Ciri khas masjid kudus adalah adanya menara yang menyerupai bentuk

Merdeka.com - Masjid Al-Aqsa, sebuah nama masjid bersejarah di Kudus, Jawa Tengah memang kurang dikenal oleh mayoritas orang Indonesia. Masjid peninggalan Walisongo ini lebih akrab di telinga warga dengan nama Masjid Menara Kudus.

Pasalnya, masjid Al-Aqsa Kudus memiliki sebuah menara yang eksotis dan unik. Menara ini terlihat seperti sebuah bangunan candi peninggalan jaman Hindu dahulu. Menara berbentuk bangunan ciri khas Hindu inilah yang membuat orang lebih senang menyebutnya dengan Masjid Menara Kudus.

Masjid ini didirikan pada tahun 1549 M (956 H) oleh Jafar Shodiq alias Sunan Kudus yang tak lain ialah salah satu tokoh Walisongo yang merupakan penyebar agama Islam di tanah Jawa. Masjid Al-Aqsa punya sejarah yang cukup tua dan berperan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa khususnya.

Sebelum pendiriannya, masyarakat Kudus masih menganut kepercayaan agama Hindu. Pendirian Masjid Al-Aqsa dibuktikan dengan pembuatan prasasti berbahasa Arab oleh Sunan Kudus. Prasasti itu berisi empat hal, yaitu pendirian masjid pada tahun 956 H, oleh Jafar Shodiq, nama masjid 'Al-Aqsa', dan daerah di sekitarnya yang sebelumnya bernama Tajug kemudian dinamai 'Al-Quds' yang berasal dari 'Al-Quds (suci).

Konon, batu prasasti yang saat ini berada di atas mihrab dibawa langsung oleh Sunan Kudus dari Mekkah. Masjid Al-Aqsa telah melalui beberapa kali renovasi dan pemugaran serta perbaikan dari zaman ke zaman sehingga bentuk dan kondisinya mengalami perubahan total.

Renovasi pertama dilakukan tahun 1918, dan semuanya bangunan utama masjid diganti kecuali bagian mihrab dan prasasti. Selain itu, bagian luar masjid seperti menara, gapura, dan tembok yang semuanya terbuat dari bata merah terlihat masih utuh dan tidak mengalami bentuk perubahan untuk mempertahankan ciri khasnya.

Sebagai perekat, Sunan Kudus memakai metode menggosok-gosokkan antar batu. Berdasarkan sebuah penelitian beberapa ilmuwan, penggosokan dibantu pemakaian serbuk kulit kerang agar lebih mudah.

Bangunan menara yang seperti candi Hindu jadi bagian khas dari Masjid Al-Aqsa. Memang masih diperdebatkan, apakah menara tersebut merupakan peninggalan budaya Hindu atau memang peninggalan Sunan Kudus sendiri. Namun, alasan kedua lebih kuat di mata masyarakat sekitar sebab tata letak menara menghadap ke Barat, berbeda dengan candi Hindu yang menghadap ke gunung, sedangkan Gunung Muria terletak di utara Kudus.

Pada menara juga tidak ditemukan arca dan ukiran, yang justru banyak ditemui di setiap candi Hindu. Terdapat tiga buah gapura di lingkungan masjid namun sudah beberapa kali mengalami renovasi, kini dua buah gapura telah berada di bagian dalam masjid.

Di atas pintu gapura pertama (paling dalam) dan kedua, terdapat ukiran kayu berisi tulisan berbahasa Jawa berhuruf Arab yang berbunyi; "Pintu ini dibuat pada zaman pemerintahan Aryo Paninggaran,'.

Pada bagian belakang masjid, ada komplek Makam Sunan Kudus yang selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh pelosok daerah di Indonesia. Di kompleks makam yang bersekat-sekat ini juga terdapat ratusan makam lainnya dari keluarga beliau, para pangeran, panglima, dan sahabat beliau. Makam Sunan Kudus sendiri terletak paling dalam. Setiap tanggal 10 Muharram, ada tradisi buka luwur, yakni penggantian kain kelambu makam dengan yang baru.

Keunikan Mesjid Menara Kudus ini membuktikan adanya toleransi dan keharmonisan hubungan antar umat beragama pada masa lampau. Selain mendirikan masjid yang mirip dengan candi, setiap ada perayaan Idul Adha, Sunan Kudus melarang masyarakat sekitar menyembelih sapi. Alasannya, sapi merupakan hewan yang dimuliakan dalam agama Hindu.

Bahkan sampai saat ini, cukup sulit menemukan masakan berbahan daging sapi di Kudus. Contoh konkret, soto yang di daerah lain menggunakan daging sapi, di Kudus dan sekitarnya menggunakan daging kerbau. Sampai saat ini, kepercayaan itu masih dipegang teguh oleh masyarakat di sekitar Masjid Menara Kudus dan sekitarnya seperti di daerah, Pati, Jepara dan sekitarnya.

