Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan pasal berapa ayat berapa

Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan pasal berapa ayat berapa
hak asasi warga negara indonesia secara penuh tercantum dalam pasal berapa?

Assyifa Nurul Aini Senin, 25 Juli 2022 - 12:41:00 WIB

JAKARTA, iNews.id - Tahukah kamu hak asasi warga negara Indonesia secara penuh tercantum dalam UUD 1945 pasal berapa? Sebagai warga Indonesia, kamu perlu mengetahuinya karena ini membahas hak-hak dasar atau pokok yang melekat pada manusia.

Dalam hal kewarganegaraan, hak ini berarti warga negara berhak mendapatkan penghidupan yang layak, jaminan keamanan yang pasti, perlindungan hukum dan lainnya yang berhak didapatkan. Tanpa hak-hak dasar yang telah ditetapkan, maka manusia bisa dikatakan tidak dapat hidup sebagai manusia.

Hak Asasi Warga Negara Indonesia Secara Penuh Tercantum dalam pasal berapa?

Hak asasi warga negara Indonesia secara penuh tercantum dalam pasal 28 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Sehubungan dengan negara Indonesia yang merupakan negara demokrasi, maka diberi kebebasan dalam berorganisasi, membentuk perkumpulan serta mengadakan pertemuan. 

Dikutip dari buku ‘Pasti Bisa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan’ karya Tim Tunas Karya Guru, Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen pada bab X A tentang hak asasi manusia, diatur dalam pasal 28A sampai 28J. Sebagai berikut isinya:

BACA JUGA:
UUD Alinea 4: Bunyi dan Makna yang Perlu Kamu Pelajari

  • Hak warga negara Indonesia untuk hidup dan mempertahankan kehidupan. 

Hak ini tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28A yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

  • Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28B Ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”

  • Hak atas kelangsungan hidup bagi setiap anak.

Hak atas kelangsungan hidup bagi setiap anak ini tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28B Ayat 2 yang berbunyi, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

  • Hak untuk mengembangkan diri.

Hak untuk mengembangkan diri tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28C Ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia.”

  • Hak untuk memajukan diri.

Hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Hak ini tercantum pada UUD 1945 Pasal 28C Ayat 2 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

  • Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum ini tercantum pada UUD 1945 Pasal 28D Ayat 1.

  • Hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat ini tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi, “Tiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

  • Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. 

Hak ini tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28F yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

  • Hak mendapatkan perlindungan serta bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan.

Hak asasi warga negara Indonesia secara penuh tercantum dalam pasal 28G Ayat 1 dan 2. Pasal 28G Ayat 1 berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Pasal 28G Ayat 2 berbunyi, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”

  • Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, pelayanan kesehatan, persamaan dan keadilan serta hak milik yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun. 

Hak ini tercantum pada UUD 1945 Pasal 28H.

  • Hak untuk hidup, tidak disiksa, hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. 

Hak ini untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun ini tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28I Ayat 1.

  • Hak untuk dihormati hak asasi manusia seseorang. 

Hak ini tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28J yang berbunyi, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain”.

Nah itu dia hak asasi warga negara indonesia secara penuh tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28A - 28J. Semoga artikel ini membantu kalian ya sebagai referensi.


Editor : Puti Aini Yasmin

TAG : hak asasi manusia hak asasi pkn pelajaran hak

Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan pasal berapa ayat berapa
​ ​

JAKARTA - Hak dan kewajiban warga negara menurut UUD 1945 pasal 27-34 merupakan sesuatu yang harus dipelajari dan dipahami. Tujuannya, agar warga negara memahami apa yang bisa dia dapatkan dari negara serta apa saja yang warga negara harus perbuat untuk negara.

Mengutip dari situs Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang.

Baca juga: Arti Penting Kedudukan UUD 1945

Baca juga: Bunyi dan Makna UUD 1945 Lengkap dari Alinea Kesatu hingga Keempat

Apa saja hak dan kewajiban warga negara menurut uud 1945 pasal 27-34? Berikut penjelasannya

Hak dan Kewajiban Warga Negara

1. Wujud Hubungan Warga Negara dengan Negara Wujud hubungan warga negara dan negara pada umumnya berupa peranan [role].

2. Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia Hak kewajiban warga negara Indonesia tercantum dalam pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945.

