Hutang suami apakah tanggung jawab istri

Tanggung jawab istri terhadap hutang suami menurut hukum positif dan hukum Islam

Tersimpan di:

Main Author: MAGHFIROH, Neneng
Format: Bachelors
Terbitan: Fakultas Syariah dan Hukum

  • Lokasi
  • Deskripsi
  • Preview
  • Tampilan Petugas

Lokasi

KoleksiOPAC Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
GedungPerpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
InstitusiUIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KotaKOTA TANGERANG SELATAN
ProvinsiBANTEN
KontakButuh informasi lebih lanjut? Hubungi pustakawan institusi ini.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah

Utang suami yang meninggal dunia tidak serta-merta berpindah tangan kepada istri atau keluarga yang ditinggalkan.

Berutang memang penuh risiko. Baik risiko yang akan ditanggung oleh yang bersangkutan atau bahkan keluarga yang ditinggalkan. Misal, dalam kasus suami meninggal dunia. Persoalan ini memang memunculkan pertanyaan yang cukup membingungkan sebagian kalangan. Bila almarhum suami meninggalkan utang, apakah istri wajib membayarnya?

Sebelum menjelaskan hal itu, Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashal fi ahkam al-Marati menegaskan, pada dasarnya perempuan memiliki otoritas pengelolaan uang yang ia peroleh dari mata pencariannya sendiri. Ia berhak mendayagunakan apa pun sesuai dengan keinginannnya tanpa intervensi dari pihak manapun. Ini banyak ditegaskan di sejumlah ayat dan hadis Rasulullah SAW. Salah satu hadis itu, seperti kisah Barirah yang dinukilkan Aisyah.

Berdasarkan fatwa yang pernah dikeluarkan Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) Mesir, istri tidak memiliki kewajiban apa pun menanggung dan memenuhi utang almarhum suaminya. Tanggungan itu tidak serta-merta berpindah ke ahli waris. Bila tak terbayar, kewajiban utang itu menjadi tanggungan almarhum yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Jika kasus seperti ini, sebaiknya utang ter sebut ditutupi dari harta warisan almarhum sua mi. Karenanya, Islam menekankan agar sebelum pembagian harta waris, hendaknya utang dan wasiat didahulukan agar ditunaikan lebih dulu. Ini seperti yang ditegaskan dalam Alquran. “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.” (QS an-Nisaa’ [4]: 11).

Kecuali, jika memang Anda, para istri, merelakan harta untuk dialokasikan menutup utang almarhum. Ini merupakan bentuk tolong-menolong dalam kewajiban. Ketentuan serupa juga berlaku dalam kasus yang berutang dan meninggal adalah pihak istri. Suami yang ditinggalkan tidak secara otomatis menanggung beban tersebut.

Lalu, timbul pertanyaan, bolehkah istri meng alokasikan zakat ataupun sedekahnya untuk membayar utang suami yang telah berpulang? Para ulama berbeda pendapat. Menurut kelompok yang pertama, zakat mal tersebut tidak boleh diperuntukkan membayar utangutang almarhum suami tersebut. Opsi ini adalah pilihan sejumlah mazhab, yakni Hanafi, salah satu riwayat di Mazhab Syafi’i dan Hanbali.

Dalam pandangan kalangan kedua, peng alokasian dana zakat untuk suami yang dililit utang diperbolehkan. Ini dengan catatan, se lama kriteria seorang yang pailit akibat utang (gharim) terpenuhi. Pandangan ini dianut oleh Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali di salah satu riwayat.

Ibnu Taimiyah juga mengamini opsi tersebut. Imam ad-Dasuqi menambahkan, pengalokasian dana zakat hendaknya mengedepankan utang me reka yang meninggal dalam kondisi di atas dibandingkan dengan utang mereka yang masih hidup. Kelompok yang kedua beralasan sesuai de ngan ketetapan yang pernah dicontohkan Rasulullah. Rasulullah mengizinkan Zainab me nyerahkan zakat malnya untuk Abdullah bin Masud yang tak lain suaminya sendiri.

 “Ada dua pahala, pahala kekerabatan dan pahala sedekah,” sabda Rasul.

Utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan persetujuan pasangan.

Seorang suami kedapatan melayangkan keluhannya lewat artikel di Media Konsumen terkait utang istrinya pada 14 Maret lalu. Dalam artikel tersebut, penulis artikel atas nama Andri menyampaikan dirinya merasa diteror oleh tim penagihan salah satu bank swasta. Tagihan tersebut adalah tagihan atas nama istrinya.

Namun Andri mengaku tidak mengetahui keberadaan utang tersebut dan dia menolak untuk melunasi utang sang istri. Berdasarkan pengakuannya, saat ini dia dan istrinya sudah tidak melakukan komunikasi dan sedang dalam proses perceraian.

Lalu bagaimana sebenarnya status utang yang dibuat istri tanpa sepengetahuan suaminya tersebut? Apakah suami tetap bertanggung jawab untuk melunasi utang istri?

Dalam artikel Klinik Hukumonline bertajuk “Apakah Utang Istri Juga Merupakan Utang Suami?”, utang yang dibuat oleh istri tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan suami, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada harta suami (utang pribadi tidak dapat diambil pelunasannya dari harta pribadi pasangan), dan tidak dapat diambil pelunasannya dari harta bersama (akibat tidak adanya persetujuan).

Baca Juga:

  • Begini Aturan Hukum Nikah Beda Agama
  • Kesepakatan Damai Tidak Menggugurkan Perkara Laka Lantas

Dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) diatur mengenai harta benda dalam perkawinan. Harta benda dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, yang terhadap harta bersama tersebut, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Sedangkan, harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan isteri sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan ini berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang suami dan isteri tidak menentukan lain. Atas harta bawaan ini, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.

Artinya, penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan perkawinan tersebut, kecuali bila mengenai harta bersama diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015:

Apakah seorang istri bertanggung jawab atas utang utang suami?

Hutang Suami Tetap Menjadi Tanggungjawab Istri Meskipun Sudah Cerai. Berdasarkan Pasal 35 ayat 1 dan ayat 2 Jo. Pasal 36 Ayat 1 dan ayat 2, dengan penafsiran a contrario maka semua hutang-hutang yang terjadi pada saat perkawinan/selama perkawinan adalah tanggungjawab bersama.

Suami istri Cerai hutang ditanggung siapa?

Berdasarkan hasil penelitian atau analisis. kedudukan hukum hutang suami-istri setelah perceraian berdasarkan hukum positif di Indonesia yaitu pertanggungjawaban terhadap utang untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama.

Apakah utang merupakan harta bersama?

Dengan merujuk pada ketentuan tersebut barang yang dimiliki selama masa perkawinan meskipun dicicil atau masih merupakan hutang termasuk ke dalam harta bersama untuk kemudian dibagi sebagai gono-gini.

Apakah suami wajib membayar hutang istri yang sudah meninggal?

Jika merujuk pada ketentuan waris dalam KUH Perdata, berdasarkan ketentuan Pasal 1100 KUH Perdata, para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.