Ilmu yang mempelajari tata cara membagi harta peninggalan seseorang setelah meningal disebut

Ilmu yang mempelajari tata cara membagi harta peninggalan seseorang setelah meningal disebut

refleksi


sumber ilustrasi : unduhan

ILMU TENTANG KETENTUAN PEMBAGIAN

                     HARTA WARIS MENURUT HUKUM ISLAM               

Dari segi bahasa, kata mawaris  artinya harta yang diwariskan. Secara istilah, berarti ilmu tentang pembagian harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia. Dinamakan ilmu mawāriṡ karena mempelajari tentang ketentuanketentuan pembagian harta pusaka bagi ahli waris menurut hukum Islam.

Ilmu mawāriṡ disebut juga ilmu farāiḍ ( فَرَائِضِ ).  Kata farāiḍ dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari فَرِيْضَة  yang berarti ketentuan, bagian atau ukuran. Menurut istilah, farāiḍ adalah ilmu tentang bagaimana membagi harta peninggalan seseorang setelah meninggal. Disebut ilmu farāiḍ karena membahas ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan terhadap masing-masing ahli waris.

Dengan kata lain ilmu mawāriṡ atau ilmu farāiḍ adalah ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan pembagian harta pusaka bagi ahli waris menurut Islam. Orang yang meninggal dunia disebut al-Muwarriṡ ( اَلمُوَرِّثْ )  bentuk jamaknya اَلمُوَرِّثُوْنَ  sedangkan ahli warisnya disebut al-wāriṡ ( اَلوَارِثْ )  bentuk jamaknya اَلْوَارِثُوْن  dan harta peninggalan atau harta pusakanya disebut al-mīrāṡ اَلْمِيَْاثْ  ataual irṡ .الِرْثٌ

Tujuan ilmu mawāriṡ adalah membagi harta pusaka sesuai dengan ketentuan naṣ sesuai dengan keadilan sosial dan tugas serta tanggung jawab masing-masing ahli waris

Dasar hukum ilmu mawāriṡ adalah Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah Saw. Adapun ayat-ayat yang menjadi dasar dari ilmu mawāriṡ adalah surat An-Nisa’ : 7 dan ayat 11 dan 12.

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.(Q.S. An-Nisa’ : 7)

Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fikih mawāriṡ adalah farḍu kifāyah. Artinya kewajiban yang apabila telah di laksanakan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban bagi semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang menjalankan kewajiban tersebut, maka semuanya berdosa. Ini sejalan dengan perintah Rasulullah Saw agar umatnya mempelajari dan mengajarkan ilmu farāiḍ sebagaimana mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an :

Karena pentingnya kedudukan ilmu farāiḍ dalam masyarakat sehingga Nabi menyebut farāiḍ sebagai separuh ilmu, sebagaimana sabda beliau :   “Belajarlah ilmu farāiḍ dan ajarkanlah kepada manusia maka sesungguhnya (ilmu) farāiḍ adalah separoh ilmu agama dan ia akan dilupakan (oleh manusia) dan merupakan ilmu yang pertama diambil dari ummatku (HR. Ibnu Mājah dan Dāruqutni)

PRAKTEK PEMBAGIAN HARTA WARISAN KELUARGA MUSLIM DALAM SISTEM KEWARISAN PATRILINEAL

(Studi di Desa Sesetan Denpasar selatan Kota Denpasar)

Jamaludin

Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Email:

Abstrak

Inheritance law is one part of the civil law as a whole and it is the smallest part of family law. Inheritance law is very closely related to the scope of human life, because every human being has the legal event that is death. Patrilineal kinship system is an interesting system of father lineage, that the system prioritize man than woman. In the system that is embraced by society, tradition is considered to be valid. The purpose of writing this paper is to determine the inheritance practice in Muslim family law and how does Islam affect of the practice under Patrilineal system in Bali. From the result of this research, In practice, Muslim family in the village of Sesetan South Denpasar Denpasar District uses traditional patrilineal inheritance system. First sons became only heir who get the inheritance. Although some families use the Islamic law of inheritance. The strenght of local culture make it difficult to Islamic inheritance law to be applied in Muslim family in the village of South Denpasar District Sesetan Denpasar. However, the number of people studying at Islamic influence able the division of inheritance systems there some Muslim families in the village of South Denpasar District Sesetan Denpasar individing their inheritance Islamic law of inheritance.

Hukum waris merupakan salah satu dari bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Sistem Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis bapak, dimana dalam sistem kewarisan ini lebih menonjolkan kedudukan pria dari pada kedudukan seorang perempuan. Dalam sisitem yang di anut masyarakat adat ini dianggap sah atau sudah dikatakan adil. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui praktek pembagian warisan dalam keluarga muslim dan bagaiman hukum Islam mempengaruhi praktek pembagian warisan dalam sistem Patrilineal Bali. Dari hasil penelitian tersebut, keluarga muslim di Desa Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar dalam pembagian harta waris banyak yang menggunakan sistem kewarisan adat patrilineal. Anak laki-laki pertama menjadi satu-satunya ahli waris yang memperoleh harta warisan. Walaupun teradapat pula beberapa keluarga yang menggunakan kewarisan hukum Islam. Kuatnya budaya setempat membuat hukum kewarisan Islam sulit diterapkan pada keluarga muslim di Desa Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar. Namun dengan banyaknya masyarakat yang menuntut ilmu dipesantren sedikit banyak telah mempengaruhi sistem pembagian waris, sehingga beberapa keluarga muslim di Desa Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar yang membagi warisan menggunakan kewarisan hukum Islam.