Hak Warga Negara Indonesia

– Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” [pasal 27 ayat 2].

– Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”[pasal 28A].

– Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah [pasal 28B ayat 1].

– Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang”

– Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. [pasal 28C ayat 1]

– Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. [pasal 28C ayat 2].

– Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.[pasal 28D ayat 1].

– Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. [pasal 28I ayat 1].

Kewajiban Warga Negara Indonesia

– Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat [1] UUD 1945 berbunyi: segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

– Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat [3] UUD 1945 menyatakan: setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.

– Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1 mengatakan : Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain

– Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28J ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

– Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat [1] UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”

Hak dan Kewajiban telah dicantumkan dalam UUD 1945 pasal 26, 27, 28, dan 30, yaitu:

1. Pasal 26, ayat [1], yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dan pada ayat [2], syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.

2. Pasal 27, ayat [1], segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Pada ayat [2], taip-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

3. Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

4. Pasal 30, ayat [1], hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Dan ayat [2] menyatakan pengaturan lebih lanjut diatur dengan undang-undang.

BUDISUSETIA, SAMUEL [2008] Penerapan hak untuk hidup serta hak mempertahankan hidup dan kehidupannya menurut Pasal 28 A dan Pasal 28 I Pasca amandemen UUD 1945 dalam kasus Tibo dkk [putusan Nomor 459/Pid.B/2001/PN.PL] / oleh Samuel Budisusetia. Skripsi thesis, UNIVERSITAS TARUMANAGARA.

Full text not available from this repository.

Abstract

abstrak ABSTRAK [A]. Nama : Samuel Budisusetia [NIM: 205010202] [B]. Judul Skripsi : Penerapan Hak untuk Hidup serta Hak Mempertahankan Hidup dan Kehidupannya Menurut Pasal 28 A dan Pasal 28 I Pasca Amandemen UUD 1945 [Putusan No.459/Pid.B/2001/ PN.PL] [C]. Halaman : viii + 75 + Lampiran + 2008 [D]. Kata Kunci : Penerapan Hak untuk Hidup [E]. Isi : Pidana mati di Indonesia merupakan suatu hal yang fenomenal dan selalu akan menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Umumnya kedua kelompok tersebut mendasarkan pandangannya masing-masing pada eksistensi lembaga pidana mati yang memang masih diakui sebagai salah satu jenis pidana pokok hukum positif di satu pihak, dan di pihak lain kepada Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin hak untuk hidup setiap orang serta hak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Bagaimana penerapan hak untuk hidup serta hak mempertahankan hidup dan kehidupannya menurut Pasal 28 A dan Pasal 28 I Pasca Amandemen UUD 1945 dalam kasus Tibo dkk. [Putusan Nomor 459 / Pid. B / 2001 / PN. PL] ? Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Data yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Dalam kesempatan ini digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan mengetengahkan studi kasus Tibo dkk.. Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak memperhatikan perundang-undangan yang di atasnya, yaitu UUD 1945. Karena pada dasarnya penerapan pidana mati di Indonesia masih rancu dan terjadi pro dan kontra. Di mana jelas dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa hak asasi manusia harus dilindungi, akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah, tetap mencantumkan pidana mati. Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ini menunjukan bahwa UUD 1945 tidak membolehkan pengenaan dan pelaksanaan pidana mati. Perkembangan perlindungan terhadap hak untuk hidup sebagai hak asasi manusia yang sangat fundamental yang dimiliki oleh setiap orang sebagaimana telah dituangkan dalam konstitusi negara Indonesia, yakni Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945 ini, tidak diikuti dengan perubahan terhadap berbagai produk perundang-undangan. [F]. Acuan : 28 [1945-2007] [G]. Pembimbing : P.C. Hadiprastowo, S.H. [H]. Penulis : Samuel Budisusetia

Actions [login required]

Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada di hampir seluruh masyarakat dan negara di dunia. Indonesia pun tak luput dari kontroversi ini. Sampai hari ini pihak yang pro hukuman mati dan yang kontra hukuman mati masih bersilang sengketa. Masing-masing datang dengan rasional dan tumpukan bukti yang berseberangan, dan dalam banyak hal seperti mewakili kebenaran itu sendiri.

