Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

Max Havelaar adalah sebuah novel karya Multatuli (nama pena yang digunakan penulis Belanda Eduard Douwes Dekker). Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1860, yang diakui sebagai karya sastra Belanda yang sangat penting karena memelopori gaya tulisan baru.[butuh rujukan]

Novel ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul asli "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" (bahasa Indonesia: "Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda")

Roman ini hanya ditulis oleh Multatuli dalam tempo sebulan pada tahun 1859 di sebuah losmen di Belgia. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1860 roman itu terbit untuk pertama kalinya.

Salah satu bagian dari Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Foto: Historia.

MUSEUM Multatuli telah diresmikan oleh Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid pada Minggu, 11 Februari 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Apa sajakah yang bisa membuat Anda memiliki alasan kuat untuk mengunjungi museum anti-kolonial pertama di Indonesia ini?

Bangunan Kuno

Museum Multatuli menempati gedung kuno yang dibangun pada 1923. Semula berfungsi sebagai kantor sekaligus kediaman wedana Lebak. Gedung berbentuk huruf “T” ini dilengkapi pendopo yang digunakan sebagai tempat pertemuan.

Perpaduan Masa Lalu dan Masa Kini

Bangunan kolonial dengan desain interior modern bergaya fraktal asimetris dengan pencahayaan ruang yang apik. Kisah sejarah ditampilkan melalui ilustrasi grafis kekinian untuk menarik minat generasi muda zaman kini. Warna sejarah yang identik hitam putih tidak selamanya mendominasi ruang pamer museum.

Tujuh Ruangan, Satu Benang Merah

Museum Multatuli memiliki tujuh ruang pamer. Setiap ruangan mewakili periode di dalam sejarah kolonialisme. Ruang pertama merangkap sebagai lobi dengan hiasan wajah Multatuli terbuat dari kepingan kaca serta kalimat kutipan Multatuli yang tenar: “Tugas Seorang Manusia Adalah Menjadi Manusia”. Ruang kedua mengisahkan masa awal kedatangan penjelajah Eropa ke Nusantara. Ketiga, tentang periode tanam paksa dengan fokus budidaya kopi. Keempat, ruang Multatuli dan pengaruhnya kepada para tokoh gerakan kemerdekaan. Kelima, menceritakan gerakan perlawanan rakyat Banten dan kemudian gerakan pembebasan Indonesia dari penjajah Belanda. Keenam, terdiri dari rangkaian kronologis peristiwa penting di Lebak dan era purbakala. Ketujuh, terdiri dari foto mereka yang pernah lahir, menetap serta terinspirasi dari Lebak.

Multimedia

Bentuk penyampaian informasi di Museum Multatuli juga sudah menggunakan multimedia, baik dalam bentuk podcast maupun video yang diputar pada layar monitor. Di ruang empat terdapat video singkat mengenai Multatuli yang menghadirkan wawancara Pramoedya Ananta Toer. Layar monitor juga tersedia di ruang enam dan tujuh, masing-masing mengisahkan tentang sejarah Lebak serta klip singkat tentang tokoh-tokoh yang lahir dan pernah singgah di Rangkasbitung. Di ruangan tujuh juga bisa didengar rekaman suara penyair Rendra yang membacakan sajak “Demi Orang-orang Rangkasbitung”.

Benda Bersejarah

Selain benda pamer duplikasi, Museum Multatuli juga memiliki artefak asli. Salah satunya ubin rumah asisten residen Lebak yang juga pernah ditempati Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang bertugas sejak 22 Januari sampai dengan April 1856. Ubin ini, bersama dengan satu ubin lain yang berwarna hitam, sempat berada di Belanda. Pada 1987 Arjan Onderdenwijngard, seorang jurufoto dan wartawan Belanda, datang ke Rangkasbitung untuk perjalanan jurnalistik menelusuri jejak Multatuli. Dia menemukan dua ubin itu tak jauh dari reruntuhan rumah Multatuli dan menyelamatkannya ke Belanda. Pada 2016, Multatuli Genootschap menyerahkan ubin ini kepada Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dalam sebuah perhelatan di Amsterdam, Belanda. Sedangkan satu ubin berwarna hitam kini tersimpan di Multatuli Huis, Amsterdam. Selain ubin, ada koin kuno dari tahun 1857 dan alat giling kopi kuno.

