Bagaimana menyikapi perbedaan dalam Islam

MADANINEWS.ID, JAKARTA – Seringkali perbedaan pendapat memicu pertengkaran dan konflik. Apalagi ditengah panasnya kontestasi politik menjelang Pemilu 2019, bukan hanya menjadi konflik, perbedaan pendapat juga bahkan membuat satu sama lain saling mencaci.

Dalam Islam, perbedaan pendapat adalah keniscayaan. Dari dahulu sampai sekarang ada ragam pendapat dalam Islam. Sehingga perlu kedewasaan berpikir dan bijak dalam melihat varian pendapat ulama.

Sebagian orang tidak siap menerima perbedaan pendapat tersebut. Mereka menganggap apa yang dipikirkan dan dipelajarinya kebenaran final. Sehingga tidak ada lagi ruang dialog dan diskusi. Akibatnya, dia menganggap orang yang berbeda pendapatnya sebagai lawan dan musuh.

Acapkali terjadi lantaran beda pendapat saling mencaci, menyesatkan, bahkan mengafirkan. Kata-kata kasar pun dikeluarkan untuk menunjukan ketidaksetujuan terhadap pendapat yang dilontarkan orang lain. Padahal berkata kasar dalam Islam sangat dilarang. Apalagi bila kata kasar itu meyakiti hati orang lain.

Rasulullah berkata:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Muslim adalah orang yang mampu menjaga orang lain dari lisan dan tangannya” (HR: Bukhari)

Seorang muslim mestinya bisa menahan diri dan tidak mengeluarkan kata yang menyakiti hati orang lain. Karena pada hakikatnya Islam itu adalah penyelamatan, kedamaian, dan keamanan. Tidak ada gunanya beragama, tetapi orang lain selalu terganggu dengan kehadiran kita.

Dalam hadis yang lain, Rasul mengingatkan, “Mencaci muslim termasuk perbuatan fasik, membunuhnya perbuatan kufur” (HR: Bukhari).

Hadis Ini menegaskan bahwa mencaci-maki bukanlah perbuatan yang baik, bahkan Rasulullah mengkategorikannya sebagai bentuk dari kefasikan. Dengan demikian, keliru bila ada orang yang ingin membuktikan loyalitasnya terhadap Islam dengan cara memaki dan berkata kasar kepada orang lain.

Karenanya, hadapilah perbedaan pendapat dengan penuh kearifan. Ajaklah orang yang berbeda pendapat dengan kita dialog dan diskusi. Jangan sampai hanya karena beda pendapat kita menyesatkan dan mengafirkan orang lain. Sebab konsekuensi dari pengafiran dan penyesatan itu sangatlah berbahaya. Rasulullah jauh-jauh hari sudah mengingatkan agar tidak gampang menyesatkan dan mengafirkan orang lain. Bahkan orang yang mengafirkan orang lain, tuduhan itu akan kembali kepadanya bila itu tidak benar.

Bagaimana menyikapi perbedaan dalam Islam

Bagaimana menyikapi perbedaan dalam Islam

BincangSyariah.Com – Di tahun politik seperti sekarang kita bisa merasakan betapa perbedaan preferensi politik dapat memicu permusuhan dan mengganggu keharmonisan dalam hubungan kita dengan orang lain. Tidak hanya pertemanan bahkan hubungan keluarga pun dapat sedikit terganggu hanya karena perbedaan ini. Padahal kita tahu sendiri bahwa perbedaan di antara manusia merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan Allah swt berfirman dalam Q.S al-Rum: 22,

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِين

Bagaimana menyikapi perbedaan dalam Islam

Dan di Antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.

Melalui ayat di atas, syekh al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah swt menjadikan penciptaan manusia dan perbedaan-perbedaannya sebagai bentuk tanda kekuasaan-Nya. Perbedaan bahasa yang sangat banyak jumlahnya, begitu pun perbedaan warna kulit yang amat beragam.

Jika perbedaan menjadi bagian dari tanda kebesaran Allah swt, lalu kenapa perbedaan ini seringkali membuat kita bertengkar? Sebenarnya bagaimana cara menyikapi perbedaan dalam ajaran Islam?

