakan. Tapi saya berharap ada tekanan publik juga untuk meminta menayangkan film pembandingnya, seperti Jagal. Karena orang sudah tahu sejarah ditulis oleh pemenang, yakni pihak yang berkuasa. Maka, jadi menarik sebetulnya bila nonton film G30S/PKI tapi dilanjutkan dengan diskusi tentang fakta-fakta baru terkait persitiwanya. Sejarah bisa dikoreksi. Saya tidak ingin terjebak dalam pro dan kontra. Saya menonton dialog perdebatan G30S di TV akhirnya terjebak dalam pro-kontra. Saya berharap perdebatan ini jangan dibawa jadi polemik, tapi ahli-ahli sejarah yang mengkaji mendalam peristiwa 65 diberi kesempatan juga untuk berbicara. Persoalannya kan ketika ahli sejarah mengatakan yang tak sesuai kemauan akhirnya dimusuhi, yang sejalan baru dianggap teman. Yang begini ini menjadi potensi perpecahan. Pertanyaan besarnya pada perdebatan wacana ini, kita siap tidak kalau film-film lain berkaitan pemberontakan, yang bukan cuma komunis, ditayangkan? Itu yang ingin saya tanyakan ke publik atau ke stasiun televisinya. Kok, pemberontakan itu saja yang ditayangkan? Film-film yang lain kan juga ada. Lalu, siap tidak kita menayangkan film yang nuansanya sama, tapi dari sisi lain. Kalau sudah seperti itu dan masyarakat kita dewasa, tidak ada masalah. Saya tidak ingin mengatakan masyarakat kita belum dewasa, tapi dampak perbedaan persepsi yang harus dipertimbangkan. Sebab, orang boleh berpersepsi apa saja tentang alasan stasiun TV menayangkan film ini. Persepsi bisa liar apalagi di ruang publik dan di era digital, di mana warganet bisa bicara semaunya. Karena filmnya diputar jam setengah sepuluh malam, itu waktunya orang dewasa nonton. Maka, pesan saya, jadi tanggung jawab orangtua untuk melarang anak-anaknya menonton tayangan tersebut. Di situ lagi-lagi yang dibutuhkan adalah kedewasaan. Maka literasi media jadi penting di sini. Masyarakat bisa protes penayangan film ini. Indikator yang bisa dipakai P3SPS KPI. Masalahnya, P3SPS baru bisa dipakai setelah acara ditayangkan. KPI bertindak setelah ditayangkan, yang bisa bertindak sebelum ditayangkan itu LSF. Kalau sudah lulus sensor kita bisa bilang apa? Kalau kita bisa menerima pemutaran film G30S/PKI kita sudah bisa berbesar hati kalau ada orang lain berdiskusi hal-hal sejenis yang mungkin isinya berbeda dengan persepsi kita. Kalau pemutaran film ini bagian dari proses pendewasaan kita, ini bagus. Tapi kalau orang dilarang berdiskusi (tentang 65) dengan sudut pandang berbeda, itu yang seharusnya dipertanyakan. (ade)
Baca juga: RINI K | EVAN (PDAT) Berita Terkait |