Kebijakan Jepang yang banyak ditentang oleh kaum muslim di Indonesia adalah

Kebijakan Jepang terhadap Islam – Setelah Jepang berhasil membuat Belanda menyerah di Indonesia pada tahun 1942. Jepang secara resmi berkuasa di Indonesia. Jepang memahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam. Sehingga Jepang perlu memiliki kebijakan khusus bagi agama Islam terutama dalam berhubungan dengan golongan nasionalis Islam. Di bawah ini akan dijelaskan tentang kebijakan Jepang terhadap umat Islam di Indonesia.

Setidaknya terdapat tiga perbedaan kebijakan antara Belanda dan Jepang terhadap Umat Islam pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, yaitu: 

  1. Pada masa penjajahan Belanda, yang menjadi  sandaran  politik  kolonial adalah kaum priyayi, sedangkan pada masa pendudukan Jepang adalah golongan Islam dan nasionalis sekuler; 
  2. Pada masa penjajahan Belanda, pemimpin nasionalis sekuler mengalami penindasan, seperti diasingkan, sedangkan pada masa Jepang pemimpin nasionalis sekuler diakui secara resmi dan diangkat menjadi pejabat dalam pemerintahan militer Jepang; 
  3. Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah memberi angin segar kepada golongan Islam, sedangkan pemerintah pendudukan Jepang justru sebaliknya. Pemerintah Jepang meningkatkan posisi Islam baik dalam bidang sosial-religius maupun dalam bidang politik.

Terlepas dari segala kekejaman yang dirasakan sebagai akibat langsung dari situasi perang, strategi politik Jepang bukanlah terletak pada politik penindasan fisik. Strategi dasar Jepang dengan cara memobilitasi rakyat, demi tercapainya kemenangan Asia Timur Raya. 

Jepang memahami Indonesia dengan mayoritas umat Islam. Oleh karena itu, diletakkan dasar kebijakan dalam membina teritorialnya, dikenal dengan kebijakan Nippon’s Islamic Grass Root Policy yaitu Kebijakan  Politik Jepang atas umat Islam untuk mengekploitasi tokoh-tokoh muslim dan ulama hingga ke tingkat desa.

Kedatangan Jepang langsung dirasakan oleh umat Islam, hal ini disebabkan dengan beroperasinya Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang diketuai oleh Kolonel Horie pada bulan Maret 1942, di ibu kota, dan pada tahun 1944 dibuka cabang-cabangnya yang bernama Shumuka di seluruh Indonesia. Dengan dibentuknya  kantor cabang ini diharapkan mampu mengadakan kontak yang lebih rapat dengan pengurus pusat di Jakarta. 

Shumubu berfungsi kurang lebih seperti Office for Native Affairs (Kantor Urusan Pribumi) pada masa Belanda, tetapi dalam perkembangannya Shumubu menangani urusan-urusan yang berkaitan dengan fungsi Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan, Pendidikan, dan  Keagamaan Umum.

Dengan didirikannya Shumuka di daerah-daerah telah diletakkan dasar bagi pengawasan yang efektif terhadap masalah-masalah agama di seluruh Jawa di perwakilan- perwakilan gerakan Islam. Tambahan pula kontak di kalangan pejabat-pejabat ini dan antara mereka dengan Kantor Urusan Agama di Jakarta diadakan secara teratur.

Dengan dibentuknya Shumuka itu sekaligus memotong tali kekuasaan “korps priyai” di pedesaan yang selama ini menjadi panutan dan rujukan semua persoalan rakyat, termasuk persoalan agama. pemerintahan militer Jepang yang memperlihatkan dengan sangat jelas tujuan itu :

“(kami ingin) para bupati dan semua pejabat lainnya yang di masa lalu ada hubungannya dengan urusan agama untuk mengerti sejelas mungkin… tujuan kami membangun (kantor baru) shumuka sehingga mereka bisa berusaha selancar-lancarnya untuk melaksanakan instruksi pemerintahan yang berkaitan dengan agama islam.”

Sekaligus dengan langkah itu pula pemerintahan militer Jepang mengikis peran organisasi-organisasi Islam yang sebelumnya memperoleh banyak konsesi. Shumubu merupakan konsesi paling signifikan yang diberikan Jepang pada Umat Islam, dengan diangkatnya Dr. Hoesein Djajadiningrat sebagai Kepala Kantor, posisi tertinggi pertama di pusat yang dijabat oleh bukan orang Jepang. Namun, sesuai dengan reorganisasi Shumubu, Djajadiningrat harus mundur dan posisinya digantikan oleh K.H. Hasjim Asy’ari, Ketua Masyumi, Federasi baru bentukan Jepang.