Kata Kunci: Harta Waris dan Sisitem Patrilineal

Pendahuluan

                 Hukum waris merupakan salah satu dari bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia.[1] Penyelesaian hak-hak kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, di atur oleh hukum waris. Dalam pengertian hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun dalam hukum kepustakaan ilimu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris beraneka ragam. Misalnya saja. Wirjono Prodjodokoro, mengunakan istilah “hukum warisan”. Hazairin, menggunakan istilah “hukum kewarisan”. Dan soeppomo menyebutnya dengan istilah “hukum waris”[2]

Waris dalam Perspektif islam adalah sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggaldalam keadaan bersih.[3] Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda dan serta segala hak, “setalah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris.[4]

Istilah hukum adat berasal dari bahaa Arab, “Huk’m” dan “Adah” (jamaknya Ahkam) artinya suruhan atau ketentuan. Di dalam hukum Islam misalnya dikenal dengan “Hukum Syari’ah” yang berisi adanya lima macam suruhan atau perintatah yang disebut “al-ahkam al-khamsah” yaitu wajib, haram, sunnah, dan mubah. Adah atau adat ini dalam bahasa Arab disebut dengan “kebiasaan” yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Jadi hukum adat adalah “hukum kebiasaan”.[5]

Didalam masyaakat di Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar selatan Kota Denpasar yang masih kuat memeganng teguh prinsip kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan, perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata’, tetapai juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan.[6] Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan seperti hak dan kewjiban suami istri, harta bersama dan kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketatanegaraan serta menyangkut upacara-upacara keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik hubungan manusia dan tuhanya maupum manusia dengan manusia dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan di akhirat.

Dalam sistem kewarisan Patrilineal yang dianut kalangan Sunni sebenarnya terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan yang bercorak Patrilineal. Pada masa terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang. Sehingga para fuqaha dalam berbagai mazhab fiqh belum memperoleh perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan dalam berbagai bentuk masyarakat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian disusun bercorak Patrilineal.[7]

Hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang yang akibatnya keluarga dekatnya kehilangan seseorang yang mungkin sangat dicintainya sekaligus menimbulkan pula akibat hukum, yaitu tentang bagaimana caranya kelanjutan pengurusan seseorang yang telah meninggal dunia itu. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh hukum kewarisan.

Dalam kaitannya mengenai hukum kewarisan Islam yang bersumber dari wahyu Allah dalam Al-Qur’an dan Hadist Rasul yang berlaku wajib dan ditaati oleh umat Islam dulu, sekarang dan di masa yang akan datang. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ Ayat : 13-14 berbunyi ;

š

Artinya :

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.

Artinya:

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.(An-Nisa’ ayat 7)

Artinya:

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat di atas dengan jelas menunjukkan perintah dari Allah swt, agar umat Islam dalam melaksanakan pembagian harta warisan berdasarkan hukum yang ada dalam Al-Quran.

Bagi umat Islam melaksanakan ketentuan yang berkenaan dengan hukum kewarisan merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan, karena itu merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hukum kewarisan di Indonesia merupakan salah satu bagian dari hukum perorangan dan kekeluargaan pada umumnya berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan, yaitu Matrilineal, Patrilineal dan Bilateral atau Parental.

Sistem yang Matrilineal, dimana setiap orang selalu menghubungkan dirinya kepada ibunya, seterusnya ke atas kepada ibunya, dan kepada ibunya ibu, sampai kepada seseorang wanita yang dianggap sebagai moyangnya dimana marga ibunya berasal dan keturunannya. Pada sistem Patrilineal, yang pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan di mana seseorang itu hanya menghubungkan dirinya kepada ayah, ke atas kepada ayahnya ayah seterusnya ke atas kepada ayahnya ayah. Sistem Bilateral atau Parental, yang merupakan gabungan dari kedua sistem tersebut di atas. Mungkin masih ada variasi dari ketiga bentuk dan sistem masyarakat tersebut. Bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sistem menarik garis keturunan yang penulis kemukakan di atas tadi, membawa konsekuensi terhadap orang-orang yang berhak tampil sebagai ahli waris.

Perkembangan hukum adat khususnya di Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar bagi keluarga muslim sebagian masih menggunakan adat Patrilineal yang secara tidak langsung sebelumnya dipraktekkan oleh agama yang lebih dulu ada daripada agama Islam yaitu agama Hindu. Darisini dapat dilihat terdapat Inkonsistensi dalam praktek pembagian harta warisan yang dilakukan oleh sebagian keluarga muslim di Bali.

Huku Waris dalam Islam

            Pengertian waris dalam Islam adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.[8] Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut.

Seperti yang telah terurai di atas, bahwa hukum waris di Indonesia masih beraneka warna coraknya, di mana tiap-tiap golongan penduduk teramsuk kepada hukumnya masing-masing, antara lain hal ini dapat dilihat pada golongan masyarakat yang beragama Islam kepadanya diberlakukan hukum kewarisan islam, baik mengenai tata cara pembagian harta pusaka, besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dan anak angkat, lembaga peradilan yang berhak memeriksa dan memutuskan sengketa warisan apabila terjadi perselisihan di antara para ahli waris dan lain sebagainya.

Dari penjelasan tersebut di atas, mengakibatkan pula terjadinya perbedaan tentang arti dan makna hukum waris itu sendiri bagi masing-masing golongan penduduk. Artinya belum terdapat suatu keseragaman tentang pengertian dan makna hukum waris sebagai suatu patokan hukum yang tepat serta pegangan yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Akan tetapi apabila kita membicarakan tentang hukum waris maka kita tidak akan terlepas dari unsur-unsur ini, yakni adalah:[9]

  1. 1.Adanya harta peninggalan atau yang lebih dikenal dengan harta kekeyaan pewaris yang disebut warisan.
  2. 2.Adanya pewaris yaitu orang yang akan diberikan harta yang ditinggalkan oleh yang mewarisi, pewaris bisa melanjutkan atau mengalihkanya.
  3. 3.Adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan atau pembagian harta warisan itu.

