Bolehkah sajadah dijadikan alas tidur

Bulan Ramadhan tiba-tiba datang merangkul para muslimin yang berbahagia di zaman yang waktu sudah begitu cepat ini. Pintu-pintu masjid dibuka lebar, setiap sajadah yang masih tergulung dihamparkan. Kalian tahu sesuatu yang agung akan datang ketika banyak masjid yang mulai dipasang tirai-tirai (pemisah jamaah pria dan wanita).

Ramadhan pertama dimulai. Setiap orang memakai pakaian terbaiknya. Setiap manusia yang bahkan saya tidak tahu darimana datangnya tiba-tiba mengisi masjid hingga membludak yang tadinya bahkan tiga shaf pun tidak dapat. Begitu juga para wanita, khususnya kaum ibu. Membawa perhiasan shalat terbaiknya demi menyambut datangnya bulan mulia ini.

Iqamat dikumandangkan, setiap orang berdiri dengan suasana haru. Tarawih pertama! Ini adalah tarawih pertama! Imam mulai berpetuah kepada para jamaah sebelum shalat dimulai,

Luruskan shaf kalian, karena meluruskan shaf bagian dari kesempurnaan shalat.
(HR. Muslim 433)

Semua hening, semua diam. Benar, diam di sini adalah hampir tidak ada gerakan apapun dari para jamaah, tidak pula mendengarkan imam. Mungkin petuah imam hanyalah dirasa sebagai pemanis biasa. Hampir tidak ada yang merapatkan barisan, terutama mereka yang membawa sajadah terbaiknya dari rumah.

Padahal di masjid sudah ditebar sajadah-sajadah yang diberi wewangian.

Banyak sajadah yang telah beralih fungsi dari alas shalat menjadi alas ego. Bahkan tidak sedikit orang yang risih ketika orang lain menginjak sajadahnya atau sajadahnya sedikit tertutupi sajadah orang lain.

Seriously, tidak ada orang yang ingin tahu seberapa mahal dan bagus sajadah kalian. Yang diwajibkan adalah menutup celah agar tidak ada ‘yang masuk’ mengisi celah tersebut. Semua shaf menjadi renggang, bahkan sangat renggang karena ego masing-masing membawa sajadah yang besar-besar, terutama kaum wanita yang memang sering terpantau. Kaum pria juga ada, namun tidak begitu banyak.

Jangan karena sajadah, kita menodai hari pertama Ramadhan.

Shaf tidak ingin diluruskan, itu sudah membantah secara terang-terangan anjuran Rasulullah yang disampaikan via lisan imam.

Ego dan keangkuhan berdiri di atas sajadah lebar yang terbentang.

Bahkan tidak jarang yang bersaing sajadah mana yang paling terletak di paling atas. Berlomba-lomba menutupi sajadah yang lain.

Giliran mendapat kesempatan untuk berbagi sajadah, selalu yang bagian kaki yang diberikan pada orang lain.

Jangan sampai sebuah alas suci yang digunakan untuk menunaikan kewajiban mulia, menjadi sebuah sarana untuk  memfasilitasi ego dan keangkuhan orang-orang. Maka shalat di atas tanah mungkin lebih baik jika kenyataannya demikian.

Shalat di Atas Sajadah Bid’ah? Begini Penjelasan Ahli Hadits Dr Zainuddin MZ Lc MA penulis

Shalat di Atas Sajadah Bid’ah? Begini Penjelasan Ahli Hadits Dr Zainuddin MZ Lc MA, Direktur Markaz Turats Nabawi (Pusat Studi Hadits).

Table of Contents Show

  • Sikap Sujud
  • Shalat di Atas Hamparan
  • Catatan Akhir

Pengantar

انَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ سَيِّآتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَ مَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَ نُصَلِّى وَ نُسَلِّمُ عَلَى رَسُوْلِهِ الْكَرِيْمِ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Selesai mengisi pengajian rutin di Masjid Al-Kautsar kawasan Tanjung Sadari Perak, saya didatangi dua orang utusan dari seorang tokoh salafi yang memberi hadiah sebuah buku kecil bertajuk Shalat di Atas Sajadah Bid’ah.

