Contoh peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945

Unjuk rasa mendesak pembatalan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016 tentang Penataan Lembaga Adat Kabupaten Gowa (selanjutnya disebut Perda Nomor 5 Tahun 2016) yang berujung pembakaran kantor DPRD Gowa beberapa waktu lalu (www.beritasatu.com; 27/9/2016), menarik dicermati. Sebab, berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan menjadi preseden buruk dalam pengembangan dan pelestarian adat budaya daerah.

Menjadi pertanyaan, apakah secara yuridis penetapan Perda Nomor 5 Tahun 2016 sudah tepat. Dalam arti, selaras dengan ketentuan peraturan pembentukan perundang-undangan. Terlepas jawabannya sudah atau belum, bagaimana sebaiknya menyikapi persoalan tersebut.

Sepintas lalu pembentukan Perda Nomor 5 Tahun 2016, boleh dikata sudah tepat. Sebab, selain sudah lama dibahas oleh pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Gowa, Perda itu sudah dikoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Ditjen Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri sebelum disahkan. Namun jika dicermati, proses dan substansi pembentukan Perda Nomor 5 Tahun 2016 itu bisa dikatakan cacat hukum dengan beberapa alasan.

Melanggar Hirarki

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berupa pengaturan lebih lanjut UUD 1945, UU, Perpu, PP, Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/ Kota diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, pembentukan Perda Nomor 5 Tahun 2016 ini tampaknya tidak sesuai azas pembentukan peraturan perundang-undangan, baik secara teoritis maupun normatif, sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.

Secara teoritis, Perda Nomor 5 Tahun 2016 ini melanggar azas tingkatan hirarki yang menyatakan peraturan yang lebih rendah derajatnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Sebab, Perda itu menabrak ketentuan Pasal 32 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan negara menjamin kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Artinya, yang melestarikan budaya adalah masyarakat dan dijamin

 kebebasannya oleh negara, bukan kepala daerah (bupati). Secara hirarki, juga bertentangan Pasal 1 poin 5 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menetapkan pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.

Dengan kata lain, bupati merupakan penyelenggara urusan pemerintahan di daerah kabupaten yang bertugas membina organisasi masyarakat (ormas), dan bukan berperan sebagai raja (sombayya). Rasionalisasi di balik “pembatasan” kedudukan bupati sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah adalah karena tugas dan wewenang bupati pada era otonomi daerah sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya sehingga tidak perlu dibebani tugas lain, seperti pimpinan ormas atau kepala adat, misalnya.

Urusan adat dan budaya seyogianya cukup dipercayakan kepada kepala adat (turunan raja) yang berperan sebagai simbol dan perekat adat budaya di daerah.

Selain itu, penetapan Perda Nomor 5 Tahun 2016 melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah. Sebab, dalam salah satu konsideran permendagri itu dinyatakan bahwa ormas di bidang kebudayaan, keraton, dan lembaga adat di daerah berpotensi besar untuk berperan serta dalam pengembangan dan pelestarian adat budaya.

Pun, dalam Pasal 1 poin 7 dan 8 Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 keberadaan keraton (kerajaan) dan lembaga adat diakui berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan adat budaya serta nila-nilai sosial budaya yang mengayomi lembaga dan masyarakat di daerah. Alasannya, karena kesejarahan atau asal usulnya keraton dan lembaga adat melakukan kegiatan pelestarian dan pengembangan adat budaya, serta berwenang mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan adat istiadat dan hukum adat di wilayahnya.

Tidak Taat Azas

Secara normatif, Perda Nomor 5 Tahun 2016 juga tidak luput dari pelanggaran terhadap berbagai azas pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik dan benar, sebagaimana disyaratkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Ambil contoh, azas ketertiban dan kepastian hukum yang mengamanatkan materi muatan peraturan perundang-undangan (perda) harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

Konflik yang terjadi saat pengukuhan Bupati Gowa sebagai Sombayya merupakan bukti konkret ketidaktertiban yang ditimbulkan Perda Nomor 5 Tahun 2016, dan munculnya ketidakpastian hukum akibat proses pembentukannya tidak taat azas. Bentrok antara Satpol PP Kabupaten Gowa dengan massa dari Andi Maddusila yang berpotensi menimbulkan konflik sosial itu, sekaligus merupakan pelanggaran terhadap azas pengayoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengharuskan Perda Nomor 5 Tahun 2016 itu memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.