Surat Bersejarah

Ada dua surat penting yang turut dipamerkan di Museum Multatuli, yakni surat Eduard Douwes Dekker untuk Raja Willem III dan surat Sukarno kepada sahabatnya Samuel Koperberg. Surat Eduard Douwes Dekker kepada Raja Belanda Willem III , memuat protes atas situasi di tanah jajahan yang pernah dialaminya serta pemberitahuan perihal naskah buku Max Havelaar yang akan terbit. Dalam surat ini, Douwes Dekker memohon agar Raja Willem III memberikan perhatian lebih kepada Hindia Belanda yang dikelola sembarangan dan banyak merugikan rakyat. Sedangkan surat Sukarno kepada Samuel Koperberg dikirim dari pembuangannya di Ende. Samuel Koperberg, sekretaris Java Instituut dan salah satu tokoh dalam kepengurusan Indische Sociaal-Democratishe Partij (ISDP, sempalan ISDV). Dalam surat bertitimangsa 27 September 1935 itu, Sukarno mengungkapkan kondisi di tempat pembuangannya: sepi, jalanan berdebu dan hawa panas. Ende sebuah kota tepi pantai yang terletak di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah kolonial mengasingkan Sukarno ke Ende selama empat tahun (1934-1938).

Kronologi Sejarah Lebak

Di ruang keenam, terdapat sederet foto yang meriwayatkan tonggak-tonggak sejarah di Kabupaten Lebak, mulai berdiri sampai dengan peristiwa penting lainnya di dalam sejarah. Di dalam deretan kronik ini terdapat pula beberapa fakta-fakta penting, seperti buruh Suriname yang ternyata juga ada dari Lebak.

Patung Multatuli, Saidjah dan Adinda

Di Museum Multatuli, Anda bisa melihat patung karya pematung terkemuka Dolorosa Sinaga. Patung tersebut adalah karya seni patung instalasi pertama di Indonesia, di mana pengunjung bisa berinteraksi di area berdirinya patung dan berselfie ria dengan karakter patung yang ada. Patung tersebut melambangkan bersatunya manusia-manusia yang mendambakan keadilan tiada peduli ras dan bangsanya. Juga menganjurkan semangat mencari ilmu pengetahuan lewat buku.

Pendopo yang Teduh

Di depan Museum Multatuli terdapat sebuah pendopo yang asri, ciri khas bangunan tradisional Jawa pada umumnya. Pendopo ini sama tuanya dengan bangunan rumah dan kantor wedana yang digunakan sebagai museum. Menurut Kepala Museum Multatuli Ubaidilah Muchtar, di pendopo inilah beragam kegiatan akan diselenggarakan.

Museum Anti-Kolonial Pertama di Indonesia

Museum Multatuli bukan semata museum tentang kisah pribadi Eduard Douwes Dekker. Museum ini adalah museum anti-kolonial pertama di Indonesia. Tema museum ini menurut Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud RI berperan mengisi kekosongan yang selama ini belum ada di museum-museum lainnya. Museum ini juga tempat belajar sejarah yang mengasyikan buat anak-anak.

© 2022 — Perpustakaan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)

Ditenagai oleh SLiMS

Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

Putri Puspita

Max Havelaar karya Multatuli. Foto: http://blog2.nl

Pada tahun 1859, Eduard Douwes Dekker, seorang keturunan Belanda yang begitu membela Indonesia, menulis buku yang berjudul Max Havelaar. Dalam buku ini Douwes Dekker menggunakan nama samaran "Multatuli".
 

Lelang Kopi

Arti judul buku "Max Havelaar” adalah Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda. Isi buku ini berupa kritik akan kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Belanda pada masa penjajahan.