Pada mukadimahnya, penulisnya memaparkan bahwa dewasa ini banyak orang yang tidak mengerti tuntunan dalam membangun masjid. Ia juga menyoroti kekeliruan renovasi Masjid an-Nabawi yang berlantaikan marmer dan bertingkat, sehingga jamaah sujud bukan di bumi tetapi di atas keramik bahkan pada cor-coran lantai.

Kemudian dengan bangganya ia membangun masjid seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, tanpa keramik, tanpa sajadah, melainkan anggota sujud dapat nempel langsung pada bumi.

Desain Masjid an-Nabawi pada awal pembangunannya dasarnya adalah tanah biasa yang berpasir sehingga Ali bin Abi Thalib yang sering tidur di masjid tanpa alas membuat jasadnya banyak tertempel pasir, maka ia dijuluki Rasulullah saw dengan Abu Turab (bapaknya pasir).

Dengan kondisi yang sedemikian rupa, maka orang yang melaksanakan shalat dapat mengenakan alas kaki, apakah berupa sandal atau sepatu stewel atau lainnya. Berbeda jika telah dihampari kain hambal, atau sajadah, apakah mungkin seorang mengamalkan shalat dengan mengenakan alas kaki?

Orang yang sedang shalat di masjid pun diperbolehkan meludah, bukan ke arah depan dan bukan pula ke sisi kanan, melain-kan ke sisi kaki kirinya, walaupun perilaku seperti itu dinilai sebuah kesalahan, namun kafaratnya hanya menguburkannya ke bumi dengan kakinya, maka bebaslah ia dari kesalahan tersebut.

Empat puluh kader Rasulullah saw tidak mungkin tidurnya tertampung di Sufah. Memang sebagian kader Nabi saw. merupakan santri kalong, sehingga saat tidur malam mereka pulang dan istirahat bersama keluarganya. Namun kebanyakannya, di samping dua sahabat Abu Hurairah dan Anas yang ditempatkan di bilik belakang rumah Rasulullah saw., mereka beristirahat di Sufah, dan itupun tidak mencukupi sehingga sebagaian mereka tidurnya di masjid.

Kenyataan dewasa ini, lantaran masjid sudah dihampari hambal atau sajadah atau lainnya, maka tidak mungkin lagi ditempati untuk tidur, bahkan ditemukan adanya larangan keras untuk tidur di masjid, seperti ini jelas menyalahi syariat Islam.

Sikap Sujud

Dalam hadits shahih diterangkan bahwa untuk sujud memang ada tujuh anggota badan yang harus diletakkan pada bumi dengan mantap. Apalagi wajah dan hidung, keduanya harus diletakkan dengan mantap pada bumi. Di antara haditsnya adalah sebagai berikut:

Hadits Ibnu Abbas ra

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أُمِرْنَا أَنْ نَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ) (عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ, وَالرُّكْبَتَيْنِ, وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ, وَلَا نَكْفِتَ) (ثَوْبًا وَلَا شَعَرًا)

Dinarasikan Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. bersabda: (Kami diperintah sujud pada tujuh anggota badan) (Yaitu wajah –dan beliau mengisyaratkan hidungnya-, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung-ujung telapak kaki. Kami dilarang mendekap) (pakian atau rambut). Hr. Bukhari: 777, 779; Muslim: 490; Tirmidzi: 273; Nasai: 1093, 1097; Ibnu Majah: 884; Ahmad: 2658

Hadits Ibnu Abbas ra

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: (سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الصَّلَاةِ) (فَقَالَ لَهُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا تَوَضَّأتَ فَخَلِّلْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ وَرِجْلَيْكَ) وَفِي رِوَايَةٍ: (اجْعَلْ الْمَاءَ بَيْنَ أَصَابِعِ يَدَيْكَ وَرِجْلَيْكَ) (وَإِذَا رَكَعْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ حَتَّى تَطْمَئِنَّ, وَإِذَا سَجَدْتَ فَأَمْكِنْ جَبْهَتَكَ مِنْ الْأَرْضِ, حَتَّى تَجِدَ حَجْمَ الْأَرْضِ)

Ibnu Abbas ra. berkata: (Seorang bertanya Nabi dalam masalah shalat) (Lalu Nabi saw. bersabda: Jika anda wudhu, selah selahilah antar jari-jari tangan dan kakimu). Dalam riwayat lain: (Jadikan air pada jemari tangan dan kakimu) (Jika anda ruku’, maka letakkan kedua telapak tanganmu pada lutut hingga tumakninah, dan jika anda sujud, maka letak-kan dahimu pada bumi dengan mantap, sehingga anda merasakan kadar bumi). Hr. Hakim: 648; Tirmidzi: 39; Ibnu Majah: 447; Ahmad: 2604.