Pembentukan perda idealnya mengakomodasi azas keterbukaan mulai dari proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, serta pengundangannya bersifat transparan dan terbuka. Namun azas ini pun dilanggar, terbukti aksi-aksi penolakan berupa unjuk rasa ke kantor DPRD Gowa yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat pada saat pembahasan rancangan Perda Nomor 5 Tahun 2016 ini diabaikan.

Aksi unjuk rasa itu sekaligus menganulir argumentasi pihak pemerintah daerah (bupati) dan DPRD Kabupaten Gowa yang menyatakan pembentukan perda sudah melalui proses yang transparan dan terbuka, bahkan sudah dikoordinasikan dengan Pemprov Sulawesi Selatan dan Ditjen Otda, Kemendagri.

Pasalnya, masih banyak masyarakat yang belum melihat dan membaca substansi Perda Nomor 5 Tahun 2016 sebelum ditetapkan, sehingga wajar bila beberapa kalangan menolak pengesahannya. Boleh jadi penolakan itu selain dipicu akibat pembahasan dan penetapan perda hanya melibatkan bupati dan aparatnya beserta DPRD Gowa, juga belum disosialisasikan dengan baik ke seluruh lapisan masyarakat.

Penolakan sebagian masyarakat tersebut berkonsekuensi menabrak ketentuan azas kekeluargaan yang menghendaki peraturan perundangundangan (perda) harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Perda Nomor 5 Tahun 2016 juga menyimpangi azas keadilan yang mengharuskan substansi perda merefleksikan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

Karena setidaknya telah merugikan Andi Maddusila selaku ahli waris Raja Gowa yang lebih tepat dikukuhkan sebagai Ketua Lembaga Adat di Kabupaten Gowa, ketimbang bupati Gowa, Adnan Ichsan Yasin Limpo yang tidak memiliki pertalian darah dengan para pendahulu kerajaan Gowa. Azas kedayagunaan dan kehasilgunaan yang mengamanatkan setiap peraturan perundang-undangan (perda) memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, juga dilanggar.

Sebab, pada kenyataannya masih banyak fenomena sosial dan urusan lain yang memerlukan penanganan ekstra dan segera --seperti pencurian, perampokan dan tindak pidana lainnya, serta infrastruktur (jalan dan jembatan) yang belum dikelola secara berdayaguna dan berhasilguna bagi masyarakat-- ketimbang mengurusi masalah pengukuhan sebagai kepala adat daerah, misalnya.

Selain itu, secara substansi Perda Nomor 5 Tahun 2016 mengabaikan tiga landasan keberlakuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Pertama, dasar filosofis yang menghendaki hukum (perda) mampu menciptakan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat.

Kedua, dasar sosiologis yang berkaitan kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Terakhir, dasar yuridis yang menghendaki adanya kesesuaian jenis dan materi muatan perda, mengikuti tata cara atau prosedur tertentu, serta harus sesuai peraturan yang tingkatannya lebih tinggi.

Dari paparan singkat di atas dapat dikatakan Perda Nomor 5 Tahun 2016 sebaiknya dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku untuk mencegah timbulnya konflik horizontal dan preseden buruk dalam pengembangan dan pelestarian adat budaya daerah, khususnya di Kabupaten Gowa. Karena selain melanggar hirarki pembentukan peraturan perundang-undangan, substansi dan proses pembentukannya tidak sesuai azas-azas yang disyaratkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Abdul Salam Taba, Alumnus Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar dan School of Economics, The University of Newcastle, Australia

Editor : Gora Kunjana ()