Syariat Islam telah memberikan posisi sistem kewarisan dalam aturan yang paling baik, bijak, dan adil. Agama Islam menetapkan hak pemilikan benda bagi manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam petunjuk syara’, seperti memindahkan hak milik seseorang kepada orang yang masih hidup dan kepada ahli warisnya atau setelah dia meninggal, tanpa melihat perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa. Al-Qur’an telah menjelaskan hukum-hukum waris dengan penjelasanya yang lengkap dan sempurna tanpa meninggalkan bagian seseorang atau membatasi benda yang akan diwariskan. Al-Qur’an merupakan landasan bagi hukum waris dan ketentuan pembagiannya dilengkapi dengan sunnah dan ijma’. Tidak ada hukum-hukum yang dijelaskan dalam Al-Qur’an secara terperinci, seperti hukum-hukum waris.

Islam sangat memperhatikan persoalan hukum waris, sehingga perlu dijelaskan terperinci dalam Al-Qur’an karena hukum waris adalah saran yang paling pokok dalam hal pemilikan harta benda, sedangkan harta benda merupakan tulang punggung kehidupan induvidual maupun komunal. Dengan pembagian warisan yang benar, akan timbullah rasa tanggung jawab sosial dan akan terjadi pula siklus kenikmatan hidup. Dalam firman Allah:

Artinya:

Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan Dia berkata: “Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. (Q.S. An Naml: 16)

Kata waris menurut bahasa berati perpindahan sesuatau dari seseorang kepada orang lain atau dari sekelompok arang ke kelompok yang lain. Kata sesuatu lebih umum dari pada kata harta benda, ilmu atau kemuliaan. Sedangkan menurut istilah Fiqh ialah bepindahnya hak milik dari orang yang meninggal kepada ahli waris yang masih hidup, baik berupa harta benda, tanah maupun suatu hak dari hak-hak yang syara’.[10]

Syarat-syrat mendapat warisan diantaranya adalah:

  1. a.Hubungan perkawinan
  2. b.Karena adanya hubungan darah
  3. c.Kaerna memerdekakan si mayit
  4. d.Agama yang sama

Sebab-sebab Tidak Menerima Warisan

Adapun yang menjadi sebab seorang yang tidak mendapat warisan (hilangnya hak kewarisan atau penghalang mempusakai) adalah disebabkan sebagai berikut:

Ahli Waris Dalam Islam

Dalam hal ini agama Islam mengatur cara cara menentukan ahli waris yang berazaskan keadilan antara kepentingan anggota keluarga dengan kepentingan agama dan masyarakat. Secara umum dapat kita kemukakan bahwa jumlah keseluruhan ahli waris itu ada 25 (dua puluh lima). Yang terdiri dari:

  1. a.15 (lima belas) kelompok laki-laki
  2. b.10 (sepuluh) kelompok perempuan

Dikatakan secara umum karena diluar dari 25 (dua puluh lima) ada ahli waris yang lain. Dan jumlah yang dua puluh lima bukanlah yang “person” (individu) melainkan “struktur ” keluarga dari si mayit.[11]

Pewaris dan Dasar Mewarisi  

Dalam hak pewaris dan mewarisi di dasarkan atas berbagai hubungan antara si pewaris dengan si waris itu sendiri.[12] Salah satu yang terpenting dalam waris mewarisi, apabila kita lihat dari ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab orang itu mendapatkan warisan dari si mayat (ahli waris) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. a.Karena hubungan perkawianan

Seorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayit dengan orang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah: suami atau istri dari si mayit.

  1. b.Karena adanya hubungan darah

Seorang dapat mendapatkan warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah/ kekeluargaan dengan si mayit, yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti: ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain.

  1. c.Karena memerdekakan si mayat

Seorang dapat mendapatkan warisan (menjadi ahli waris) dari si pewaris disebabkan seorang itu memerdekakan si pewaris dari perbudakan, dalam hal ini dapat saja seorang laki-laki atau seorang perempuan.

Seorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta warisanya diserahkan kepada baitul maal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.

Kelompok Utama Ahli Waris Menurut Hukum Islam

Ahli waris ialah orang yang berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan. Ada tiga kelompok dalam ahli waris dalam kewarisan bilateral. Mereka terlihat dari garis hukum yang disebutkan diatas.[13]

Dzȗ al-Farâ´idl ialah ahli waris yang dapat bagian waris tertentu dalam keadaan tertentu, di dalam Al-Quran menjelaskan siapa saja yang termasuk, di antaranya adalah:

  1. 1)Anak perempuan yang tidak didampingi anak laki-laki.
  2. 2)Ibu
  3. 3)Bapak dalam hal ada anak
  4. 4)Duda
  5. 5)Janda
  6. 6)Saudara laki-laki dalam hal kalaalah
  7. 7)Saudara laki-laki dan perempuana bergabung dan bersyirkah dalamkalalah
  8. 8)Sudara perempuan dalam hal kalaalah.
  9. b.Dzȗ al-qȗrâbat

Dzȗ al-qȗrâbat ialah ahli waris yang mendapat bagian warisan yang tidak tertentu jumlahnya atau disebut juga memperoleh bagian terbuka atau disebut juga memperoleh bagian sisa, dalam hal ini di antaranya adalah:

  1. 1)Anak laki-laki
  2. 2)Anak perempuan yang didampimgi anak laki-laki
  3. 3)Bapak
  4. 4)Saudara laki-laki dalam hal kalâlah
  5. 5)Saudara perempuan yang didampingi saudara laki-lakib dalam hal kalaalah.
  6. c.Mawalî

Mawa ialah ahli waris pengganti. Yang di maksud ialah ahli waris yang menggantikan seorang untuk mendapatkanbagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh orang yang tadi digantikanya itu. Sebabnya ialah karna orang yang digantikanya itu adalah orang yang seharusnya mendapatkan warisan kalau dia masih hidup.