Isi Buku

Buku merupakan kumpulan dari berbagai jalinan kisah cerita. Mulainya adalah kisah tentang Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi dan contoh yang tepat tentang seorang orang kaya yang kikir. Cerita ini merupakan simbol bagaimana Belanda mengeruk keuntungan dari daerah jajahannya. Sejumlah kisah tentang masyarakat lokal dirangkaikan dalam buku ini, misalnya, kisah tentang Saidjah dan Adinda.

Selain cerita tersebut, juga ada komentar dan tulisan mengenai pengalaman Multituli yang bekerja untuk Hindia Belanda.

Pada bagian akhir buku ini, Multatuli menyampaikan permintaan secara sungguh-sungguh langsung kepada Raja William III untuk menghentikan tindakan sewenang-wenang di atas daerah jajahan Belanda.

Kritik dan penghargaan

Pada awalnya, buku ini menerima banyak kritik. Namun, tetap jaja buku dicetak ulang beberapa kali. Buku ini masih diterbitkan sampai sekarang dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Bahkan, penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer merujuk buku ini dalam the New York Times tahun 1999 sebagai "Buku yang Membunuh Kolonialisme".

Reputasinya, yang Anda dengar, mungkin adalah sosok penentang kolonialisme. Novelnya, Max Havelaar, tak habis-habis dipromosikan sebagai novel yang membunuh kolonialisme.

Max Havelaar sendiri bercerita tentang Havelaar, sosok idealis yang ditempatkan sebagai asisten residen Lebak, Banten. Lebak merupakan daerah yang melarat di masa tanam paksa.

Havelaar, yang tulus berharap dapat membantu orang-orang Lebak, menemukan residen dan bupati bersekongkol mengeksploitasi orang-orang Lebak. Ia dicopot dari jabatannya. Lantas, beberapa tahun selepasnya, kisah itu terungkap dalam novel ini.

Namun, berbagai penyelidikan mengungkap fakta-fakta tidak sedap. Mitos dari Lebak karangan Nieuwenhuys memperlihatkan novel Max Havelaar punya segambreng masalah dengan akurasi historis.

Multatuli dianggap tidak memahami masyarakat yang hendak "dilindunginya.” Dari masa jabatannya  yang singkat di Lebak, kesaksian mengatakan ia lebih banyak mengucilkan diri dari subjeknya. Di hadapan bupati, ia membawakan dirinya sebagai atasan ketimbang rekanan. Ia tergulung dalam intrik persengketaan lokal yang tak disadarinya.

Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

Geger Riyanto

Max Havelaar memotret Havelaar sebagai sosok yang idealis. Lantaran idealisme yang naif itulah, ia karam menantang tatanan kolonialisme yang besar, represif, dan licik.

Akan tetapi, musuh-musuh Multatuli mengungkap surat-surat pribadinya sepeninggal sang pengarang untuk memperlihatkan "Havelaar” tak seperti yang digambarkan di novelnya. Ia ketagihan berjudi. Ia memperlakukan anak dan istrinya dengan buruk tanpa alasan apa pun. Ia pernah tiba-tiba saja menuduh anaknya melakukan pembunuhan.

Satire, Bukan Sejarah

Kendati demikian, sedari awal Multatuli tak berpretensi hendak mengakhiri kolonialisme. Sedari awal, Multatuli tak menolak sistem penguasaan Belanda di koloninya. Apa yang disayangkannya adalah segelintir elite yang menyelewengkannya padahal perkaranya berwatak sistemis—bahwa sistem kolonial itu sendiri bermasalah.

Lantas, Multatuli juga tak pernah berpretensi bahwa karyanya merupakan gambaran sejarah yang akurat. Multatuli mengandaikan novelnya sebagai teriakan seorang ibu yang anaknya tercebur ke dalam air. Di bagian terakhir novelnya Multatuli juga secara gamblang menegaskan berulang-ulang dirinya akan didengar melalui novelnya. Ia akan melakukan apa pun agar karyanya dibaca—menerjemahkannya ke berbagai bahasa atau dengan kekerasan kalau perlu.