Hadits Abbas bin Abdul Muthalib ra

وَعَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا سَجَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَةُ أَطْرَافٍ وَفِي رِوَايَةٍ: (سَبْعَةُ آرَابٍ) وَجْهُهُ, وَكَفَّاهُ, وَرُكْبَتَاهُ, وَقَدَمَاهُ

Dinarasikan Abbas bin Abdul Muthalib ra., Rasulullah saw. bersabda: Jika seorang sujud, maka sujudlah bersamanya tujuh ujung (anggota) tubuhnya. Yaitu wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua telapak kakinya). Hr. Muslim: 491; Abu Dawud: 891; Tirmidzi: 272; Nasai: 1099 dan Ibnu Majah: 885.

Atsar Ibnu Umar ra

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: إِنَّ الْيَدَيْنِ تَسْجُدَانِ كَمَا يَسْجُدُ الْوَجْهُ, فَإِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ وَجْهَهُ فَلْيَضَعْ يَدَيْهِ, وَإِذَا رَفَعَهُ فَلْيَرْفَعْهُمَا

Ibnu Umar ra. berkata: Sesungghnya kedua telapak tangan harus sujud sebagai-mana wajah. Maka jika seorang kalian meletakkan wajahnya, hendaklah ia juga letakkan kedua telapak tangannya. Jika mengangkatnya, maka angkatlah pula kedua telapak tangannya. Hr. Abu Dawud: 892; Nasai: 1092; Ahmad: 4501.

Menurut salafi, dalam pencarian hadits tidak pernah ditemukan adanya contoh dari Rasulullah saw. atau petunjuk beliau seseorang sujud di atas sajadah. Padahal hukum asal beribadah adalah haram, kecuali jika ada perintah.

Shalat di Atas Hamparan

Memang tidak ditemukan redaksi sajadah atau hambal dalam literatur hadits, karena kedua nama itu serapan dari perkembangan teknologi. Namun ditemukan beberapa hadits yang menggambarkan sujud pada beberapa hamparan, seperti tikar, lantai, sajadah kecil, kain, sorban dan sebaginya.

Yang dipersyaratkan adalah sucinya tempat shalat, bahkan diperbolehkan shalat di tempat kandang kambing, walaupun tidak diperkenankan melakukan shalat di tempat kandang unta. Karena semua bumi Allah layak dijadikan tempat shalat dan dijadikan alat kesucian, kecuali tempat-tempat yang telah dikhususkan oleh Rasulullah saw. Berikut ini hadits haditsnya:

Hadits Anas ra

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: (دَعَتْ جَدَّتِي مُلَيْكَةُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ لَهُ، فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ: قُومُوا) (فَلأُصَلِّ بِكُمْ) (قَالَ أَنَسٌ: فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدِ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ) (مَا لَبِثَ فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ) (فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ، وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا، فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ)

Anas bin Malik ra. berkata: (Nenekku Mulaikah mengundang Nabi saw dalam suatu jamuan makan bagi beliau. Lalu Nabi saw. datang menikmatinya lalu bersabda: Berdirilah) (aku akan shalat bersama kalian) (Anas berkata: Akupun shalat di atas tikar kami yang sudah menghitam karena usangnya) (lalu aku menyiramnya) (Lalu Rasulullah saw. berdiri mengimami kami sedangkan kami bersama anak yatim di belakangnya, sementara nenekku berada di shaf belakang kami. Lalu Nabi saw. shalat dua rakaat lalu pergi). HR Bukhari: 373, 822; Muslim: 658; Abu Dawud: 612; Tirmidzi: 234; Nasai: 801; Ahmad: 12362.