Waris Patrilineal

Keluarga Patrilineal adalah keluarga besar yang mengutamakan garis keturnan pihak bapak. Pada keluarga besar Patrilineal, bapak memiliki status yang lebih tinggi dengan peran dan otoritas yang lebih besar dalam budaya keluarga. Anak laki-laki adalah keturunan yang lebih diutamakan dari pada anak perempuan dalam kehidupan keluarga serta kelangsungan generasi dan budaya. Akan tetapi, kelemahan keluarga besar Patrilineal adalah terdapat diskriminasi status, peran dan otoritas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai pihak yang memiliki kehidupan keluarga sehingga perannya pun hampir tidak berarti apa-apa kecuali sebagai sumber kelahiran anak.[14]

Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia antara lain terdapat pada masyarakat-masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor, dan Bali. Dalam masyarakat kebapaan biasanya hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris. Oleh karena perempuan yang sudah kawin akan mengikuti suaminya dan masuk dalam anggota suaminya dan akan dilepas dari keluarganya sendiri.[15] Maka ia tak merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia. Anak laki-laki dapat warisan dari bapak dan ibunya dan pada asalnya berhak atas semua harta benda yang di tinggalkan orang tuanya.

Dalam masyarakat Bali sistem kewarisanya ialah menyoroti laki-laki, dimana anak laki-laki sepeninggal ayahnya beralih untuk menduduki tempatnya. Ia menjadi pemilik kekayaan, tetapi ia mempunyai kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka. Memberi sokongan dalam perjuangan hidupnya.  

Pewaris, Ahli Waris, dan Pembagian Harta Warisan

Pewaris adalah orang yang menyerahkan atau yang meninggalkan harat warisan

Ahli waris adalah orang yang menerima atau yang berhak mendapatkan harta peninggalan dari si pewaris. Dalam hal ini adalah keturunan langsung dari si pewaris, dalam hal ini adalah anak dari si pewaris itu sendiri.

     Harta yang diwariskan adalah harta yang berwujud benda dan yang tidak berwujud benda. Harta yang berwujud benda ialah seperti sebidang tanah, bangunan rumah dan perhiasan. Sedangkan harta yang tidak bewujud ialah berupa kedudukan atau jabatan adat, gelar-gelar adat dan perjanjian.

Dalam kewarisan kebapaan ini pada umumnya anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan sudah lepas dari keluarganya sendiri, dan masuk kedalam keluarga suaminya. Maka anak perempuan itu bukanlah ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah empiris dan mengunakan pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.[16] data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka[17] Jadi dalam penelitian ini penulis berusaha semaksimal mungkin mendeskripsikan suatu gejala peristiwa, kejadian yang terjadi pada masa sekarang atau mengambil masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada penelitian. Dilaksanakan dengan pendekatan konseptual dan analisis terhadap permasalahan yang diambil dengan membandingkan data-data di lapangan dengan konsep-konsep baik dari buku-buku, majalah-majalah, makalah, maupun dari sumber lain dengan kalimat yang tersusun secara sistematis. Dengan metode tersebut akan diperoleh gambaran secara mendalam mengenai peristiwa dan fakta yang ada. Digunakannya pendekatan ini, karena yang diteliti tentang perilaku sebagian anggota masyarakat yang tidak bisa dinyatakan dengan perhitungan angka-angka, seperti pada penelitian kuantitatif digunakan dengan alasan:

(1). Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda.

(2). Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara penelit dengan informan.

(3). Metode ini lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penejaman pengaruh bersama terhadapap pola-pola yang dihadapi.[18]

Kota Denpasar terletak di tengah-tengah dari pulau Bali, selain merupakan ibukota daerah tingkat II juga merupakan ibu kota dari propensi Bali sekaligus sebagai pusat pemerintahan, perekonomian dan pendidikan.

Lokasi penelitian ini di kota Denpasar terletak diantara 08؛ 353108؛ 4449’ lintang selatan dan 115؛ 1023”-115؛ 1627’ bujur timur, yang berbatasan dengan:

  1. 1)sebelah utara kabupaten Badung
  2. 2)di sebelah timur kabupaten Gianyar.
  3. 3)di sebelah selatan selat Badung
  4. 4)sebelah barat kabupaten Badung.

Kota Denpasar dibagi dalam 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, kecamatan Denpasar utara dan Denpasar Selatan. Dan di kecamatan Denpasar selatan ini kami melakukan penelitian. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sesetan, yaitu di Desa Adat Sesetan. Pembagian jumlah Desa Adat dalam satu kelurahan bisa lebih dari satu desa adat tersebut.

Dalam penelitian, ini terdapat dua sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data diperoleh. Peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan data, yaitu mewawancarai informan untuk merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan, selanjutnya peneliti menggunakan teknik observasi, sumber datanya bisa berupa benda, gerak, atau proses sesuatu. Peneliti juga menggunakan dokumentasi, yaitu dokumen-dokumen yang menjadi sumber data, sedang isi catatan adalah objek penelitian atau variabel penelitian:[19]

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder:

Data Primer adalah data empirik diperoleh secara langsung informan kunci dengan menggunakan daftar pertanyaan dan wawancara langsung untuk mendapatkan data-data tentang faktor-faktor apa yang melatarbelakangi terjadinya kewarisan muslim di masyarakat Bali Khususnya di daerah Sesetan, dan tentang status sistem kewarisan patrilineal adat Bali. Peneliti akan terjun secara langsung melakukan kunjungan dari rumah ke-rumah dari setiap informan terpilih dengan teknik observasi dan wawancara. Sumber data Primer, yang terdiri dari subyek penelitian informan sebagai berikut:

            Subyek penelitian keluarga-keluarga dalam desa adat setempat, dan bagaimana praktek dalam hal mewarisi dan bagimana kewarisan dalam sistem patrilineal Bali. Dalam mewarisi harta peninggalan dan bertanggung jawab dalam pemakaman atau utang piutang ketika orang tua meninggal, yang akan menjadi data primer.

Informan yang terdiri: Kepala desa Sesetan kabupaten Badung Bali, Ulama/ tokoh agama yang berada di desa tersebut dan Masyarakat yang melakukan praktek pembagian warisan di desa Sesetan.

Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku fiqh munakahat, buku adat Bali, majalah, dan buku-buku lain yang erat hubungannya dengan permasalahannya.