Keindahan Masjid Menara Kudus mengingatkan kita kembali akan pentingnya menjaga toleransi antarumat beragama yang telah ada sejak lama. Perbedaan agama bukanlah alasan untuk saling menonjolkan ajaran, menyombongkan panutan. Namun, dengan agama yang berbeda kita malah justru harus bisa dipersatukan dalam suasana indah dan mesra.

Halo anak Nusantara! Kudus adalah salah satu kota yang berada di daerah Jawa Tengah. Salah satu peninggalan yang cukup terkenal di kota ini adalah Masjid Menara Kudus. Masjid ini adalah objek wisata religi khas Kudus yang unik. Jika kalian ingin tahu lebih dalam mengenai sejarah masjid ini, simak pembahasan Munus berikut.

Masjid Menara Kudus, Sebuah Masjid Unik Bergaya Hindu-Jawa-Islam

Ciri khas masjid kudus adalah adanya menara yang menyerupai bentuk
Masjid Menara Kudus, Sebuah Masjid Unik Bergaya Hindu-Jawa-Islam (sumber: Portal Kudus)

Masjid Menara Kudus memiliki peran penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Masjid Menara Kudus merupakan peninggalan Sunan Kudus atau juga dikenal dengan Syekh Ja’far Shodiq. Masjid ini terletak di Kecamatan Kauman, Kota Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Masjid yang memiliki nama asli Masjid Al-Manar dan Masjid Al-Aqsha ini dibangun pada tahun 1549.

Masjid ini memiliki keunikan yang membuatnya berbeda dengan masjid-masjid lain di Indonesia. Terdapat akulturasi budaya Hindu, Jawa, dan Islam dalam bangunannya. Para ahli mengatakan bahwa masjid ini adalah bentuk perpaduan dari berbagai budaya yang berkembang di Jawa pada saat itu.

Sejarah Masjid Menara Kudus

Masjid Menara Kudus dibangun oleh Sunan Kudus. Beliau termasuk salah satu dari Walisongo yang mempelopori penyebaran agama Islam di Indonesia. Sunan Kudus adalah seorang sosok yang cukup handal dalam menyebarkan Islam. Ia menggunakan berbagai cara yang dapat diterima masyarakat yang pada saat itu masih memeluk agama Hindu. Sunan Kudus juga merupakan seorang senopati dari Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama yang ada di pulau Jawa.

Oleh karena itu, Masjid Menara Kudus dibangun. Bangunan masjid ini mengambil konsep akulturasi budaya. Akulturasi Masjid Menara Kudus adalah perpaduan dari budaya Hindu, Jawa, dan Islam yang berasal dari Arab. Bukti nyatanya dapat dilihat dari menara dan bentuk bangunan yang menyerupai candi kerajaan Hindu. Hal ini dilakukan Sunan Kudus supaya masyarakat tidak merasa asing dengan masjid. Sebagai hasilnya, penolakan dari masyarakat tidak terjadi dan penyebaran agama Islam dapat dilaksanakan dengan mudah.

Baca Juga:  Kerajaan Singasari: Sejarah, Letak, Raja, dan Peninggalan

Arsitektur Masjid Menara Kudus

Masjid Menara Kudus memiliki luas tanah sebesar 5000 meter persegi dan dikelilingi oleh tembok pembatas. Tembok ini berfungsi untuk memisahkan masjid dengan rumah warga yang ada di sekelilingnya. Jalan utama masjid yang berada di bagian utara dan selatan berbentuk gapura yang bernama Gapura Bentar. Gerbang bagian utara berfungsi untuk jalan langsung menuju masjid, sedangkan gerbang selatan berfungsi sebagai jalan menuju kompleks pemakaman masjid.

Ciri khas masjid kudus adalah adanya menara yang menyerupai bentuk
Arsitektur Masjid Menara Kudus (sumber: Blog Surya Hardhiyana)

Setelah kalian memasuki kompleks masjid, kalian akan melihat menara yang menjadi ciri khas masjid ini. Menara kudus memiliki tinggi sekitar 18 meter dengan luas sebesar 100 meter persegi dan pada bagian bawah menara terdapat motif yang berasal dari budaya Hindu. Seperti candi peninggalan kerajaan Hindu, menara ini terbuat dari bata merah yang dihiasi dengan 32 piring keramik.

Bagian kepala menara berbentuk empat batang sak guru yang terbuat dari kayu jati dan menopang dua tajug. Di bagian atap tajug tersebut, terdapat mustaka yang merujuk pada ciri khas bangunan Hindu-Jawa.

Menara Kudus terdiri dari tiga bagian yaitu bagian kepala, badan, dan kaki. Bagian kepala menara berisi sebuah bedug yang berfungsi sebagai penanda waktu shalat. Bagian badan menara berisi ruangan atau relung kosong. Relung dalam bangunan bercorak Hindu biasanya berisi patung atau arca. Bagian kaki menara terdapat motif khas budaya Hindu. 