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: صَنَعَ بَعْضُ عُمُومَتِي لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي أُحِبُّ أَنْ تَأكُلَ فِي بَيْتِي وَتُصَلِّيَ فِيهِ، قَالَ: فَأَتَاهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي الْبَيْتِ فَحْلٌ مِنْ هَذِهِ الْفُحُولِ فَأَمَرَ بِنَاحِيَةٍ مِنْهُ فَكُنِسَ وَرُشَّ، فَصَلَّى وَصَلَّيْنَا مَعَهُ

Hadits Anas ra

Anas bin Malik ra. berkata: Sebagian nenekku membuatkan hidangan makan untuk Rasulullah saw Lalu ia berkAta kepada Nabi: Sesungguhnya aku suka jika tuan makan di rumahku dan shalat padanya. Lalu Nabi saw mendatanginya di rumah yang bertikar lusuh. Lalu Nabi saw. menyuruh agar salah satu sudut tikarnya itu dibersihkan, lalu beliau dan kami shalat berjamaah di tempat itu. HR Ibnu Hibban: 5295; Ibnu Majah: 756; Ahmad: 12325; Ibnu Abi Syaibah: 4025.

Hadits Anas ra

أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُ أُمَّ سُلَيْمٍ، فَتُدْرِكُهُ الصَّلَاةُ أَحْيَانًا، فَيُصَلِّي عَلَى بِسَاطٍ لَنَا، وَهُوَ حَصِيرٌ نَنْضَحُهُ بِالْمَاءِ

Anas bin Malik ra berkata: Rasulullah saw mendatangi rumah Umu Sulaim, yang kadang bersamaan waktu shalat. Lalu beliau shalat pada lantai, berupa tikar yang telah kami sucikan. Hr. Abu Dawud: 658.

Hadits Anas ra

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ، فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمَكِّنَ وَجْهَهُ مِنَ الْأَرْضِ، بَسَطَ ثَوْبَهُ فَسَجَدَ عَلَيْهِ

Anas bin Malikr ra. berkata: Kami shalat berjamaah bersama Rasulullah saw. pada saat panas yang sangat terik. Jika seorang di antara kami tidak mampu meletakkan wajahnya ke bumi –lantaran panas-, maka ia membeberkan kain pakaiannya lalu sujud padanya. HR Bukhari: 1150; Muslim: 620; Abu Dawud: 660; Ibnu Majah: 1033.

Hadits Anas ra

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، فَرُبَّمَا تَحْضُرُ الصَّلَاةُ وَهُوَ فِي بَيْتِنَا، فَيَأْمُرُ بِالْبِسَاطِ الَّذِي تَحْتَهُ فَيُكْنَسُ، ثُمَّ يُنْضَحُ، ثُمَّ يَؤُمُّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنَقُومُ خَلْفَهُ فَيُصَلِّي بِنَا، وَكَانَ بِسَاطُهُمْ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ

Anas bin Malik ra. berkata: Rasulullah saw. adalah suri teladan yang baik dalam moral-nya. Kadang masuk waktu shalat di rumah kami, beliau memerintah membeberkan hamparan lalu dibersihkan dan diperciki, dan beliau mengimami kami. Hamparan itu terbuat dari pelepah daun kurma. HR Muslim: 659.

Hadits Maimunah ra

عَنْ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى الْخُمْرَةِ

Maimunah –istri Nabi saw.- berkata: Rasulullah saw. shalat pada sajadah kecil. HR Bukhari: 374; Muslim: 513; Tirmidzi: 331; Nasai: 738.

Hadits Abu Sa’id al-Khudri ra

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي عَلَى حَصِيرٍ يَسْجُدُ عَلَيْهِ

Abu Sa’id al-Khudri ra. berkata: Aku men-jumpai Rasulullah saw. dan aku menyaksikan beliau shalat di atas tikar dan sujud padanya. HR Muslim: 519; Tirmidzi: 332; Ibnu Majah: 1029; Ahmad: 11507.