Tulisan ini kan mengulas beberapa poin tentang cara menyikapi perbedaan sesuai dengan ajaran Islam agar perbedaan itu menjadi rahmat bukan laknat.

Pertama, selalu berusaha mencari titik temu dalam setiap perbedaan yang ada. Dalam bahasa al-Quran, titik temu ini diistilahkan dengan Kalimatun Sawa.  Kita dapat menemukan titik temu ini dalam Q.S Ali Imran: 64,

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Katakanlah (Muhammad), “Hai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat yang sama antara kami dan kamu, bahwa kami tidak menyembah selain Allah, dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah (muslimun).

Ayat ini mengajarkan kepada kita ketika menghadapi perbedaan kita didorong untuk mencapai kesepakatan bersama dalam hal yang bisa dijadikan titik persamaan (kalimatun sawa), sehingga yang dikedepankan adalah sisi persamaannya, bukan fokus pada perbedaan. Dalam konteks Indonesia, Pancasila menjadi perekat dan titik persamaan (kalimatun sawa) bagi seluruh warga negara, tidak melihat perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan, semuanya sepakat mengenai Pancasila sebagai dasar Negara.

Begitu pun ketika Nabi Muhammad saw masuk ke kota Madinah, beliau dan para penduduk Madinah menyepakati sebuah konsensus yang dinamakan Piagam Madinah. Di dalam kota yang sebelumnya bernama Yatsrib, tinggal orang-orang dari latar belakang suku dan agama yang beragam. Meskipun demikian, Nabi Muhammad menyepakati Piagam Madinah sebagai titik persamaan bagi seluruh penduduk kota Madinah.

Kedua, sikap yang bisa dikedepankan untuk meyikapi perbedaan adalah mengedepankan toleransi dan tenggang rasa, saling memahami satu sama lain tanpa terlebih dahulu menghakimi orang lain. Nabi Muhammad saw. sendiri adalah teladan bagi kita sebagaimana yang tercatat sejarah.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa datang seorang Badui (pedalaman) ke Masjid Nabi dan serta merta kencing di Masjid. Melihat ini, terang saja para sahabat marah dan akan memukuli orang ini, Rasulullah saw mencegahnya. Bahkan kemudian beliau menyuruh sahabat untuk menyiram dan membersihkan air seni laki-laki itu. (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari Syarh Sahih Bukhari menjelaskan beberapa poin penting terkait dengan riwayat di atas. Pertama, berlaku lemah lembut (al-rifq) kepada orang yang melakukan kesalahan karena tidak tahu dan tidak sengaja (jahl). Kedua, wajib mendidik dan memberi pengertian bagi orang yang melihat orang yang melakukan kesalahan itu sesuai dengan akhlak Islam. Ketiga, tidak perlu melakukan kekerasan baik dalam bentuk fisik maupun verbal dalam mencegah munkar.

Ketiga, berdialog dengan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita. Allah swt berfirman dalam Q.S Al-Nahl: 125,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan teladan yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (dialog), sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui terhadap orang yang telah sesat di jalannya dan Allah juga maha mengetahui terhadap orang yang diberi petunjuk.

Ayat ini memerintahkan kepada kita agar dalam melakukan dakwah atau mengajak orang lain ke jalan Allah swt dengan cara-cara yang bijak, santun, dan dengan teladan baik. Sekiranya mereka terus membantah, maka bantah dengan cara yang lebih baik, bukan dengan cara-cara kasar, emosional, dan kebencian. Karena tugas kita hanyalah mengajak dan menyampaikan sesuatu yang baik. Di luar itu semua adalah kewenangan Allah swt.

Dengan tiga cara yang telah dijelaskan: mencari titik persamaan, toleransi, dan dialog, niscaya perbedaan yang ada di tengah-tengah kita dapat disikapi dengan lebih bijak dan lebih baik. Tidak perlu timbul konflik hanya karena berbeda, karena berbeda itu merupakan sunnatullah. Kita tidak perlu risau dengan banyaknya perbedaan baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, maupun bernegara. Perbedaan adalah tanda kekuasaan Allah swt. Oleh karenanya, tidak perlu kita saling membenci dan bertikai karena perbedaan.  Wallahu A’lam.