Seyogianya kontroversi itu berakhir ketika UUD 1945 mengalami serangkaian perubahan. Dalam konteks hukuman mati kita sesungguhnya bicara tentang hak-hak asasi manusia yang dalam UUD 1945 setelah perubahan masuk dalam Bab XA. Pasal 28A dengan eksplisit mengatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Jadi, ‘hak untuk hidup’ atau ‘the right to life’ adalah hak yang paling mendasar dalam UUD 1945. Menariknya hak untuk hidup ini ditulis kembali dalam Pasal 28I [1] dalam rumusan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Kalau kita melihat UUD 1945 khususnya Bab XA dalam perspektif yang holistik, maka Pasal 28A dan Pasal 28I ini adalah pasal-pasal yang berada dalam satu payung hak asasi manusia yang dalam teori hak asasi manusia kita kenal sebagai “non-derogable human rights” sesuai dengan frasa “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Jadi, hak untuk hidup ini adalah hak yang tak bisa dikompromikan dengan hak-hak lain, dan karena itu hak untuk hidup ini merupakan hak yang sifatnya ‘paramount’. Hak untuk hidup ini adalah puncak hak asasi manusia yang merupakan induk dari semua hak asasi lain.

Konsekuensi logis dari pola pikir di atas adalah semua produk perundangan haruslah mengalami perubahan dalam arti dihilangkannya pasal-pasal hukuman mati. Pertama, hukuman mati yang lahir sebelum perubahan UUD 1945 harus secara tegas dicabut dan dinyatakan tidak berdaya kekuatan hukum, dan kedua, tidak boleh lagi ada produk perundangan yang baru yang mencantumkan hukuman mati. Buat Indonesia seharusnya sejak tahun 2000 ketika Bab XA itu dilahirkan, perdebatan mengenai hukuman mati seharusnya sudah selesai. Tetapi perdebatan masih terus berlangsung. Hukuman mati juga masih terus dijatuhkan.

Mengapa pengingkaran konstitusi ini terus terjadi? Ada dua penjelasan mengapa hukuman mati masih terus dilakukan. Pertama, ketika rumusan “the right to life” itu dicantumkan dalam UUD 1945 kebanyakan pembuat perubahan UUD 1945 menyambut itu dengan gembira sebagai bagian dari reformasi. Hak asasi manusia secara komprehensif musti dicantumkan dalam UUD 1945. Ada political euphoria.

Negara Maju

Tapi yang tak kalah menariknya yaitu adanya political fashion. Barangkali keinginan untuk punya pasal-pasal hak asasi manusia yang komprehensif itu dikaitkan dengan kehendak untuk masuk dalam klub negara-negara maju yang demokratis dan hormat terhadap hak asasi manusia. Hanya itu. Tak terpikirkan bahwa UUD 1945 yang menjadi supreme law of the land mewajibkan pula semua UU tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, secara sengaja kelompok-kelompok yang beraliran keras secara terbuka menyuarakan keyakinan mereka bahwa adanya “the right to life” dalam UUD 1945 tak otomatis membuat hukuman mati harus dihapuskan. Tafsir bahwa hak untuk hidup sebagai “non-derogable rights” dinafikan karena aliran ideologi yang sesungguhnya percaya pada hukuman mati.

Kelompok-kelompok garis keras yang kurang sepaham dengan hak asasi manusia universal menganggap bahwa hak asasi manusia di Indonesia haruslah juga menghormati budaya lokal atau agama yang masih menganut hukuman mati. Di sini ada deviasi dalam tafsir hak asasi manusia. Paham hak asasi manusia yang berdasar “cultural relativity” hidup kembali meski berbenturan dengan fahal “universal human rights”.

