Dalam melaksanakan fungsi mediasi Komnas HAM berwenang untuk melakukan

Fungsi mediasi Komnas HAM secara eksplisit disinggung dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahkan fungsi itu langsung melekat pada pengertian Komnas HAM. Selain fungsi mediasi, Komnas HAM menjalankan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, dan pemantauan. Penghormatan dan penyelesaian kasus-kasus HAM antara lain bisa dilakukan lewat mediasi. Dengan kata lain, mediasi pada akhirnya bertujuan mendamaikan para pihak yang bertikai, terutama di daerah konlik, tanpa harus membawa-bawa kasus itu ke jalur pengadilan formal. Komnas adalah lembaga yang mestinya terus mendorong perdamaian dalam setiap konflik.

Hal itu juga dapat dilihat dari salah satu tujuan strategis Komnas HAM 2004-2008, yaitu tercapainya rekonsiliasi dan perdamaian di daerah konflik. Rekonsiliasi dan damai menjadi salah satu indikator terwujudnya kondisi yang kondusif bagi perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.

Untuk menjalankan fungsi mediasi itu, Komnas bukan hanya menunggu permintaan salah satu atau para pihak bersengketa. Menurut Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM, Komisi ini juga bisa mengambil prakarsa mendamaikan para pihak yang bersengketa. Komnas bisa bertindak secara proaktif mengajak para pihak yang bertikai untuk melakukan proses mediasi, ujarnya.

Kekuatan mengikat mediasi

Mediasi adalah salah satu fungsi yang diamanatkan UU No. 39 Tahun 1999. Pasal 89 ayat (4) lebih jauh menguraikan bahwa untuk melaksanakan fungsi mediasi itu, Komnas HAM bertugas dan berwenang atas lima hal. Pertama, mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai. Kedua, menyelesaikan perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Ketiga, memberikan saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Keempat, menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti. Kelima, menyampaikan rekomendasi kepada DPR atas suatu kasus pelanggaran HAM agar segera ditindaklanjuti.

Jika pihak yang berkonflik sepakat menyelesaikan pelanggaran HAM itu melalui jalur mediasi, maka anggota Komnas HAM ditunjuk sebagai mediator. Semua kesepakatan yang dicapai dibuat secara tertulis, ditandatangani kedua belah pihak, lalu dikukuhkan mediator. Apakah kesepakatan tertulis itu mengikat?

Pasal 96 ayat (3) UU HAM menegaskan bahwa keputusan yang dicapai melalui mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah. Jika salah satu pihak ingkar, pihak lain meminta kepada Pengadilan Negeri untuk menguatkan kesepakatan damai tadi. Agar kuat dan bisa dilaksanakan, pada putusan mediasi tertulis itu dituangkan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengadilan tidak boleh menolak permintaan penguatan akta perdamaian tadi.

Apakah benar demikian? Inilah yang merisaukan Ifdhal Kasim. Menurut Ketua Komnas HAM itu, selama ini yang jadi kendala adalah implementasi atau eksekusi dari kesepakatan yang dicapai lewat mediasi. Ifdhal menyadari bahwa kesepakatan melalui mediasi itu masih harus dicari kekuatan hukumnya ke pengadilan, dan selama ini telah menjadi masalah serius bagiu Komnas. Selama ini pengadilan negeri masih menolak memberikan kekuatan terhadap hasil kesepakatan mediasi karena --alasan mereka --belum ada petunjuk pelaksanaan dari MA, ujarnya.

Subkomisi tersendiri

Meskipun mediasi melekat pada fungsi Komnas HAM, posisinya selama ini kurang mendapat perhatian serius. Jalur pengadilan seolah menjadi prioritas. Terhitung sejak sejak Januari-Agustus 2007, pelaksanaan fungsi mediasi Komnas HAM melekat pada subkomisi-subkomisi yang ada pada struktur Komnas HAM kala itu. Jadi, mediasi lebih sebagai bagian dari Subkomisi Hak Sipil dan Politik, Subkomisi Hak Ekonomi Sosial Budaya, dan Subkomisi Perlindungan Kelompok Khusus.

Sejak September tahun lalu, struktur Komnas HAM dikembalikan berdasarkan fungsi-fungsi yang diamanatkan UU No. 39 Tahun 1999. Dengan demikian, sejak setahun terakhir, Subkomisi Mediasi sudah bisa terlihat dan menjadi bagian dari struktur Komnas HAM yang baru. Subkomisi ini sekarang ditangani oleh dua orang komisioner yaitu Kabul Supriyadhie dan Syafrudin Ngulma S.

Salah satu yang dilakukan Komnas HAM sejak perubahan struktur itu adalah menyusun prosedur standar pelaksanaan mediasi. Dalam rangka menyusun prosedur itu, Komnas membicarakannya dengan para pemangku kepentingan seperti Mahkamah Agung. Prosedur mediasi itu mestinya sudah rampung pada tahun ini.

Meskipun ada problem kekuatan hukum kesepakatan mediasi dan problem prosedural, Komnas HAM sudah mempraktikkan proses mediasi. Misalnya dalam konflik antara nelayan Desa Air Mati, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur dengan dengan perusahaan tambang PT Kideco Jaya Agung. Dalam pelaksanaan mediasi, Komnas bukan hanya mendengar keterangan nelayan dan perusahaan, tetapi juga Bupati dan Kapolres. Hingga Maret 2008, proses mediasi masih berlangsung.

Kasus lain yang tengah proses mediasi adalah warga Lorong 104 Rawabadak dengan Pemerintah Kota Jakarta Utara; dan kasus pembangunan bandara Kuala Namu, Deli Serdang, Sumatera Utara.