Jakarta, IDN Times – Episode Sore-Sore Berkah kali ini akan membahas mengenai bagaimana cara seorang Muslim menyikapi perbedaan. Baik perbedaan urusan suku, bangsa bahkan dalam urusan ideologi seperti perbedaan agama.

“Firman Allah di dalam Al-Quran, di dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, Allah SWT berfirman audzubillah himinasyaitonirrajim, bismillahirrahmaanirrahiim.Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unṡā, wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabā`ila lita'ārafụ,” kata Ustaz Hanan Attaki alam tayangan Sore-Sore Berkah yang disiarkan melalui kanal YouTube IDN Times, Jumat (15/5).

“Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan atau Adam dan Hawa. Dan kami jadikan kalian bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal Al-Quran, Surat Al-Hujurat Ayat 13,” lanjut dia.

Dalam ayat ini, menurut Ustaz Hanan, Allah menjelaskan bahwa sesungguhnya perbedaan itu adalah fitrah. Perbedaan tidak perlu dianggap sebagai masalah.

Karena pada dasarnya, Allah menciptakan kita berbeda-beda.Artinya, Allah yang telah menjadikan kita berbeda-beda, Allah yang telah menjadikan kita variatif banget, dari warna kulit, bahasa, tradisi bahkan anak yang kembar saja pasti ada bedanya.

Jadi, kita gak perlu panik dan gak perlu terlalu lebay menyikapi perbedaan.

Bahkan sebagai sesama umat muslim saja ada perbedaan antara satu mahzab fiqih dengan mahzab yang lain.

“Bahkan kadang-kadang kita pernah mengalami perbedaan dalam urusan hari lebaran, ini agak-agak repot nih tapi tetap harus toleran,” kata Ustaz Hanan.

Nah, yang jadi pertanyaan, bagaimana menyikapi perbedaan seperti ini?

“Di dalam Islam nabi mengajarkan kita tentang dua bentuk perbedaan, ada perbedaan istilahnya 'ikhtilaf tanawwu’, perbedaan yang sifatnya keragaman, variasi artinya dia tidak kontradiktif satu dengan yang lain cuma justru membuat semakin banyak varian, semakin banyak keragaman sehingga kita bisa melihat keindahan,” kata Ustaz Hanan.

Contohnya urusan fiqih. Sama-sama salat, yang satu 23 rakaat yang satu lagi 11 rakaat. Kata ulama, cara menghadapi perbedaan jenis ini adalah dengan bersyukur. Perbedaan juga harus disyukuri lho. Kedua, saling menghormati. Toleransi dan menghargai perbedaan itu penting, lho.

“Yang kedua ada perbedaan namanya i’tillah futuhat artinya perbedaan yang kontradiktif,” kata Ustaz Hanan.

“Misalnya perbedaan agama yang satu mengatakan ini benar, yang lain mengatakan ini gak benar. Yang satu mengatakan ini halal, yang lain mengatakan ini haram,” lanjut dia.

Bagaimana cara menghadapinya? Kata Ustaz Hanan, caranya adalah saling menjelaskan secara argumentatif tapi harus tetap saling menghargai, lakum diinukum wa liyadin.

“Kalian dengan agama kalian, kami dengan agama kami. Kalian dengan kepercayaan dan keyakinan kalian, kami dengan keyakinan kami. Dan kita gak boleh saling mengganggu,” kata Ustaz Hanan.

“Itu konsep menyikapi perbedaan yang ada di dalam Islam,” lanjut dia.

Semoga Ramadan kali ini bisa membuat kita semakin bisa merayakan perbedaan dan lebih penuh toleransi. Apa pun berbedaannya, kita harus tetap saling dukung.

“Teman-teman yang Natal silakan merayakan Natal dan kita yang Idulfitri silakan Idulfitri,” tutup Ustaz Hanan.

Baca Juga: Sore-Sore Berkah: Hukum Mendebat Orangtua, Ini 4 Aturan Al-Quran