Akan tetapi Shumubu tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan Jepang untuk memobilitas rakyat, karena umat Islam saat itu sukar untuk dipimpin oleh orang asing. Oleh karena itu, Kolonel Hori digantikan oleh Dr. Hoesein Djajaningrat, sebagai pakar agama Islam, namun tidak pernah memimpin organisasi sosial Islam, maka tidak mempunyai pengaruh juga pada umat Islam. 

Kemudian diadakan lagi reorganisasi Shumubu dengan menggantikan ketua Shumubu oleh K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Hasyim Asy’ari, adalah seorang ulama dari pesantren Tebu Ireng. Akibat baru saja keluar dari tahanan, karena menolak menjalankan Sinkerei (menghormati ke arah matahari terbit), maka aktivitas harian diserahkan kepada wakilnya Wahid Hasyim. Pemerintah Jepang juga mengadakan pelatihan penghulu, urusan-urusan kenegaraan, dan lain sebagainya.

Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum imperialis lainnya di Indonesia, pertimbangan utama Jepang tetaplah politik. Pendekatan Jepang terhadap Islam hanyalah untuk kepentingan politik semata. Oleh karena kepentingan yang terbesar adalah politik, maka Jepang tidak segan-segan mengizinkan ulama untuk membentuk laskar seperti Hizbullah. Izin Jepang ini mempunyai tujuan agar Hizbullah dapat mendukung dalam perang melawan Sekutu. Kaum muslimin menduduki bagian penting dalam organ politik pemerintahan Jepang.

Namun demikian, tindakan Jepang ini, terlepas dari motif di belakangnya, membawa pengaruh yang positif bagi umat Islam dalam bidang politik. Dalam diri umat Islam muncul rasa percaya diri karena bertambahnya peranan umat Islam dalam pemerintahan pendudukan Jepang. Selain itu, dengan dibentuknya laskar Hizbullah, umat Islam dapat menggunakan senjata-senjata modern, sesuatu yang sama sekali tidak mungkin mereka alami pada masa penjajahan Belanda.

Pada masa Revolusi, laskar-laskar tersebut berperan aktif dalam perlawanan terhadap Belanda. Di antara semboyan keagamaan yang sangat populer pada waktu itu ialah “hidup mulia atau mati syahid”. Semboyan semacam ini semakin membakar semangat pemuda Islam untuk cepat-cepat meraih kemerdekaan yang sudah terlalu lama terlepas dari tangan.

Selain itu, Jepang juga mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan Islam untuk mendirikan organisasi sendiri. Untuk pertama kali dalam sejarah modern, pemerintah di Indonesia secara resmi memberi tempat yang penting kepada kalangan Islam. Pemerintah Jepang secara berangsur-angsur mengakui organisasi-organisasi Islam, tetapi tidak membolehkan pendirian kembali organisasi-organisasi nasionalis sebelum perang, misalnya seperti Partai Nasional Indonesia (PNI). 

Pada tanggal 10 September 1943 Muhammadiyah dan NU disahkan kembali, disusul dengan Perikatan Umat Islam (sebelumnya bernama Persyarikatan Ulama) di Majalengka pada tanggal 1 Februari 1944 dan Persatuan Umat Islam di Sukabumi.

Terdapat beberapa faktor yang mendorong Jepang mensahkan kembali ormas-ormas Islam.

  1. Jepang mengalami kemunduran kedudukan dalam Perang Pasifik. Hal itu menyebabkan Jepang memerlukan bantuan yang lebih besar dari rakyat, khususnya penduduk di daerah pedesaan. Oleh karena itu diperlukan suatu organisasi yang dipatuhi oleh penduduk;
  2. Kenyataan bahwa organisasi-organisasi tersebut, walau tidak resmi, masih melanjutkan kegiatan mereka dengan pimpinan dan guru- guru setempat, bahkan masih sering menjaga koordinasi di antara sesama mereka. Hubungan tidak resmi tersebut mempersulit Jepang dalam melakukan pengawasan. Lewat pengesahan, maka pengawasan akan lebih mudah dilakukan;
  3. Pengakuan Jepang terhadap fungsi PUTERA dan kemudian Himpunan Kebaktian Rakyat (Jawa Hokokai) yang tidak mampu memperoleh dukungan penuh dari kalangan Islam.
  4. Jepang tampaknya ingin memperbaiki beberapa kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap kalangan Islam, seperti mewajibkan pelaksanaan upacara sinkerei, menahan K.H. Hasyim Asy’ari selama empat bulan, dan menutup beberapa madrasah dan pesantren selama beberapa bulan pada awal pendudukan.