Seharusnya dalam gelombang hak asasi manusia yang kencang ini, seharusnya perdebatan hak asasi manusia ini sudah selesai. Karena sejak tahun 1764 suara yang menghendaki hapusnya hukuman mati sudah bergema. Cesare Beccaria dalam bukunya On Crimes and Punishment menulis uraian yang bagus:

“Capital punishment, was both inhumane and ineffective: an unacceptable weapon for a modern enlightened state to employ, and less effective than the certainty of imprisonment. Furthermore, that capital punishment was counterproductive if the purpose of law was to impart a moral conception of the duties of citizens to each other. For, if the state were to resort to killing in order to enforce its will, it would legitimize the very behaviour which the law sought to repress, namely the use of deadly force to settle disputes”.

Argumen Beccaria sangat menarik dan ada benarnya. Pembunuhan banyak terjadi dan masih akan terus terjadi. Penjatuhan hukuman mati oleh negara akan memberi justifikasi terhadap serangkaian tindak pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang partikelir. Jadi teori balas dendam, an eye for an eye, mendapatkan legitimasi. Untuk konteks pemidanaan, teori balas dendam ini sudah dianggap ketinggalan jaman, dan tujuan pemidanaan di Indonesia juga sebetulnya bukanlah balas dendam tetapi rehabilitasi, reedukasi dan reintegrasi ke masyarakat.

Sebagai bagian dari komunitas internasional dan anggota PBB Indonesia seharusnya sudah sejak awal menghapuskan hukuman mati karena Indonesia secara etis dan organisatoris harus tunduk pada Universal Declaration of Human Rights yang dalam Pasal 3 mengatakan:

“Everyone has the right to life, liberty and security of person”.

Apa makna pasal 3 tersebut? Karena penjelasan Universal Declaration of Human Rights tidak pernah ada, maka sumber penjelasan itu ada pada pendapat para pembuat Universal Declaration of Human Rights tersebut. Eleanor Rooselvelt dan Rene Cassin, dua di antara para perumus Universal Declaration of Human Rights, mengatakan bahwa hak untuk hidup itu tak mengenal kekecualian, dan tujuan pasal hak untuk hidup itu adalah agar kelak hukuman mati itu bisa dihapuskan. Sesungguhnya makna “non-derogable human rights” itu dimulai dengan sikap Roosevelt dan Cassin yang tegas tentang hak untuk hidup.

Indonesia juga sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights [ICCPR] yang dalam Pasal 6 [1] berbunyi:

“Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life”

Tetapi ICCPR masih memiliki ruang untuk hukuman mati terutama di negara-negara yang masih menjatuhkan hukuman mati pada “the most serious crimes” terutama yang berkaitan dengan kejahatan genosida. Hanya saja kalau dibaca keseluruhan Pasal 6 ICCPR kita akan melihat bahwa hak untuk hidup adalah semangat yang utama yang harus terus dihormati sampai nanti dia betul-betul menjadi hak asasi yang absolut yang sifatnya “non-derogable” dalam keadaan apa pun.

Kita tidak mengingkari bahwa Indonesia belum meratifikasi Second Optional Protocol yang secara tegas melarang hukuman mati, tetapi penafsiran otentik historis dari para pembuat instrumen atau hak asasi manusia akan membawa kita kepada semangat melawan hukuman mati. Dalam kaitan ini mungkin perlulah kita melihat teori hukum internasional yang sudah membuat semua dokumen hak asasi internasional seperti Universal Declaration of Human Rights dan ICCPR yang sudah mengikat [binding] karena sudah menjadi international customary law.

Kecenderungan menghapuskan hukuman mati ini adalah kecenderungan peradaban dunia sebagai kelanjutan dari pemikiran Cesare Beccaria. Dalam kaitan ini menarik untuk melihat Resolusi PBB No 2857 [1971] dan Resolusi PBB 32/61 [1977] yang mengambil sikap tegas ke arah penghapusan hukuman mati sebagai tujuan universal.

