Jakarta, Humas LIPI. Tercatat lebih dari setengah penduduk Indonesia memenuhi kebutuhan ekonomi mereka melalui sektor informal, yaitu sektor ekonomi mandiri berskala kecil yang memiliki kebebasan tinggi dalam menentukan usaha yang dijalankan. Namun, peran sektor informal yang cukup signifikan di masyarakat tidak dibarengi dengan jaminan sosial yang kuat. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kependudukan melakukan survei terkait penyediaan sekaligus permasalahan jaminan sosial pada sektor informal. "Keikutsertaan pekerja informal dalam proteksi sosial negara tidak besar. Sementara, kesejahteraan sosial dapat berjalan baik jika didukung dengan proteksi sosial baik jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan. " jelas Tri Nuke Pudjiastuti, Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kebudayaan LIPI saat membuka Diseminasi Hasil Penelitian dan Media Briefing Jaminan Sosial Sektor Informal dalam Lensa Survei LIPI di Jakarta (20/12). Nuke menyatakan bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yg utuh agar kebijakan pemerintah dapat melindungi para pekerja di sektor informal. Untuk mewujudkannya, diperlukan kerjasama dan sinergi dari semua pihak. "Komitmen bukan hanya datang dari pusat namun juga pemerintah daerah untuk mengupayakan mereka (pekerja sektor informal) mendapatkan perlindungan negara." ujarnya. Fisca Miswari Aulia dari Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Bappenas mengutarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Ketenagakerjaan untuk sektor informal baru tercapai 3% dari 10%. Fisca menjelaskan pentingnya kualitas layanan jaminan sosial baik kesehatan maupun ketenagakerjaan untuk meningkatkan keikutsertaan masyarakat, terutama pekerja di sektor informal. “Kita tidak boleh hanya menuntut demand keikutsertaan tapi juga bagaimana supply layanan juga harus berkualitas.” Terang Fisca. Hasil Survei LIPI Dewi Harwina, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menjelaskan 35% Kepala Rumah Tangga (KRT) yang merupakan pekerja sektor informal tidak memiliki jaminan kesehatan. Sementara , KRT pekerja sektor informal yang telah memiliki jaminan kesehatan memiliki tingkat keberlanjutan yang rendah."61,8% pekerja informal mengaku menunggak iuran jaminan kesehatan karena aspek finansial, dan 11,2% menunggak karena tingkat kepercayaan yang rendah pada penyelenggara jaminan kesehatan."jelas Dewi. Dewi menambahkan hasil survei menunjukkan tingkat pemahaman terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh pekerja informal di pedesaan juga lebih rendah dari perkotaan. “Pekerja informal di perkotaan lebih cenderung mau memanfaatkan JKN daripada perkotaan.” Dari hasil penelitiannya, Dewi memaparkan perlunya strategi perluasan dan keberlanjutan kepesertaan serta pengoptimalan layanan kesehatan bagi pekerja sektor informal. Dari sisi jaminan ketenagakerjaan, Ngadi, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menyampaikan bahwa jangkauan jaminan ketenagakerjaan ke sektor informal masih sangat minim. BPJS Ketenagakerjaan masih cenderung fokus di sektor formal. "Hanya 31,2% masyarakat sektor informal yang tahu tentang BPJS Ketenagakerjaan." ungkapnya. Menurut Ngadi, rendahnya partisipasi masyarakat dalam jaminan ketenagakerjaan antara lain disebabkan oleh jarak kantor layanan yang sulit terjangkau, biaya pembayaran yang tinggi, serta minimnya kerjasama dengan penyedia layanan kesehatan. “Perlu ada optimalisasi sosialisasi melalui teknologi, pendekatan seni dan budaya, inovasi kebijakan, serta peningkatan kerjasama.” terang Ngadi. (iz/ed: sr)Sivitas Terkait : Dr. Tri Nuke Pudjiastuti M.A.