            Dalam suatu penelitian, setiap peneliti menggunakan cara pandang atau paradigma yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigama fenomenologi. Menurut Smith secara umum penelitian fenomenologis bertujuan untuk menjelaskan situasi yang dialami oleh pribadi dalam kehidupan sehari-hari. Fenomenologi tidak mencoba mereduksi suatu gejala menjadi variabel-variabel yang bisa diidentifikasi dan mengontrol konteks di mana gejala itu hendak dikaji. Fenomenologi bertujuan untuk sebisa mungkin tetap selaras denga gejala itu dan dengan konteks di mana gejala itu muncul.[20]

Ini berarti bahwa bila suatu gejala khusus hendak dikaji, maka akan digali suatu situasi di mana para individu mengalamai sendiri pengalaman mereka sehingga mereka bisa menggambarkan seperti yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan.

Untuk menentukan data yang diperlukan, maka perlu adanya prosedur atau teknik pengumpulan data agar bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh sebagai data-data objektif, valid serta tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari keadaan yang sebenarnya. Dalam pengumpulan data skripsi ini, penulis menggunakan teknik atau metode sebgai berikut:

Wawancara, dalam penelitian ini digunakan wawancara mendalam yang mendasarkan pada kriteria teknis wawancara. Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas terpimpin, yakni pewawancara hanya membawa pedoman yang merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan. Wawancara tidak selalu dilakukan dalam situasi yang formal, namun juga dikembangkan pertanyaan-pertanyaan aksidental sesuai dengan alur pembicaraan.[21]

Observasi. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data-data yang akurat dan autentik, penulis mengadakan pengamatan secara langsung terhadap obyek yang akan diteliti, termasuk didalamnya kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu yang erat hubungannya dengan penelitian.[22]

Dalam penelitian ini menerapkan jenis wawancara yang pertama dan yang kedua yaitu wawancara pembicaraan informal. Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang diwawancarai. Wawancara demikian dilakukan pada latar alamiah. Hubungan pewawancara dengan yang diwawancarai dalam suasana wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari saja.

Sewaktu pembicaraan berjalan, yang diwawancarai barang kali tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa ia sedang diwawancarai. Dan jenis wawancara yang kedua yaitu pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok-pokok itu dilakukan sebelum wawancara dilakukan. Pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan.

Petunjuk wawancara hanya berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat tercakup seluruhnya. Petunjuk itu mendasarkan diri atas anggapan bahwa ada jawaban yang secara umum akan sama diberikan oleh para responden. Pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan informan dalam konteks wawancara yang sebenarnya.

Metode dokumentasi adalah pengumpulan data melalui peninggalan tertulis seperti arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini, metode dokumentasi digunakan untuk membaca atau mempelajari arsip, catatan atau dokumen yang berkaitan dengan peristiwa atau kejadian sosial berkenaan dengan tema yang dibahas dalam skripsi ini.

Dalam pengolahan data, penelitian ini ada beberapa tahap pengolahan data yang dilakukan. Pertama adalah menata secara sistematis catatan hasil observasi atau wawancara, maka proses selanjutnya adalah transkrip kaset. Proses ini niscaya dilakukan karena hasil wawancara direkam dalam pita kaset. Untuk mendapatkan gambaran lengkapnya, maka suara dalam pita kaset dipindah dalam bentuk teks sehingga memudahkan pengolahan datanya.

Tahap selanjutnya adalah pengolahan data. Tahap ini termasuk tahap yang penting karena data yang sudah terkumpul akan bermakna dan berbicara banyak dalam tahapan ini. Proses pengolahan data setelah transkrip kaset atau penelitian pokok pikiran informan adalah edit. Tahap ini dilakukan untuk mengecek kelengkapan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian. Beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan mungkin ada yang belum terjawab dengan sempurna atau terlewatkan. Untuk kasus semacam ini data yang masih mungkin ditanyakan lagi akan diulang.

Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap baik dari lapangan dan dokumentasi, tahap berikutnya adalah tahap analisis. Seperti halnya teknik pengumpulan data, analisis data juga merupakan bagian yang penting dalam penelitian, karena dengan menganalisis, data dapat diberi arti dan makna yang jelas sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah dan menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.

Tujuan analisis dalam penelitian ini adalah untuk mempersempit dan memberi batasan-batasan pada temuan hingga menjadi suatu data yang teratur dan menambah validitas data itu sendiri.[23] Dalam penelitian ini, teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif dengan mengunakan pola fikir induktif. Yaitu menggambarkan masalah praktek kewarisan patrilineal adat Bali kota Denpasar Kelurahan Sesetan kecamatan Denpasar Selatan kemudian dianalisis dengan ketentuan hukum Islam tentang bagaiman praktek pembagian warisan keluarga muslim dalam sistem kewarisan adat patrilineal bali, baik dari al-Qur’an, hadist ataupun pendapat ulama untuk menilai fakta lapangan.

Hasil dan Pembahasan

            Dalam praktek pembagian warisan keluarga di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar dalam prakteknya pembagian harta waris menggunakan hukum waris adat, sebagaimana hasil wawancara penulis dengan Bapak Suhardi, beliau memaparkan:[24]

Dalam pembagian harta waris di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar menggunakan sistem adat patrilineal karena kuatnya budaya hindu yang melekat pada masyarakat setempat serta minimnya pengetahuan dari para tokoh masyarakat tentang pembagian harta waris menurut hukum Islam.

Selanjutya peneliti menanyakan mengenai bagaimana cara menentukan bagian ahli waris dalam pembagian warisan di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar kepada Bapak Suhardi beliau mengatakan:[25]

Apabila muwarist meninggal maka harta warisannya seluruhnya akan jatuh pada anak laki-laki pertama, sedangkan ahli waris yang lain tidak mendapatkan bagian, hanya saja untuk biaya hidup dalam sehari-hari menjadi tanggung jawab dari anak laki-laki pertama yang mendapatkan seluruh harta warisan tersebut sampai anak perempuannya menikah, karena setelah menikah maka anak perempuan mengikuti suaminya. Apabila anak pertama berjenis kelamin perempuan maka harta waris dari muwarist tetap harus diberikan kepada anak laki-laki yang sudah dianggap dewasa.