Hadits Jabir bin Abdullah ra

وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: (كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ, فَآخُذُ قَبْضَةً مِنْ حَصًى فِي كَفِّي أُبَرِّدُهُ, ثُمَّ أُحَوِّلُهَا فِي كَفِّي الْآخَرِ, فَإِذَا سَجَدْتُ وَضَعْتُهُ لِجَبْهَتِي) (مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ)

Jabir bin Abdullah ra. berkata: (Kami shalat Dzuhur berjamaah bersama Rasulullah saw. Lalu aku mengambil segenggam kerikil pada telapak tanganku untuk mendinginkan, lalu aku pindahkan ke telapak tangan lainnya. Jika sujud aku meletakkannya pada dahiku) (lantaran teriknya panas). HR Abu Dawud: 399; Nasai: 1081; Ahmad: 14546. Arnauth menilai sanadnya hasan.

Atsar Hasan Basri

وعَنِ الْحَسَنِ البَصْرِي قَالَ: إِنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْجُدُونَ وَأَيْدِيهِمْ فِي ثِيَابِهِمْ، وَيَسْجُدُ الرَّجُلُ مِنْهُمْ عَلَى عِمَامَتِهِ

Hasan Basri berkata: Para sahabat Rasulullah saw. sujud dan tangan mereka pada kainnya, dan ada orang yang sujud pada sorbannya. HR Bukhari secara mualaq pada hadits: 4813; Baihaqi: 2498; Ibnu Abi Syaibah: 2754. Abdurrazaq: 1566.

Analisis

Dari paparan hadits-hadits di atas ditemu-kan ternyata Rasulullah saw. dan salafu saleh shalat menggunakan berbagai macam hamparan. Seperti tikar, ketika tampak kotor maka disapu dan diperciki air terlebih dahulu. Ada kalanya mereka sujud pada sorban atau kain yang dimungkinkan karena cuaca terlalu panas sehingga para sahabat tidak dapat menahan panasnya.

Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga memberi contoh bolehnya shalat di atas hamparan. Dalam riwayat Maimunah (istri Nabi SAW) bahwa Rasulullah SAW shalat pada humrah, yang biasanya diterjemahkan sajadah kecil. Demikian pula pada riwayat Aisyah yang diperintah Nabi saw. untuk mempersiapkannya sebagai tempat shalat.

Adapun munculnya larangan tidur di masjid, atau shalat menggunakan alas kaki atau meludah dan sebagainya, hal ini dikarenakan kondisi masjid bukan lagi seperti tempo dulu, maka sebuah hukum bisa berubah saat adanya perubahan kondisi.

Dan walaupun masjid telah dihampari sajadah atau karpet atau hambal, maka sesungguh-nya seorang yang sedang shalat masih bisa meludah sewaktu shalat dengan cara yang sedemikian rupa, misalnya meludah pada tisu atau kain lalu menyimpannya dan membuangnya setalah shalat.

Catatan Akhir

Jika yang dimaksud anggota sujud harus menempel pada bumi tidak boleh ada sajadah yang menghalanginya, tentunya kedua lutut juga tidak boleh ada yang menghalanginya dengan kain sarung atau celana atau lainnya. Semestinya pada kedua lutut itu diberi lobang sedemikian rupa sehingga dapat menempel langsung pada bumi.

Mungkinkah hal seperti ini dilakukan? Sebab cara seperti itu harus dilaksanakan baik oleh laki-laki maupun perempuan? Bahkan seorang boleh shalat dengan menggunakan kaos kaki atau sepatu stewel. Apakah mereka harus melepasnya ketika sujud agar kedua telapak kakinya dapat menempel langsung pada bumi? (*)

Apakah boleh tidur menggunakan sajadah?

Tidur di atas sajadah merupakan salah satu pantangan dalam masyarakat Betawi. Jika seseorang tidur di atas sajadah, kelak perutnya akan sakit atau pantatnya bisulan. Maksud dan tujuan larangan tersebut karena sajadah merupakan alas untuk Shalat, dan syarat utama melakukan Shalat adalah bersih dan suci.

Apakah sajadah bid ah?

Syaikh 'Utsman Al Khomis menerangkan, “Yang dimaksud bid'ah adalah jika berkeyakinan bahwa shalat mesti di sajadah dan ia mengharuskan seperti itu. Ini jelas bid'ah. Namun yang tepat, sujud di atas sajadah bukanlah bid'ah. Dan para ulama pun tidak menggolongkannya sebagai bid'ah.