Page 2

Bacaan 2 Menit

Fungsi mediasi Komnas HAM secara eksplisit disinggung dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahkan fungsi itu langsung melekat pada pengertian Komnas HAM. Selain fungsi mediasi, Komnas HAM menjalankan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, dan pemantauan. Penghormatan dan penyelesaian kasus-kasus HAM antara lain bisa dilakukan lewat mediasi. Dengan kata lain, mediasi pada akhirnya bertujuan mendamaikan para pihak yang bertikai, terutama di daerah konlik, tanpa harus membawa-bawa kasus itu ke jalur pengadilan formal. Komnas adalah lembaga yang mestinya terus mendorong perdamaian dalam setiap konflik.

Hal itu juga dapat dilihat dari salah satu tujuan strategis Komnas HAM 2004-2008, yaitu tercapainya rekonsiliasi dan perdamaian di daerah konflik. Rekonsiliasi dan damai menjadi salah satu indikator terwujudnya kondisi yang kondusif bagi perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.

Untuk menjalankan fungsi mediasi itu, Komnas bukan hanya menunggu permintaan salah satu atau para pihak bersengketa. Menurut Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM, Komisi ini juga bisa mengambil prakarsa mendamaikan para pihak yang bersengketa. Komnas bisa bertindak secara proaktif mengajak para pihak yang bertikai untuk melakukan proses mediasi, ujarnya.

Kekuatan mengikat mediasi

Mediasi adalah salah satu fungsi yang diamanatkan UU No. 39 Tahun 1999. Pasal 89 ayat (4) lebih jauh menguraikan bahwa untuk melaksanakan fungsi mediasi itu, Komnas HAM bertugas dan berwenang atas lima hal. Pertama, mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai. Kedua, menyelesaikan perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Ketiga, memberikan saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Keempat, menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti. Kelima, menyampaikan rekomendasi kepada DPR atas suatu kasus pelanggaran HAM agar segera ditindaklanjuti.

Jika pihak yang berkonflik sepakat menyelesaikan pelanggaran HAM itu melalui jalur mediasi, maka anggota Komnas HAM ditunjuk sebagai mediator. Semua kesepakatan yang dicapai dibuat secara tertulis, ditandatangani kedua belah pihak, lalu dikukuhkan mediator. Apakah kesepakatan tertulis itu mengikat?

Pasal 96 ayat (3) UU HAM menegaskan bahwa keputusan yang dicapai melalui mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah. Jika salah satu pihak ingkar, pihak lain meminta kepada Pengadilan Negeri untuk menguatkan kesepakatan damai tadi. Agar kuat dan bisa dilaksanakan, pada putusan mediasi tertulis itu dituangkan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengadilan tidak boleh menolak permintaan penguatan akta perdamaian tadi.

Apakah benar demikian? Inilah yang merisaukan Ifdhal Kasim. Menurut Ketua Komnas HAM itu, selama ini yang jadi kendala adalah implementasi atau eksekusi dari kesepakatan yang dicapai lewat mediasi. Ifdhal menyadari bahwa kesepakatan melalui mediasi itu masih harus dicari kekuatan hukumnya ke pengadilan, dan selama ini telah menjadi masalah serius bagiu Komnas. Selama ini pengadilan negeri masih menolak memberikan kekuatan terhadap hasil kesepakatan mediasi karena --alasan mereka --belum ada petunjuk pelaksanaan dari MA, ujarnya.


Page 3

Bacaan 2 Menit

Subkomisi tersendiri

Meskipun mediasi melekat pada fungsi Komnas HAM, posisinya selama ini kurang mendapat perhatian serius. Jalur pengadilan seolah menjadi prioritas. Terhitung sejak sejak Januari-Agustus 2007, pelaksanaan fungsi mediasi Komnas HAM melekat pada subkomisi-subkomisi yang ada pada struktur Komnas HAM kala itu. Jadi, mediasi lebih sebagai bagian dari Subkomisi Hak Sipil dan Politik, Subkomisi Hak Ekonomi Sosial Budaya, dan Subkomisi Perlindungan Kelompok Khusus.

Sejak September tahun lalu, struktur Komnas HAM dikembalikan berdasarkan fungsi-fungsi yang diamanatkan UU No. 39 Tahun 1999. Dengan demikian, sejak setahun terakhir, Subkomisi Mediasi sudah bisa terlihat dan menjadi bagian dari struktur Komnas HAM yang baru. Subkomisi ini sekarang ditangani oleh dua orang komisioner yaitu Kabul Supriyadhie dan Syafrudin Ngulma S.

Salah satu yang dilakukan Komnas HAM sejak perubahan struktur itu adalah menyusun prosedur standar pelaksanaan mediasi. Dalam rangka menyusun prosedur itu, Komnas membicarakannya dengan para pemangku kepentingan seperti Mahkamah Agung. Prosedur mediasi itu mestinya sudah rampung pada tahun ini.

Meskipun ada problem kekuatan hukum kesepakatan mediasi dan problem prosedural, Komnas HAM sudah mempraktikkan proses mediasi. Misalnya dalam konflik antara nelayan Desa Air Mati, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur dengan dengan perusahaan tambang PT Kideco Jaya Agung. Dalam pelaksanaan mediasi, Komnas bukan hanya mendengar keterangan nelayan dan perusahaan, tetapi juga Bupati dan Kapolres. Hingga Maret 2008, proses mediasi masih berlangsung.

Kasus lain yang tengah proses mediasi adalah warga Lorong 104 Rawabadak dengan Pemerintah Kota Jakarta Utara; dan kasus pembangunan bandara Kuala Namu, Deli Serdang, Sumatera Utara.