Untuk memperoleh data yang lebih jelas peneliti menanyakan lagi seputar masalah praktek pembagian harta waris di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar dengan bapak Sudi beliau mengatakan :[26]

Dalam pembagian harta waris memang lebih banyak menggunakan sistem kewarisan adat patrilineal walaupun ada juga yang menggunakan sistem pembagian waris hukum Islam, hal ini desebabkan karena mereka menganggap bahwa sistem kewarisan adat patrilineal dianggap lebih mudah untuk dipraktekkan, walaupun dalam satu sisi dalam praktek pembagian sistem kewarisan adat patrilineal dianggap kurang adil karena pihak perempuan sama sekali tidak mendapatkan warisan.

Adapun mengenai cara pembagian harta waris di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar menurut Bapak Sudi, beliau mengatakan :[27]

Dalam pembagian harta waris di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar setelah muwarits meninggal maka suluruh harta jatuh ke tangan anak laki-laki pertama, ahli waris yang lainnya tidak mendapatkan.

Hal senada juga dikatakan oleh Bapak Safiq beliau mengatakan:[28]

Tidak ada bagian khusus bagi ahli waris, jadi harta muwarits semuanya langsung jatuh ketangan anak pertama laki-laki.sehingga dalam pembagian harta waris sangat tergantung pada anak laki-laki pertama dan sangat dituntut untuk berlaku adil dan bijaksana.

Sebenarnya dalam pembagian harta waris telah dijelaskan dalam Al-Qur’an tentang bagaimana cara membagi harta itu dengan cara syariat Islam dan secara adil, Allah berfirman dalam Al-qur’an mengenai pembagian benda pusaka untuk para ahli waris dan orang-orang yang tidak berhak menerima pembagian benda pusaka tersebut, dalam surat An-Nisa Ayat 11-12 dalam firmanya:

Artinya:

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Dari ayat di atas bisa kita simpulkan bahwasanya bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan nabi.

Dalam hal ini agama Islam mengatur caracara menentukan ahli waris yang berazaskan keadilan antara kepentingan anggota keluarga dengan kepentingan agama dan masyarakat. Secara umum dapat kita kemukakan bahwa jumlah keseluruhan ahli waris itu ada 25 (dua puluh lima). Yang terdiri dari:

  1. c.15 (lima belas) kelompok laki-laki
  2. d.10 (sepuluh) kelompok perempuan

Dikatakan secara umum karena diluar dari 25 (dua puluh lima) ada ahli waris yang lain. Dan jumlah yang dua puluh lima bukanlah yang “person” (individu) melainkan “struktur ” keluarga dari si mayit.[29]

Terdapat ketidaksesuaian antara sistem pembagian harta waris yang disyari’atkan oleh agama Islam dengan apa yang dipraktekkan di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar. Dalam pembagian harta waris Islam menganai orang yang berhak menerima warisan (ahli waris) dan bagian-bagian yang seharusnya diperoleh oleh ahli waris sudah sangat jelas sebagaimana dijelaskan pada paparan diatas, sedangkan dalam pembagian harta waris di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar yang menggunakan pembagian waris adat patrilineal harta waris hanya diperoleh anak laki-laki pertama sedangkan bagi ahli waris yang lain tidak mendapatkan warisan. Dalam bagian jumlah ahli waris pun dibagi sesuai dengan rasa keadilan dari anak pertama laki-laki selaku penerima harta waris satu-satunya.

Adapun mengenai prosedur dalam mendapatkan warisan, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi ahli waris. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak H. Umar Dhani sebagai berikut :[30]

  1. 1.Adanya pewaris, maksud dari pewaris adalah orang yang meninggalkan harta bendanya untuk oarang-orang yang berhak.
  2. 2. Orang yang akan menerima warisan.
  3. 3.Harta yang ditinggalkan

 Senada dengan apa yang dikatakan Bapak H. Umar diatas, Bapak Sudi juga menjelaskan sebagai berikut :[31]

Syarat dalam pembagian waris yaitu adanya orang yang mewariskan, ada ahli waris, dan ada harta yang ditinggalkan oleh muwarits.

Dalam hukum waris Islam terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian waris. Syarat pembagian waris itu ada tiga diantaranya adalah:[32]

(1). Muwarrist, yaitu orang yang mewariskan hartanya atau mayyit yang meninggalkan hartanya.

(2). Al- Warits atau ahli waris, yaitu oarang yang mempunyai hubungan keluarga, baik karna mempunyai hubungan darah atau sebab perkawinan atau akibat memerdekakan budak.

(3) Al-Mauruts atau Al-Mirats yaitu harta peninggalan si mayit setelah di kurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.

Dari paparan di atas diketahui terdapat kesamaan antara syarat yang diatur dengan cara syariat Islam maupun yang dipraktekkan masyarakat di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar. Yakni adanya orang yang meninggalkaan warisan, ahli waris dan harta yang diwariskan.

Adapun halangan untuk menerima warisan dalam Syari’at Islam adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris seorang mendapatkan harta peninggalan, Adupun halangan tersebut adalah:[33]

Pembunuhan, Semua ulama sepakat bahwa pembunuhan dapat menghalangi seorang untuk mendapatkan hak waris. Karna tujuan dari dari pembunuhan tersebut agar ia segera memiliki harta pewaris.

ليس للقاتل من الميراث شيء

Artinya : tidak ada hak bagi pembunuh sedikit pun untuk mewarisi (HR. Al-Nasai)

Beda Agama, Seorang akan terhalang haknya apabila memeluk agama yang lain dari si pewaris.

لا يرث المسلم الكافر و لا الكافر المسلم (متفق عليه)

Artinya : orang Islam tidah mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.

Perbudakan Perbudakan menjadi penghalang mewrisi bukan karna setatus kemanusiaan dikarnakan ia dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum.