Upaya Jepang dalam pembuatan wadah organisasinya belum menemukan hasil yang maksimal , maka kemudian Jepang menghidupkan kembali MIAI. MIAI, Berbeda dengan Gerakan Tiga A, PUTERA, dan Jawa Hokokai, MIAI bukanlah organisasi yang dibentuk oleh Jepang. MIAI adalah organisasi Islam yang didirikan pada tanggal 18-21 September 1937 di Surabaya, yang diprakarsai oleh beberapa tokoh, di antaranya: Wondoamiseno (sekretaris), K.H. Mas Mansyur (bendahara), Abdul Wahab Hasbullah, Muhammad Dahlan (anggota), dan organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia, seperti: Muhammaddiyah, PSII, Al- Irsyad dan lainnya. 

Tujuan MIAI didirikan adalah untuk menyatukan seluruh organisasi Islam dibawah satu bendera, mendorong kerjasama menyelesaikan permasalahan umat Islam, memperkuat hubungan dengan Islam diluar negeri, meningkatkan keimanan, dan membentuk kongres muslim Indonesia.

Organisasi MIAI merupakan organisasi Islam yang dibiarkan berkembang oleh Jepang, karena Jepang menganggap bahwa MIAI sangat anti Barat. Bahkan, Jepang ikut mendorong berkembangnya organisasi tersebut dengan memberikan sumbangan dan mendirikan masjid-masjid di beberapa wilayah. Sayangnya, MIAI pun tidak bisa dimanfaatkan oleh Jepang, sehingga terpaksa dibubarkan pada bulan Oktober 1943, karena dinilai anti Jepang. Kemudian Jepang membentuk organisasi federatif baru yaitu MASYUMI (Majlis Syura Muslimin Indonesia) dengan pendukung utamanya berasal dari Muhammadiyah dan NU.

Kebijakan Jepang yang banyak ditentang oleh kaum muslim di Indonesia adalah
Gedung MIAi (Majelis Islam A’la Indonesia)

Penciptaan MASYUMI ini dapat dikatakan merupakan kemenangan politik Jepang terhadap Islam. Dengan langkah itu Jepang sekaligus berhasil menghapus bayang-bayang MIAI, federasi yang selama ini dikenal “anti-kolonial” dan yang, sejak zaman Belanda, sudah mewakili berbagai kelompok Islam, serta mempensiunkan Wondoamiseno, ketua MIAI dari PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia) yang dikenal “non-kooperatif”. Sebagai gantinya, Jepang mengangkat K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, sebagai ketua MASYUMI.

Dibawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Mas Mansyur. MASYUMI pun tidak tumbuh sesuai dengan keinginan Jepang, bahkan pada akhirnya organisasi tersebut tumbuh menjadi pusat kekuatan bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Serta masih banyak lagi organisasi-organisasi yang dibentuk Jepang sebagai upaya untuk menarik simpati bangsa Indonesia.

Dukungan yang besar terhadap golongan Islam menyebabkan golongan nasionalis sekuler mengalami kemerosotan sehingga tidak mampu menyaingi MASYUMI. Namun demikian, perkembangan berikutnya berbalik arah. Menjelang proklamasi, terutama setelah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945, Jepang memberikan dukungan porsi yang lebih besar kepada golongan nasionalis sekuler daripada golongan Islam. Jepang tampaknya lebih mempersiapkan golongan nasionalis sekuler untuk memegang kendali politik Indonesia setelah kemerdekaan. Dalam persaingan kepemimpinan nasional, golongan Islam gagal menandingi popularitas golongan nasionalis sekuler, terutama Soekarno dan Moh. Hatta.

Dalam banyak segi kebijakan yang diambil Jepang sangat berlawanan dengan kebijakan agama pada zaman Belanda. Pemerintah militer Jepang umumnya dianggap menaruh perhatian yang besar terhadap Islam Indonesia, serta memberikan peran sosial dan politik yang penting kepada para pemimpin Islam.