Dewasa ini jumlah negara yang termasuk dalam kategori abolisionist terhadap hukuman mati sudah mencapai angka 129 dengan perincian 88 negara yang abolisionist untuk semua kejahatan [abolisionist for all crimes], 11 negara untuk kejahatan biasa [abolisionist for ordinary crimes only] dan 30 negara yang melakukan moratorium hukuman mati [abolitionist in practice]. Bandingkan dengan jumlah negara retentionists yang berjumlah 68 negara. Statistik ini menunjukkan bahwa kecenderungan peradaban dunia sekarang ini adalah menghargai hak untuk hidup di atas hak-hak lain terutama yang berkaitan dengan hukuman mati.

Hak untuk Hidup

Pengujian materil [judicial review] yang dilakukan ini adalah dalam rangka memulihkan kembali hak untuk hidup dari ancaman hukuman mati yang tersebar di berbagai produk perundangan. Argumentasinya sederhana: yaitu semua perundangan yang hirarkinya di bawah UUD 1945 musti tak boleh bertentangan dengan prinsip hak untuk hidup yang dijamin oleh pasal 28A dan Pasal 28I [1] UUD 1945.

Dalam konteks ini pengujian materil ini betul-betul harus melihat konstitutionalitas produk perundangan karena inilah inti dari pengujian materil. Mahkamah Konstitusi [Mahkamah Agung di negara yang tak memiliki Mahkamah Konstitusi]. Dalam bahasa Robert Lowry Clinton Marbury v Madison and Judicial Review [1989] dikatakan,

“Judicial review as a term used to describe the constitutional power of a court to overturn statutes, regulations, and other governmental activities, apparently was an invention of law writers in the early twentieth century”

Dalam konteks pengujian materil ini Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai “guardian of constitution” atau “the sole interpreter of the constitution” dalam bahasa Justice Marshall dalam kasus Marbury v Madison yang terkenal itu. Di tangan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi inilah UUD 1945 dipasrahkan untuk dijaga agar jangan disubversi oleh produk perundangan yang meskipun lahir secara demokratis sesuai dengan suara mayoritas tetapi bisa saja tidak konsisten atau “in conflict” dengan UUD 1945. Uji materil terhadap UU No 22/1997 tentang Narkotika adalah bagian dari constitutional test terhadap Mahkamah Konstitusi yang harus menjaga integritas, semangat dan jiwa UUD 1945.

Walaupun sesungguhnya Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan pengujian materil juga berkewajiban menjaga agar setiap produk perundangan bukan saja harus taat asas terhadap UUD 1945 tetapi juga menjamin hak-hak fundamental dan termasuk hak-hak kelompok minoritas seperti dikatakan Ketua Mahkamah Agung Amerika, Justice Earl Warren, bahwa:

“... the essential function of the Supreme Court [in our case Constitutional Court] in our democracy is to act as the final arbiter of minority rights”.

Di sinilah sekali lagi penting untuk menggarisbawahi bahwa dalam negara hukum konstitusional setiap produk hukum baik itu UUD maupun produk perundangan di bawahnya haruslah melindungi hak-hak asasi manusia dan hak-hak kelompok minoritas. Inilah tes sebuah negara yang mengaku dirinya memiliki Rule of Law dan demokrasi. Dalam konteks ini apa yang dikatakan oleh Jesse H.Chopper, mantan Dekan School of Law, University of California, Berkeley, dalam bukunya Judicial Review and the National Political Process [1980] adalah benar yaitu,

“The political theory ordained by the Constitution forbids popular majorities to abridge certain rights of individuals even when the later may be part of the majority and even though their interest may be forcefully represented and carefully considered in the political process”.

Kita patut bersyukur bahwa UUD 1945 memberikan jalan bagi terciptanya check and balances antara lain melalui mekanisme hak uji materil [judicial review] seperti yang dituliskan dalam pasal 24C UUD 1945 yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifal final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Pengujian terhadap UU No 22/1997 tentang Narkotika adalah produk perundangan yang menurut kami mengandung materi muatan yang bertentangan dengan UUD 1945, dan karena itu harus dinyatakan dibatalkan dan tak mempunyai daya kekuatan hukum.

Suara Pembaruan, 7 November 2006

Video yang berhubungan