Sedangkan di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar sesuai wawancara dengan Bapak H. Umar, beliau menjelaskan :[34]

Mengenai halangan untuk mendapatkan warisan yang dipraktekkan yaitu pembunuhan, beda agama, dan perbudakan. Akan tetapi dalam masalah pembunuhan, ahli waris tetap mendapatkan bagian apabila dimaafkan daria ahli waris yang lain, akan tetapi hanya sebatas untuk mencukupi kebutuhan kehidupan sehari-hari serta sesuai dengan kesepakatan ahli waris yang lain.

Dengan pertanyaan yang sama penulis mewawancarai Bapak Sudi, beliau menjelaskan :[35]

Halangan dalam menerima warisan di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, Kota Denpasar, yaitu pembunuhan, beda agama, dan perbudakan, namun dalam perbudakan di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, Kota Denpasar tidak ada, mengenai pembunuhan dalam prakteknya tetap mendapatkan warisan ketika mendapat maaf dari ahli waris yang lain dan bagiannya dibatasi dengan kesepakatan ahli waris yang lain.

Melihat paparan diatas bahwasanya terdapat sediktit perbedaan antara konsep halangan dalam mendapatkan warisan antara konsep waris hukum Islam dengan konsep yang ada di masyarakat di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, Kota Denpasar yakni mengenai halangan ahli waris karena pembunuhan. Di Desa Sesetan, kecamatan Denpasar selatan, kota Denpasar ahi waris yang terkena kasus pembunuhan tetap mendapatkan bagian dari muwarits setelah mendapatkan maaf dari ahli waris yang lain, adapun mengenai jumlah bagian ahli waris yaitu hanya sebatas kebutuhan sehari-hari dan jumlahnya sesuai dengan kesepakatan ahli waris yang lain.

Awal mulanya ajaran Islam masuk ke Bali khususnya di desa Sesetan ini sebagaiman sejarah memaparkan masuknya agama Islam ke Bali sejak jaman kerajaan pada abad XIV berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, tidak merupakan satu-kesatuan yang utuh. “Sejarah masuknya Islam ke Pulau Dewata dengan latarbelakangnya sendiri dari masing-masing komunitas Islam yang kini ada di Bali,” hasil wawancara peneliti dengan Bapak H. Umar Dhani, seorang tokoh Islam menjelaskan : [36]

Penyebaran agama Islam ke Bali antara lain berasal dari Jawa, Madura, Lombok dan Bugis. Masuknya Islam pertama kali ke Pulau Dewata lewat pusat pemerintahan jaman kekuasaan Raja Dalam Waturenggong yang berpusat di Klungkung pada abad ke XIV.Dalem Waturenggong Raja Dalem Waturenggong berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, ketika berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sekembalinya diantar oleh 40 orang pengawal yang beragama Islam. Ke-40 pengawal tersebut akhirnya diizinkan menetap di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit.

Sebelum islam datang ke pulau Bali telah ada agama yang berkembang begutu pesat yaitu agama hindu yang hingga saat ini menjadi agama mayoritas di pulau Bali. Dalam urusan pembagian harata peninggalan warisan agama hindu menggunakan sistem patrilineal dan itu berlaku jauh sebelum Islam datang ke pulau Bali.

Bapak Sudi menjelaskan sebagai berikut :[37]

Sebelum Agama Islam masuk ke pulau Bali telah berkembang agama hindu dengan pesatnya, sehingga sedikit banyak ajaran hindu mempengaruhi pula terhadap hukum-hukum Islam termasuk masalah kewarisan.

Pernyataan Bapak Sudi diatas didukung oleh Bapak Suhadi, beliau menjelaskan sebagai berikut :[38]

Agama hindu telah ada di pulau Bali jauh sebelum Islam datang, sehingga ajarannya pun turut serta mempengaruhi hukum Islam yang ada di Bali.

Disaat waktu yang berbeda, peneliti mawawancarai Bapak Sudi tentang pengaruh hukum Islam terhadap pembagian harta waris di Desa Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar beliau mengatakan : [39]

Dengan banyaknya yang mondok dipesantren yang mempelajari tentang hukum-hukum Islam ini sedikit berpengaruh dalam pembagian dalam prakteknya walaupun hanya minoritas, karena masih banyak juga yang menggunakan kewarisan patrilineal.

Dalam hal pengaruh hukum Islam terhadap pembagian harta waris di Desa Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar menurut penjelasan Bapak Suhadi sebagai berikut :[40]

Kewarisan hukum Islam sedikit mulai mempengaruhi dalam model pembagian harta waris di Desa Sesetan karena saat ini pelajar-pelajar muslim yang mendalami agama Islam menganggap dalam sistem kewarisan adat petrilineal dianggap kurang adil, karena ahli waris yang lainnya tidak mendapatkan bagiannya sebagaimana mestinya.

Masyarakat muslim di desa Sesetan Kecamatan Denpasar Kota Denpasar dalam membagi harta peninggalan itu lebih mengutamakan anak laki-laki, dalam agama Islam juga bagian laki-laki lebih besar daripada bagian perempuan yakni 2:1. Namun dengan perkembangan zaman yang pesat dan banyaknya masyarakat yang menuntut ilmu di pesantren sedikit demi sedikit mulailah ajaran-ajaran Islam mulai berkembang contohnya dalam praktek pembagian warisan di desa ini, mulai ada pergeseran dari mulai harta peninggalan yang seutuhnya di berikan oleh anak laki-laki mulai bergeser dengan adanya tata cara sistem kewarisan Islam yang membagi semua harta peninggalan dengan cara seadil-adilnya. Walaupun terdapat banyak juga yang dalam pembagian harta waris tetap menggunakan pembagian waris adat patrinial.

Kesimpulan

Dalam prakteknya pada keluarga muslim di Desa Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar dalam pembagian harta waris banyak yang menggunakan sistem kewarisan adat patrilineal. Anak laki-laki pertama menjadi satu-satunya ahli waris yang memperoleh harta warisan. Walaupun teradapat pula beberapa keluarga yang menggunakan kewarisan hukum Islam.