Imperialisme Jepang memang tidak memiliki kemahiran akademik dan perlengkapan ilmiah seperti yang ditunjukkan oleh Belanda. Namun, secara mendasar Jepang sangat menyadari pentingnya Islam sebagai unsur kekuatan di Indonesia. Dukungan Islam sangat diinginkan oleh Jepang untuk kepentingan perang Asia-Rayanya. Jepang menginginkan orientasi dan komitmen Islam Indonesia mengarah ke “matahari terbit”. Dalam hal ini, maka pengaruh Belanda dan Arab penting untuk segera dikikis di Indonesia. Kerangka politik ini jelas membuat Jepang di satu sisi bersikap represif terhadap Islam di Indonesia dan disisi lain bersifat akomodatif dengan memberikannya berbagai konsesi.

Pada bulan-bulan pertama, Jepang melarang beroperasinya organisasi-organisasi dan paratai-partai Islam, melarang pengajaran dan penggunaan tulisan dan bahasa Arab, mengatur dan mengontrol pendidikan Islam, dan permintaan ijin untuk mempertemukan pertemuan keagamaan. Namun diantara tindak represif itu, Jepang juga melansir beberapa kegiatan yang kendati tujuannya “mobilisasi” Islam Indonesia, juga bisa dianggap sebagai “konsesi” pada Islam Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan dampak tindakan itu pasca-kemerdekaan.

Setidaknya terdapat tiga tindakan penting yang dilakukan Pemerintah Militer Jepang untuk meraih dukungan dan simpati Islam ini;

  1. Pendirian organisasi Islam, Masyumi; 
  2. Pembentukan seksi urusan keagamaan di setiap pemerintahan karesidenan;
  3. Penyelenggaraan program “latihan alim ulama”.

Pendirian seksi-seksi keagamaan (Shumuka) di setiap Karesidenan pada dasarnya merupakan pengembangan dari  Kantoor voor het Indlandsche Zaken (kantor urusan pribumi) yang ada pada masa Belanda (Shumubu, untuk tingkat pusatnya). Namun watak politis lembaga ini meningkat tajam, selain dengan pengembangannya ke setiap Karesidenan, adalah juga perluasan bidang garapannya yang sebelumnya terbagi diantara Departemem dalam Negeri, Kehakiman, Pendidikan, dan Peibadatan Umum.

Selain itu, di Shumbu inilah pertama kalinya pribumi dan muslim mendapatkan kedudukan politik di pemerintahan yang tinggi. Sebelumnya, pada zaman Belanda, kontrol atau pengaturan masalah-masalah agama ini diserahkan kepada penghulu yang terkait dengan Bupati. Keduanya dianggap berada di luar dunia Islam karena pejabatnya selalu terdiri dari para priyai. Terdapat empat seksi dalam Shumubu ini, yaitu: 

  1. Seksi Urusan Umum dan Kristen; 
  2. Manajemen dan Islam; 
  3. Seksi Kontrol dan Bimbingan Organisasi Keagamaan, serta penelitian;
  4. Propaganda, Latihan dan Penertiban Berkala.

Sejak awalnya lembaga Shumubu dan  MASYUMI ini dimaksudkan untuk memobilisasi dukungan Islam terhadap Jepang namun peran yang dimainkan kedua lembaga ini menjadi akhir dari kebijakan Belanda yang memisahkan antara agama dan politik. Pemimpin umat Islam yang sebelumnya tidak percaya, kini sebagai golongan yang terpadu yang mempunyai hubungan langsung dengan badan pemerintahan tertinggi. Islam telah memperoleh kedudukan istimewa dalam sistem politik, yang didalamnya suatu aparat keagamaan telah dibangun sejajar dengan administrasi pemerintahan duniawi.

MASYUMI mengawali peran politis Umat Islam dalam sejarah Indonesia merdeka. Sedangkan Kantor Urusan Agama adalah lembaga yang kini menjadi Departemen Agamaadalah sebuah departemen dimana Umat Islam terutama mengatur dan menegosiasikan kepentingan-kepentingan keagamaan mereka. Kendati departemen agama ini memberi perhatian pada agama- agama lain, tetapi kepada Islam-lah perhatiannya banyak tercurah.

Kebijakan Jepang terhadap umat Islam di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan Jepang dalam banyak hal, sangat berbeda dengan yang dirumuskan oleh Belanda, terutama dalam hal kedudukan Umat Islam. Kendati demikian, bukan berarti apa yang telah dirumuskan oleh Belanda hilang sama sekali. Jejak-jejak kebijakan politik agama kolonial itu menggoreskan pengaruhnya yang penting dalam kebijakan politik agama pada masa-masa selanjutnya, setelah Indonesia merdeka.