Masjid ini menghadap ke arah kiblat atau Ka’bah. Atap dari masjid juga mengambil ciri khas arsitektur Hindu, yaitu berbentuk tumpang dengan jumlah yang ganjil. Banyaknya elemen Hindu dalam masjid ini tidak mengurangi nilai nilai dan pedoman Islam. Perpaduan ini dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat saat itu.

Baca Juga:  Sejarah Perjanjian Giyanti: Latar Belakang, Isi, & Dampaknya

Bentuk masjid yang seperti candi ini bertujuan untuk menyesuaikan kondisi masyarakat saat itu yang masih familiar dengan budaya Hindu. Jika kalian ingin mengetahui  bentuknya, berikut adalah gambar Masjid Kudus:

Fakta Menarik Seputar Masjid Menara Kudus

Selain gaya arsitekturnya yang merupakan akulturasi dari budaya Hindu dan Islam, Masjid Menara Kudus juga punya fakta-fakta menarik lainnya. Berikut adalah fakta menarik seputar Masjid Kudus:

Ciri khas masjid kudus adalah adanya menara yang menyerupai bentuk
Tempat Wudhu Dari Zaman Hindu (sumber: Good News From Indonesia)

1. Adanya Mitos Rajah Kalacakra

Masjid Menara Kudus mempunyai sejumlah mitos. Salah satu mitos tersebut adalah tentang Rajah Kalacakra. Rajah Kalacakra sendiri adalah sebuah doa yang dipasang oleh Sunan Kudus di bagian pintu masuk masjid. Rajah Kalacakra dipercaya dapat melemahkan orang orang yang memiliki kekuatan lebih, kekuatan yang dimaksud adalah tenaga dalam.

Mitos lainnya adalah jika seorang penguasa yang tidak jujur melewati pintu masuk tersebut, Ia akan kehilangan kekuasaannya. Berbagai mitos tersebut masih sering terdengar sampai saat ini. Oleh karena itu, jika ada para pejabat yang bermaksud ziarah ke masjid ini, mereka akan memilih melewati pintu yang lain. 

2. Menyimpan Sebuah Batu Perisai Dari Palestina

Masjid ini menyimpan sebuah batu berbentuk perisai yang terdapat tulisan berbahasa Arab. Ukuran batu ini sekitar 46 x 30 cm. Dipercayai bahwa batu perisai tersebut berasal dari Baitul Maqdis atau Al-Quds yang berada di Palestina. Arti dari Al-Quds adalah kudus atau suci,

3. Rumor Mengenai Sumber Mata Air Kehidupan

Menara Kudus memiliki sebuah rumor. Menara ini sebenarnya adalah bekas candi peninggalan Hindu, ada juga yang mengatakan di bawah menara terdapat sumber mata air kehidupan. Mata air ini disebut mata air kehidupan karena dipercaya dapat membangkitkan mahluk yang sudah mati. Takut jika mata air ini akan disalah gunakan dan menjadi berhala, maka dibangunlah Menara Kudus untuk menutup keberadaan sumber air tersebut. 

Baca Juga:  Hotel Yamato: Kronologi, Latar Belakang, dan Saat ini

4. Tempat Wudhu Dari Zaman Hindu

Di dalam masjid Menara Kudus terdapat sebuah kolam berbentuk padusan yang sudah ada sejak zaman Hindu. Kolam ini kemudian diadaptasi menjadi tempat wudhu yang dapat digunakan. Meski begitu, hingga sekarang masyarakat sebenarnya masih dipertanyakan apakah benar jika tempat wudhu itu berasal dari zaman Hindu atau justru dibuat oleh Sunan Kudus sendiri.

Wisata Masjid Menara Kudus

Bagi kalian yang ingin melakukan wisata ke Masjid Kudus, perjalanan yang ditempuh tidak sulit. Setelah melewati Kabupaten Kudus, kalian harus menuju ke pusat kota Kudus. Masjid Kudus dapat dikunjungi kapan saja. Jika kalian sudah sampai ke masjid ini, kalian dapat melakukan ziarah ke makam Sunan Kudus yang berada di belakang Masjid Kudus. Tentu saja, kalian juga dapat melakukan ibadah shalat di masjid. 

Daerah sekitar masjid juga terdapat banyak toko-toko cinderamata dan makanan khas Kudus. Toko oleh-oleh di area ini biasanya menjadi tempat wajib para wisatawan untuk membeli cinderamata setelah selesai berwisata di Masjid Kudus. Jika merasa tidak cocok dengan makanan yang ada di sekitar area masjid, kalian juga dapat mencari toko-toko makanan ke arah pusat kota yang berada tidak jauh dari masjid.

Baca juga: Sejarah Masjid Agung Banten & Keunikan Arsitekturnya

Masjid Menara Kudus adalah akulturasi budaya Islam, Hindu, dan Jawa. Seacra tidak langsung, masjid ini telah menjadi bukti nyata wujud toleransi antar umat beragama. Semangat toleransi yang diberikan oleh Sunan Kudus perlu kita praktikan dalam kehidupan kita sehari hari sebagai warga negara Indonesia yang hidup berdampingan dengan berbagai budaya dan agama.