Kentalnya budaya setempat membuat hukum kewarisan Islam sulit diterapkan pada keluarga muslim di Desa Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar. Namun dengan banyaknya masyarakat yang menuntut ilmu dipesantren sedikit banyak telah mempengaruhi sistem pembagian waris, sehingga beberapa keluarga muslim di Desa Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar yang membagi warisan menggunakan kewarisan hukum Islam.

Saran

Bagi masyarakat keluarga muslim di Desa Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar : dalam pembagian harta warisan hendaknya menggunakan konsep hukum waris Islam yang telah ada, karena bagaimanapun pula ketetapan bagian yang telah ditetapkan oleh Allah SWT lebih adil daripada ketentuan-ketentuan lainnya.

Bagi para tokoh agama Islam di Desa Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar : peran tokoh agama sebagai stake holder dalam masyarakat diharapkan turut serta membantu dalam penerapan-penerapan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah SWT khususnya dalam bidang pembagian harta waris.

DAFTAR PUSTAKA

Ali ash-Shabuni Muhammad. Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, 1995   Jakarta.

Ali ash Shabuni, Muhammad, Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadis, PT Triganda Kary, Bandung, cet 1

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendeketan Praktek, Edisis Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta.

Bhusar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita 1995

Eman Suparman, S.H., M.H, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW. Rafika Aditama, 2005

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, Alumni, 1983

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, Alumni, 1989Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, cet. 3 Jakarta: Tintamas, 1976

Hamdani Nawawi, Pengantar Metodologi Riset, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).

Lexy Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1999

Marzuki, Metodologi Riset (Jogjakarta: PT. Prasetia Widya Pratama, 2002

Mostafa Abid Bisri, Terjemah Sahih Muslim, Jilid III, (Semarang: Asy Sifa, 1993)

Sajuti Thalib. S.H. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, cet 7, 2002

Salman Otje, Hukum Waris Islam, PT Rafika Aditama

Setiady Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan) Alfabeta Cv, Bandung, 2008

Syakroni .M, Konflik Harta Warisan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 2007

Sukardi K. Lubis, S.H. Komis Simanjuntak, S.H. “Hukum Waris Islam” Sinar Grafika, Jakarta, cet 4

Tamakiran S. SH, asas-asas hukum waris menurut tiga sistem hukum, Pioner Jaya, Bandung, 1992

Wulansari Dewi, Hukum Adat Indsonesia, PT Refika Aditama, 2010

http://www.scribd.com/doc/40532989/14/A-Sistem-Kekeluargaan-dan-Hukum-Adat-Waris

http://www.hukumhindu.or.id/cara-pembagian-harta-warisan-hindu-di-bali/

http://fayusman-rifai.blogspot.com/2011/02/pengertian-hukum-waris.html


[1] H. Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW” PT Rafika Aditama, Bandung, Thn, 2011. hlm. 1.

[5]  Dewi Wulan Sari, “Hkum Adat Indonesia suatu pengantar” Rafika Aditama, Bandung, Thn, 2012. hlm. 1.

[6] H. Hilaman Hadikusuma, “Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundang-undangan Adat dan Agama” Mandar Maju, Bandung, Thn, 2007. hlm. 8.

[7] Hazairin, Hendak Kemana Hukum islam, cet 3 (Jakarta: Tintamas, 1976), hlm 3

[8] Ali ash-Shabuni Muhammad. Belajar mudah ilmu waris, Bandung, PT Remaja Rosdakarya. Thn 2007, Hlm 1

[10]Ali ash-Shabuni Muhammad. Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, 1995, Jakarta, Hlm 40

[11]Sukardi K. Lubis, S.H. Komis Simanjuntak, S.H. “Hukum Waris Islam” Sinar Grafika, Jakarta, Cet 4. 2004, Hal 76

[13] Sajuti Thalib. Hukum kewarisan di Indonesia, Sinar Grafika, Cet 7, 2002, Hlm 72

[14] Tamakiran S. asas-asas hukum waris menurut tiga sistem hukum, Pioner Jaya, Bandung, 1992, Hlm 69

[16]Lexy Maleong, Metode penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), Hlm 3

[18]Lexy Maleong, Metode penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), Hlm 5

[19]Arikuntu Suharsimi.2002. Prosedur Suatu Penelitian Suatu Pendekatan Prektek, Edisi Revisi V. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 102

[20]Marzuki, Metodelogi Riset (Jogjakarta: PT Prasetia Widya Utam, 2002), Hlm 56

[21]Sutrino Hadi, Metodologi Riset, (Yogyakarta: Andi, 1995), Hlm 83

[22]Hamdani Nawawi, Pengantar Metodelogi Riset, (jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Hlm 100

[23]Marzuki, Metodelogi Riset (Jogjakarta: PT Prasetia Widya Utam, 2002), Hlm 64

[24] Suhardi. Wawancara. 20 Agustus 2012

[26] Sudi. Wawancara. 20 Agustus 2012

[28] Safiq. Wawancara. 21 Agustus 2012

[29] Sukardi K. Lubis, S.H. Komis Simanjuntak, S.H. “Hukum Waris Islam” Sinar Grafika, Jakarta, Cet 4. 2004, Hal. 52

[30] H. Umar Dhani . Wawancara 14 agustus 2012

[31] Sudi. Wawancara. 21 Agustus 2012

[32] Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku, fiqih mawaris, Semarang, tahun 1999 Hlm 29

[33] Hasbiyallah H. Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Thn 2007, Hlm.15

[34] H. Umar. Wawancara. 12 Agustus 2012

[35] Sudi. Wawancara. 21 Agustus 2012

[36] H. Umar Dhani. Wawancara 14 agustus 2012

[37] Sudi. Wawancara. 22. Agustus 2012

[38] Suhadi. Wawancara. 21 Agustus 2012

[39] Sudi. Wawancara. 22. Agustus 2012