Sektor informal memiliki peran yang besar di negara-negara sedang berkembang (NSB) termasuk Indonesia. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Di NSB, sekitar 30-70 % populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sector informal. Demikian yang disampaikan oleh Tri Widodo, SE. Mec.Dev saat Diskusi yang digelar Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) dengan topik “Sektor Informal Yogyakarta†pada hari Selasa 7 Maret 2005. “Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam skala kecil; kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, akses ke lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formalâ€, kata pak Tri. Diskusi yang bertempat di Gedung PAU UGM tersebut, pak Tri mengatakan bahwa kebanyakan pekerja di sektor informal perkotaan merupakan migran dari desa atau daerah lain. Motivasi pekerja adalah memperoleh pendapatan yang cukup untuk sekedar mempertahankan hidup (survival). Mereka haru tinggal di pemukiman kumuh , dimana pelayanan publik seperti listrik, air bersih, transportasi, kesehatan, dan pendidikan yang sangat minim. Menurut peneliti PSEKP UGM ini, dalam kaitannya dengan sektor lain, sektor informal terkait dengan sektor pedesaan. Sektor informal memberikan kemungkinan kepada tenaga kerja yang berlebih di pedesaan untuk migrasi dari kemiskinan dan pengangguran. Sektor informal sangat berkaitan dengan sektor formal di perkotaan. Sektor formal tergantung pada sektor informal terutama dalam hal input murah dan penyediaan barang-barang bagi pekerja di sektor formal. Sebaliknya, sektor informal tergantung dari pertumbuhan di sektor formal. Sektor informal kadang-kadang justru mensubsidi sektor formal dengan menyediakan barang-barang dan kebutuhan dasar yang murah bagi pekerja di sektor formal. “Penggunaan modal pada sektor informal relatif sedikit bila dibandingkan dengan sektor formal sehingga cukup dengan modal sedikit dapat memeprkerjakan orang. Dengan menyediakan akses pelatihan dan ketrampilan, sektor informal dapat memiliki peran yang yang besar dalam pengembangan sumber daya manusia. Sektor informal memunculkan permintaan untuk tenaga kerja semiterampil dan tidak terampil. Sektor informal biasanya menggunakan teknologi tepat guna dan menggunakan sumber daya local sehingga akan menciptakan efisiensi alokasi sumber daya. Sektor informal juga sering terkait dengan pengolahan limbah atau sampah. Sektor informal dapat memperbaiki distribusi hasil-hasil pembangunan kepada penduduk miskin yang biasanya terkait dengan sektor informalâ€, ungkap pak Tri. Lebih lanjut dalam makalah berjudul ““Peran Sektor Informal Terhadap Perekonomian Daerah: Teori dan Aplikasi†pak Tri mengungkapkan, di Indonesia, sektor informal bukan merupakan fokus utama kebijakan atau perhatian pemerintah. Pemerintah bahkan tidak memiliki definisi umum mengenai perusahaan mengenai perusahaan sektor informal. Beberapa instansi pemerintah, seperti Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, Departemen Industri dan Perdagangan, hanya memberikan definisi tentang skala usaha yang secara garis besar dibagi tiga klasifikasi yaitu usaha kecil, menengeah, dan besar. “Demikian pula halnya dengan penanganan secara statistik terhadap sektor informasi. Kegiatan pencatatan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh sektor informal yang menyeluruh dan berkelanjutan, seperti halnya dengan kegiatan pencatatan pada sektor formal, juga belum banyak dilakukan dan mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. BPS mendefinisikan perusahaan sektor informal sebagai perusahaan tidak berbadan hukum. Disamping itu kegiatan pembinaan sektor informal juga tidak memiliki kejelasan, sehingga menyebabkan instansi pemeritah satu dengan yang lainnya tidak memiliki tanggung jawab yang terpadu untuk mempromosikan atau mengatur sektor informalâ€, terang pak Tri (Humas UGM).
Cari soal sekolah lainnya
KOMPAS.com - Sektor informal termasuk salah satu upaya yang dilakukan masyarakat agar bisa mendapat pekerjaan dan penghasilan. Sektor informal juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang membutuhkannya. Sektor informal berbeda dengan sektor formal. Sektor informal lebih mengutamakan keterampilan atau kemampuan untuk bekerja. Sedangkan sektor formal lebih menitikberatkan pada latar belakang pendidikannya. Pengertian ekonomi sektor informalMenurut Annisa Ilmi Faried dalam buku Sosiologi Ekonomi (2021), ekonomi sektor informal merupakan kumpulan usaha kecil yang membentuk sektor ekonomi, di mana kelompok usaha tersebut memproduksi serta mendistribusikan barang atau jasa, untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan memunculkan kesempatan memperoleh pendapatan. Dibandingkan sektor formal, ekonomi sektor informal cenderung lebih mudah dimasuki dan diciptakan. Namun, keberlangsungan sektor ini sangat bergantung pada perkembangan usaha dan konsumennya. Baca juga: Bagaimana Hubungan antara Tindakan, Motif dan Prinsip Ekonomi? Ciri-ciri ekonomi sektor informalDalam jurnal Analisa Pengelolaan Sumber Daya Manusia Sektor Formal dan Sektor Informal di Jawa Timur (2014) karya Yupi Kurniawan Sutopo dan R.R. Retno Ardianti, ekonomi sektor informal memiliki delapan ciri utama, yaitu:
Baca juga: Barang Ekonomi: Pengertian dan Contohnya IstilahMengutip dari jurnal Kajian Persepsi Harapan Sektor Informal terhadap Kebijakan Pemberdayaan Usaha Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Unauna (2010) karya Muzakir, istilah ekonomi dalam sektor informal digunakan untuk merujuk kegiatan ekonomi yang skalanya kecil. Sektor informal dipandang sebagai situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara yang sedang berkembang. Kegiatan usaha di sektor ini dibuat untuk mendapat pekerjaan, penghasilan dan keuntungan. PerananWalau sektor informal kegiatan usahanya tergolong kecil dan tidak terorganisasi dengan baik, sektor ini jelas memiliki peranan yang cukup besar dalam perekonomian suatu negara, khususnya bagi negara berkembang. Peranannya adalah:
Baca juga: Ekonomi Kerakyatan: Pengertian, Ciri-Ciri, Dampak, Faktor Pendorong dan Wujudnya Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Cari soal sekolah lainnya |