Gestur ini bukan milik seseorang yang ingin memotret sejarah secara presisi. Gestur ini milik seseorang yang merasa dicopot dari jabatannya dengan tidak adil, dipermalukan, dan ingin memulihkan kehormatannya. Ia bertekad menjadi whistleblower. Dan tebak apa? Multatuli sukses secara spektakuler melakukannya.

Pengarang D.H. Lawrence, dalam pengantarnya untuk buku Max Havelaar terbitan 1927, saya kira, cukup jitu mengidentifikasi motif Multatuli. "Ia [Multatuli] ingin didengar,” tulis Lawrence.

"Ia adalah misionaris menggebu-gebu untuk orang-orang Jawa yang malang! Pasalnya, ia tahu misionaris didengar! Dan orang-orang Jawa merupakan tongkat yang pas untuk memukuli anjing. Publik yang terpikat merupakan anjing bersangkutan. Anjing yang ingin dipukulinya. Untuk dipukulinya hingga mereka tak akan melupakannya!”

Lawrence lantas menilai Max Havelaar dengan provokasi yang bukannya tidak masuk akal. "Buku ini sama sekali bukan traktat. Ini adalah satire.”

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Awal abad ke 16 Portugis memasuki nusantara, berdagang dan mencoba menguasainya. Rakyat di beberapa wilayah melakukan perlawanan. Awal abad ke-17 giliran perusahaan Belanda, VOC yang mencari peruntungan di nusantara. Nusantarapun jatuh ke tangan Belanda, sempat direbutkan Perancis dan Inggris, lalu kembali dalam genggaman negeri kincir angin itu.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Untuk menguasai nusantara, Belanda memanfaatkan persaingan di antara kerajaan-kerajaan kecil. Berbagai pertempuran terjadi di bumi nusantara. Di Jawa, Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama pendudukannya di bumi Nusantara. Jendral de Kock memanfaatkan suku-suku lain berusaha menaklukan Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Wilayah-wilayah di luar Jawa pun tak ketinggalan mengalami berbagai pertempuran sengit. Salah satunya pertempuran di Bali tahun 1846 yang tergambar dalam lukisan ini, dimana Belanda mengerahkan batalyonnya dalam upaya menaklukan pulau Dewata tersebut.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia didirikan September 1926 oleh para mahasiswa. Organisasi ini bermaksud untuk menyatukan organisasi –organisasi pemuda yang tadinya terpecah-pecah dan dari berbagai perguruan tinggi seperti Stovia dan THS dan RHS. Perhimbunan besar ini memiliki pemikiran bahwa persatuan Indonesia merupakan senjata paling ampuh dalam melawan penjajahan.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Dalam perang dunia ke-2, Jepang memerangi Tiongkok dan mulai menaklukan Asia Tenggara, termasuk Indonesia tahun 1941. Peperangan juga terjadi di berbagai belahan dunia. Ketika Jepang kalah dalam PD II, tokoh nasional merencanakan kemerdekaan Indonesia.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Teks Proklamasi dipersiapkan. Dirumuskan oleh Tadashi Maeda, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo, dll. Teks tersebut digubah oleh Mohammad Hatta dan RM. Achmad Soebardjo Djodjodisoerjo dan ditulis tangan oleh Soekarno. Teks Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", diketik Sayuti Melik.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Dengan didampingi Drs. Mohammad Hatta, Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pembacaan naskah proklamasi dilakukan di Jalan Pegangsaan Timur no 56. Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Sesaat setelah teks proklamasi diumumkan, bendera Sang Saka Merah Putih pun di kibarkan di halaman Pegangsaan Timur 56. Bendera bersejarah ini dijahit oleh istri Bung Karno, Fatmawati Soekarno. Kini tiap tanggal 17 Agustus, bendera Merah Putih berkibar dan menjadi bagian dari peringatan detik-detik kemerdekaanj Indonesia.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Perang terus berkobar. 10 November 1945 di Surabaya, rakyat melawan sekutu. Di penghujung tahun yang sama, sekutu menyerbu Medan. Hampir semua wilayah Sumatera, berperang melawan Jepang, sekutu dan Belanda. Mulai dari Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua, para pejuang mengorbankan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Peperangan terus berkobar di berbagai wilayah di tanah air. berbagai diplomasi digelar. Perjanjian Renville disepakati Januari 1948, di atas kapal Amerika, USS Renville yang berlabuh di Tanjung Priok. Indonesia diwakili PM. Amir Syarifuddin. Saat itu, dissetujui garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dengan wilayah pendudukan Belanda.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Tak semua mematuhi perjanjian Renville. Perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut. Politik Indonesia terus bergejolak. usaha Belanda meredam kemerdekaan Indonesia dikecam masyarakat internasional. Akhirnya penyerahan kedaulatan Indonesia dtandatangani di Belanda, tanggal 27 Desember 1949. Tampak pada gambar, Ratu Belanda, Juliana tengah menandatangani dokumen tersebut.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Peta Pinkerton untuk Hindia Timur: Mencakup dari Burma selatan ke Jawa, dari Andaman ke Filipina & New Guinea. Peta ini mencatat kota-kota, rawa-rawa, pegunungan, dan sistem sungai. Digambar oleh L. Herbert dan digravir oleh Samuel Neele di bawah arahan John Pinkerton. Sumber gambar: Pinkerton’s Modern Atlas, yang diterbitkan oleh Thomas Dobson & Co di Philadelphia pada tahun 1818.

  • Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang Max Havelar?

    Kini lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia memasuki tantangan baru: Memerdekaan diri dari berbagai belenggu penjajahan atas hak asasi manusia,pola pikir dan berekspresi serta memperjuangkan demokrasi.

    Penulis: ap/rzn


Menilai Max Havelaar

Dengan begitu, bagaimana kita seharusnya menilai novel Max Havelaar? Pertama, kita harus menaksir andil sejarahnya dengan proporsional. Yang sekarang terjadi, kita masih membaca Max Havelaar sebagai pisau yang dilesapkan ke jantung kolonialisme. Ada masalah serius dari pemaknaan ini. Pemaknaan ini mengecilkan arti dari perlawanan korban tanam paksa itu sendiri dalam melucuti sistem yang jahat ini.

Jan Breman, dalam penelitiannya perihal tanam paksa di Priangan, mengamati bahwa sistem tanam paksa mandek karena perlawanan terus-menerus dari para petani yang tercekik olehnya. Hal semacam juga tidak asing di tempat lain seperti Banten sebagaimana diungkap sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888. Max Havelaar, menurut Breman, memang menggegarkan publik Belanda namun penolakannya baik oleh partai liberal maupun konservatif menyebabkannya sulit mempengaruhi keputusan politik riil.

Waktu itu, berkembang pula anggapan bahwa sistem tanam paksa terlalu menguntungkan untuk ditinggalkan begitu saja. Breman percaya bahwa yang terjadi adalah perlawanan-perlawanan dari bawah akhirnya menjadikan sistem tak kondusif dijalankan lagi.

Dan di sisi lain dari mata uang yang sama, pemaknaan ini membesarkan peran penulis Eropa dan ide humanisme yang dicetuskan di benua ini. Ia membuat mata kita selalu terarah ke kerja intelektual dan pendidikan Eropasentris dalam memungkinkan perubahan di gugus kepulauan yang kelak dinamai Indonesia.

Tentu saja, kita patut menyediakan kredit untuk gambaran bagaimana Max Havelaar memperlihatkan kejahatan kolonialisme yang menggetarkan khalayak luas. Di masa itu  dampak sistem yang diterapkan Belanda di daerah jajahannya ditutupi serapat-rapatnya (Max Havelaar sendiri bisa diterbitkan setelah nama tokoh, tanggal, dan tempat disamarkan). Namun, dengan membacanya lebih kritis, kita akan tahu  bahwa penulisnya insan fana yang tercebur dalam sejarah. Ia punya kealpaan. Ia punya kepentingan. Ia tak bebas dari kepicikan zamannya.

@gegerriy

Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.